OLEH :MUSRIFI DE LA IFI
Setiap kelompok masyarakat dimanapun berada senantiasa mempunyai pandangan (filosofi) dalam kehidupan. Filosofi ini berlandaskan keyakinan yang dianutnya baik itu agama bumi maupun agama langit (samawi). Nilai - nilai kearifan ini tidak saja terpandang sebagai suatu ide tetapi selanjutnya diwujudkan dengan hasil karya nyata baik dalam kehidupan secara pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.
Sultan, Sapati, Kenepulu, Kapitalau, Bonto Ogena, Siolimbona, Bobato,  Bobato Siolipuna, Bobato Bana Meja, Bobato Mancuana yang terhimpun  dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buthuuni, wilayah dan  kekuasaannya telah berakhir ketika pemerintahan swapraja ditiadakan  tahun 1960.  Namun dalam perspektif budaya kebesaran dan kewibawaan  tatanan pemerintahan masih dibutuhkan pada era otonomi daerah dewasa  ini.  Pangka – demikian sebutan bagi pejabat tinggi Negara yang  bertindak sebagai pimpinan tradisional dalam struktur pemerintahan  Kesultanan Buthuuni ketika itu sudah jarang terdengar dan nama itu sudah  tidak bersahabat lagi dengan keseharian kita.  Sayang nama jabatan  terhormat dan sacral pada masa lalu ini terancam menghilang dari memori  kolektif dan perbincangan kita sehari-hari.  Nama-nama jabatan tersebut  sudah asing ditelinga kita dan bahkan pengalaman kolektif ini sudah  tidak dikenal lagi dikalangan generasi muda.
Berdasarkan arsip dan naskah Kerajaan/Kesultanan Buthuuni (baca  Buton) adalah sebuah kerajaan yang berdaulat yang berdiri pada  pertengahan abad ke 13 dan mengubah status pemerintahannya menjadi  Negara Kesultanan pada tanggal 1 Ramadan tahun 948 H (1540 M) ketika itu  agama Islam resmi diterima sebagai agama Negara.  Dari sumber-sumber  berupa kabenci - kabenci (naskah-naskah) dan tula-tula (oral tradisional)  yang tersimpan dalam berbagai bahasa dan versi menorehkan berbagai  informasi keagungan dan kejayaan Kerajaan/Kesultanan Buthuuni di masa  lampau.
Kabe-kabenci (naskah-naskah) dan tula-tula (oral tradisional) yang  diwariskan secara turun temurun dari generasi generasi menorehkan  berbagai informasi seperti masalah perundang-undangan, system dan  struktur pemerintahan, tata aturan bernegara dan bermasyarakat  kepemimpinan dan lain-lain yang dapat dikatagorikan sebagai sumber  kekayaan sejarah Kerajaan/Kesultanan Buthuuni.  Melalui kabe-kabenci itu  diketahui bahwa Wolio – Buthuuni (Buton) adalah sebuah Negara modern  awal telah menyusun struktur pemerintahan, pembagian wilayah pusat dan  daerah yang memiliki kedaulatan selama kurang lebih 7 abad lamanya,  telah memerintah 6 orang raja dan 37 orang sultan.
Wilayah kekuasaan Kerajaan/Kesultanan Buthuuni terdiri dari pusat dan  daerah dengan pusat pemerintahan adalah Wolio (sekarang Kota Baubau)  dan daerah kekusaaan terdiri dari Barata dan Kadie yang meliputi gugusan  kepulauan dikawasan bagian tenggara jazirah Sulawesi Tengggara yang  terdiri dari Pulau Buthuuni ( Buton ), Pulau Muna, Pulau Kabaena,  Pulau-Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Pulau  Makassar, Pulau Kadatua, Masiri, dan Pulau Siompu, Pulau Talaga Besar,  Pulau Talaga Kecil, Poleang, Rumbia, Pulau Wawonii, Pulau Wanci, Pulau  Tomia dan Pulau Binongko.  Dari keseluruhan wilayah terdapat 72 Kadie  dan 4 wilayah Barata.  Adapun empat wilayah barata adalah Barata Tiworo,  Barata Kolencusu, Barata Muna dan Barata Kaedupa.
