bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Minggu, 29 Mei 2011

ADHATI APOPUU YI PONAMISI (hanya sebuah refleksi)

OLEH : ALFIN RODA

Adhati ‘Apopuu yi ponamisi –
Ponamisi Kawuni-Wunina Aula-Taala Te: Batuana -
(Adat berawal dari rasa..
Rasa adalah rahasia Tuhan pada hamba-Nya)
Dalam perspektif leluhur, adat bukan hanya sekedar adat-istiadat dalam arti sempit tapi merupakan budaya atau keseluruhan pengetahuan manusia. Seluruh pengetahuan ini berasal dari suatu “dunia tanpa bunyi…tanpa suara” yaitu rasa (ponamisi). Sedang rasa, perasaan, insting ataupun asal-muasal pengetahuan itu merupakan rahasia Tuhan pada hamba-Nya. Rahasia bukan diartikan pengetahuan tersebut akan selalu tertutup rapat selamanya tetapi rahasia diartikan bahwa dunia tersebut selalu dilingkupi oleh yang gaib dan untuk mendapatkannya dibutuhkan “usaha menguak” rahasia agar kunci rahasia bisa terbuka.

Usaha menguak rahasia selalu dikaitkan dengan upaya mencari kebenaran sejati. Pencarian terhadap kebenaran sejati memang telah menjadi insting dasar setiap manusia yang sadar akan keberadaanya. Dalam keberadaan pencarian ini leluhur Wolio memberikan nasehat:

Ne’u pe:lo Giu-Banara
Boli pe:loa Mia Mosaganana.
Giu- Banara da:ngia yi nuncana Karona Manusia.
Ne’indamo da:ngia yi nuncana Karota
Maka sia-siamo banaka waktumu pe:lo Giu-Banara.


( Jika hendak mencari jalan kebenaran,
jangan mencarinya pada diri orang lain
Jalan Kebenaran ada dalam diri manusia
Kalau sudah musnah dalam diri kita
Niscaya sia-sia sudah membuang waktu mencari jalan-kebenaran)


Disini terjadi kesadaran akan pemisahan pada Jalan-Kebenaran dan Kebenaran itu sendiri. Jalan Kebenaran bukanlah kebenaran. Kebenaran dipercaya hanya satu, tapi jalannya mungkin bisa berbeda. Para Leluhur mengingatkan bahwa jika engkau menuju kebenaran carilah kebenaran dengan jalanmu sendiri yang ada dalam dirimu.

Jalan-Benar janganlah engkau cari melewati diri orang lain..ataupun daerah lain atau kebudayaan lain. Jalan kebenaran itu sesungguhnya telah mengakar dalam dirimu. Engkau sudah punya peta yang akan membawamu kepada kebenaran hakiki yang menjadi tujuanmu. Orang lain, ataupun kebudayaan lain mungkin juga akan mempunyai jalan kebenaran sendiri yang juga mungkin akan membawa kepada tujuan kebenarannya. Tetapi itu bukan jalanmu, karena engkau juga punya jalan sendiri yang akan kau retas sendiri. Karena Jalan Kebenaran itu telah ada dalam diri setiap manusia.

Adalah menarik disimak bahwa dalam lanjutan petuah ini terdapat kata jika jalan kebenaran itu telah musnah, telah hilang dalam diri kita maka sia-sia lah membuang waktu mencari jalan kebenaran itu. Peringatan bahwa jalan kebenaran dalam diri ini bisa hilang dan musnah juga bisa berarti negasi dari pernyatatan tersebut yakni jalan itu juga bisa diadakan atau diciptakan. Jalan kebenaran yang ada dalam diri manusia bisa timbul atau tenggelam. Kalau hilang maka sia-sia waktu pencarianmu, dan engkau akan tersesat dalam labirin pencarianmu. Dan jika masih ada maka engkau akan tergolong orang-orang yang tepat berjalan diatas jalan benar dan insya allah mendapatkan kebenaran.

Karena sifatnya yang subyektif, maka setiap jalan kebenaran bisa saja berbeda dari satu pribadi ke pribadi lain. Disini diperlukan standardisasi agar setiap jalan kebenaran tidak yang dijalani tidak melenceng dari jalan umum. Sifat subyektif setiap pribadi memungkinkan untuk melenceng memang. Disinilah diperlukan bimbingan agama agar adat/ pengetahuan yang diambil memperoleh arah yang benar. Agama berfungsi sebagai kompas pengarah dan merupakan indkator apakah jalan yang diambil seseorang tersebut telah melenceng atau tidak.

