bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Selasa, 15 November 2011

TARIAN BALABA DAN SENANDUNG KABANTI : "DUA BENANG UNTUK MERAJUK KEMBALI KEBUDAYAAN BUTON"

OLEH : SUMIMAN UDU  (KANDIDAT DR ANTROPOLOGI)



(Sebuah mimpi dari Botermarkt 19a Leiden, Belanda, 1 November 2011, 02:13 am)

Ketika generasi Buton mulai merasakan pentingnya mengenal identitas dirinya di tengah-tengah globalisasi kebudayaan, maka benang-benang kebudayaan Buton itu ingin kembali dirajut. Helai demi helai kembali dikumpulkan untuk menyulam kembali kebudayaan itu. Lalu, benang apakah yang bisa menyulam helai-helai kebudayaan Buton yang telah tersobek itu? Sehingga ia menjadi kebudayaan yang kelak dapat menjadi kebanggaan dan indentitas generasi anak-anak Buton ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas, harus dikembalikan kepada kesadaran sejarah, terutama mengenai bagaimana leluhur Buton menyulam kebudayaan Buton itu?
Ketika menelusuri beberapa arsip kebudayaan Buton di Perpusatakaan Universitas Leiden, maka jejak leluhur itu pelan-pelan terungkap. Beberapa tulisan tentang kaбanti dapat dilihat disini, misalnya kaбanti “Anjonga Yinda Malusa” menjadi salah satu buku yang tentunya sangat penting untuk dibaca. Di negeri kincir angin inilah, kesadaran bahwa, kebudayaan Buton masih memiliki benang yang dapat digunakan untuk menyulam kebudayaan itu, sehingga dapat dinikmati kembali oleh generasinya saat ini. Namun, ketika dendang kaбanti hanya satu-satunya yang digunakan untuk membangun kebudayaan Buton, maka tentunya itu akan meninggalkan dimensi fisik generasi Buton. Di situlah baru disadari bahwa leluhur Buton membangun kebudayaan Buton melalui tiga dimensi, yaitu (a) fisik (manusia dan alam), (b) pikiran, dan (c) jiwanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan tiga dimensi itulah, tarian balaba dan senandung kaбanti menjadi sangat relevan sebagai benang penyulam kebudayaan Buton itu.
Pembangunan kebudayaan Buton, harus dibangun dari individu-individu yang menjadi genesari Buton itu sendiri. Dengan demikian, untuk membangun kebudayaan Buton, harus dikembalikan kepada bagaimana leluhur Buton membangun kebudayaannya. Di sinilah, tarian balaba dan senandung kaбanti penting untuk kembali dihidupkan dalam masyarakat Buton dewasa ini. Karena melalui tarian balaba, anak-anak Buton akan diajarkan bagaimana bertahan dalam berbagai terpaan globalisasi kebudayaan. Strategi pertahanan balaba menjadi sangat relevan dalam menghidupkan kebudayaan Buton. Melalui tarian balaba fisik anak-anak Buton akan memiliki kekuatan dan ketepatan dalam berbagai tindakan mereka. Melalui tarian balaba gerakan tubuh mereka akan menjadi sangat lentur, sehingga mereka tidak menjadi bangsa yang kaku, bangsa yang merasa menang sendiri, bangsa yang benar sendiri. Melalui tarian balaba inilah, generasi Buton dapat memahami potensi fisiknya sebagai dimensi yang lahir.
Malalui tarian balaba, generasi Buton membuat kebersamaan, merangkai kekuatan, disiplin, dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Dalam tarian kehidupan yang ia mainkan, haruslah tetap dalam dimensi irama kebutonan. Kekuatan, semangat, rasa percaya diri, tertanam di kedalaman pemikiran anak-anak Buton dimasa depan. Sehingga mereka memiliki jiwa sastria yang tangguh sebagai orang Buton, yang rela berkorban untuk kebenaran dan kebudayaannya. Yang mau berkarya sesuai dengan keahliannya masing-masing, namun semua anak-anak Buton, memiliki nilai-nilai dari dua benang kebudayaan ini, yaitu tarian balaba dan senandung kaбanti.
Dengan demikian, kepribadian orang Buton, tidak cukup hanya dengan tarian balaba karena itu tidak akan sempurna, tetapi juga harus berada dalam dendang senandung kaбanti untuk menyempurnakan kekuatan yang ada dalam tarian balaba itu dengan kelembutan cinta dan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai humanism pobinci-binciki kuli yang menjadi landasan filosofi dari dua benan kebudayaan itu.
Dua benang inilah yang kemudian harus dihidupkan kembali dalam tatanan orang-orang atau generasi muda Buton. Karena balaba melatih fisiknya dan kaбanti akan mengkonstruksi pemikiran dan jiwa anak-anak Buton. Misalnya, senandung kaбanti Anjonga  Yinda Malusa itu harus kembali dilantunkan untuk mengiringi setiap gerak tarian balaba dalam kehidupan orang Buton. Senandung kaбanti yang menanamkan nilai-nilai kebutonan, senandung kaбanti yang mengajarkan tentang identitas kebutonan. Karena konsep keseimbangan jiwa akan dilatihkan dalam berbagai senandung kaбanti dan keseimbangan fisik akan diajarkan dalam derap langkah kuda-kuda balaba yang kokoh, sehingga anak-anak Buton memiliki kekuatan, berdiri, tegas, tegap seperti batu karang, dan memiliki kelembutan seperti awan, seperti batu karang yang tak pernah takluk dan seperti belaian awan yang tak pernah kasar.
Dalam lantunan senandung kaбanti dan tarian balaba itulah, pribadi-pribadi Buton itu harus dirajut, pribadi-pribadi Buton itu harus menemukan diri dan kediriannya, menemukan kebutonannya, sehingga menjadi orang Buton akan merasa memiliki tentang kebutonan. Pribadi-pribadi Buton yang memiliki kebanggaan akan identitas dirinya. Pribadi-pribadi yang kuat, pribadi-pribadi yang ulet dalam menjalani kehidupannya dalam konteks kehidupan modern saat ini.
Dengan demikian, masyarakat Buton saat ini membutuhkan dua benang kebudayaan itu, untuk menyulam berbagai benang kebudayaan itu dalam pribadi-pribadi Buton yang kuat dan utuh. Untuk itu, dibutuhkan lembaga tarian balaba yang dapat dimasuki oleh semua generasi muda Buton. Di dalam lembaga kebudayaan itulah, senandung kaбanti kembali dilantunkan mengiringi setiap gerakan tarian balaba. Sebab ajaran moral dan kebajikan harus kembali dihidupkan, dan tentunya sulaman ini kemudian diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai dasar identitas kebutonan yang humanis universal. 
Kalau kita menoleh ke belakang, maka tradisi kaбanti hampir memenuhi seluruh aktifitas kebudayaan Buton, pembelajaran tentang nilai-nilai disampaikan melalui senandung kaбanti, tidak salah kalau leluhur Buton memiliki banyak kaбanti dan salah satu contohnya yang dapat ditemukan di perpustakaan Universitas Leiden adalah naskah kaбanti Anjonga Yinda Malusa” karangan Haji Abdul Ganiu atau yang di dunia Melayu Malaysia lebih dikenal dengan panggilan Haji Puteh. Di samping itu, tentunya masih banyak naskah-naskah Buton yang dapat dieksplorasi di perpustakaan Universitas Leiden ini.
Pertanyaannya adalah, mungkinkan dimasa depan, bangsa Buton memiliki kemampuan untuk memiliki lembaga Balaba dan kaбanti yang dapat dijadikan sebagai ruang konstruksi nilai-nilai budaya Buton. Sebab jika dua benang kebudayaan itu dapat diwujudkan, maka di masa depan, orang-orang Buton akan kembali menemukan dirinya dan bangga pada identitas kebutonannya. Sekurang-kurangnya, tarian balaba dan senandung kaбanti ini, kelak dapat merajut pemikiran dan pemahaman anak-anak Buton tentang kehidupannya. Sehingga anak-anak Buton tetap berdiri kokoh dalam terpaan kebudayaan global yang terus menerus menggerus kebudayaan-kebudayaan kecil di dunia. Anak-anak Buton memiliki kekuatan untuk tetap bertahan dengan kepribadiannya, dan kelak akan lahir pemimpin-pempimpin Buton yang punya mimpi untuk kebesaran budaya dan bangsanya.
Kita tengoklah, bagaimana bangsa Jepang mampu mewarisi semangat samurai dan bunga seruni dalam kepribadian anak-anak bangsanya. Memiliki visi, misi, kekuatan, disiplin, ketegasan, keberanian, komitmen, konsisten dan semangat dalam membangun diri dan kebudayaan mereka. Bagaimana bangsa Jepang mencintai nilai-nilai kemanusiaan di dalam kekuatan samurai mereka. Samurai yang memiliki sisi membunuh, ternyata memiliki dimensi cinta selembut bunga serunai. Demikian juga bangsa Buton membangun kekuatan fisik, pikiran dan jiwa dalam tarian balaba dan senandung cinta yang dilantunkan dalam setiap bait-bait kaбanti.
Mungkinkan, kita dapat meramu nilai-nilai tradisional kita dalam dua benang kebudayaan itu? Dan mungkinkan kita dapat menerima globalisasi dalam dimensinya yang lain, sebagaimana Jepang memiliki kepribadian sebagai orang Jepang, tetapi memiliki penguasaan teknologi yang tinggi, yang harus diakui di dunia timur maupun di dunia barat. Semoga bangsa Buton kembali menemukan dirinya, kembali menarikan balaba dan melantunkan senandung kaбanti.  Merebut masa depan mereka, teknologi, ilmu pengetahuan, kesenian. Sebagaimana Leluhur Buton mencetak sejarah bahwa sekolah penerjemahan pertama di Nusantara itu pertama kali berada di Buton, yang menurut Mike seorang Belanda yang ayahnya masih temannya Almarhum La Ode Manarfa, lembaga pendidikan itu berdiri sekitar abad 15 belas. Suatu pencapaian dan prestasi leluhur Buton yang harus digapai kembali oleh anak-anaknya hari ini. Semoga, amin.*****
 Sumber :
http://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/2011/11/tarian-balaba-dan-senandung-kaanti-dua.html

Minggu, 18 September 2011

"LIYA" WANGI-WANGI-BUTON ADALAH DAERAH YANG DICARI OLEH SEJARAWAN DUNIA ?

OLEH : ALI HABIU

  
      A.    PEMAHAMAN KONSEPTUAL

    Postulat secara hipotesis bahwa dengan telah diketemukannya situs LINGGA dan YONI dalam lingkungan Benteng Keraton Liya Wangi-Wangi maka dapat dipremis bahwa Kerajaan Liya Wangi-Wangi dahulu kala masih menganut ajaran Hindu, sekalipun kemungkinannya manusianya sudah menganut faham islam tetapi belum islami atau dengan kata lain belum menegakkan ajaran islam yang benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Jika benar Mahisa Cempaka adalah Raja Liya pertama mulai tahun 1252 Masehi maka hipotesis ini sementara dapat diterima walaupun tentu secara ilmiah diperlukan pembuktian empiris dan konsepsional di lapangan melalui suatu penelitian ilmiah. Oleh karena itu apasteriori premis boleh jadi LIYA WangiWangi ada hubungan budaya dengan LIYA di Bali.
Menurut pemahaman kebudayaan Bali; LIYA adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. LIYA berarti lina aksara yakni  memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu. Kekuatan aksara ini disebut panca geni aksara, siapapun manusia yang mempelajari kerohanian metode  apapun apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya ( aura). Cahaya ini bisa keluar melalui lima pintu indra tubuh , telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan.
Pada prinsipnya ilmu trickle tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang, yang di pelajari adalah bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo, kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan planetary kita bisa keluar, ini pula alasannya orang ngeleak apabila sedang mempersiapkan puja batinnya di sebut "angeregep pengelekasan".
Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum di sebut "ndihan" bola cahaya melesat dengan cepat. Ndihan ini adalah bagian dari badan planetary manusia, badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain.  
       Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat yang tersuci selain di kuburan, kenapa demikian di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit, bagi penganut tantric bermeditasi di kuburan di sebut meditasi "KAVALIKA". Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang meyeramkan, ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar "tatwaning ulun setra" sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang dark baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa. Sang Buda kecapi, Mpu kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan, di Jawa tradisi ini di sebut " TIRAKAT. 

       Di Bali ada beberapa daerah yang terkesan lucu mengganggap kuburan adalah tempat sebel, leteh, ketika ada orang meninggal, atau ngaben, tidak boleh sembahhyang ke pura karena sebel, padahal.. kalau ngaben kita juga mengahaturkan panca sembah kepada Hyang Widi di kuburan, lantas di mana letak beda sebel Pura dan sebel kuburan bagi TUHAN ? itu hanya awig-awig manusia. 
Sehubungan dengan kisah tersebut, pada zaman dahulu kala di ceritakan para leluhur asal  LIYA Wangi-Wangi bahwa manusia-manusia yang mendiami wilayah ini sering melakukan tapah brata baik di dalam gua-gua, di setengah dasar laut (berdiri merendam), di kuburan-kuburan keramat juga di dalam ruang pertapaan khusus yang terdapat di ruang bubungan rumah sehingga zaman itu orang-orang LIYA WangiWangi banyak yang sakti-sakti dan mumpuni ilmunya seperti : mati langsung menghilang ditempat, memiliki banyak bayangan yang sama, dapat dilihat dimana-mana dengan waktu yang bersamaan, dapat berjalan  cepat dengan bilangan detik sudah berada ditempat yang dituju, mendayung 3 kali sudah berada di pulau lain, kebal oleh berbagai senjata tajam dan peluru dlsb.
Oleh karena itu ketika Kerajaan Buton terbentuk awal abad XIII banyak orang-orang LIYA WangiWangi dipakai oleh sang Raja di pulau Buton untuk dijadikan pengawal pribadi atau perajurit perang. Kebiasaan –kebiasaan masyarakat LIYA WangiWangi untuk melakukan pertapaan ala Hindu tersebut mulai berkurang semenjak masuknya Islam di pulau Buton yang dibawah oleh Sjech Abdul Wahid dan ditenarkan oleh pengikutnya Sjech DJILABU setelah diangunnya Mesid Al Mubaraq (Mesjid Agung Keraton Liya) tahun 1547 Masehi. Walaupun demikian pada tahun 1238 Masehi Haji A.Muhammad dan kawan-kawan telah membangun mesjid di Togo Lamaentanari yang berjarak hanya sekitar 2000 meter dari Keraton Liya, namun Haji A.Muhammad dan kawan-kawan yang berasal dari saudagar pedagang rempah-rempah asal Persia yang mendarat di Lamaentanari karena kapalnya tertabrak oleh karang di selat Jawa ketika itu tidak mengejarkan atau menyebarkan ajaran islam karena mereka merasa takut oleh karakter orang-orang LIYA WangiWangi saat itu yang serba sakti sementara mereka semua adalah pendatang tanpa sengaja.  Keseluruhan  kisah ini tertuang dalam naskah sejarah kuno buton yang tersimpan di Leiden.

           B.   PEMAHAMAN SINTESIS
Dalam Pupuh XIV Negarakretagama oleh Mpuh Prapanca (1365) disebutkan bahwa wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit meliputi :

Kadangdangan i Landa (Landak) len ri Samedang Tirem tan kasah ri Sedu (Sarawak) Buruneng (Brunei) ri Kalka Saludung ri Solot (Sulu) Pasir Bartitwsi Sawaku muwah ri Tabalung (Tabalong) ri Tnjung Kute (Kutai Kartanegara) Lawan ri Malano makapramuka ta(ng) ri Tanjungpuri

Ikang skahawan Pahang pramuka tang Hujungmedini (Malay peninsula) ri Lengkasuka len-ni Saimwang i Kalanten (Kelantan) i Tringgano (Trengganu) Nacor (Pattani) Pakamuwar Dungu (Dungun) ri Tumasik (Singapore) ri Sanghyang Hujung Kelang (Klang valley) Keda (Kedah) Jere ri Kanapiniran sanusapupul

Sawetan ikanang tanah Jawa murah ya - warnnanen ri Bali makamukyo tang Badahulu mwang Lwgajah Gurun mukamuke Sukun ri Taliwang ri Dompo Sapi ri Sanghyang Api Bhima Ceram i Hutan Kadala (Buru island) opupul

Muwah tang i Gurun sanusa mangaram ri Lombok Mirah (Lombok island) lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyang kabeh muwah tikang i Batangan pramuka Bintayan len Luwuk (Luwu) tekeng Udamakatraya (Sangihe Talaud) dhi nikanang sanusapupul

Ingkang sakasanusa Makasar Butung (Buton) Banggawai KUNI GRA-LIYA-O mwang i(ng) (baca : wangi-wangi) Salaya (Selayar island) Sumba Solot Muar muwah tikang i Wandan (Bandaneira) Ambwan (Ambon) athawa Maloko (Maluku) Ewaning (Wanin/West Papua) ri Sran (Seram) in Timur (Timor) makadi ning angeka nusatutur
sumber :http://www.asiafinest.com/forum/lofiversion/index.php/t204931.html)
Sebagai anekdot dalam kaitan naskah ini perlu menjadi renungan bagi kita semua apakah yang dimaksud dengan KUNI dalam kalimat KUNI GRA-LIYA-O adalah identik dengan nama sebuah tempat yang menjadi Ibu Kota Jepang pertama tahun 740 s/d 744 Masehi yang berada di provinsi Yamashiro dan sejak tahun 2007 pemerintah Jepang menjadikan sebagai "situs bersejarah Istana Kuni" (kuil resmi Provinsi Yamashiro)
Setelah terjadinya Pemberontakan Fujiwara no Hirotsugu, Kaisar Shōmu pada bulan 12 tahun 740 memerintahkan ibu kota dipindahkan dari Heijō-kyō ke tempat bernama Kuni di distrik Sagara. Lokasinya dipilih karena merupakan markas Daijō Daijin Tachibana no Moroe.
Di dalam kompleks Istana Kuni (Kuni-kyū) terdapat tempat tinggal kaisar, aula utama (daigokuden dan chōdō-in) tempat dilangsungkannya upacara resmi dan kegiatan pemerintahan, dan kantor pejabat pemerintah (kan-ga). Kompleks istana dari utara ke selatan panjangnya 750 m dan lebarnya dari timur ke barat 560 m.
Bulan September tahun 741, kota dibagi menjadi dua distrik, Sakyō dan Ukyō. Istana kaisar mulai dibangun, dan secara resmi kota ini disebut "Yamato no kuni no ōmiya" sejak bulan November 741. Pada akhir tahun 743, semua pekerjaan dihentikan walaupun pembangunan ibu kota belum selesai karena kaisar Shōmu memerintahkan agar ibu kota dipindahkan ke Shigarakinomiya.
Walaupun hanya sempat menjadi ibu kota selama 3 tahun lebih, ibu kota berada di Kuni-kyō ketika kaisar mengeluarkan perintah tentang "pendirian kuil resmi provinsi (kokubunji) dan kuil biarawati provinsi", dan perintah pembangunan Daibutsu.
Setelah tidak lagi menjadi ibu kota, bekas istana kaisar dimanfaatkan kembali sebagai kuil resmi Provinsi Yamashiro. Aula utama (daigokuden) diubah menjadi bangunan aula pemujaan (kondo).
Jika anekdot ini sama dengan KUNI seperti apa yang dimaksud dalam catatan Pupuh XIV Negarakretagama oleh Mpuh Prapanca (1365) berarti LIYA WangiWangi adalah daerah keresian tempat berkumpulnya Raja-Raja di wilayah Nusantara pada zamannya setelah mereka mendapat serangan di wilayah kekuasaannya oleh tentara Mongol yang mana LIYA WangiWangi dijadikan tempat persembunyian, perlidungan sekaligus tempat tapah brata.  
Nama KUNI di LIYA kemungkinan besar dimasukkan oleh tentara Mongol pada tahun 1292 setelah terlebih dahulu menyerang Kerajaan Singosari namun gagal karena istana kerajaan sudah dihancurkan oleh Jayakatwang (pemberontakan Jayakatwang) yang mana sesudahnya Kubilai Khan bekerja sama dengan Raden Wijaya untuk mencari Jayakatwang ke berbagai wilayah kerajaan Majapahit termasuk Liya-WangiWangi dalam upaya  menangkapnya. Tentara Mongol setibanya di LIYA Wangi-Wangi rupanya telah menjumpai banyak petapa asal dari berbagai Kerajaan yang mengasingkan diri disini termasuk Mahisa Cempaka dan Si Panjonga maka mereka namakan LIYA ini sebagai KUNI atau daerah keresian sebagaimana yang terdapat di Jepang.

GRA dalam pengertian kamus jawa kuno sebagai tempat yang menunjukan permukiman, sedangkan BANGGAWAI adalah berhubungan dengan pekerjaan (bisa diartikan perlindungan atau persembunyian). Walaupun demikian kita masih menunggu pengertian asli dalam kamus Jawa Kuno istilah KUNI itu sebetulnya apa pemaknaannya agar kita bisa mengungkap di balik pupuh XIV Mpuh Prapanca (1365) dalam catatannya Negarakretagama tentu mengandung pemahaman yang hakiki terutama dalam rangka mengungkap kebenaran lembaran sejarah yang hilang selama ini di nusantara khususnya Moksa Maha Patih Gajah Mada yang diperkirakan terdapat di wilayah Liya WangiWangi. *****

Kamis, 25 Agustus 2011

GAJAH MADA : "SUMPAH PALAPA"

OLEH : ALI HABIU


Setelah wafatnya Raden Wijaya tahun 1309 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Jayanegara, Pemerintahan Kerajaan Majaphit sering dironrong oleh berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh para dharmaputra atau pejabat istana, antara lain ; pemberontakan Nambi tahun 1316, pemberontakan Semi tahun 1318 dan pemberontakan Kuti tahun 1319. Ketika terjadi pemberontakan Kuti inilah muncul nama Gajah Mada. Ia adalah anggota pasukan pengawal Raja Jayanegara yang berhasil menyelamatkan raja dalam peristiwa Bedander. Ketika itu Raja Jayanegara mengungsi dan sebagai imbalannya Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan dan selanjutnya menjadi Patih di Daha. 
Setelah Raja Jayanegara wafat digantikan oleh Tribhuwanatunggadewi dan tak lama terjadi pemberontakan Sedeng tahun 1331 dan berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai balasan jasanya Gajah Mada diangkat menjadi Perdana Menteri (Mangkubumi).
Pada saat dilantik inilah Gajah Mada mengucapkan suatu sumpah terkenal yang disebut Sumpah Palapa. Dalam sumpah itu, Gajah Mada bertekad untuk tidak beristirahat sampai seluruh Nusantara dipersatukan dibawah panji Majapahit. Gajah Mada wafat tahun 1364 dan hingga saat ini belum jelas dimana disemayamkan. 
Para pakar sejarah hingga saat ini masih menyangsikan siapa sebenarnya Gajah Mada itu !! dan dari mana asal muasalnya !!, serta dimana letak makam aslinya. Hingga saat ini para ahli arkiologis belum pernah ada yang melakukan penelitian masalah lokasi asli kuburan Gajah Mada sehingga letak Makam Gajah Mada yang sebenarnya hingga saat ini belum ada persis yang mengetahuinya. Disamping itu juga kedatangannya dikerajaan Majapahit masih dianggap misterius karena semua lembaran sejarah Indonesia sampai saat ini belum ada pragraf yang menjelaskan masalah ini.
Muncul pertanyaan ; “Apa hubungan Kerajaan Majapahit dengan Buton” ?!. Jawabnya adalah berdasarkan fakta sejarah Buton, mengkisahkan bahwa sejak awal tahun 1236 sampai tahun 1300-san, pulau Buton telah dimasuki oleh orang-orang besar dan sakti mandraguna. Seperti misalnya Sipanjonga orang sakti berasal dari suku Melayu negeri Pasai dengan membawa pembantu utamanya bernama si Tamanajo. Berikut si Malui dan si Sajawankati dari Melayu Pariaman, Musarafatul Izzati al fakhriy (Wa Kaa Kaa) dari negeri Yastrib Madina yang merupakan keturunan Saiyida Ali Bin Abithalib membawa bersama Muhammad Ali Idrus, Dun Kung Sang Hiang sebagai panglima perang kaisar tiongkok (kubilaikan) dan Sang Ria Rana seorang pujangga Melayu. Selanjutnya muncul pula 3 (tiga) Orang kakak beradik, yakni anak Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit masing-masing bernama Raden Sibatera, Raden Jatubun (Bau Besi) dan Lailan Mangrani atau putri Lasem dlsb.
Seluruh orang-orang besar dan sakti tersebut datang kepulau Buton dengan mereka mencarinya berdasarkan perintah bathin atau petunjuk yang diperoleh dari orang tua atau leluhurnya, datang bersama dengan masing-masing 40 kepala keluarga. Dalam sejarah Buton, Raja pertama Buton yakni Wa Kaa Kaa serta Raden Sibatera hanya meiliki anak yang bernama Bula Wambona, sedangkan Raden Jatubun dan putri Lasem tidak jelas disebutkan kawin dengan siapa dan punya anak bernama siapa. Sehingga muncul hipotesis dalam tulisan ini, bahwa premis Gajah Mada merupakan anak yang berasal dari salah seorang dari kedua anak Raden Wijaya tersebut yakni Raden Jatubun atau putri Lasem. Sebagai sintesis adalah bahwa Gajah Mada setelah dewasa diutus kembali ke kerajaan Majapahit untuk memperkuat pasukan perang disana. Mengapa di utus ke Majapahit !?, Karena penguasa kerajaan ini masih erat bertalian darah dengannya. Adapun masuknya ketiga kakak beradik anak Raja Majapahit tersebut ke pulau Buton adalah jauh hari sebelum wafat ayahandanya yakni Raden Wijaya tahun 1309. Sehingga secara analisis dapat dikatakan bahwa Gajah Mada lahir akhir abad XIII dan ketika muncul di Jawa tahun 1319 usianya sudah cukup dewasa.
Kedatangan ketiga anak Raden Wijaya itu ke pulau Buton bukan secara kebetulan tetapi merupakan petunjuk dan perintah bathin sang Raja Raden Wijaya yang diperoleh dari hasil pertapaannya, mengingat ketika itu kerajaan yang dipimpinnya mengalami banyak pemberontakan yang datangnya berasal dari orang-orang dalam Istana sendiri, dan diperintahkan anaknya untuk mencari pulau Buton ini. Adapun tujuannya ; pertama adalah untuk menyelamatkan ke tiga anaknya yakni Raden Sibatera, Raden Jatubun dan putri Lasem dari serangan pemberontak yang muncul dalam lingkungan pejabat istana. Dimana pulau Buton yang dipilih pada saat itu merupakan negeri yang relative (negeri keresian) aman dan kedua ialah untuk menyebarkan pemerintahannya dan pengembangan Bandar baru diwilayah lain disamping penyebaran keturunan. Adapun Raden Wijaya berpesan: “Berangkatlah anak-anakku, berangkatlah 20 generasi nanti akan kembali bersatu dengan Bangsa Leluhurmu yaitu dalam Kebangsaan Nusantara”
Di Desa Lasalimu terdapat Gunung Mada, konon diceritakan sebagai tempat mula kembalinya Gajah Mada setelah meninggalkan kerajaan Majapahit dengan membawa pasukan setianya sebanyak 40 orang. Sedangkan di kelurahan Majapahit di Batauga, konon dicerikakan sebagai tempat wafatnya Gajah Mada yang terdapat didalam satu liang bersama 40 orang pengikutnya. Mereka secara bersama-sama menguburkan/menimbunkan diri mendampingi mahpati Gajah Mada di dalam liang itu. Demikian pula di gunung Takimpo konon juga diberitakan sebagai tempat makamnya Gajah Mada beserta 40 orang prajurit setianya.  Dan hasil tutur foklour masyarakat Liya disebutkan bahwa Gajah Mada Moksa di salah satu Goa di pulau Oroho wilayah Kerajaan Liya.
Begitu setianya para prajuritnya tak mau berpisah jauh dengan sang maha pati Gajah Mada setelah wafat. Selama 40 hari dan 40 malam secara terus menerus gendang para perajurit mengiringi jasad sang mahpatih Gajah Mada di dalam liang tersebut dan setelah hari ke-41 bunyi genderang sekaligus hilang sunyi senyap ibarat ditelan bersama keheningan alam. Menandakan bahwa seluruh prajurit setia Gajah Mada yang ikut menguburkan diri bersama Gajah Mada diliang tersebut sudah wafat semua. Konon dikisahkan bahwa sampai dengan saat ini pada malam-malam tertentu masyarakat disekitar liang tersebut yang terdapat disalah satu Desa di Kelurahan Majapahit Kecamatan Batauga masih sering mendengar bunyi genderang para parajurit Gajah Mada itu sehingga daerah ini termasuk disakralkan oleh penduduk setempat.
Jika hipotesis ini benar, berarti tak salah lagi bahwa Gajah Mada adalah cucu Raden Wijaya. Gajah Mada selama berada di pulau Buton sejak kecil sampai menjelang dewasa dibawa bimbingan orang-orang sakti dan dia telah menimba ilmu bathin dan kanukragan yang amat dasyat. Setelah usia Gajah Mada dipandang cukup dewasa (usia  antara  15 s/d 20 tahunan), barulah sang ayah mengutusnya kembali ke pulau jawa untuk memperkuat kerajaan pamannya yakni Raden Jaya Negara sebagai Raja Majapahit. Setelah selesai tugasnya dalam memperjuangkan bersatunya Nusantara dibawah Kerajaan Majapahit yang berlangsung selama kurang lebih 43 tahun. maha patih Gajah Mada akhirnya ia kembali lagi ke pulau Buton pada tahun 1364 untuk menemui kembali kedua orang tuanya. (dalam sejarah tahun 1364 diberitakan Gajah Mada wafat).

Dalam catatan Mpu Prapanca (Negarakertagama) jelas ada disebut Butun (buton), LIYA- wangiwangi, Selayar,dan Bontain, sebagai wilayah Kerajaan Majapahit.
“…..muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk tentang udamakatrayadhi nikanang sunusaspupul ikangsakasanusanusa makassar butun banggawi kuni gra-LIYA-o wangi (ng) salaya sumba solo muar,….”( Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945). 

Begitu besar makna sumpah Palapa bagi Gajah Mada sehingga diapun berjanji untuk tidak akan pernah tidur sebelum seluruh Nusantara dapat dipersatukan oleh kerajaan Majapahit----adalah merupakan suatu perjuangan yang amat berharga pada zamannya. “Apakah semangat juang Gajah Mada ini masih dimiliki oleh para pemimpin bangsa kita saat ini, dalam memperjuangkan tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia” ??. Masih dalam tanda Tanya besar, sebab gaya kepemimpinan para pejabat kita saat ini ialah lebih cendrung kebaratan, konsepsi pola pikir dan tingkah laku kepemimpinan lebih individualistik, postulat merupakan produk kapitalistis, liberalistis, komunistis. Bukannya gaya kepemimpinan berdasarkan doktrin sesepuh para leluhur yang amat tersohor pada zamannya yang bersahaja, adil dan sederhana itu. Kata orang kampung ; “Amat sayanglah para pemimpin kita saat ini mereka tinggalkan begitu saja kebudayaan nenek moyang kita dahulu, tanpa mau mereka dengan sungguh - sungguh untuk mempelajarinya. Padahal disana para nenek moyang kita amat kaya akan sifat, sikap, gaya dan ilmu kepemimpinan”.
Semangat juang maha pati Gajah Mada yang tertuang dalam Doktrin Perjuangan Gajah Mada, meliputi 15 (lima belas) Sumpah Palapa sebagai esensi dasar soko guru dalam melangkah memperjuangkan kesatuan seluruh nusantara dalam kekuasaan Majapahit. Adapun isi Sumpah Palapa yang dikutif dalam naskah Bung Karno yang ditanda tangani 1 Maret 1955 yang tertera dalam dokumen Doktrin Perjuangan Penyelesaian Amanah Rakyat, sebagai berikut :
1.VIJ N A
Vijna artinya sifat Bijaksana yang khidmat. Sikap ini mencerminkan rasa tabah dalam keadaan genting, namun tidak lupa daratan dalam keadaan senang. Sikap ini juga mendidik kita untuk rendah hati, tidak pongah dan takabur atau sombong. Kita tidak perlu putus asa ketika menderita, tetapi tidak perlu lupa diri dalam keadaan senang. Didalam diri yang Vijna, terdapat rasa bersahaja yang seimbang.
2.MANTRIWIRYA
Mantriwirya,artinya sifat ini mendidik kita untuk menjadi pembela buat yang tertindas, menolong bagi yang teraniaya. Kita harus berani karena benar dan takut karena salah. Sikap ini mendidik kita berani karena ada sesuatu yang pelu dibela, bukan sesuatu yang perlu kita tundukkan dan kita kalahkan. Sikap ini datang dari kesadaran fikir, rasa dan raga yang menyatu serta berkebenaran yang sejati. Bukan karena perasaan diri kuat dan perkasa. Kekuatan hanya bisa menundukkan dan mengalahkan tapi tak pernah berhasil menciptakan kebenaran dan keadilan.
3.WICAKSANENG NAJA
Wicaksaneng Naja,artinya sikap ini mendidik kita berjiwa patriotik dan demokratis. Terhadap kawan dan lawan kita harus bersikap terbuka dan jantan. Sikap ini mendidik kita jangan suka menari di atas bangkai dan kuburan lawan. Musuh yang jujur itu kadang lebih baik dari kawan yang munafik. Dalam diri manusia selalu ada hal yang baik dan buruk. Tehadap keadaan ini kita harus bersikap bijaksana dan terbuka.
4.MATANGGWAN
Matanggwan,artinya sikap ini bertalian dengan kepercayaan atau rasa kepercayaan. Kalau kita diberi kepercayaan atau amanah, janganlah kita bersikap ingkar atau cidera. Sebab kepercayaan adalah tanggung jawab yang harus kita penuhi. Kita dipercaya bukan lantaran kita kuat dan perkasa, tapi lantaran kita mampu bertangungjawab terhadap kepercayaan yang kita terima sebagai amanah dari orang lain.
5.SATYA BHAKTI APRABHOE
Satya Bhakti Aprabhoe artinya, adalah sikap yang berhubungan dengan loyalitas kita pada atasan, pimpinan dan kenegaraan. Satya Bhakti memang soal loyalitas, tetapi loyalitas musti lahir dari rasa kesadaran dan bukan mitos atau dogma pribadi. Satya bhakti adalah kode etik pengabdian. Berarti itu bukan kultus pemujaan suatu terhadap seseorang yang kebetulan berkuasa.
6.SARJANA PASAMO
Sarjana Pasamo artinya, ialah sikap perwira atau sikap kesatria yang paripurna. Kesatria yang bersikap paripurna (sarjana pasamo) berhati tabah terhadap goncangan apapun. Sementara dia tetap taat pada pimpinan yang baik. Sikap ini mendidik kita supaya tetap berwajah manis dan ramah, sabar dan teguh pada pendirian. Kita kadang harus ikhlas kehilangan sesuatu dan tidak merasa miskin karena memberikan sesuatu. Juga tidak merasa sudah puas karena mencapai atau memiliki sesuatu.
7.WIGNIWAS
Wigniwas artinya, adalah sikap yang membicarakan tentang kewibawaan. Sebenarnya kewibawaan itu terletak pada diri pemimpin yang pandai dan mahir. Dalam hal ini dituntut untuk mahir dalam ilmu historika dan logika. Untuk itu memerlukan pula beberapa ilmu diantaranya ; Kosmology, Konmogonie, Polemos, Egosentros, Logos dan Eros. Disamping itu juga pandai pidato dan mengerti ilmu jiwa lingkungan. Sikap ini menunjukan pada adanya sikap yang tegus dalam prinsip, berani dalam mengambil prakarsa dan tuntas jika suatu langkah sudah diambil.
8.DIROTSABA
Dirotsaba artinya, adalah sikap intensif dalam segala hal. Tekun dalam pada sesuatu yang diyakininya akan berhasil baik. Berkesungguhan dalam berfikir dan berbuat. Juga dalam hal ini tanpa harus kehilangan rasa yang manusiawi. Apapun yang direncanakan dan dikerjakan , cara mengerjakannya itu tetap sungguh-sungguh dan bukan iseng. Biarpun dalam beberapa hal mempunyai kelemahan dan kekurangan, Namun seorang kesatria tidak akan terpengaruh. Dan keadaan ini tidak akan membikin keperibadian dan kebesaran pribadi kesatria menjadi sirna. Jadi sifat ini mendidik kepada kita untuk tetap tegar dan mempengaruhi suasana ataupun lingkungan tanpa terpengaruh sedikitpun.
9.TANLALANO
Tanlalano artinya, ialah sikap manusia yang polos dalam duka dan suka, manusia harus tetap berwajah cerah. Manusia tidak perlu lari dari kenyataan ataupun lari dari dirinya sendiri, apapun yang menimpa dirinya. Sikap ini juga mendidik kita untuk tetap waspada tetapi waspada dan hati-hati yang tanpa dilandasi rasa benci, dengki, curiga dan prasangka. Mahpatih Gajah Mada mengatakan maksud dari pada diri yang Tanlalano adalah manusia itu harus selalu Setiti, Ngastiti, Surti dan Ati-ati. Tetapi tanpa dilandasi dengan hati yang ; Iri, Dengki, Srei, Dahwen, Panasten dan Patiopen.
10.TANSATRISNA
Tansatrisna artinya, sikap ini menunjukan pada sikap kita untuk tidak memihak sejak kita tahu bahwa jalan yang sebenar benarnya telah kita miliki. Mahpatih Gajah Mada mengatakan bahwa kebenaran itu ada 5 (lima) macam, antara lain :
• Kebenaran yang sejati
• Kebenaran yang dapat diterima oleh seluruh bangsa
• Kebenaran yang hanya dapat diterima oleh satu golongan saja
• Kebenaran yang palsu
• Kebenaran yang sesat.
Sikap Tansatrisna ini mendidik kita untuk tidak pilih kasih dan pandang bulu. Tidak selalu berselera untuk pamrih dan tidak punya pertimbangan buat kepentingan diri sendiri. Berarti pula kita tidak punya selera untuk pamrih.
11.DWIGNYATCIPTA
Dwignyatcipta Artinya, sikap ini mendidik kita sopan santun atau suatu watak yang sangat berbudaya. Dalam berhubungan dengan manusia sesama akan tampil sikap kita yang tahu akan tata krama dan berbudi luhur. Dalam sikap ini sangat menonjol sekali nilai demokratis. Jiwa Gajah Mada yang agung. Sikap ini mengajarkan kepada kita supaya siap dan sedia serta rela mendengar pendapat orang lain kendatipun pendapat itu tidak kita setujui.
12.SIH SAMASTHA BHOEA ERA
Sih Samastha Bhoea Era Artinya, sikap ini membicarakan mengenai nilai-nilai yang patriotik. Seorang pahlawan tidak hanya cukup asal berani saja secara fisik, mental dan ideologi saja. Seorang pahlawan mesti harus mempunyai hati dan akhlak pahlawan, berbudi dan berjiwa pahlawan. Disamping itu harus dapat membentuk generasi muda pahlawan. Sikap tersebut sebagai ciri pahlawan dan untuk membesarkan pahlawan. Tetapi membesarkan pahlawan tidak sama dan bukan mendewakan pahlawan dan memuja buta pahlawan itu.
13.GYNONG PRATITDYA
Gynong Prattitdya Artinya, sikap ini berbicara tentang watak moral yang tinggi. Manusia yang baik harus selalu mengerjakan yang baik dan harus dapat membuang jauh segala tingkah laku serta perbuatan yang buruk. Menurut keterangan Mahpatih Gajah Mada, baik itu adalah tingkat terendah, sedangkan urutannya ialah Baik, Bijaksana dan Bajiksana. Dalam hal ini juga berbicara tentang jiwa dan watak keterbukaan. Sebab cuma orang yang berwatak terbuka maka dia berani membuang segala yang buruk dalam dirinya.
14.SOEMANTRI
Soemantri Artinya, sikap ini mendidik kita supaya memperlihatkan sikap yang selalu sadar, setai, teguh bulat dan utuh. Pribadi yang sumantri adalah memperlihatkan kepaduan antara ; Loyalitas, Dedikasi, Kreativitas, Dinamika dan Integritas diri manusia. Manusia yang Soemantri adalah manusia yang selalu ketiga kesadaran yang menyatu. Kesadaran itu ialah Kesadaran pikir, Kesadaran Rasa dan kesaaran raga. Disamping itu juga mengetahui ketiga kehendak, yakni kehendak yang disadari, Kehendak yang didorong oleh nafsu dan Kehendak yang supra.
15.HANYAKEN MOESOEH
Hanyaken Moesoeh Artinya, sikap ini kita dididik untuk dapat mengetahui dengan jelas dan mengendalikan dengan jelas mengenai musuh itu. Yang sebenarnya musuh itu mempunyai gambaran dua dimensi, yakni musuh yang fisik/wadag disebut musuh luar yang kelihatan/dapat dilihat. Musuh ini mudah diketahui dan dapat dikendalikan. Sehingga dengan demikian sehingga musuh yang diluar ini dapat kita jadikan sahabat dapat juga kita jadikan syarat kesuksesan kita.
Namun dalam penguasaan musuh ini kita harus ingat bahwa kita menang tapi kalau bisa jangan ada yang merasa dikalahkan. Selanjutnya terdapat musuh yang tidak kelihatan yakni musuh yang bersarang didalam diri kita sendiri. Musuh inilah yang agak susah kita kendalikan dan apalagi kita musnahkan. Rumah dari musuh yang tersamar ini adalah keinginan (krenteg, karep serta tumindak ). Kesemuanya ini memerlukan emosi, yang mana didalam diri kita terdapat dua jenisnya, ialah 6 akar kejahatan emosi dan 6 akar budi luhur emosi.

Ke lima belas butir Sumpah Palapa oleh Gajah Mada itu senantiasa diamalkan dan dijadikan pedoman dalam setiap kepemimpinan Raja-Raja Liya, Raja-Raja Wolio dan para Sultan di negeri Buton, sehingga ketika mereka memimpin amat  dihormati oleh masyarakatnya dan sangat disegani oleh lawan-lawannya. ****

Minggu, 21 Agustus 2011

SENJA KEBUDAYAAN (BUTON) CIA-CIA

Print E-mail
Written by La Taya   
Thursday, 18 August 2011
OLEH: ABD RAHMAN HAMID *)

Pada tanggal 22 Juli 2011, harian ini menurunkan artikel Cho Tae Young bertajuk refleksi dua tahun pengajaran aksara Hanguel-Korea di Kota Bau-Bau, tepatnya pada masyarakat Cia-cia. Artinya, sudah dua tahun pengguna kebudayaan asing itu melewati masa senjanya dari kebudayaan daerah (Buton) dan nasional. Atas dasar itulah, artikel ini diketengahkan sebagai bahan penyadar dini akan ancaman matinya kebudayaan daerah, seperti juga disitir oleh Young.
Sekilas pandang, sebagian kalangan berpendapat bahwa usaha adaptasi kebudayaan Korea di masyarakat Cia-Cia adalah langkah maju dalam persetubuhan kebudayaan asing dengan keudayaan lokal, yang nota bone memiliki berakar budaya Buton. Mengapa itu terjadi?

Masalah ini seharusnya dijawab dengan terang benderang oleh Pemerintah Kota Bau-bau yang telah membuka pintu Malige bagi adaptasi kebudayaan ini. Itu juga membuktikan, bahwa telah kian lama Pemerintah abai merawat dan membina kebudayaan daerah. Sikap yang demikian kontradiksi dengan usaha Pemerintah dalam membangun kebudayaan nasional, ranah mana tempat bersemainya kebudayaan daerah yang secara antropologi terdiri dari 500 kelompok etnik dengan ciri-ciri bahasa dan kultur tersendiri.

Bila pembiaran itu terus terjadi, maka terbuka kemungkinan peristiwa “Matinya Kebudayaan Daerah”, atau “Krisis Kepribadian Bangsa” dalam bahasa Bung Karno. Untuk menata kehidupan di masa mendatang, kata Bung Karno pada pidato monumentalnya yang menandai lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, kita harus mempunyai landasan kepribadian yang kokoh dan digali dari situs kebudayaan daerah kita yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.

Tetapi, sudahkah penggalian kebudayaan itu dilakukan secara serius dan berkelanjutan? Oleh siapa dan untuk apa? Tak jarang upaya macam itu semata dilakukan oleh kalangan akademik sekadar menuntaskan kewajiban penempaan ilmiah akhirnya di meja studi, atau peneliti pada proyek risetnya. Sangat jarang ditemukan orang yang bergiat melakukan ikhtiar ilmiah dan kebudayaan tersebut demi pelestarian budaya daerah dan pembangunan bangsa.

MENGAPA KEBUDAYAAN KOREA?

Pertanyaan ini diajukan untuk memastikan titik pijak Pemerintah melegalkan adaptasi kebudayaan Korea bagi kaum belia akademik Cia-cia. Objek sasaran ini sangat strategis. Sebab mereka adalah generasi baru dan nakhoda Buton ditengah samudera budaya daerah dan global.

Dalam batas cakupan jelajah akademik saya selama ini, terhadap sejarah dan kebudayaan Buton, upaya sosialisasi dan adaptasi ini tidak memiliki pijak yang kuat. Bahkan, hal itu tak lain dari gerak rantai pematian kebudayaan Buton.

Pemilihan dan penggunaan aksara sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan sepatutnya berlatarkan sejarah dan budaya masyarakat penggunanya. Sebagai contoh, pemanfaatan aksara Latin di Indonesia tidak lepas dari pengaruh bangsa Barat (Eropa) di Bumi Pertiwi pada masa silam. Demikian juga pemungsian aksara Pallawa pada sejumlah Prasasti di Pulau Jawa erat kaitannya dengan interaksi masyarakat Nusantara dengan masyarakat kebudayaan India, khususnya pada periode Hindu-Budha.

Penggunaan aksara Arab berbahasa Melayu, Arab, dan Wolio pada sejumlah naskah Buton merupakan buah interaksi pendukung kebudayaan itu di masa lalu. Aksara dan bahasa Arab, sebagai alat transformasi pesan-pesan Ilahi, tersebar seiring perkembangan agama Islam di Buton, dengan penganjur pada masa awalnya adalah Syekh Abdul Wahid dari Arab. Juga bahasa Melayu yang pernah menjadi lingua franca dalam dunia pelayaran dan perdagangan maritim Nusantara. Akar kebudayaan terakhir ini sangat kuat terutama pada fase awal sejarah politik Buton di abad XIII Masehi. Empat orang pengembara atau juga dikenal dengan Mia Pata Miana (Sijawangkati, Simalui, Sipanjonga, dan Sitamanajo) yang mendirikan Kerajaan Buton berasal dari Negeri Melayu di Semenanjung.

Pendeknya, bila frase-frase kebudayaan itu digunakan sebagai alat transformasi pengetahuan dan kebudayaan di Kota Bau-bau, maka jelas memiliki akar sejarah yang kuat. Sejalan dengan usaha itu pula, jika terdapat itikad baik Pemerintah Kota untuk menggunakan frase budaya (Asia) Timur di masyarakat Buton Cia-cia, maka alternatif aksara China sedikit lebih tepat karena secara faktual memiliki fondasi sejarah dengan masyarakat Cia-cia.

Dalam tradisi lisan Buton dikatakan, bahwa Ratu Buton pertama adalah Wa Kaa Kaa berasal dari China. Pendahulunya adalah Dungku Cangia yang menetap dan menjadi raja di Negeri Tobe-Tobe. Konon, setelah rombongan Wa Kaa Kaa mendarat di Wabula (Pasar Wajo), mereka bergabung dibawah pimpinan Dungku Cangia menuju Lelemangura, kelak menjadi pusat kerajaan. Dari Wa Kaa Kaa inilah, menurut tradisi lisan itu, berkembang masyarakat Cia-cia (di Wabula).

Lalu, bagaimana akar serupa dapat ditunjukkan untuk aspek kebudayan Korea yang kini dipilih sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan bagi kaum belia akademik Cia-cia di Kota Bau-bau? Jika pemerintah Korea bersimpati pada penyelamatan kebudayaan daerah di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Young dalam artikelnya, mengapa alas usahanya tidak bertumpu pada pemupukan kebudayaan daerah yang sudah ada sejak awal, sehingga terjaga kelangsunganya. Bukan menggantikannya, apalagi memaksakannya, dengan anasir kebudayaan baru menggunakan pemikat teknologi dan kapitalisme modern.

BERALTERNATIF

Penggunaan aksara Hangul-Korea di Bau-bau telah membawa kita pada, apa yang dikatakan oleh Bapak Antropologi Idonesia Koentjaraningrat, praktek mentalitas menerabas. Demi mencari jalan pintas dan instan untuk sebuah popularitas publik, sebagai daerah yang mampu mengadaptasi dan menyembangkan kebudayaan asing di era global, khasanah kekayaan kebudayaan nasional tergadai.

Masyarakat Indonesia memiliki beragam kebudayaan, berikut aksara dalam mentransformasikan pegetahuan dan nilai-nilai budayanya. Di Sulawesi misalnya, tiga daerah yang memiliki ikatan erat di masa lalu adalah Wolio (Buton), Wotu (Luwu), dan Layolo (Selayar).

Ketiganya, dari hasil studi lingusitik, memiliki persentase kimiripan bahasa yang tinggi (Pelras 2006), yang mengindikasikan kedekatan akar kebudayaannya. Dalam kaitan itu, masyarakat Bugis-Makassar telah lama dikenal menggunakan aksara Lontara sebagai media komunikasinya. Tetapi, mengapa kita tidak beralternatif untuk menggunakan media itu? Terlepas dari aspek dominasi budaya dan politiknya, yang dimiliki setiap daerah itu, alternatif ini masih dalam batas-batas terawang kebudayaan nasional. Atau alternatif lainnya adalah pemanfaatan aksara Arab dan Latin bagi kaum belia akademik Cia-cia. Akhirnya, selamatkan kebudayaan daerah demi masa depan kebudayaan nasional.

*) Staf Pengajar tidak tetap Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unhas



Sabtu, 11 Juni 2011

MEMBANGUN OPTIMISME KEBUTONAN

OLEH : HASMINA SYARIF

 

Ditengah diskusi dan banyaknya postingan yang ada di group ini, banyak bermunculan ide-ide dan pikiran cerdas generasi Buton dari berbagai aspek keilmuan, mulai dari yang berstatus dosen, mahasiswa, aparat pemerintahan, pelajar, bahkan, ibu-ibu rumah tangga dan para professional asal Buton yang ada di dalam negeri maupun luar negeri.

 Untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi dalam menemukan masa depan Buton, nurani kita terkadang membisikan sesuatu dan bertanya, apakah pemerintah daerah selaku pemegang kekuasaan yang memiliki otorisasi penuh sebagai pengemban amanat rakyat dan pengambil keputusan yg terkait dengan pembangunan di “Bumi Bolimo Karo Somano Lipu” ini, memiliki greget, rasa memiliki (sense of belonging), pola pikir (mindset), keprihatinan (concerns) bahkan merospon pikiran positif yang konstrukif dari manapun datangnnya termasuk dari group diskusi ini?

Timbul pertanyaan, apakah  mereka yg tengah berkuasa dan memperoleh gaji dari jabatannya, justru tengah sibuk memikirkan nasib dirinya dan kelompoknya dengan menghalalkan segala macam cara untuk memenangkan pesta demokrasi pilkada kedepan.? Jangan-jangan para pemimpin dan wakil-wakil kita di legislatif sedang membuat kalkulasi bagaimana melanggengkan kekuasaan di tengah derita rakyat kita yang berkepanjangan.!. Bahkan jangan-jangan forum diskusi yang dihuni banyak generasi intlektual Buton ini,  gaungnya hanya sebatas dunia maya, yang diteriakan dan didengarkan oleh orang-orang yang sama di group ini ?

Ketika muncul pemikiran demikian, seharusnya kita segera meralat dan menghibur diri dengan pemikiran positif bahwa berbuat kebaikan sekecil apapun, harus dilandasi keihlasan  tanpa mengharapkan balasan dan pujian. Tidak usah menganggap diri baik dan menjelekan yang lain, menganggap diri lebih pintar dan orang lain bodoh, kalaupun mengeluarkan kritik hendaknya dilakukan dengan santun, tulus dan sampai sasaran.

Kita harus tetap optimis, semoga pikiran-pikiran cerdas yg keluar dari hati kita yang tulus, dapat menjelma sebagai pilar kekuatan & kepintaran kolektif kedaerahan kita, sembari kita berharap akan berkembang lalu memiliki sayap serta kaki untuk menyapa masyarakat luas, menyebarkan penyadaran kolektif di bumi buton yang tercinta.

Kekayaan alam Buton dalam wujud “Endowment” dan keunggulan nilai leluhur dari Allah Swt, haruslah disyukuri dan disikapi dalam wujud implementasi yang real (nyata), dengan selalu konsisten berada dilintasan “nilai kebutonan” yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.  Buton akan maju dan bermartabat menuju masa depan kalau “Start-Up” pemahaman kita, diawali dengan mencangkokkan pendekatan nilai filosofi yang kita miliki seperti “Pekalapepo Karota Sebelumnya Tapekalepe Lipu” (Memperbaiki diri sebelum memperbaiki Kampung ) sebagai prinsip nilai-nilai kearifan local yang seharusnya di junjung tinggi.

Kalimat sederhana yang bersumber dari nilai leluhur diatas, mengingatkan saya kepada seseorang teman dekat yang banyak memahami konsep nilai budaya strategis bangsa Jepang, dengan mengatakan bahwa nilai spirit diatas, memiliki kesamaan dengan strategi “Perbaikan Berkesinambungan " ala bangsa Jepang yang mendunia dan  dikenal dengan  “Kaizen" (Continuous Improvement), yang salah satunya terfokus pada kekuatan “Create People Before Create Product”. Kedahsyatan pendekatan ini telah menjadi salah satu kunci kesuksesan Jepang dalam persaingan untuk menjadi bangsa yang maju.