Periode pemerintahan dimulai sejak Raja Pertama Wa Kaa Kaa sampai  dengan Sultan La Ode Muhammad Falihi sebagi Sultan terakhir wafat tahun  1960.  Memasuki periode pasca kemerdekaan, kecemerlangan budaya Wolio  Buthuuni mengalami stagnasi seiring dengan terpaan gelombang modernisasi  pada era global, budaya Wolio Buthuuni semakin terkikis secara perlahan  terlupakan dan akhirnya menuju ambang kemunduran.  Ditengah kemunduran  itu kebudayaan Wolio Buthuuni masih menyisahkan kebesarannya untuk  menjadi acuan dan pedoman dalam rangka kebangkitan kembali untuk itu  kebudayaan Wolio Buthuuni perlu di dorong dengan berbagai kegiatan  seperti penataan kelembagaan, melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah  serta menulisan sejarah dan budaya guna merekontruksi kembali  nilai-nilai kearifan sejarah dan kebudayaan Wolio Buthuuni.
Dari keseluruhan wilayah terdapat 72 Kadie dan 4 wilayah Barata.  Adapun empat wilyah barata adalah :
Barata Muna, pusatnya di Raha
Barata Tiworo, pusatnya di Tiworo
Barata Kolengcusu pusatnya di Kolencusu
Barata Kaedupa pusatnya di KaLedupa
Nama Buthuuni berasal dari  bahasa Arab yaitu Bathniy yang berarti   “  perut yang mengandung rahasia “. Buthuuni atau Bathniy  yang langsung  diberi nama atau dicanangkan  oleh Nabi Muhammad sebagaimana  diriwayatkan sebagai berikut (kata yang empunya cerita)  :
“ Pada tahun III Hijiriah atau tahun 624 M, Nabi Muhammad SAW setelah  mengerjakan shalat Subuh berjamaah bersama-sama para Sahabat dalam  mesjid beliau di Madinah seperti biasa selesai mengerjakan shalat tidak  langsung pulang kerumah tetapi mendengarkan nasehat dari Rasulullah SAW  tentang segala hal yang menyangkut Islam.  Tiba-tiba terdengar oleh  mereka suara dentuman sebanyak tiga kali berturut-turut, lalu salah  seorang sahabat bertanya “ Ya Rasulullah suara apakah itu ? Rasulullah  SAW menjawab : “ Sesungguhnya suara yang baru kita dengar tadi adalah  jauh dari sebelah masariki ada gugusan tanah yang telah lama muncul dari  permukaan laut untuk memperkenalkan dirinya kepada dunia, sedang  menurut ramalanku bahwa  manusia yang menjadi penghuni negeri itu  sebagian besar akan mengikuti seruanku yaitu beriman dan taqwa kepada  Allah SWT. Oleh karena itu sebelum kita didahului oleh bangsa lain untuk  menginjakaan kakinya pada kedua negeri itu lebih baik kita yang  dahului. Pada tahun VII Hijriah dalam suatu pertemuan keluarga ( Ahlul  Bait ) Muhammad Rasulullah yang dihadiri oleh Sadina Ali bin Abithalib  bersama Fatimah Az Zahra, Rasululullah mengutus dua orang dari Ahlul  Bait (Bani Hasyim) untuk mencari negeri yang dimaksud yaitu Abdul Gafur  dan Abdul Syukur.  Rasulullah berpesan kepada kedua utusan tersebut:  Bawalah kedua bendera ini dan pasanglah pada tiap-tiap negeri yang  dijumpai. Sebagai bukti yang menunjukkan penemuanku. Perlu dimaklumu  bahwa hakekat dan rahasia isi hatiku pada kedua negeri dimaksud sangat  erat dengan keadaanku baik dalam bathiniah maupun dalam lahiriah dan ini  adalah satu  titipan sepeninggal ku nanti sebagai pusaka dari ku untuk  kuwariskan kepada generasi penerus yang menjadi penghuni kedua negeri  tersebut.  Karena dari Mekah, Medinah dan kedua negeri yang dimaksud  adalah Empat negeri yang akan kusesuaikan dengan susunan rangkaian  namaku Muhammad yang empat hurufnya akan kujadikan pula menjadi hakekat  rahasia yang terkandung dalam tiap-tiap huruf namaku menjadi nama  keempat negeri yang dimaksud yaitu : Mekah, Medinah dan kedua negeri  yang akan dicari oleh saudaraku-saudara utusanku.