Itulah alasannya mengapa adat selalu disandingkan dengan agama dalam setiap tingkatan pemahaman dan pencarian. Adat dan agama dalam tingkatan kegiatan leluhur Wolio-Buton pada pencarian kebenaran hakiki tidak dapat dipisahkan seperti dalam tapisaka berikut:

Agama Te:Adhati Abasarapu
Labu Rope Audhani Opuna,
Labu Wana Audhani Karona,
Labu Saripi Audhani Amalana
 
(Agama dan adat bersenyawa
Tampak depan, mengingat Pencipta-Nya
Tampak belakang, mengingat dirinya
Tampak samping mengingat amalan-nya)


Sangat jelas terlihat dikatakan bahwa agama dan adat adalah bersenyawa. Dua sisi yang kelihatan berbeda tetapi sebenarnya satu layaknya dua sisi mata uang. Adat atau tata-nilai yang berasal dari rasa pasti akan sewajah dan sejalan dengan agama. Karena bukankah rasa dan agama mempunyai sumber yang sama yakni dari Dia? Implikasi dari kesemuanya ini akan bermuara pada tiga dimensi yakni: bila dari depan akan mengingatkan pada wajah penciptanya yakni Tuhan, sang Asal rasa, tampak belakang akan mengingatkan pada diri yang merasakan yakni manusia/ diri yang merasakan dan dimensi ketiga tampak samping akan ditampilkan wajah amalan atau aplikasi kehidupan dari adat itu sendiri.

Menarik dilihat bahwa dimensi ketiga yakni amalan atau aplikasi ini merupakan tata-kehidupan menyeluruh pada semua kegiatan kemanusiaan yakni mencakup kegiatan ekonomi, pemuasan diri/ individu, militer dan heroisme, Tata Pemerintahan/ Politik dan humanisme, yang kesemuanya bermuara pada agama. Perhatikan isi seloka berikut yang dipegang teguh dan sudah menjadi pegangan kehidupan leluhur sampai sekarang:

‘Yinda – ‘yindamo Arata:, Somanamo Karo
‘Yinda – ‘yindamo Karo, Somanamo Lipu
‘Yinda – ‘yindamo Lipu, Somanamo Sara
‘Yinda – ‘yindamo Sara, Somanamo Agama.


Boleh saja harta tiada asalkan masih ada eksistensi Diri
Boleh saja diri tiada asal masih ada eksistensi Negeri
Boleh negeri tiada asal masih ada eksistensi Tata-Pemerintahan
Boleh saja tata-pemerintahan tiada asal masih ada eksistensi Agama


‘Yinda – ‘yindamo Arata somanamo karo. Ada juga versi lain yang berbunyi Bolimo Arata somanamo karo. Harta boleh tiada asal eksistensi diri masih ada. Petuah ini bukan menafikkan pencarian harta. Disini dikedepankan hubungan antara harta dan pemenuhan ego/ diri. Harta memang dibutuhkan untuk pemenuhan diri. Pencarian harta merupakan esensi dari kegiatan ekonomi manusia. Harta digunakan untuk kebutuhan diri/ Karo. Yang menjadi fokus adalah jika proses pencarian harta tidak menafikkan harga diri. Saat harta dan harga diri menjadi pilihan maka harta harus ditinggalkan. Harta harus ditanggalkan saat harga diri hilang dalam proses pencarian harta. Dengan kata lain dilarang mencari harta yang tidak halal karena harta yang tidak halal pasti berseberangan dengan harga diri.

‘Yinda – ‘yindamo karo somanamo lipu. Atau bisa jga dikatakan Bolimo Karo Somanamo Lipu. Boleh saja diri ini tiada asal masih ada eksistensi negeri. Diri bisa dikorbankan demi keberadaan negeri. Sepertinya petuah ini senada dengan semangat kemiliteran Jepang yang disebut Harakiri. Keberanian meniadakan eksistnsi diri demi eksistensi negeri. Semangat ini sanggup meluluh-lantahkan keberanian tentara sekutu di Perang Dunia II.

‘Yinda – ‘yindamo lipu somanamo sara. Atau Bolimo lipu somanamo sara. Boleh saja negeri tiada asal masih ada eksistensi Tata-Pemerintahan. Paham ini mungkin agak susah dimengerti karena esensinya menempatkan tata-pemerintahan diatas keberadaan negeri. Negeri bisa dihilangkan asal tata pemerintahan tidak hilang. Negeri adalah fisik, area, batas tanah dan lain-lain. Sedang tata pemerintahan merupakan rakyat dan pemerintahnya serta nilai-nilai politik diatasnya. Tata pemerintahan terdiri dari manusia yang hidup diatas fisik tanah diatasnya. Disini dikatakan bahwa fisik tanah bisa saja ditiadakan asal manusia dan nilai-nilai pemerintahannya tidak punah. Disinilah letak prinsip dasar humanisme dalam petuah ini. Suatu penghargaan yang tiada terkira dari nilai kemanusiaan. Suatu penghormatan terhadap keberadaan eksistnsi manusia dan nilai-nilai politik yang dianut oleh kumpulan manusia yang menyertainya.

‘Yinda – ‘yindamo Sara Somanamo Agama. Atau Bolimo Sara Somanamo Agama. Ini merupakan peniadaan terakhir. Sara boleh saja hilang, Tata-pemerintahan boleh saja punah asal eksistensi agama masih ada. Leluhur menempatkan agama diatas segalanya.

Keseluruhan dari petuah diatas berbunyi bahwa harta, diri, negeri, maupun tata-pemerintahan bisa saja dikorbankan demi keberadaan agama. Dengan kata lain, keseluruhan dari kelima petuah diatas dapat disarikan dengan satu kata yakni JIHAD FI SABILILLAH. Jihad di jalan Allah …

Tidak ada komentar: