Mesjid Agung Keraton Buton
OLEH : AGUS RISDIANTO
BAB I
KATA PEMBUKAAN
Man-arafaa nafsahu faqad arfa rabbahu artinya barang siapa yang mengenal keadaan dirinya yang sejati (kefanaan), tentunya ia akan mengenal keadaan Tuhan-Nya yang kekal (baqa).
Binci-Binci Kuli
Pasal 1
Pokok adat berdasarkan perasaan perikemanusiaan dalam bahasa adat disebut “Binci Binciki Kuli” yang berarti mencubit kulit sendiri apa bila sakit tentu akan sakit pula bagi orang lain. Dasar inilah yang kemudian melahirkan cita hukum Binci-binciki kuli. Untuk menjamin dasar falsafah tersebut, maka dalam hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimanifestasikan kedalam empat pemahaman dasar yaitu:
1. Pomae-maeka artinya saling takut melanggar rasa kemanusiaan antara sesama anggota masyarakat.
2. Pomaa-maasiaka artinya saling menyayangi antara sesama anggota masyarakat.
3. Popia-piara artinya saling memelihara antara sesama anggota masyarakat. dan
4. Poangka-angkataka artinya saling mengangkat derajat antara sesama anggota masyarakat, terutama yang telah berjasa kepada negara.
Falsafah Kesultanan Buton
Pasal 1 A
Untuk mewujudkan keempat rasa kemanusiaan dalam Binci-Binciki Kuli tersebut, maka perlu adanya urutan kebutuhan atau kepentingan dalam membangun hubungan antar rakyat/warga negara dengan negara yang dapat terlihat dalam falsafah negara kesultanan Buton. falsafah kesultanan Buton terdiri atas lima sila yaitu, Arata, Karo, Lipu, Syara dan Agama. Dalam memahami kelima sila falsafah tersebut, para pemuka adat atau pembesar kesultanan merangkai kelima sila tersebut dalam satu kesatuan yang merupakan urutan kebutuhan atau kepentingan negara dan warga negara. Falsafah tersebut merupakan perwujudan cita-cita bersama dalam membangun rasa pengorbanan dan pengabdian warga negara terhadap negara. Adapun uraian pemahaman falsafah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ainda – indamo aarata somanamo karo
2. Ainda – indamo karo somanamo lipu
3. Ainda – indamo lipu somanamo syara
4. Ainda – indamo syara somanamo agama
Empat Perkara Yang Bertentangan dengan Falsafah Binci-Binciki Kuli
Pasal 2
Pasal ini menyatakan segala hal yang dapat membinasakan pasal pertama sebagai pokok adat atau falsafah negara, yang terdiri atas 4 perkara:
1. Sabaragau (merampas hak orang lain dengan menghalalkan segala cara), hak bersama dimiliki dan dikuasai oleh seseorang.
2. Lempagi (melanggar, berhianat atau melangkahi ha-hak orang lain)
3. Pulu Mosala Tee Mingku Mosala, Pulu Mosala artinya mengeluarkan perkataan yang bersifat menyalahi aturan atau menghina orang lain di muka umum. Sedangkan Mingku Mosala yaitu gerak gerik yang menunjukkan ketinggian hati atau keangkuhan, sehingga berpakaian yang tidak selaras dengan kedudukannya, gila pangkat, gila harta dan mabuk ketinggian derajat sehingga melakukan kejahatan maupun pelanggaran.
4. Pebula maksudnya:
1. Melakukan perzinaan dalam kampung
2. Penipuan dan pemerasan terhadap rakyat dengan maksud untuk kepentingan atau keuntungan pribadi.
3. Penyalahgunaan Pangkat dan Jabatan
4. Menggelapkan uang negara (korupsi)
BAB II
PEJABAT DAN PEGAWAI KESULTANAN
Sifat-Sifat Pejabat/Pegawai Kesultanan
Pasal 3
Pasal ini menyatakan sifat-sifat yang diwajibkan atas tiap-tiap pemimpin. Sebagai seorang pemimpin diwajibkan bersikap atas atas 4 (empat) perkara yaitu:
1. Siddiq artinya benar dan jujur dalam segala hal serta rela berkorban demi tegaknya keadilan dan kebenaran.
2. Tabliq artinya mampu menyampaikan segala perkataan yang mendatangkan manfaat kepada rakyat, sejalan antara kata dan perbuatan.
3. Amanat, mempunyai rasa kepercayan terhadap rakyat dan sebaliknya dipercaya oleh rakyat.
4. Fathani artinya, pandai dan fasih berbicara
Pegangan Pejabat/Pegawai Kesultanan
Pasal 3A
Sifat-sifat tersebut diatas disebut “amanat kerasulan”. Selain syarat-syarat tersebut, maka para pegawai kesultanan juga memiliki pegangan dan pengetahuan yang wajib di amaliahkan diantaranya:[1]
1. Pejabat/pegawai kerajaan harus bersifat hiyaat (hidup)
2. Pejabat/pegawai kerajaan harus bersifat ilmu (berpengetahuan)
3. Pejabat/pegawai kerajaan harus bersifat kodrat (kuasa)
4. Pejabat/pegawai kerajaan harus bersifat iradat (kemauan)
5. Pejabat/pegawai kerajaan harus bersifat samaa (mendengar)
6. Pejabat/pegawai kerajaan harus bersifat basar (melihat)
7. Pejabat/pegawai kerajaan harus bersifat kalam (berkata)
Susunan Pejabat/Pembesar Dan Pegawai Kesultanan
Pasal 3 B
Adapun susunan pejabat atau pembesar pemerintahah Kesultanan Buthuuni, secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Pejabat/Pembesar Syara Ogena
a. Sultan
b. Sapati
c. Kenepulu
d. Kapitaraja/ Kapitalau
e. Lakina Sorawolio
2. Majelis Syara (memiliki fungsi pengawasan)
a. Bonto Ogena
b. Bonto Sio limbona
c. Bonto Inunca (staf istana)
d. Bonto Lencina Kanjawari
e. Bonto dan Bobato
4. Staf khusus kesultanan
a. Sabandara
b. Juru Bahasa
c. Talombo
d. Gampikaro
e. Panggalasa
f. Wantina Gampikaro
g. Kenipu
h. Belobaruga
i. Tamburu Limanguna
j. Kompanyia Isyara
k. Tamburu Pataanguna
l. Matana Sorumba
3. Pegawai Syara Kidina/Agama
a. Lakina Agama
b. Imamu
c. Khatibi
d. Moji
e. Mokimu
f. Bisa Patamiana
BAB III
STRUKTUR PEMERINTAHAN SARA OGENA/LIPU/WOLIO
Syara Ogena atau Syara Wolio adalah struktur pemerintahan pusat Kesultanan (Wolio). Struktur ini diambil dari tamsil atau teladan murtabat tujuh dan sifat dua puluh. Tujuh tingkatan dalam ajaran murtabat tujuh, dijadikan tamsil atau teladan dalam penyususnan hierarki struktur pemerintahan kesultanan Buton. Tamsil struktur pemerintahan Sara Ogena atau Sara Wolio tersebut diambil atas teladan martabat ketuhanan (Nurullah, Nur Muhammad, dan Nur Adam) serta tamsil atas penjabaran martabat kehambaan/kemanusiaan melalui pemahaman atas proses kejadian manusia (Nutfah, Alqah, Mudgah, Manusia). Kedua murtabat tersebutlah yang dijadikan tamsil atu teladan dalam menyusun struktur pemerintahan Sara Ogena/Wolio (tingkatan atau pangkat-pangkat pembesar kesultanan). Adapun makna kiasan yang diambil dari tamsil/ teladan murtabat tujuh tersebut adalah sebagai berikut:
1. Martabat Ketuhanan
a. Murtabat Ahdat : ditamsilkan pada Tanailandu.
b. Murtabat Wahdah : ditamsilkan pada Tapi-tapi.
c. Murtabat Wahidiyah : ditamsilkan pada Kumbewaha.
2. Martabat Kehambaan
a. Murtabat Alam Arwah/ Nutfah : ditamsilkan pada Sultan.
b. Murtabat Alam Misal/ Alaqah : ditamsilkan pada Sapati.
c. Murtabat Alam Ajsam/Mudgah : ditamsilkan pada Kenepulu.
d. Murtabat Alam Insan /manusia : ditamsilkan pada Kapitalao.
Sultan bertindak sebagai kepala negara dan dalam menjalankan pemerintahanya dibantu oleh Sapati, Kenepulu, Kapitalau, Bonto Ogena, Lakina Sorawolio dan Lakina Baadia. Adapun kedukan dan tugas dari pangkat-pangkat kekuasaan syara ogena dapat diuraikan sebagai berikut:
Lihat Selengkapnya
Bagian. II
S U L T A N
Pasal 4
Sulltan adalah memiliki hukum kekuasaan, kebesaran dan kemuliann dalam daerah/wilayah kekuasaanya. Menurut adat mufakat disertai pemahaman agama Islam Sultan ditelandankan sebagai Khalifatullah (bayang-bayang Tuhan di Bumi). Dalam kondisi-kondisi tertentu, Sulltan memiliki hak istimewa (hak prerogatif), selama tujuannya dip...ergunakan untuk kebaikan dan kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat umum dan negara. Pedoman yang menjadi dasar pegangan Sultan (hak istimewa) dalam adat ditamsilkan atas dalil “fa`aalun Limaa Yuriydu” artinya Sultan berbuat sekehendaknya.
Tugas Pokok/Kewajiaban Sultan
Pasal 4 A
Dalam pasal ini dijelaskan dasar kepentingan dan kewajiban pangkat-pangkat dari Sultan. Sendi atau dasar kepentingan yang amat diutamakan terhadap kewajiban Sultan adalah :
1. Menilik dengan mata hatinya lautan kalbu rakyat atau alam batin orang banyak.
2. Menjadi penuntun dan pemimpin rakyat baik di dalam dan di luar kerajaan/kesultanan.
3. Menjadi bapak/orang tua rakyat di dalam dan diluar kerajaan atau Kesultanan.
4. Harus berpegang pada rasa keadilan.
Hak Kelengkapan Sultan
Pasal 4 B
Sultan diberi hak atau kelengkapan atas diri Sultan yang disebut “syara sapulu ruanguna”. Artinya hak kelengkapannya berjumlah 12 (dua belas) bagian adapun uarain atas syara sapulu ruanguna tersebut yaitu :
1. Syara Jawa
1. Payung kebesaran dari kain kuning
2. Permadani
3. Gambi yisoda yaitu puan dari kayu yang dipikul
4. Somba atau sembah
Adapun Syara Jawa berisi 4 (empat) perkara yang menjadi hak penghasilan Sultan yaitu:
1. Bangku mapasa (perahu yang terdampar atau pecah)
2. Rampe yaitu barang hanyut yang dipungut rakyat
3. Ambara yaitu semacam hasil laut
4. Ikane Ogena yaitu ikan besar yang dipikul dua orang
2. Syara Pancara
1. Bante ialah hasil tanah dari papara yang dipersembahkan tiap-tiap tahun.
2. Kabutu ialah hasil tanah dari kabutu
3. Pomua ialah kalame atau enjelai dari papara
d. Kalonga
Adapun Syara Pancana terdiri atas 4 (empat) perkara yang juga menjadi hak milik Sultan. Keempatnya adalah merupakan hasil perkebunan dalam bahasa adat disebut “antona tanah” yang dipersembahkan kepada Sultan, syara pancara tersebut terdiri atas :
1. Popene, orang yang membawa keberataan pada Sultan, yang bersangkutan tersebut diharuskan membayar uang sebagai pengikut dirinya, dalam bahasa adat disebut “suruna karo”
2. Suruna karo (denda)
3. Tali-tali ialah tambahan denda.
4. Karambau (kerbau). Barang siapa yang berburu atau membunuh kerbau di hutan lindung tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Sultan, maka kepadanya dikenakan hukuman denda sebesar 120 (seratus dua puluh) boka = Rp. 144,- yang kesemuanya menjadi penghasilan Sultan.
3. Syara Wolio
1. Belo Baruga Umane yaitu laki-laki 8 orang (anak keturunan menteri dan kaum walaka yang benusia 7 tahun keatas). Bertugas untuk memegang dan membawa alat-alat kelengkapan adat kebesyaran Sultan di Istana. Belo Baruga adalah mempelajari seluk beluk Tuturuka, adat kesopanan syara Buton, mereka itulah calon-calon pemimpin di kemudian hari.
2. Belo Baruga Bawine yaitu anak-nak gadis yang masih perawan dari golongan papara yang berjumlah 12 orang berfungsi sebagai selir-selir Sultan. Hal ini dimaksudkan agar Sultan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari tidak berbuat yang tidak-tidak terhadap rakyat pada umumnya.
3. Susua Wolio ialah perempuan-perempuan keturunan kaum walaka asal limbo yang bertugas mengasuh putra putri Sultan, jumlah sesuai kebutuhan.
4. Susua Papara ialah perempuan-perempuan yang diambil dari golongan papara, juga bentugas sebagai pengasuh putra putri Sultan.
Adapun isi dari Syara Wolio juga terdiri atas empat perkara yaitu:
1. Isalaaka ialah hal-hal yang menjadikan seseorang bersalah atau melanggar hukum
2. Ikoddosaaka yang menjadikan seseorang itu berutang.
3. Ibatuaka ialah yang menjadikan seseorang mengabdi sebagai hamba sahaya.
4. Imateaka ialah yang menjadikan seseorang mati atau mengakhiri hidup.
S A P A T I
Pasal 5
Sapati merupakan kepala syara atau “aroana syara” yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan jalannya roda pemerintahan kesultanan Buton. Sapati juga memiliki hak istimewa yang diambil dari tamsil dalil “Innalaaha laa yukhliful miy aadi” artinya sesungguhnya Tuhan itu tidak merubah-rubah janjinya. Pemahaman dalil ini sejalan dengan pemahaman akan pegangan Sultan yaitu Sultan berbuat sekehendaknya.
Kewajiban Sapati
Pasal 5 A
Pada hakekatnya sendi atau dasar kewajiban sapati yang amat diutamakan adalah 7 (tujuh) perkara yang senantiasa menjadi keyakinan dan penilikan yang sesempurna-¬sempurnanya, sebagai berikut:
1. Sampaki ialah pendepat dari kesalahan bicara dari siapapun juga tanpa terkecuali Sultan.
2. Dolango ialah penahan atau pelindung Sultan dan rakyat.
3. Salambi ialah penguat simpul dalam arti, Sapati menguatkan segala hasil kesimpulan musyawarah.
4. Bhasyarapu ialah meneguhkan pembicaraan yang telah menjadi ketetapan atau menegakkan adat hasil permufakatan yang telah disepakati sebelumnya.
5. Tiliki gau tee timbangi yaitu menilik dan merencanakan dasar-dasar pertimbangan segala sesuatu untuk dibawah ke tempat musyawarah
6. Tiliki andala ruaanguna ialah menilik dua lautan, yaitu alam bathin sendiri dan alam bhatin rakyat.
7. Segala yang telah dimufakatkan harus dipegang teguh tidak boleh diganggu gugat lagi. Hal ini berpegang pada dalil Innalaaha laa yukhliful miy aadi artinya sesungguhnya Tuhan itu tidak merubah-rubah janjinya
Hak dan Tanggung Jawab Sapati
Pasal 5 B
Sapati memiliki hak atas:
1. Kamali yaitu istana Sultan dan Mesjid Agung Keraton.
2. Baruga yaitu tempat musyawarah dan pasar.
3. Balnara tee badilina yaitu benteng pertahanan beserta kelengkapan perang.
4. Batu tondo molele artinya, kota dan talangkena yaitu tempat meriam yang terbuat dan kayu.
5. Pintu gerbang benteng dan penutupnya.
6. Parit dan patua, saka-saka atau ranjau.
7. Perahu dan bameanya yaitu tempat pembikinannya.
8. Tiang bendera dan pakaroana laga.
Kewenangan Sapati Selaku Kepala Adat/Syara
Pasal 5 C
1. Sapati diberi kewenangan untuk memutuskan perkara yang disebut “antona kakaana” yaitu isi dan dasar kekuasannya meliputi 5 (lima) perkara yaitu :
1. Dosa artinya utang yaitu Sapati berhak menagih denda orang-orang yang bersalah yang terkena hukuman denda
2. Pasabu artinya, memecat orang yang bersalah.
3. Pomurusi artinya, membeslaq barang bukti dan orang yang bersalah.
4. Papasi artinya, mengasingkan orang yang bersalah.
5. Pekamate artinya, memhukum mati orang yang bersalah.
2. Sapati juga mengawasi Komapyia Isyara yang terdiri dari 2 (dua) kelompok. Adapun susunan Kompayia Isyara tersebut adalah Lotunani, Alifarisi, Saraginti dan Tamburu.
K E N E P U L U
Pasal 6
Pada hakekatnya dasar kewajiban Kenepelu adalah bertugas memperhatikan dan menampung keluhan rakyat, yang dalam bahasa adat “keni” berarti pegang, dan “pulu” berarti bicara. Tugas utama kenepulu adalah sebagai sekertaris kesultanan dan sewaktu-waktu dapat menjadi hakim atau jaksa pada permasalahan adat yang menjadi kewenangannya. Adapun kewajiban kenepelu ada 5 perkara dan menjadi dasar kewenangannya untuk memutuskannya yaitu:[1]
1. Arataa indaa kawiaka artinya harta orang yang tidak kawin sah.
2. Arataa inunuana anana artinya harta yang dituntut oleh anaknya sebagai ahli waris.
3. Arataa inuna opuana artinya harta yang dituntut oleh cucunya.
4. Arataa inununa opuana itoputu artinya harta yang dituntut anak cucunya atau cicitnya
5. Arata imanako artinya harta curian
LAKINA SORAWOLIO
Pasal 7
Pada hakekatnya kewajiban lakina sorawolio yaitu meniru-niru pekerjaan Sapati yang bertujuan untuk persiapan peperangan. Umpamanya, syara Buton memperbaiki benteng, maka Lakina Sorawolio memperbaiki pula bentengnya.
KAPITALAO/KAPITARAJA
Pasal 8
Kapitalao adalah Harimauna Syarana Wolio artinya harimau dari syarat kerajaan. Pada hakekatnya, Jabatan Kapitalau adalah sebagai Panglima Kesultanan Buton yang dinamakan Kompanyia Patanguna yang terdiri atas (Lotunani, Alifarisi, Saraginti dan Tamburu). Kapitalau terdiri atas dua bagian yaitu Kapitalau Sukanaeyo dan Kapitalau Mataneyo. Kewajiban utama Kapitalao adalah mempertanggung jawabkan wilayah barat dan wilayah timur juga mempertahankan wilayah pemerintah pusat (Wolio). Kapitalao di ibaratkan sebagai dasar keberanian Sultan atau Syara, pedang Sultan dan Syara. Kapitalao memiliki unit atau staf yang disebut
Tugas dan Kewajiban Kapitalau/Kapitaraja
Pasal 8 A
Adapun tugas kapitalau adalah :
1. Kapitalao dianggap sebagai pedang Sutan (Huncuna Laki Wolio) atau syara kesultanan.
2. Kapitalao mendapat perintah hanya satu kali terhadap kewajibannya mengenai masalah ketertiban dan keamanan. Seandainya ada musuh yang menyerang keultanan, maka Kapitalau secepatnya bertindak untuk melakukan pertahanan atau menjaga keamanan Kesultanan.
3. Kapitalao juga mengepalai Bobato dalam keadaan perang.
B O N T O O G E N A
Pasal 9
Pada hakekatnya dasar kewajiban Bonto Ogena diibaratkan sebagai gundik dari Sapati yang selalu mengawasi, menjaga dan membantu tugas-tugas Sapati yang 7 (tujuh) perkara. Bonto Ogena terdiri atas dua yaitu Bonto Ogena Matanaeyo dan Bonto Ogena Sukanaeyo. Bonto Ogena oleh Syara Buton di anggap sebagai salah satu bilah pedang dairi rakyat papara. Bonto Ogena adalah Sultan bathin dari papara dan berhak menguasai papara, dan juga dijuluki sebagai “tolowiwi” dari Sapati, maksudnya penahan atau penjaga agar Sapati tidak bertindak sesuka hatinya atau sewenang-wenang atau melanggar adat dan peraturan perundang-undangan. Apabila Sapati melakukan pelanggaran, maka Bonto Ogena diberi hak untuk menantangnya dan bertindak memberi sangsi.
Tanggung Jawab Bonto Ogena
Pasal 9 A
Adapun Bonto Ogena bertanggung jawab atas 9 perkara yaitu :
1. Weti atau pajak yaitu sebagai persembahan dan rakyat berupa hasil tanah atau hasil pertanian dari Papara
2. Bhante ialah hasil tanah atau pertanian dari rakyat papara bhante.
3. Kabutu ialah hasil tanah yang dipersembahkan rakyat papara kabutu.
4. Pomua ialah hasil tanah atau pertanian yang dipersembahkan oleh rakyat.
5. Kahoti masasa ialah Tuak.
6. Kahoti mamasa ialah gula merah.
7. Polanggana kampua artinya pasar dan mata uang dari kerajaan yang terbuat dan kapas yang ditenun disebut uang Kampua.
8. Kalongana papara yaitu bantuan rakyat papara, pada pesta sederhana yang diadakan oleh Sultan ataupun Sapati berupa hasil perkebunan dan bila pesta besar disertai dengan uang.
9. Aba tee posanga artinya tempat bertanya dan minta izin. dimana seluruh wilayah kadie yaitu para bonto dan bobato jika hendak berpergian harus atas sepengetahuan Bonto Ogena. Dan Bonto Ogena berhak meneggur atau mengusir para Bonto dan Bobato yang menetap lama di Pusat Kesultnan dan melalaikan tugasnya
Fungsi Pengawasan Bonto Ogena
Pasal 9 B
1. Bonto Ogena mengawasi secara kewilayanan yaitu dari 72 kadie tersebut wilayah pale matanaeyo dan wilayah pale sukanaeyo.
2. Bonto Ogena juga diberi kewenangan atas Matana Sorumba yang bertugas mengamankan wilayah Kadie. Matana Sorumba adalah bertanggung jawab atas pertahanan keamanan dalam wilyah Kadie
3. Bonto Ogena melakukan pengawasan terhadap Sultan melalui Bontona Gampikaro. Bonto Gampikaro inilah yang akan melaporkan kepada Bonto Ogena, jika Sultan melakukan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan syara. Sehingga Bontona Gampikaro ini memiliki dua fungsi yaitu sebagai pengawas sultan karena bertanggung jawab kepada Bonto Ogena dan fungsi kedua adalah bertugas sebagai ajudan Sultan.
Fungsi Bonto Ogena Sebagai Dewan Pertimbangan
Pasal 9 C
1. Bonto Ogena merupakan tempat para pejabat bertanya jika ada hal-hal yang kurang difahami.
2. Bonto Ogena mempunyai hubungan fungsional dan konsultatif dengan badan Majelis Syara (Sio Limbona) yang merupakan lembaga Majelis Permusyawaratan (Bonto Ogena Sandar menyandar dengan Sio Limbona).
3. Bonto Ogena memiliki beberapa unit staf yang membantu tugas-tugasnya yaitu Bonto Inunca (berjumlah 11 orang), Bonto Lencina Kanjawari yaitu Bonto urusan luar (berjumlah 8 orang) dan Tolambo Talombo adalah pembantu dari Bonto Ogena, yang masing-masing Bonto Ogena diperbantukan 3 orang. Tugasnya adalah menurut apa yang diperintahkan oleh Bonto Ogena terutama di dalam pengumpulan weti (pajak) dari setiap kadie di dalam kesultanan Buton
S I O L I M B O NA
Pasal 10
Kewajiban Sio Limbona Terhadap Masyarakat Umum
1. Menanamkan budi pekerti dan akhlak serta perangai terpuji pada masyarakat umumnya agar setiap manusia insyaf serta faham betul tentang perikemanusiaannya.
2. Sio Limbona bertidak juga sebagai ulama dalam Syara Buton yang menjadi pemimpin dan penasehat bagi rakyat umum.
3. Sio Limbona menjadi pemerhati dan pengawas terhadap masyarakat umum, mengawasi masyarkat kesultanan agar tidak melakukan Itikad atau adab kesopanan yang salah. Itikad/adab kesopanan yang salah tersebut terdiri atas tiga perkara yaitu :[2]
a. Periberpakaian yang berdasar atas kebanggaan (kesombongan).
b. Perilaku/gerak gerik yang berdasar atas kebanggaan (kesombongan).
c. Peri mengeluarkan tutur kata/bahasa yang berdasar atas kebanggaan (kesombongan).
Kedudukan Sio Limbona Sebagai Majelis Syara (Parlemen)
Pasal 10 A
Kedudukan Sio Limbona sebagai Majelis Syara (Parlemen) adalah menetapkan dan dapat memecat pejabat tinggi kesultanan (Sultan, sapati, kenepulu, kapitalao) melalui prosdur adat. Sio limbona dalam melaksanakan fungsi sebagai Majelis Syara juga oleh Bonto Ogena. Adapun kewajiban dasar Sio Limbona dalam Kedudukannya sebagai Majelis Syara adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui hubungannya dengan Sultan adalah sebagai bersaudara yakni Sio Limbona 9 (sembilan) orang, artinya dalam hubungan adat seolah-olah mereka bersaudara sembilan orang dan di tambah satu orang yaitu Sultan sehingga genaplah menjadi 10 (sepuluh) orang dengan Sultan.
2. Mengetahui segala hal ihwal pangka-pangka atau jabatan (pegawai) tinggi atau besar.
3. Mengetahui apa yang di sebut dengan kamhoru-mhoru talupalena atau Bumbuna talu anguna yaitu Kaomu Tanailandu, Kaomu Tapi-Tapi dan Kaomu Kumbewaha.
4. Mengetahui pulanga (hak-hak) kaum walaka dan kaomu, tidak boleh dipertukarkan.
5. Mengetahui segala persoalan atau hal ihwal yang menyebabkan orang-orang pembesar atau pejabat kerajaan melakukan suatu pelanggaran hukum.
6. Mengetahui kesalahan syara (lembaga adat) baik kecil maupun besar.
7. Mengetahui matalapu (pelanggaran kesopanan dan ketertiban).
8. Mengetahui segala ketentuan syara yaitu bentuk perundang-undangan baik lahiriyah (syariatnya) maupun bathiniyah (hakekatnya), dan menjadi suri teladan bagi masyarakat pada umumnya.
9. Sio Limbona berhak menegur dan memberikan nasehat kepada siapaun, apabila terlihat mempermainkan atau melanggar adat atau aturan perundang-undangan mengenai adat kesopanan baik golongan kaomu maupun walaka.
10. Sio Limbona bertindak juga sebagai ulama syara (ulama tis atun sarana wolio) dalam syara Buton dan menjadi pimpinan dalam adat istiadat Buton.
11. Wajib memahami atau mengetahui dasar-dasar pokok syara yang empat perkara (pomae-maeka, poamaa-masiaka, poangka-angkata dan popia-piara). Serta mengetahui segala sesuatu yang membinasakan keempat perkara sebagaimana yang terdapat pada ketentuan pasal I Konstitusi Murtabat Tujuh.
12. Mengetahui segala ajal atau bentuk pengangkatan dan pemecatan pegawai kerajaan.
13. Wajib mengetahui dasar-dasar peradilan dalam kadie yaitu perkara yang diputuskan di Galampa (rumah tunggu) bagi bonto dan bobato.
14. harus mengetahui isi dan maksud dari syara waluanguna yang menjadi kewajiban Sapati
15. harus mengetahui kewajiban Bonto Ogena yang 9 (sembilan) perkara, serta isi kabbintingia. Tidak boleh dipertukarkan kepentingan Syara terhadap Sultan, Sapati dan Kenepulu, sebab kalau dipertukarkan maka akan menjadi ajal bagi kelepasan atau pemecatan Bonto Ogena.
16. Wajib mengetahui segala kepentingan galampa-galampa (pendopo/ruang tunggu) dari Syara Hukumu, yaitu galampa bidang keagamaan, galampa sahabandara (penguasa pelabuhan) dan mengetahui segala pembicaraan yang berhubungan dean Sultan, Sapati, Kenepulu dan Bonto Ogena.
17. harus mengetahui bahwa Bonto Ogena adalah tempat persandaran yang teguh, demikian pula sebaliknya dengan Bonto Ogena saling bahu membahu dalam menjalankan peraturan perundang-undangan Syara Buton.
18. khusus tugas dan kewajiban bonto peropa dan bonto baluwu, sebagai salah satu unsur sio limbona, adalah mengetahui tuturaka ialah peraturan-peraturan terhadap Sultan, mengetahui isi yang Syara 12 perkara yang diperuntukan kepada Sultan, tentang banyak, isi dan rahasia yang terkandung didalamnya.
Hubungan Tata Kerja antara Sio Limbona dengan Bonto Ogena
Pasal 10 B
1. Sio Limbona juga berlaku sebagai tunggu-unggu dari kadie yang di kepalainya. Menteri Peropa dan menteri Baluwu disebut juga dalam adat manggedaina laki Wolio, karena hubungannya yang erat sekali dengan Sultan.
2. Sio Limbona harus mengetahui bahwa Bonto Ogena itulah tempat popasandaki (‘saling menopang) terhadap peraturan-peraturan syara Buton: “aporomu yinda posaangu apogaa yindaa kolola” artinya bersatu tiada terpatri, bercerai tiada berantara/berjarak.Maksudnya, jika sekiranya Bonto Ogena bertindak sesuai dengan ketentuan Syara (peraturan perundang-undangan) maka itulah yang menjadikan teguhnya persatuan dan kesatuan dengan Sio Limbona. Namun, jika sekiranya Bonto Ogena bertindak tidak sesuai dengan ketentuan syara, maka itulah yang menyebabkan perceraian diantara mereka. Begitupula sekiranya Sio Limbona bertindak tidak sesuai dengan adat dan syara mengakibatkan kejatuhan Sio Limbona. Dan bilamana berjalan sesuai aturan perundang-undangan maka itulah yang menjadikan hubungan mereka kekal.
3. Semua ketetapan yang telah diambil oleh Bonto Ogena yang telah disampaikan kepada Sapati. Sio Limbona wajib menelitinya apakah sesuai dengan ketentuan syara (peraturan perundang-undangan) atau tidak. Bilamana keputusan yang telah diambil oleh Bonto Ogena itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka Sio Limbona wajib menyampaikan kepada Sapati, agar Sapati menegur Bonto Ogena.
4. Syara tidak boleh menghadapi suatu perkara sendiri tetapi harus dimusyawarahkan bersama. Seperti perahu tidak boleh berlayar sebilah atau sepenggal papan saja, perahu itu berlayar harus utuh. Sekalian keputusan perkara diceritakan oleh Bonto Ogena pada Sapauh dalam hal ini Sio Limhona memperhatikan apakah sesuai dengan syara atau tidak. Kalau sekiranya tidak sesuai, Sio Limbona mengunjungi Sapati agar Bonto Ogena dipersalahkan.
5. Sio Limbona juga diwajibkan mengawasi kewajiban Bontona Dete dan bomona Katapai mengenai alat-alat kebesyaran Sultan yang diserahkan oleh Bontona Baluwu dan Bontona Peropa yang menjadi kewajiban Bontona Dete dan Boniona Katapi, berkurang atau berlebih, itulah yang ditegur oleh Sio Limbona. Jika sekiranya berkurang atau lebih pakaian Sultan, Bontona Dete dan Katapilah yang dipersalahkan.
6. Sultan diibaratkan sebagai anak kecil duduk dihadapan Bonbona Dete dan Katapi serta Bontona Gampikaro sebab itu Sultan dalam perkara, diberikan baru menerima, disuap baru membuka mulut. Umpama diberikan nyala api Sultan tidak hangus, yang hangus adalah yang memberi, walaupun disuap pakai racun Sultan tidak mati tetapi yang mati adalah yang menyuapinya artinya bilamana penerangan Bontona Dete dan Katapi atau Boruo Gainpikaro terhadap Sultan tidak sesuai dengan adat maka merekalah yang menanggung kesalahannya.
7. Sio limbona berhak mengawasi kewajiban Bontona Dete dan Katapi seperti dalam hal popene artinya membawa keberatan ke kamali. Sekiranya seorang maradika yang popene atau popenenya budak banyak orang atau budak pangkat atau budak Sio Limbona diselidikinya mana yang layak dibuka dilanjutkan atau yang tidak dilanjutkan. Orang-orang popene lebih dahulu membawa keberatannya pada Bonto Ogena. Bonto Ogena menimbang jika sekiranya keberatannya itu sudah cukup syarat-syaratnya untuk dilanjutkan maka popene itu disuruh menghadap ke kamali. Akan tetapi kalau belum cukup keterangan, Bonto Ogena serta si popene bersama-sama datang ke kantor Sapati, lalu memanggil Sio Limbona untuk memberi nasehat.
8. Kaitan kewajiban Bonto Ogena dengan Sapati yaitu sesudah perkara diselidiki dengan seksama oleh Bonto Ogena lalu diajukan kepada Sapati untuk di sahkan. Bila suatu keputusan bertentangan dengan undang-undang atau syara Buton yang menanggung kesalahannya bukan Sultan melainkan Bonto Ogena karena jikalau Bonto Ogena memberikan nyala api atau disuap dengan racun, Bonto Ogenalah semata-mata yang menanggung bahayanya.
BAB IV
HIERARKI HUKUM DALAM PERMUSYAWARATAN SYARA OGENA
Dasar kewajiban syara dalam permusyawaratan
Pasal 11
Pokok adat yang menjadi dasar hukum dalam Syara Ogena atau Syara Wolio tersebut di sebut dengan “Bambana Tana” artinya pintu tanah. Dasar kewajiban Syara tersebut juga merupakan dasar hukum dalam melakukan suatu permusyawaratan atau pertimbangan hukum yang terdiri atas atas empat dasar hierarki yaitu Syara (undang-undang), Tuturaka (Peraturan), Bitara (Keputusan) dan Gau (Politik). Adapun Uraian keempat dasar hukum tersebut yaitu :
1. Syara (Undang-Undang)
Syara (undang-undang) adalah segala keputusan atas dasar permusyawaratan yang bulat dari Syara. Keputusan tersebut berasal dari hak inisiatif Sultan dengan tujuan untuk mengeluarkan suatu keputusan demi kepentingan umum atau rakyat banyak. Hak usul inisiatif sultan tersebut dilegitimasi melalui tiga proses penegasan yaitu :
a. Basarapu artinya fundasi yang kuat atau menanam tiang kekuatan agar tidak goyah sehingga permufakatan tidak berubah. Basarapu pada dasarnya adalah bentuk undang-undang yang dikeluarkan oleh Sri Sultan yang bertujuan menuju kebaikan rakyat di dalam dan di luar negara. Sultan mempunyai hak untuk meletakkan dasar kebijakaksanaannya agar tidak berubah-rubah.
b. Salambi artinya simpul ikatan dengan maksud bahwa suatu permufakatan antara rakyat ataupun lembaga-lembaga adat telah mendapatkan persetujuan dari Sultan. Hasil permufakatan tersebut kemudian di simpul dalam ikatan yang satu oleh Sultan dengan tujuan adanya legalitas yang kuat atas hasil permufakatan bersama tersebut.
c. Untuk mempertahankan basarapu dan kasalambi tersebut maka dibuatlah Dolango yang artinya penahan yang teguh dan kokoh untuk melindungi dan mempertahan hasil-hasil keputusan atau permufakatan atau undang-undang tersebut agar selalu dipertahankan dan barang siapa yang merubahnya makan akan menjadi hancur binasa.
2. Tuturaka (Peraturan)
Tuturaka (peraturan) yaitu, perhiasan atau kelengkapan syara artinya, suatu tanda atau atribut yang menunjukkan seseorang itu adalah pegawai atau pejabat negara. Dengan demikian rakyat dapat mengetahui kedudukan dan dasar kewenangan para pagawai dan pembesar kesultanan melalui cara berpakaian dan kelngkapan/perhiasannya sehingga tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tinggi rendahnya kedudukan atau dasar kewenangannya. Tuturaka ini bertujuan agar pejabat negara tersebut tidak berperilaku menyimpang dan berkata-kata yang tidak sesuai dengan derajat kedudukannya.
3. Bitara (Keputusan/Pengadilan)
Bitara (keputusan atau pengadilan). Maksudnya, dalam mengambil keputusan aau menyelesaikan suatu perkara atau perselisihan diwajibkan bertindak dan bersikap adil, artinya ketika ada persengketaan atau perkara kenegaraan maka harus senantiasa diselesaikan secara adil, dengan tidak pandang bulu, sekalipun orang besar maupun orang kecil, lebih-lebih karena adanya hubungan persaudaraan dan lain sebagainya. Fungsi ini bertujuan agar terjadi supremasi hukum.
4. Gau (Politik)
Gau (politik), asal permulaan segala peraturan negeri berasal dan permufakatan terdahulu yang dikutip dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi. Dengan demikian Gau adalah proses politik yang mengutamakan kepentingan negara yang berasal dari permufakatan terdahulu (yurisprudensi) yang dapat diambil hikmahnya oleh pembesar negeri menuju kebaikan negeri yang tentunya berdasarkan Al-Qur’an dan hadits nabi.
BAB V
PROSEDUR PERSIDANGAN SYARA
Persiapan Persidagan dan Musyawarah Majelis Syara
Pasal 12
Persiapan Persidagan dan Musyawarah Majelis Syara yaitu :
1. Apabila Bonto Gampikaro telah mendapat instruksi musyawarah dan Sultan bersama anggota syara, gampikaro menugaskan mokimina pangana untuk menyiapkan keseluruhan perlengkapan seperti rokok minuman dan penganan. Setelah siap dilanjutkan dengan popaliki (mengundang) seluruh syara kerajaan. Popaliki senantiasa dijalankan mulai dan pejabat yang terendah sampai pada pejabat yang tertinggi. Demikian pula dengan kehadiran para undangan, pejabat terendah lebih awal kehadirannya lalu disusul oleh kehadiran para pejabat tinggi hingga Sapati. Ruangan musyawarah dipasangi kelambu dan langit-langit oleh gampikaro, demikian pula tempat duduk dan Sultan beserta kelengkapannya menjadi kewajiban belobaruga. Apabila permadani telah dibuka (atobakemo), menteri gampikaro memerintahkan belobaruga agar tidak meninggalkan ruangan musyawarah.
2. Apabila undangan keseluruhan telah hadir, salah seorang belobaruga menghadap Sultan atas perintah Bonto Gampikaro untuk menyampaikan bahwa syara sudah berkumpul dan siap mengikuti musyawarah.
Tata Tertib Musyawarah
Pasal 12 A
Tata Tertib pelaksanaan persidangan atau musyawarah yaitu :
1. Tempat musyawarah disebut baruga atau galampa syara
2. Sebelum pertemuan secara resmi, terlebih dahulu diadakan pertemuan awal yang bertujuan untuk memudahkan dan mendapatkan bayangan keputusan yang akan diambil dan tidak memakan waktu lama
3. Dalam musyawarah pertimbangan-pertimbangan senantiasa dimulai dari bawah, dan pejabat terendah sampai berturut-turut ke atas sampai pada akhimya keputusan yang keluar dari Sultan. Keputusan ini disebut kambotu
4. Anggota Sio Limbona, dalam berbicara selalu menggunakan perkataan “katauku” apabila memberikan suatu keterangan atau penjelasan mengenai adat istiadat sepanjang apa yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain keterangan Sio Limbona itu sudah mutlak benar sesuai dengan adat. Sebaliknya bagi pejabat lain untuk mengeluarkan pendapat menggunakan perkatan ‘salah katauku” yang artinya kalau tidak salah/menurut hemat saya. Maksudnya dalam memberikan keterangan belum pasti benar menurut adat.
Tata Tertib Tempat Duduk
Pasal 12 B
Tempat duduk orang-orang besar kerajaan yang disebut pangka tidak berubah-rubah, demikian pula tempat duduk dan para Bonto. Lain halnya dengan posisi tempat duduk para Bobato posisi duduk tergantung pada tingkat umur, yang tertua duduk bagian atas. Suatu pengecualian bagi Bobato yang disebut bobato baana meja yaitu lakina Kamaru dan lakina Batauga.
BAB VI
STRUKTUR PEMERINTAHAN SARA KIDINA/AGAMA
Syara Kidina atau Syara Agama adalah struktur tata laksana keagamaan atau lembaga yang mengurus masalah keagamaan, sehingga kedudukannya merangkap sebagai aparat Mesjid Keraton Buton, struktur syara kidina ini juga di ambil dari tamsil murtabat tujuh. Kedudukan syara kidina adalah bersifat otonom sebab di beri kuasa dan petunjuk dari Kesultanan dengan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa keagamaan, dengan lembaga peradilan yang disebut Syarana Agama. Adapun struktur Sara kidina adalah sebagai berikut :
1. Lakina Agama berasal dari golongan Kaumu.
2. Imamu berasal dari golongan Kaumu
3. Khatibi berasal dari golongan Walaka.
4. Moji, berasal dari golongan Walaka
5. Bisa Patamiana dari golongan Walaka dan jabatannya turun temurun.
6. Tunguna Aba, berasal dari Walaka
7. Mokimu berasal dari Walaka.
Tugas Dan Kewajiban Syara Kidina
Pasal 13
Syara Kidina/syara agama karena mengurus masalah keagamaan, syara kidina dalam penguraiannya bersifat otonom. Sara kidina atau sara agama ini merupakan struktur tata laksana keagamaan, yang anggotanya adalah sekaligus merangkap sebagai syara mesjid Agung Keraton. Sara Kidina juga berfungsi sebagai lembaga peradilan, menagani kasus nikah, talak, dan rujuk dan petunjuk Syara Kesultanan. Adapun kedudukan dan tugas dari pada pejabat syara kididna adalah:
1. Lakina Agama adalah sebagai pemimpin umum keagamaan. Lakina Agama mengepalai seluruh aparat keagamaan dalam kesultanan. Bertugas memberikan penerangan/bimbingan agama, nasehat keagamaan kepada Sultan. Lakina memiliki fungsi koordinasi atau penghubung syara wolio (sultan) dengan aparat pejabat syara kidina.
2. Imam, bertugas memimpin ibadah dalam mesjid keraton dan sebagai pemimpin keagamaan dalam suatu kadie. Imam di pilih berdasarkan ke dalam pengetahuannya di bidang agama. Menagani perkara nikah, talak-rujuk, dan lainnya. Imam diteladankan sebagai sultan bhatin masyarakat Buton. Imam merupakan kepala pemerintahan dalam menjalankan agama Islam. Imam tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin sholat dalam mesjid keraton melainkan bertindak sebagai penghulu dalam masyarakat.
3. Khatib, berjumlah 4 orang. Khatib bertugas menggantikan Imam bila imam berhalangan. Khaib juga bertugas sebagai juru penerang/khotbah dan menjadi juru dakwah Sultan bagi seluruh masyarakat Buton.
4. Moji (Bilal) berjumlah 10 orang, pendamping khatib. Bertugas di mesjid setiap waktu dan pada upacara-upacara keagamaan dan guru dalam pendidikan agama.
5. Bisa Patamiana disebut juga ahli kebatinan/dukun kesultanan. Bisa ini berjumlah empat orang yaitu Mojina Silea, Mojina Peropa, Mojina Kalau, dan Mojina Waberongalu. Jabatan mereka tidak diubah-ubah yang merupakan jabatan seumur hidup, dimana pengangkatannya melalui turun temurun. Adapun tugas mereka menjaga dan mengawas musuh kesultanan yang datanya dari luar maupun dari dalam kesultanan melalui ilmu kebtinan yang mereka miliki. Mencegah terjadinya wabah penyakit dan hal-hal lain yang dapat menjatuhkan negeri dari malapetaka atau kehancuran.
6. Tungguna Aba berfungsi sebagai pengawas dan penasehat imam, dalam hal sah atu batal, bertindak sebagai hakim dan penuntut untuk melakukan pemberhentian dan pergantian dari semua aparat mesjid. Ada juga yang disebut dengan Tungguna Toba bertugas sebagai bendahara syara kidina dan Tungguna Bula bertugas sebagai pengawas dan peredaran bulan.