Kemudian Rasulullah bersabda lagi yang artinya :
Karena menurut rahasia hatiku adalah :
1. Mekkah itu ku tamsil ibarat Kepalaku dan makam hakekatnya di kandung huruf Mim awal dari   rangakaian huruf namaku Muhammad.
2. Medinah itu ku tamsil ibaratkan Badanku dan makam hakekatnya di kandung huruf Ha dari rangkaian huruf namaku Muhammad.
3. Dan tanah yang mula-mula di jumpai oleh saudara-saudara utusanku  adalah ibaratkan perut  dan kunamai dia Bathniy artinya perutku makam  hakekatnya dikandung huruf Mim akhir dari rangkaian huruf namaku  Muhammad.
4. Sedangkan tanah terakhir yang dijumpai adalah kutamsil ibaratkan  kedua belah kakiku yaitu Rijalaany dan makam hakekatnya di kandung huruf  Dal dari rangkaian huruf namaku Muhammad dan kunamai dia Munajati.
Selanjutnya Rasulullah bersabda yang artinya :
Menurut hakekat rahasia keyakinan hati ku kedua negeri tersebut ku  tamsil dia masing-masing Bathniy dan Rijalaany.  Mekkah itu menurut  rahasia keyakinan isi hatiku adalah ku tamsil ibaratkan kepalaku dan  bahwa tiap-tiap kepala manusia mengandung sesuatu makam Dimaqha  namanya.  Di Maqha inilah letaknya Makkah itu yang ku rangkaikan dengan  Huruf Mim awal dari rangkaian huruf nama ku.  Di Mekkalah mulai terbuka  pikiranku untuk memperjuangkan kebenaran Islam sesuai dengan petunjuk  Allah SWT.  Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “ Walmakkiyah wara’suukal  miimil awali alaa suuratil Muhammad “.  Artinya : Mekkah itu adalah  kepalaku huruf mim awal dari rangkaian namaku Muhammad.
Begitu pula dengan Yatsrib atau Madinatun nabi ( kota nabi ) adalah  ku tamsil ibaratkan badan ku karena dalam badan/dada manusia itu  merupakan suatu maqam yang mengandung hati dalam hakekatnya di kandung  huruf Ha dari rangkaian huruf nama ku Muhammad.  Rasulullah SAW bersabda  : “ Almadaniyah wal badaanu kal alaa suurati Muhammad “.  Artinya :  Madinah itu adalah dada ku huruf Ha dari rangkaian huruf nama ku  Muhammad dan ku tamsil ibaratkan dadaku.
Lebih lanjut Rasulullah bersabda yang artinya :
Dan di Medinah inilah saya mengumpulkan semua kekuatan, pikiran dan  tenaga dengan tulus dan ikhlas karena Allah SWT bersama para sahabat dan  pengikut-pengikut ku baik dari kaum muhajirin maupun kaum Ansyar untuk  mempertahankan kemegahan Islam yaitu agama yang besar disisi Allah SWT.
Kemudian Rasulullah bersabda lagi yang artinya : “ Demikian pula  negeri yang dijumpai, saya namai Bathniy atau perut ku, karena semua  yang masuk dalam perut itu sebagian melalui jantung.  Itulah sebabnya  saya namai Bathniy sebab di negeri itu merupakan hazanah bagi ku untuk  ku jadikan perbendaharaan penyimpanan hakekat rahasia agama yang  kuperjuangkan dan mengenai hubungannya dengan Allah SWT sebagaimana  dalam hadist yang berbunyi : “ Wal bathniy kalmiymits tsaani alaa  suurati Muhammad “. Artinya : Bathniy adalah negeri huruf Mim kedua dari  rangkaian nama ku Muhammad dan ku tamsilkan ibaratkan sebagai perut ku.
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda :
Sedang negeri terakhir yang di temui  ku tamsil ibaratkan kedua belah kaki ku dan ku namai Munajat.
Rasulullah bersabda : “ Wal munajat rijaalaniy kal dal alaa suuratin  Muhammad “. Artinya : Dan Munajat nama negeri Muna adalah huruf  Dal  dari rangkaian namaku Muhammad dan kutamsil ibaratkan sebagai kedua  kakiku.
Pada pertemuan  Mekah yang dihadiri oleh dua belas bendera.   Pertemuan ini dilaksanakan dua tahun sebelum Rasulullah wafat yang  disebut  pertemuan Furuhaderana.  Dua pokok penting yang diuraiankan  Nabi Muhammad SAW dalam pertemuan yang ada hubungan dengan Buthuuni   adalah :
a. Dua bendera atau dua Negara yang nantinya akan menjadi bangsa yang  besar yaitu : wilayah Magribi (Barat) akan dikuasai oleh bangsa  Inggiris dan wilayah Masyariki (Timur) akan dikuasai oleh bangsa  Belanda. Hal ini dikarenakan kedua negri itu merupakan turunan dari Nabi  Ibrahim as.
b. Akan ada pertemuan lanjutan dari pertemuan ini karena belum  hadirnya utusan bendera wilayah Timur (bangsa Masyariki).  Kelak nanti  yang mewakili negeri Masyariki itu bernama Buthuuni.  Penghuni negeri  itu akan didiami oleh para ulama dan Aulia Allah yang mewarisi  ilmuku   walaupun  mereka itu tidak langsung mendengar ajaran dan ucapan yang  keluar dari mulutku tentang keyakinan agama Islam yang murni dan negeri  itu bernaung pada kebesaran bendera/payung warna kuning.
Hal yang sama Kerajaan  Majapahit mengenal Kerajaan/Kesultanaan  Butuuni dengan nama  Buthuuni sebagaimana dalam buku Kakawin Negara  Kertagama yang dikarang oleh Empu Prapanca pada tahun 1364/1365 Masehi.   Pada buku ini Kerajaan Butuuni disebut dua (2) kali, yaitu : pada Pupuh  XIV No.5 berbunyi “ ... Yang dimaksud  dengan kesatuan Nusantara adalah  Makassar, Buthuuni, Banggai, Kusir, Galian serta Selayar.  Sumba,  Solor, Muar, lagi pula Wanda Ambon, Wanin, Seram Timor dan beberapa lagi  pulau-pulau lain”.  Sedangkan pada Pupuh LXVII disebutkan “ ... Desa  Keresian  seperti berikut : Sampud, Rupit, dan Pilan Puncangan,  Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun.  Disitulah terbentang taman,  didirikan Lingga dan saluran air.  Yang Mulia Maha Guru – Demikian  sebutan beliau ... “.
Sedangkan dalam risalah perjalanan Ibnu Batuta Kerajaan/Kesultanan  Wolio – Buthuuni dikenal dengan Negeri Tawalisi (Negeri Kedamaian).   Dalam risalah tersebut diceritakan :” ...... dalam perjalanan Ibnu  Batuta pada tahun 1237 tiba disebuah Negeri yang disebut Negeri Tawalisi  yang dipimpin seorang Raja perempuan yang bernama Zamzawiah yang mahir  berbahasa Parsi....”
Kemajuan suatu daerah/negara tentunya tidak lepas dengan   kepemimpinan.   Seorang pemimpin tidak hanya mengatur bagaimana  agar  tercipta kehidupan yang harmonis dalam komunitas yang dipimpinnya,  tetapi juga memberi arah kemana seharusnya melangkah. Oleh karena itu  agar dapat menjalankan kedua fungsi tersebut seorang Pemimpin tidak  hanya mempunyai kecakapan dalam memimpin tetapi juga harus mempunyai  legitimasi baik secara cultural maupun secara structural. Lantas  Bagaimana Kesultanan Buhtuuni di dalam memandang dan menetapkan seorang  Pemimpin/Sultan?
Pembentukan Kesultanan Buthuuni didasarkan atas nilai-nilai ajaran  agama Islam (Sifat Dua Puluh dan Martabat Tujuh). Wilayah kesultanan  terbagi atas 4 (empat ) Barata yaitu; Barata Muna, Barata Tiworo, Barata  Kolencusu dan Barata Kaedupa dan 72 (tujuh puluh dua) kadie/daerah.  Tujuh Puluh Dua kadie/Daerah diambil dari kiasan itikad dari kaum yang  72 ( tujuh puluh dua ) sebagaimana Al Quran dan Hadist mengatakan bahwa  pada suatu zaman adalah suatu Negara terdiri atas 72 kaum dan hanya 2  (dua ) kaum yang teguh beriman kepada Allah SWT. Selainnya 70 kaum lemah  kepercayaannya terhadap Allah lantaran dipengaruhi oleh hawa nafsunya  sehingga mereka menjadi khianat, syirik dan munafik. Sedangkan struktur  masyarakat Butuuni secara garis besar terdiri dari 3 (golongan) yang  disebut Kabumbu Taluanguna, yaitu :
    Kaumu ( Lalaki / Ana ) yang di tamsilkan sebagai Nurullah
    Walaka ( Ama )  yang di tamsilkan sebagai Nur Muhammad
    Papara ( Rakyat ) yang di tamsilkan sebagai Nur Adam
Demikianlah dalam masyarakat Kesultanan Buthuuni memandang seluruh  masyarakat didasarkan atas dasar hakikat hidup Insan, yaitu kesatuan dan  persatuan di dalam proses perwujudan kemanusian.  Didalam Insanul Kamil  dikatakan :  Hakikat shalaati fi insani, Hakikat Insani fi ain saabita  dan hakekat ain sabita fi nokta (titik/hatullah).  Hayatullah merupakan  sinar ketetapan makhluk dan melalui proses 4 (empat ) alam barulah  manusia wujud.  Bahwa dengan dasar inilah menjadikan manusia berusaha  dan mengatakan kembali asal kejadian dirinya melalui shalat 17 rakaat  dan 5 waktu sehari semalam.  Atas dasar ini pula dari tiga golongan  dalam masyarakat kesultanan Buthuuni yaitu : Lalaki, Walaka dan Papara  bagaikan perpaduan antara Zat, Sifat dan Asma (wujud ).
Pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin, Sultan ke IV disepakati dalam  musyawarah Sara yang mempunyai hak menjadi Sultan Buthuuni adalah  Golongan Kaumu yang terdiri dari Kamborumboru Talupalena “ Tiga Tiang  Pancang “ yaitu Kaumu Tanalaindu ditamsilkan dari Bani Hasyim turunan  dari Laelangi, Kaum Tapi-Tapi ditamsilkan Bani Abbasia turunan dari La  Singga dan Kaumu Kembewaha ditamsilkan Bani Umaya turunan dari La Bula.  Kamborumboru Talupalena “ Tiga Tiang Pancang” dalam golongan Lalaki  (Kaumu), berakar pada Bumbunga Sioanguna (Siolimbona) golongan Walaka  (Ama/Bapak).
Keberadaan  tiga cabang golongan Kaumu (Lalaki) yang kemudian  menyebabkan proses penentuan Sultan/Pemimpin di Kesultanan Buthuuni agak  berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain.  Biasanya Sultan ditetapkan  berdasarkan putra mahkota/garis genetic maka di Kesultanan Buthuuni  seorang Sultan ditetapkan melalui proses pemilihan yang dilakkukan oleh  Bonto Siolimbona dari Galongan Walaka   (Ama/Bapak ) yang mewakili  sembilan Daerah yaitu : Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona  Gundu-Gundu, Bontona Barangkatopa, Bontona Gama, Bontona Siompu, Bontona  Wandailolo, Bontona Melai dan Bontona Rakia. Dengan kata lain seorang  putra Sultan tidak secara otomatis menjadi Sultan.
Adapun kriteria seorang untuk menjadi Sultan Buthuuni adalah berasal  dari Golongan Kaum (Lalaki) Kamborumboru Talupalena, Laki-Laki, sehat  jasmani dan rohani, memiliki Sifat-sifat Nabi Muhammad yaitu Bersifat  Sidik (benar dan jujur dalam segala hal, rela berkorban dijalan  kebenaran, tak boleh berbohong); bersifat Tabliq (menyampaikan segala  perkara yang memberi manfaat terhadap kepentingan umum, tak boleh   menyembunyikan sesuatu maksud); bersifat Amanah (mempunyai rasa  kepercayaan terhadap umum, tak boleh mempertukarkan sesuatu hal sehingga  pendengaran tidak sesuai bukti atau perasaan); bersifat Fatanah (fasih  lidah dalam berbicara). Selain dari pada syarat-syarat tersebut seorang  calon Sultan maka wajib juga memiliki sifat-sifat Ketuhanan, yaitu :  bersifat Hiyaat, Ilmu, Kodrat, Iradat, Basyar, Sama’a dan bersifat  Kalam.
Kriteria tersebut di atas  merupakan adat mufakat  Sara Kesultanan  Buthuuni karena yang menjadi penghulu atau kepala dari rakyat atau  masyarakat Buthuuni bergelarlah ia Sultan yang mempunyai hukum  kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan dalam daerah kesultanannya.   Sebab  itu menurut adat mufakat yang bergelar Sultan itu diteladankan sebagai  Khalifatullah (Penggati Tuhan) sesuai kata Ulama Tahkiq : “ Assulthaani  Khalifatullah Fil Ardhi artinya :“ Sultan itu pengganti Tuhan di Bumi.   Dengan pemahaman bahwa Sultan menerima bayang-bayang wajibul wujud  sebagai mazhar yang bersemayamnya bayang-bayang kenyataan Sifat  ke-Tuhan-an. Sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran Surat Al baqarah ayat  30 yang Artinya : Dan ingatlah (ketika Tuhanku) berkata kepada para  malaikat .  Sesungguhnya aku akan menjadikan seseorang wakil (khalifah)  di muka bumi. Dan Surat Hadid ayat 5 yang artinya : Dan Dialah (Tuhan)  yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan   sebagian (yang lain ) beberapa derajat.
Oleh karena itu nama Sultan itu di Kesultanan Buthuuni diteladankan  atas hakikat khalifatullah  maka diwajibkan kepada Sultan menerima  bayang-banyang Wajibul Wujud yang sempurna sifat ke-Tuhanan-nya.  Sebab  itu diwajibkan atas seorang yang layak menjadi Sultan mempunyai dua  sifat dalam hakikat kesempurnaan ke Sultanannya karena tepat menerima  bayang-bayang wajibul wujud yaitu :
1.  Sifat kesempurnaan wajibnya
Diwajibkan atas seorang yang layak diangkat jadi Sultan asal usul  bangsa keturunan Sultan, yaitu dari Kamboru-mboru Talupalena. atau  Golongan Kaumu ( Lalaki / Anak ).
2.  Sifat kesempurnaan wujudnya
a. Sifat kesempurnaan badan lahirnya :
- seorang laki-laki yang sempurna panca indranya (anggota tubuhnya tak ada cela atau kekurangan)
b. Sifat kesempurnaan badan batinya
    - kecerdasan akal atau hikmat
    - kecerdasan perasaan budi atau akhlaq kesopanan
Sifat kesempurnaan badan batin inilah yang utama karena ialah yang  menjadi sendi dasar karena ia menjadi sumber dari sifat kesempurnaan  badan lahir.  Atas sifat kecerdasan perasaan budi atau akhlaq kesopanan  maka terbayanglah pada perasaan dan pada pemandangan masyarakat pada  umumnya  beberapa sifat kelebihan dan sifat kemuliaan atau sifat  keutamaan manusia yaitu perangai atau tabiat , budi pekerti yang utama,  tingkah laku yang sopan santun, ramah tamah pergaulannya,manis tutur  bahasanya cinta kepada orang banyak dan dicintai oleh orang banyak.   Sifat-sifat yang suci atau akhlaq kesopanan yang utama inilah yang  menjadi penilaian dan yang ditilik oleh Bonto Siolimbona dalam diri  seorang bangsa Kaumu (Lalaki) diantara ketiga kamboru-mboru talupalena  (Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha) yang mana bakal dicalonkan menjadi  Sultan.
