bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Rabu, 08 Oktober 2014

GAJAH MADA LAHIR DI BUTON DAN MAKAMNYA DI LIYA WAKATOBI

OLEH : MAHAJI NOESA


 Kompasianer menilai menarik. Pulau Buton di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam catatan sejarah, pernah menjadi tempat pilihan perlindungan yang aman dari sejumlah bangsawan kerajaan ternama di Nusantara. Bahkan dalam penelusuran terakhir, ditemukan petunjuk dari sejumlah catatan dan bukti arkeolog, Pulau Wangiwangi yang dulunya masuk wilayah Buton dan kini menjadi Kabupaten Wakatobi justru tempat lahir dan moksanya Gajah Mada, Mahapatih Kerjaaan Majapahit yang terkenal dengan ‘Sumpah Palapa’ - Pemersatu Nusantara.


MAHA PATIH GAJAH MADA


GAJAH MADA/Ft:budaya-liya.blogspot.com Lembaga  Swadaya Masyarakat Forum Komunikasi (Forkom) Kabali Indonesia yang dibentuk sejak 6 Desember 2009 di Kabupaten Kepulauan Wakatobi, kini begitu konsen mengumpulkan data dari berbagai sumber, bukti arkeolog, dan berupaya keras menjalin kerjasama dengan semua pihak terkait untuk membuka tabir emas adanya petunjuk perjalanan hidup Gajah Mada di Pulau Wangiwangi. Sejarah nasional mencatat bagaimana Mahapatih Kerajaan Majapahit yang diperkirakan lahir pada tahun 1290 (Encarta Encylopedia) itu memiliki kemampuan strategi di medan perang serta kecerdasan berpikir untuk kemaslahatan kehidupan masyarakat yang luas di masanya. Tapi, dimana tempat wafat dan makamnya, hingga saat ini belum ada keterangan yang pasti. Dari sejumlah catatan yang telah dihimpun Forkom Kabali, sekitar bulan Sya’ban 634 Hijriyah atau akhir tahun 1236 Masehi sebuah kapal layar Popanguna menggunakan simbol bendera Buncaha strep-strep warna Kuning Hitam merapat di Kamaru, wilayah pesisir arah utara timur laut Pulau Buton. Kapal tersebut memuat bangsawan bernama Simalaui dan Sibaana (bersaudara) dikawal seorang sakti mandraguna bernama Sijawangkati bersama puluhan pengawalnya, yang diperkirakan berasal dari Bumbu, negeri melayu Pariaman. Kedatangan mereka ke Pulau Buton diperkirakan lantaran terjadi pergolakan yang memaksa untuk meninggalkan tempat asalnya. Terbukti, setelah mereka membuat pemukiman di Kamaru, juga membangun sebuah perlindungan yang hingga kini dikenal dengan sebutan Benteng Wonco. Sijawangkati pun kemudian memohon diri untuk membuat pemukiman tersendiri di Wasuembu serta membuat Benteng Koncu di Wabula.


TARI LARIANGI LIYA


Masjid Al-Mubaroq Keraton Liya/Ft:budaya-liya.blogspot.com Syahdan, beberapa waktu kemudian datang lagi dua buah kapal yang diburitannya ditandai dengan kibaran bendera Davialo berwarna Merah Putih di Teluk Kalumpa, tak jauh dari tempat pendaratan Simalaui, Sibaana, dan Sijawangkati dan rombongannya. Sijawangkati dan Sitamanajo menyambut kedatangan mereka. Ternyata, kedua kapal tersebut membawa Raden Sibahtera, Raden Jatubun dan Lailan Mangrani yang kesemuanya merupakan anak dari Raja Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya. Setiap kapal memuat sekitar 40 orang pengikut. Singkat cerita, kehadiran para pendatang tersebut, selain berupaya menjalin keakraban dengan warga di sekitar Pulau Buton, juga di antara pendatang saling menguatkan persahabatan. Raden Sibahtera yang diangkat menjadi Raja Buton mempermaisurikan Wa Kaa Kaa (Mussarafatul Izzati Al Fahriy). Sedangkan Sijawangkati menyunting Lailan Mangrani (Putri Raden Wijaya). Dari perkawinan Sijawangkati dengan Lailan Mangrani membuahkan keturunan 2 anak laki-laki dan 1 perempuan. Anak tertua lelaki itulah yang kemudian diberi nama Gajah Mada. Sejak kecil Gajah Mada telah memperlihatkan kecerdasan dan kesaktian. Ayahnya, Sijawangkati yang disebut-sebut keturunan wali di negeri Melayu terkenal memiliki ilmu-ilmu kesaktian sudah berupaya menurunkan ilmunya kepada Gajah Mada sejak berusia 7 tahun. Ketika berumur sekitar 15 tahun, Gajah Mada lalu dibawa oleh ibunya (Lailan Mangrani) menemui kakeknya Raden Wijaya di Pulau Jawa. Tatkala Kerajaan Majapahit dipimpin Jayanegara (1309 - 1328 M) — anak Raden Wijaya dari perkawinan dengan Dara Petak dari Jambi, Sumatera, Gajah Mada pun tampil berperan membantu melawan pemberontakan yang muncul dari lingkungan kerajaan sendiri. Dia memimpin pasukan Bhayangkara bertugas menjaga keamanan raja dan keluarganya. Dahsyatnya Pemberontakan Kuti (1319 M) yang dipelopori salah seorang pejabat Kerajaan Majapahit, sampai memaksa Raja Jayanagara, berikut istri Raden Wijaya dan putrinya Tribhuwanattunggadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita mengungsi ke Bedander. Akan tetapi berkat kecerdikan dan kepiawaian Gajah Mada, pemberontakan dapat diredam. Raja dan keluarganya pun aman untuk kembali bertahta ke istana. Tarian adat Liya di alun-alun masjid Keraton Liya/Ft:budaya-liya.blogspot.com Pascaperistiwa tersebut Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Menteri Wilayah (Patih) Majapahit, membawahi Daha dan Jenggala. Kepercayaan kepada Gajah Mada yang diberi gelar Pu Mada diperluas dengan kewenangan hingga Jenggala - Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura. Setelah Mahapatih Kerajaan Majapahit Arya Tadah pensiun tahun 1329 M, kedudukannya digantikan oleh Gajah Mada. Dari catatan yang dihimpun Lembaga Forkom Kabali (www.budaya-liya.blogspot.com), ada yang menyebut Gajah Mada wafat 1364 akibat penghianatan Hayam Wuruk. Namun data lain yang dihimpun dengan sejumlah fakta pendukung, setelah Gajah Mada membaca gelagat pihak berkuasa di Kerajaan Majapahit tak lagi memberikan kepercayaan kepadanya, ia bersama sejumlah pengikut setianya melakukan pelayaran kembali ke tempat kelahirannya di wilayah kepulauan Wangiwangi, Buton. Perjalanan pulang bersama rombongannya tersebut diperkirakan terjadi sekitar abad XIV, mendarat kembali di wilayah kepulauan Wangiwangi. Di pesisir pantai antara pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora terdapat Batu Parasasti yang dinamakan Batu Mada. Mahapatih Gajah Mada yang terkenal sebagai manusia memiliki banyak kesaktian tersebut kemudian memilih sebuah goa di wilayah Togo Mo’ori sebagai tempat Tapa Brata. Di dalam gowa di daratan Pulau Karang Wangiwangi yang bersambung ke laut lepas inilah diperkirakan Gajah Mada yang mengenggam cakram senjata andalannya lantas moksa (menghilang) dalam semedi. Sedangkan puluhan pengikutnya memilih sebuah gua di Batauga, Pulau Buton sebagai tempat semedi. Goa itu sampai sekarang masih dinamai sebagai Goa Mada di Kampung Mada Desa Masiri, Batauga. Himpunan informasi berkaitan dengan perjalanan hidup Gajah Mada yang kini mendapat perhatian dari Lembaga Forkom Kabali tersebut, tentu saja, perlu mendapatkan apresiasi dari pemerintah, dan terutama dari para sejarawan dan antropolog dalam rangka penyempurnaan catatan Sejarah Nasional kita. Selain mengenai perjalanan hidup Gajah Mada, kini Forkom Kabali yang memokuskan diri di bidang pelestarian nilai-nilai tradisi, sejarah dan budaya Keraton Liya di Kabupaten Wakatobi, juga telah menghimpun data jika Mahisa Cempaka (cucu dari pasangan Ken Arok dan Ken Dedes) merupakan Raja Liya (1259 - 1260). Gundukan batu yang ditinggikan (Ditondoi) yang ada di depan Masjid ‘Al Mubaraq’ Keraton Liya adalah makam Mahisa Cempaka yang pernah bersama Rangga Wuni memimipin pemerintahan di Kerajaan Singosari di Pulau Jawa. Di bawah gundukan batu Ditindoi yang di sekelilingnya ditumbuhi banyak Pohon Cempaka (Kemboja) yang telah berusia sekitar 800 tahun, diperkirakan terdapat sekitar 5 anggota dinasti Ken Arok, selain Mahisa Cempaka yang dimakamkan disitu. Model penguburan satu liang terdiri atas beberapa anggota keluarga, hingga saat ini masih terus terjadi di wilayah Liya, Wangiwangi. Fakta ini, tentu saja, kebenarannya akan memberikan nuansa baru terhadap gambaran hubungan dan dinamika pergerakan masyarakat kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Batapa masyarakat dari Pulau Jawa sejak masa silam dengan sarana transportasi tradisional sudah dapat menjalin hubungan dengan warga di Kepulauan Wakatobi yang terhampar di Laut Banda, di arah tenggara Pulau Sulawesi.



 LATAR MESJID AL MUBARAQ LIYA


Dibandingkan saat ini, Presiden RI, SBY belum juga pernah berkunjung mememenuhi hasrat kerinduan banyak warga di kota atau kabupaten yang ada di sekitar Pulau Buton terhadap kehadiran Kepala Negara di wilayahnya. Selain itu, berdasarkan himpunan informasi dan sejumlah bukti arkeolog, jauh sebelum dibangun Masjid ‘Al-Mubaraq’ Keraton Liya (1546 M), sudah ada sebuah masjid di wilayah Liya Togo dikenal dengan nama Masjid Togo Lamantanari. Masjid itu diperkirakan dibangun tahun 1238 M oleh 18 orang Persia dipimpin Haji A.Muhammad yang terhempas gelombang ke Pulau Wangiwangi setelah kapalnya remuk melabrak karang dalam pelayaran menuju Filipina. Tentu saja, ini merupakan masjid tertua di Indonesia, sudah ada sebelum agama Islam masuk ke Aceh pada abad XIII. Walaupun masjid sudah tiada, sampai hari ini, pada saat waktu shalat dhuhur dan masuk waktu shalat ashar setiap hari masih selalu terdengar suara kumandang azan dari sekitar lokasi masjid tua ini. Kumandang azan yang sama sampai saat ini masih selalu terdengar dari sekitar makam H.Muhammad yang terletak di sekitar permandian Kohondao Liya Togo, Desa Woru, sekitar 800-an meter dari lokasi bekas masjid tua Togo Lamantanari. Ada lima desa yang disebut dengan istilah ‘Liya Besar’, yakni Desa Liya Togo, Liya Bahari, Liya Mawi, Woru, dan Mola di Pulau Wangiwangi yang kini menjadi bagian paling penting diperjuangkan oleh Lembaga Forkom Kabali untuk dijadikan sebagai Kawasan Desa Adat. Di dalamnya meliputi pelestarian Benteng Liya dengan perkampungan masyarakat adatnya yang meliputi luas hingga 20 km persegi. Terjalinnya hubungan antara raja-raja yang ada di Pulau Jawa dengan raja-raja khususnya yang ada di Liya dan sekitarnya pada masa lalu, salah satunya juga dapat dilihat dari sejumlah nama tempat yang banyak menggunakan bahasa sangsekerta (Sanskrit). http://sejarah.kompasiana.com/20****

Sumber :
http://www.sejarah.kompasiana.com/2011/04/01/gajah-mada-lahir-dan-moksa-di-liya-wakatobi/