7. Mokimu, berjumlah 40 orang, sebagai pendamping khatib dan moji yang bertugas dalam menjid dan upacara-upacara keagamaan dan kesultanan. Mokimu dipimpin oleh yang bertugas sebagai, asisten atau staf dalam syarana agama. Mokimu juga bertugas sebagai pelaksana hukum dera atau rajam kepada orang yang berbuat zina menurut ketentuan adat istiadat Buton.
BAB VII
LEMBAGA PERADILAN
Dalam kesultanan Buton terbagi atas dua lembaga peradilan yaitu mahkamah syara wolio dan mahkamah syara kidina/agama. Personil peradilan syara wolio adalah sultan, sapati, kenepulu, bonto ogena, sabandara, sio limbona. Fungsi peradian syarana wolio ini secara umum dipegang oleh Sapati dan Kenepulu. Dalam wilayah kadie dipimpin oleh bonto, bobato dan parabela. Sedangan personil peradilan syara kidina/agama yaitu sultan, lakina agama, imam keraton, khatib, moji dan mokimu.[3]
Peradilan Syarana Wolio/Adat
Pasal 14
Peradilan Syarana Wolio[4] disebut juga peradilan adat yang bersifat umum yaitu menagani masalah pidana dan perdata. Namun secara umum menangani atau khusus mengadili masalah-masalah tata usaha negara dan peradilan aparatur negara dalam pemerintahan pusat. Hakim dan peradilan syrana hukumu ini bersifa ad hoc, dimana hakimnya ditentukan melalui rapat kesepakatan Majelis. Para hakim dalam syarana hukumu tersebut adalah hakim yang dibentuk melalui para pakar hukum kesultanan yang dalam proses peradilan hakim-hakim yang terpilih tersebut bersifat Juri (hakim yang di pilih berdasarkan keahliannya atau dari pakar hukum yang mengetahui dasar-dasar hukum yang diperkarakan).
Peradilan Syara Kidina/Hukumu (Peradilan Agama)
Pasal 14 A
Peradilan Syara Kidina disebut juga syarana hukumu adalah Badan peradilan Agama yang khusus mengadili masalah-masalah thalak, rujuk, fasakh, dan pembagian warisan. Sebagai pedoman penyelesaian perkara-perkara tersebut maka ada buku pedoman yang disebut makhaani atau kitabhi nikaha. Secara keseluruhan dasar hukum yang digunakan adalah berdasarkan hukum Islam.
Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara
Pasal 14 B
1. Tahap perdamaian. Juru damai bertugas mendamaikan terlebih dulu kasus-kasus yang dipersengketan, sebelum diajukan dihadapan peradilan. Tahap perdamaian dilakukan pada kasus-kasus keperdataan, seperti, pembagian harta warisan dan segala sengketa atau perselisihan yang bersifat perdata. Tahap perdamaiaan atau juru damai dilakukan oleh para aparat kesultanan diantaranya yaitu Wati, Parabela, Bonto dan Bobato. Keempat juru damai tersebut mempunyai batas-batas tugas atau kewenangan yang diatur dalam adat istiadatul azali.
2. Tahap pemeriksaan, tahap pemeriksaan pada kasus pidana dan perdata yang ditangani oleh peradilan syarana wolio atau peradilan adat dilakukan oleh Sapati atau kenepulu, Bonto Ogena dan Sio Limbona. Sedangkan pada peradilan syarana kidina atau syarana hukumu, dilakukan oleh Lakina agama, imam, khatib ataupun moji.
3. Tahap peradilan pertama, putusan perkara dapat dilakukan oleh :
a. Tahap peradilan tingkat pertama, diputuskan oleh Sapati, dan dapat digantikan oleh kenepulu, jika sapati berhalangan atau tidak hadir. Namun secara kolektif yang menjalankan fungsi peradilan yaitu sapati, kenepulu, bonto ogena dan sio limbona dalam kasus pidana atau perdata. Sapati berfungsi ketua badan peradilan. Kenepulu berfungsi memimpin jalannya pemeriksaan. Sio Limbona berfungsi untuk mengawasi sultan, sapati atau kenepulu agar tetap berada pada rel keadilan, juga selaku advitsor (penasehat) baik pada sapati (tahap putusan pertama) dan sultan (tahap banding). Bonto Ogena berfungsi sebagai dewan pertimbangan hukum untuk menilai dan memproses apakah perkara yang akan diajukan dihadapan sapati atau sultan sudah mencukupi alasan dan dasar hukum nya, dan bersama sio limbona memberikan nasehat kepada penggugat atau tergugat.
b. Pada peradilan hukumu, putusan perkara dapat dilakukan oleh Lakina agama, imam, khatib, sesuai dengan perkara-perkara yang menjadi hak kemenangannya, sehingga masing-masing person dapat menyelsainkan perkara pada tingkat pertama.
4. Tahap Banding (peradilan tingkat tinggi), apabila perkara-perkara, baik itu dalam peradilan adat maupun peradilan hukumu tidak dapat diselesaikan atau para terdakwa merasa belum mendapatkan keadilan maka dapat melakukan upaya hukum banding yang langsung diserahkan kepada Sultan.
Sumber Hukum Dalam Penyelesaian Perkara
Pasal 14 C
1. Sumber hukum tertulis yaitu; Faraid, Mahafani, Murtabat tujuh, dan Istiadatul azali.
2. Sumber hukum tidak tertulis yaitu; hukum islam secara umum (Al-Quran dan Hadist), hukum adat (hasil-hasil putusan adat terdahulu/yurispdensi maupun konvensi ketatanegaraan dan Ijtihad atau kebijaksanaan yang dilakukan Sultan.
BAB VIII
PEMENCARAN KEKUASAAN
Pemencaran kekuasaan dalam wilayah kesultanan Buton di bagi atas tiga wilayah kekuasaan yaitu wilayah pemerintahan pusat (Wolio), wilayah pemerintahan daerah (Kadie) dan wilayah pemerintahan daerah otonom/federasi (Barata). Pemencaran kekuasaan atas tiga wilayah kekuasaan tersebut diatur oleh undang-undang khusus yang disebut dengan Syarana Wolio, Syarana Kadie dan Syarana Barata.
Ada tiga wilayah otonom yang tidak masuk dalam Kadie maupun Barata yaitu wilayah Kobaena, merupakan wilayah otonom yang langsung dibawah otoritas pemerintah pusat dibawah koordinasi Sapati. Kemudian wilayah Mornene dan Polean, merupakan wilayah protektorat yang merdekan dan sebagai jiran Sultan Buton. Pemerintahan kesultanan hanya mendudukan seorang gubernur dimasing-masing daerah guna mengkoordinasikan urusan pertahanan dan keamanan negara, yaitu sombamarusu untuk mornene dan bonto wandailolo untuk poleang.
Pemerintah Pusat (Wolio)
Pasal 15
Pemerintahan pusat (Wolio) Pembagian kekuasannya telah diatur dengan undang-undang Wolio atau yang disebut dengan Syarana Wolio. Dalam undang-undang/syarana Wolio, pada dasarnya mengatur wilayah inti atau pemerintahan pusat. Pusat pemerintahan wolio terdapat dalam benteng keraton Buton yaitu Wolio. Wolio adalah pusat administrasi dan birokrasi pemerintahan kesultanan. Sarana Wolio ini sesungguhya adalah yang mengatur pola hubungan tata kerja atau hubungan antar lembaga negara yaitu Sultan, Sapati, Kenepulu dan Kapitalo (sebagai lembaga eksekutif dan legislatif), Majeis/Lembaga Syara yaitu Sio Limbona dan Bonto Ogena, dan Sarana Kidina (lembaga peradilan dalam keagamaan).
Pemerintah Dearah Kadie
Pasal 16
Kadie merupakan daerah setingkat propinsi, pemerintah wilayah kadie masuk kedalam satu kesatuan wilayah dengan pemerintahan wolio. Namun demikian pemerintahan Kadie, juga diatur khusus melalui undang-undang yang di sebut dengan Syarana Kadie. Undang Undang Syarana Kadie ini bertujuan untuk mengatur wilayah kadie atau kampung-kampung yang berada di di luar wilayah keraton Buton yang berjumlah 72 kadie. Adapun struktur pemerintah/syara Kadie yaitu Bonto (walaka), Bobato (kaomu), parabela, panggalasa, wati, kaosa, akanamia, tunggu, dan parabela ogena.
Tugas dan Kewajiban Syara/Pemerintah Kadie
Pasal 16 A
Adapun tugas dan kewajiban syara/pemerintah kadie tersebut adalah :
1. Syara kadie atau syara kampung bekerja menurut ketentuan khusus, sepanjang tidak bertentangan dan keluar dari ketentuan syara kadienya.
2. Kadie berkewajiban melaksanakan perintah yang distribusikan oleh Syara Kesultanan (wolio).
3. Kadie melaksanakan perintah syara kesultanan melalui Tunggu-Tunggu yaitu bobato (lalaki), bonto (walaka). Namun tunggu-tunggu tidak dapat langsung mencampuri urusan pemerintahan Kadie, jika syara kadie masih dapat menyelesaikannya.
4. Syara Kadie di beri wewenang untuk menyelesaikan perkara yang terjadi dalam kadienya, yang ancaman hukumnya tidak melebihi hukuman 3 (tiga) boga
5. Kemudian setiap kadie berkewajiban memelihara suatu hutan tertentu yang dinamakan Kaumbu. Untuk menjamin kebutuhan kayu ramuan rumah atau bangunan yang diminta oleh syara kesultanan untuk kebutuhan daripada kadie itu sendiri.
6. Menghindari persilihan antar Kadie, dan apabila terjadi perselisihan maka masi-masing syara kadie yang berselisih mengadakan pertemuan yang masing-masing didampingi oleh Tungu-Tungunya guna mendapatkan suatu persesuaian dan penyelesaian.
Pemerintah Daerah Barata
Pasal 17
Pemerintahan Barata (otonom) diatur pula secara tersendiri yang disebut dengan Syarana Barata. Barata diberi hak otonom yang luas sehingga barata dapat mengatur rumah tangganya sendiri dengan membentuk peraturan-peraturan pemerintahannya, selama itu tidak bertentangan dengan syara kesultanan Buton. Adapun wilayah barata itu terdiri atas empat wilayah yakni barata muna, kulisusu, tiworo dan kaledupa. Dalam struktur pemerintahan Barata, terlihat pula jabatan-jabatan adat yang nama atau gelarnya seperti dalam Syara Wolio (pemerintahan Pusat Ksultanan), namun susunan jabatan tersebut tidak lengkap seperti dalam Syara Wolio. Keculi di gabunan semuanya dari ke empat Barata tersebut maka lengkaplah jabatan-jabatannya seperti pada Syara Wolio. Pemerintahan tingkat Barata dikepalai oleh seorang Lakina (raja) yang dianggap setingkat dengan kedudukan sultan di tingkat pemerintahan pusat di Wolio, namun Lakina Barata tidak memiliki hak kelengkapan yang disebut Somba (di sembah) seperti halnya Lakina Wolio (Sultan Buton).
Kewajiban Utama dari Barata
Pasal 17 A
Kewajiban Utama dari Barata adalah:
1. Menjaga Musuh Kerajaan, dimana Barata selalu siap sedia dengan segala kelengkapan persenjataan baik di darat maupun di laut.
2. Apabila Barata mendapat serangan maka tiap Barata lebih dulu berusaha menangkisnya dan apabla tidak mapu melawannya baru dapat meminta bantuan kepada syara Buton. karena itu Barata dinamakan “abaluara” artinya penjaga. Yang terdiri atas Wuna, Tiworo, Kolancusu dan Kaledupa.
3. Apabila ada orang Kumpeni, Bone dan Ternate yang kebetulan hanyut atau pecah perahunya di wilayah Barata, maka sedapat-dapatnya memberikan pertolongan. Kemudian segera di antar ke Syara Kesultanan. Barang-barangnya wajib dilindungi.
4. Apabila ada pelarian dari luar daerah asal bangsawan, maka harus segera diserahkan kepada Sultan Buton.
5. Barata tidak berhak menghukum ketiga golongan kamboru-mboru talupalena (tanailandu, tapi-tapi dan kumbewaha), serta anak dari kaum Walak khususnya anak Sio Limbona, kecuali atas izin Peropa dan Baluwu.
6. Apabila ada hamba dagang yang melarikan diri di wilayah Barata, pihak Barata secepatnya memberitahukan kepada sultan.
7. Pihak Barata tidak diperkenankan menghukum orang Kumpeni, Bone atau Ternate termasuk sesama orang yang berkulit putih seperti orang Inggris, Portugis dan Perancis. Kecuali melaporkannya kepada Syara Kerajaan Buton.
8. Pihak pemerintah Barata yang melakukan kunjungan kerja ke negeri Belanda, Bone dan Ternate harus menggunakan surat kuasa sultan yang bercap dari kesultanan Buton.
9. Apabila ada utusan pemerintah Wolio yang mengadakan kunjungan ke Barata, pihak pemerintah Barata, perlu memperhatikan dan menyiapkan tempat penginapan. Apabila utusan itu membuat kesalahan di Barata, pihak pemerintah Barata tidak dibenarkan langsung menghukumnya kecuali lebih dahulu menyampaikannya kepada pihak pemerintah Wolio perihal kesalahan orang yang diutus itu.
10. Apabila pihak Barata mendengar ada musuh yang hendak menyerang Wolio, pihak Barata segera menyampaikan kepada pemerintah Wolio perihal itu.
11. Apabila Kapitalao berkunjung ke setiap Barata perihal penyerbuan musuh atau tugas lainnya, kapitalaolah yang memegang kekuasaan untuk memutuskan semua pembicaraan di dalam wilayah setiap Barata yang dikunjungi, akan tetapi dia tidak dibenarkan melangkahi kekuasan raja di Barata. Demikian pula dengan kunjungan pejabat sapati di Barata.
12. Apabila ada musuh Wolio di Barata, tidak dibenarkan kapitalao langsung menghadapinya, harus lebih dahulu dihadapi oleh lakina Barata.
13. Lakina Barata harus bersedia memperbaiki dan membimbing rakyatnya demi kemajuadan kemakmuran dan diberi kewenangan untuk melaksanakan hukuman bagi rakyatnya yang melakukan kesalahan.
14. Barata harus memperhatikan hal-hal sebagai beriku; pertama, Barata tidak dibenarkan melawan Syara Kesultanan (Peropa dan Baluwu). Kedua, tidak dibenarkan antar Barata saling beselisi dan merampas kemerdekaan satu sama lain. Ketiga, Bila terjadi pertikaian antar barata, maka wajip melapor kepada syara kesultanan untuk diselesaikan dan penyelesaian syara kesultanan bersifat mengikat.
15. Barata berkewajiban mengadakan patroli pantai dalam kesultanan Buton dan bila perbekalan habis wajib melapor ke syara Buton funa mendapat bantuan, tetapi bila bertemu perahu asing maka tidak dapat mengadakan hubungan tanpa seizin syara kesultanan Buton. Dengan kewajiban Patroli Ini maka Lakina Barata di gelari Kapita Raja Paatamiana artinya Kapitaraja yang empat.
16. Semua pedagang asing tidak dapat dimintai “lowo” atau suatu pembayaran (bea oelh lakina Barata maupun pembesar Barata lainnya, kecuali telah disetujui oleh Sultan Buton.
17. Apabila ada masalah besar dari Barata yang perlu disampaikan pada Sultan, maka disampaikan melalui Bonto Gampikaro dan tidak boleh melalui perantaraan yang lain.
18. Keberanian Lakina Barata mencari musuh pemerintah Wolio, sehingga ia disebut kapitalao yang empat orang (abaluara abarata) karena itu pula ia dapat memakai dayalo tombi pagi.
19. Orang-orang Belanda berkunjung di Barata, sedapat-dapatnya pemerintah Barata memberikan perlindungan.
20. Ketentuan Jawana Wuna adalah satu orang hamba dan apabila diuangkan senilai 40 real setiap tahun, jawana Tiworo melalui pemerintah sama dengan jawana Kolencusu yaitu 45 Boka, dana apabila dijadikan orang adalah seorang budak dan 24 lembar kain lankobida, sedangkan jawana Kaledupa 80 real, yang apabila dijadikan orang adalah 2 orang budak. dan ini adalah penghasilan Sultan.
BAB VIIII
PERTAHANAN DAN KEAMANAN KESULTANAN
Sistim pertahanan kesultanan Buton, memakai sistem pertahanan empat penjuru berlapis. Pertahanan utama, dipegang oleh Pata Limbona (empat kampung cikal bakal terbentuknya kerajaan Buton yaitu Barangkatopa, Gundu-Gundu, Peropa dan Baluwu). Pertahanan kedua, adalah benteng pertahanan yaitu benteng keraton Buton yang terdiri atas 12 pintu yang ditambah 1 pintu rahasia dan sebanyak 21 benteng-benteng kecil ditambah dengan pertahanan Bhatin kesultanan yang dipegang oleh Bisa Patamiana atau mojina, dan khusus sultan diperlengkapi dengan Tamburu Limanguna yang bertugas mempertahankan benteng keraton dan menjaga Sultan. Pertahanan lapis ketiga dipegang oleh pemerintahan wilayah kadie yang disebut dengan Matana Sorumba (empat daerah mata jarum) dan pertahan lapis keempat dipegang oleh pemerintahan Barata yaitu yang disebut barata pata palena (Muna, Tiworo, Kolencusu dan Kahedupa).
Pertahanan dan Keamanan Wilayah Wolio (Pemerintah Pusat)
Pasal 18
1. Pasukan Kehormatan Sultan yang disebut Tamburu Limanguna. Pasukan merupakan pengawal dan pasukan kehormatan Sultan, terdiri atas lima kelompok yaiu Peropa, Baluwu, Gundu-Gundu, Barangkatopa dan Mawasangka. Setiap kelompok memiliki anggota yaitu :
a. Seorang Lotunani (letnan)
b. Seorang Alifarisi (letnan muda)
c. Empat orang yang bergelar Syaraginti (sersan) dan
d. Seorang yang bergelar Tamburu.
Jumlah seluruh Anggota adalah 7 (tujuh) sehingga kelima kelompok tersebut berjumlah 35 orang.
2. Kompayia Isyara adalah Pasukan inti Kesultanan yang terdiri atas 2 kelompok, yang setiap kelompok terdiri atas 7 orang anggota. Susuanan keanggotaannya sama dengan Tamburu Limanguna. Jumlah anggotanga adalah 14 orang. Kompanyia Isyara ini di bawah pengawasan Sapati atau bertanggung jawab kepada Sapati.
3. Kompanyia Patanguna adalah pasukan inti atau pasukan siap tempur dan dapat di gunakan ketika kesultanan dalam keadaan bahaya. Susunan keanggotaanya sama dengan Tamburu Limanguna. Jumlah keanggotaanya adalah 28 orang. Kompayia Patanguana ini berada dalam pengawasan Kapitalao. Tamburu Limanguna dan Tamburu Isyara dan Kompanyia Patanguan tersebut merupakan pasukan inti, secara keseluruhan jumlahnya adalah 77 orang. Kompanyia Isyara ini di bawah pengawasan Kapitalao.
Pertahanan Dalam Wilayah Kadie
Pasal 18 A
Matana Sorumba adalah empat daerah yang termasuk dalam wilayah Kadie. Keempat daerah Kadie (Matana Sorumba) tersebut memiliki tugas khusus yaitu sebagai wilayah pertahanan Kesultanan yang terdiri atas empat daerah mata jarum yaitu ;
1. Watumotobe (menjaga musuh dari timur)
2. Mawasangka (menjaga musuh dari Barat)
3. Wabula (menjaga musuh dari selatan) dan
4. Lapandewa (bertugas menjaga musuh dari utara)
Pertahanan Dalam Wilayah Barata
Pasal 18 B
1. Menjaga Musuh Kerajaan, dimana Barata selalu siap sedia dengan segala kelengkapan persenjataan baik di darat maupun di laut.
2. Apabila pihak Barata mendengar ada musuh yang hendak menyerang Wolio, pihak Barata segera menyampaikan kepada pemerintah Wolio perihal berita itu.
3. Apabila Kapitalao berkunjung ke setiap Barata perihal penyerbuan musuh atau tugas lainnya, kapitalaolah yang memegang kekuasaan untuk memutuskan semua pembicaraan di dalam wilayah setiap Barata yang dikunjungi, akan tetapi dia tidak dibenarkan melangkahi kekuasan raja di Barata. Demikian pula dengan kunjungan pejabat sapati di Barata.
4. Barata berkewajiban mengadakan patroli pantai dalam kesultanan Buton dan bila perbekalan habis wajib melapor ke syara Buton funa mendapat bantuan, tetapi bila bertemu perahu asing maka tidak dapat mengadakan hubungan tanpa seizin syara kesultanan Buton. Dengan kewajiban Patroli Ini maka Lakina Barata di gelari Kapita Raja Paatamiana artinya Kapitaraja yang empat.
5. Apabila Barata mendapat serangan maka tiap Barata lebih dulu berusaha menangkisnya dan apabla tidak mapu melawannya baru dapat meminta bantuan kepada syara Buton. karena itu Barata dinamakan “abaluara” artinya penjaga. Yang terdiri atas Wuna, Tiworo, Kolancusu dan Kaledupa.
BAB X
HAL KEUANGAN
Pembagian Weti (Pajak) dan Penentuan Gaji
Pasal 19
Pada hakekatnya pasal ini memuat ketentuan tentang peraturan penentuan dan pembagian Weti atau pajak. Beberapa macam Weti yang berlaku dalam kesultanan Buton yaitu:
1. Jawana ialah perongkosan perutusan kerajaan ke Jakarta dan Jawa tiap tahun yang berlaku mulai tahun 1613 setelah adanya hubungan persahabatan dengan kompeni yang dikenal dengan Janji Baana
2. Jupandana perongkosan perutusan kerajaan yang berangkat ke Ujung pandang pada tiap-tiap tahun
3. Weti Miana untuk pekerja dalam Keraton dan juga sebagai petugas pada masing-masing pembesar penjaga pintu gerbang. Jabatan ini sewaktu¬waktu dapat dijadikan tentara cadangan (Suludadu,)
4. Kantahurakana pemberian untuk tunggu dan Bonto Ogena
5. Sandatana, persediaan perutusan syara kerajaan dalam mengadakan kunjungan kerja ke daerah-daerah kadie, bertujuan agar kedatangan mereka tidak merepotkan pejabat dan masyarakat setempat (tidak membebani masyarakat).
6. Kalongana dan Bantena ialah pemberian untuk Bonto Ogena atau persembahan pada pesta Sultan dan Sapati
7. Karandana dan kabuuuna juga merupakan pemberian untuk Bonto Ogena
Perbandingan Pembagian Penghasilan Pegawai
19 A
1. Sultan mendapat seperdua dari seluruh penghasilan kerajaan atau sama dengan 24/48.
2. Sapati 8/48
3. Kenepulu 6/48
4. Kapitaraja/Kapitalau 2 orang masing-masing 4/48
5. Bonto Ogena 2 orang masing-masing 4/48
6. Sio Limbona 9 orang, semuanya 2/4
7. Dan bagi staf kesultanan diatur dalam walu paluna dawuna pada masing-masing kadie.
BAB XI
HAK-HAK RAKYAT
Hak rakyat atas tanah
Pasal 20
Adapun beberapa bagian hak yang diperuntukan untuk rakyat, menurut ketentuan syaraa atau hukun adat adalah :
1. Turakia yaitu hak pakai turun temurun
2. Katampai yaitu hak milik
3. Tanah pekuburan
4. Tanah dalam benteng Keraton
5. Tanah bebas
6. Kaombo.
BAB XI
LAMBANG NEGARA, BAHASA DAN BENDERA
Lambang Negara Kesultanan Buton
Pasal 21
Lambang kesultanan Buton adalah nenas, pilihan jatuhkepada nenas karena ia mengandung beberapa unsur dan sifat kepemimpinan yang poitif yaitu:
1. nenas dapat tumbuh dan hidup dimana saja ditanam. Hal tersebut melambangkan sifat-sifat ketahanan dan keuletan dalam perjuangan kehidupan bangsa.
2. pohonnya walaupun rendah tetapi terkesan kokoh dan gagah perkasa. Mengandung sifat-sifat kepemimpinan yang rendah hati tetapi berjiwa kesatria.
3. semua daunnya berpinggir gerigi (duri-duri) merupakan pedang dan perisai. Melambangkan sistim pertahanan dan keamanan yang tangguh.
4. diatas buahnya terdapat mahkota atau payung. Yang melambangkan kebesaran dan kemuliaan.
5. disekeliling buah bagian bawah tumbuh banyak tunas-tunas muda; mengandung makna yang mudah berkembang biak.
6. isi atau daging buahnya manis dan berair. Melambangkan kehidupan yang makmur bagi seluruh rakyat.
7. seluruh kulit buahnya penuh dengan bayangan mata dan telinga. Mengandung pengertian bahwa negara memiliki banyak jalur informasi demi menjaga keutuhan dan kestabilan pemerintah.
Bahasa Kesultanan Buton
Pasal 21 A
Dalam kesultaan Buton yag terdiri atas tiga wilayah kekuasaan yaitu pemerintahan pusat (wolio), pemerintahan kadie dan pemerintahan Barata. Bahasa yang dipergunakan sebagai bahasa persatuan atau bahasa resmi kesultanan adalah bahasa wolio. Setelah masuknya islam, maka ada pengaruh penulisan aksara arab dalam penulisan bahasa wolio, sehingga dalam beberapa naskah, termasuk konstitusi murtabat tujuh ditulis dalam aksara wolio melayu yang berasal dari aksara arab.[5]
Namun demikian, pada setiap wilayah kadie, maupun wilyah barata dapat mempergunakan bahasa daerahnya dalam pergaulan sehari-hari. Adapun beberapa bahasa dalam masyarakat Buton tersebut bahasa pancana (mawasangka, lakudo, guu, dan sebagian pulau muna), bahasa cia-cia atau Suai (pasarwajo, sampolawa, dan lain-lain), bahasa Moronene (kabaena dan beberapa daerah wilayah tenggara kesultanan Buton), bahasa kamaru, bahasa daerah-daerah kepulauan tukang besi atau wakatobi (wanci, kaledupa, tomia, dan binongko), dan lain-lain. masing-masing.
Bendera Kesultanan Buton
Pasal 21 B
Bendera kerajaan dan kesultanan Buton adalah Bendera Ula-Ula.
Sumber :
www.facebook.com/home.php?sk=group_182030075144825¬if_t=group_activity#!/home.php?sk=group_182030075144825¬if_t=group_activity