Timbul pertanyaan, apakah ini mengindikasikan bahwa filosofi  perbaikan Buton “Pekalapepo Karota Sebelumna Tapekalape Lipu”  sudah ada sebelum konsep Kaizen itu ada. Jawabannya “Maybe Yes Maybe No”, akan tetapi secara faktual pendekatan filosofi „Kaizen“  telah membuktikan konstribusinya untuk mensejahterakan bangsa Jepang. Sementara wujud implementasi dari nilai filosifi "Pekalapepo Karota Sebelumnya Tapekalape Lipu" , hilang dan lenyap hampir tidak berbekas karena terlindas roda penuaan dunia politik yang menghalalkan segala macam cara dengan tidak menempatkan nilai budaya sebagai fondasi kekuatan pembangunan.

Melihat Fenomena yang ada didepan kita, mungkin para leluhur akan meneteskan airmata  dengan penuh penyesalan, karena melihat generasi Buton sekarang ini banyak yang menikung, menghianati, mengabaikan, merusak, menjegal cita-cita mulia mereka melalui pandangan-pandangan dan agenda pendek dengan membajak instrumen-instrumen daerah untuk kepentingan pribadinya. Banyak yang berebut untuk duduk  dalam posisi strategis pemerintahan dan jabatan politik tapi agenda yg dominan hanya kepentingan politik jangka pendek untuk diri, keluarga dan kelompoknya. Bagaimana mungkin Buton akan menemukan masa depannya, jikalau sepintas sistem demokrasi pemeilihan pemimpin kita dalam pilkada sekarang ini telah berubah seperti pasar, dimana seorang dihargai karena duitnya sehingga pada kenyataannya yang menang bukanlah moralitas dan gagasan serta program yang jelas dan cerdas, malainkan siapa yang punya sumber dana yang besar dan berlimpah.

Siapa yang salah dari semua ini, tentunya semua adalah kesalahan kita. Kita butuh proses transformasi yang berlandaskan dan menegdepankan nilai budaya kita, semoga kedepan rakyat Buton semakin kritis, sadar dan memegang prinsip moral dan nilai untuk tidak memilih pemimpin dan wakil rakyat yang miskin kompetensi, moral serta membeli suara dengan uang. Proses transisi yang diperlukan diharapkan semoga mendewasakan kita untuk selalu melakukan perbaikan sekecil apapun, yang penting dilakukan secara berkesinambungan.

Perubahan dari suatu orde haus kekuasaan untuk kembali ke orde pembangunan yang berbasis nilai, tidak semudah membalikan telapak tangan. Mengapa? Dalam ukuran sejarah, sebagaimana negara maju seperti Korea Selatan yang periode “Star Up” pembangunannya, paska kemerdekaan dari penjajahan Jepang memeiliki kesamaan dengan negara kita, negara ginseng ini butuh waktu satu genarasi yaitu 20 – 25 tahun dengan pendekatan strategi pembangunan yang berbasisi nilai & berkelanjutan “Sustainable”, bahkan negara ginsen in berhasil menggiring budaya mereka menjadi "budaya unggu"   yang selalu haus akan prestasi (need for Achievement). Korea Selatan juga telah membuka mata kita dengan membuktikan bahwa bukanlah sumber daya alam semata yang menjadi modal utama pembangunan tetapi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitaslah yang membawa mereka duduk dan berdiri sejajar dengan negara-negara industri utama didunia.

Dibutuhkan kepemimpinan yang tangguh yang berbasis nilai, komitmen, konsistensi, kekuatan fisik dan kesadaran para elite serta kesadaran sosial masyarakat buton yg bermodalkan napas  panjang untuk siap berlari jarak jauh selama satu generasi. Kemudian Buton memerlukan “mind set & visi” bersama, diikuti dengan kesiapan berkorban untuk mewujudkannya, melalui strategi sosialisasi kesadaran kolektif yang effective dan berkesinambungan. Perubahan "mind set"  untuk menjadi "manusia Buton yang maju"  secara kolektif, harus menjadi  suatu target yang mutlak untuk dicapai, sebab ditengah kegamangan  orientasi nilai budaya kita, Buton semakin sulit menjaga keseimbangan olengan gelombang globalisasi, yang juga dipengarahi oleh jarak pandang kemasa depan pun sangat pendek karena kemiskinan visi yang realistis.

Perbedaan antara manusia maju dan kurang maju hanya ditentukan oleh komitment untuk berubah melalui kehausan untuk belajar dan belajar, sementara kehausan untuk belajar berpadanan dengan keterbukaaan diri kita untuk menerima perubahan dari manapun asalnya. Sikap terbuka ini sangat menguntungkan selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita, karena dengan membuka diri terhadap perubahan berarti sudah membuka jalan kearah pengalaman baru untuk dipelajari dan diterapkan.
Sikap ketertutupan kita tentang hal-hal yang baru dari dunia luar yang terkesan dibentengi oleh keangkuhan kita akan keberhasilan sejarah Buton masa lalu yang memegang teguh nilai-nilai budayanya, hanya membuat kita selalu terlena dan terperosok dalam kehidupan yang bermental inlander, tidak mau berkembang, bermalas-malasan, hampir tanpa budaya etos kerja tinggi bahkan akan berujung keterpencilan dari dunia nyata yang berarti hanya menangani kehidupan Buton dari luar permasalahan. Masa lalu Buton harusnya diposisikan sebagai pijakan dan tempat yang merujukkan arah perkembangan, tetapi fokus usahanya adalah perbaikan-perbaikan yang didorong oleh harapan hari ini dan masa depan.

Alex Inkeles, sejalan dengan pendekatan baru yang kini banyak dibicarakan dan diterapkan, yakni pandangannya yang menegaskan bahwa “Culture Matter”  kebudayaan dalam arti sikap dan orientasi nilai & karya amatlah berperan dalam membangun kemajuan bangsa & Negara diantaranya sikap dan orientasi nilai yang mengacuh pada :
  1. Berorientasi kemasa depan,
  2. Kerja keras, kreatifitas, prestasi penting untuk menghasilkan dan harga diri.
  3. Hidup hemat pangkal investasi.
  4. Pendidikan kunci kemajuan
  5. Prestasi dihargai
  6. Saling percaya modal utama
  7. Keadilan dan berbuat fair adalah nilai-nilai progresif dll.
(sumber : “Culture Matter” – How Value shape human Progress) Lawrence E Harrison & Samuel P. Hutington)

Untuk mencapai sikap dan orientasi nilai diatas, maka Buton harus di “grand desaign dengan strartegi pembangunan dalam waktu satu generasi yang  “sustainable”  dengan membutuhkan strategi yang mumpuni, kepemimpinan yang tangguh yang berbasis nilai (Value Based Leadership), Management Sistem & Method yang efektif dan sumber daya yang terampil, jujur dan bertanggung jawab, serta transparansi pengawasan dan pengendalian yang efektif.

Kita harus optimis bahwa Buton belum kehabisan seluruh potensinya untuk melaksanakan tugas sejarah dalam melakukan perbaikan untuk menuju masa depan. Maka pemotretan terhadap berbagai persoalan Buton perlu dilakukan sekedar tumpuan melakukan transformasi pikiran, mental, dan tindakan untuk berbagai langkah perbaikan. Maka sangatlah penting untuk menggelar perdebatan umum dan membuka dialektika pendapat antara sesama generasi Buton sembari mengharap semoga sikap pemerintah daerah untuk selalu membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran generasi buton yang ada didalam maupun diluar sistem pemerintahan.

Saatnya merubah mind set kita untuk menyikapi bersama bahwa “Key Performance Indikator (KPI) kemajuan pembangunan suatu daerah tidak hanya cukup dilihat dengan menggunakan kacamata fisik, namun juga harus memadai dilihat dalam kacamata  ahlak dan budi pekerti, sebagai modal utama kita dalam menghadap Allah SWT.***

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat, amin.
Hasmina Syarif, Jakarta 10 June 2011