Oleh karena sifat-sifat kemuliaan batin inilah maka Pemimpin di  Kesultanan Buthuuni digelari Sultan karena dapat mencapai nama  ISMURRAHMANI serta timbullah dari kalbi nuraninya SIFATURRAHMAANI yang  meliputi ( melengkupi sekalian  wujudnya ), yaitu cinta sejati yang  sempurna berdiri dengan adil rahmatnya.  Sebagaimana Firman Allah : “  Wallahu alaa kulli syai’in muhyt “ artinya : dan Allah meliputi segala  wujud keadaan “. dan firman Allah :  artinya : Kemana engkau hadapkan  mukamu disanalah wujudnya Tuhan.  Oleh sebab itu apa-apa yang berlaku  pada diri seorang Sultan Buthuuni benar-benar beserta Allah SWT.
Sebab itu diwajibkan atas diri Sultan mewujudkan dua kelakuan atas  dirinya yang menunjukkan keadilan hukum kekuasaanya yang sesuai dengan  nama ISMURRAHMANI, yaitu :
1.  Sifat Rahman ( cinta sejati ) menimbulkan 2 sifat yaitu :  
a. Berjihad dan berkorban di medan alam kebatinan agar supaya hamba/rakyat sama merasahkan nikmat kebahagiaan batin dan jiwanya.
b. Berjuang dan berkorban di dalam lahir untuk kesejahteraan  masyarakat yang menerima bayang-bayang wajibul wujud yang mencapai  ISMURRAHMANI itu adalah berpedoman kata ulama “ Suhudu kasarat fil  wahda, suhudu wahda fil kasarat “ artinya : Menilik yang banyak didalam  yang satu dan menilik yang satu didalam yang banyak.
2.  Sifat keadilan sejati menimbulkan 2 sifat perbuatan, yaitu :
a.      Mematutkan amal dan jasa (pahala) atas hamba rakyatnya yang  menurut titah dan mengikuti itfak kebajikan adat istiadat negeri  sebagaimana  firman Allah : “ Faman ya’mal miskaala zarratin khairan  yara (S. Al Zalzalah : 7) artinya : “ Barang siapa berbuat baik walau  sebesar zarrah sekalipun akan diperlihatkan ganjaran kebaikannya.
b.   Menuntut hukuman atas hamba rakyatnya yang berbuat jahat yang  menyalahi adat atau itfak kebajikan negeri serta diberi ganjaran yang  sepadan atasnya. sebagaimana firman Allah dalam surat Al Zalzalah :8 “  Waman ya’mal zarratin syarran yarah” artinya : “ Dan barang siapa  beramal jahat walaupun setimbang zarrah sekalipun diperlihatkan juga  ganjaran kejahatan yang sepadan atasnya.
Sifat keadilan sejati inilah seorang sultan mengambil dasar atas  firman Allah “ Fa’aalun lima yurydu, “ artinya : “Tuhan berbuat  sekehendaknya dengan adil” serta firman Allah : “ Innal laaha yadzlimu  miskaala zarratin artinya; “ Sesungguhnya Tuhan tiada menyesatkan atau  menganiaya walau setimbang zarrah sekalipun.” (surat Annisa ayat : 40).   Cinta sejati dan keadilan suci inilah yang berdasarkan firman Allah  pula “ Laa ilaaha kaimun bilkisti “ artinya : Tiada Tuhan yang disembah  melainkan Allah yang sempurna berdiri dengan adilnya.  Dan dengan  sifat-sifat yang suci ini Sultan di Kesultanaan Buthuuni bergelar juga “  Ulil Amri “ ( kepala atau penghulu agama Islam ).
Oleh karena khalifatullah menerima bayang-bayang wajibul wujud dan  meneladankan segala sifat-sifat kesempurnaanya maka hamba rakyat dengan  sendirinya takluk cinta kasih kepada pemimpinnya serta sujud sembah  menurut  titahnya karena yakin dan percaya akan firman Allah : “ Atiy ul  laaha wa atiy ur rasulli wa ulil amri minkum,” artinya : Taatlah kamu  kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan turutlah perintah  penghulu atau pemimpin-pemimpinmu. (An Nisa : 59). dan Firman Allah   Fain Tahaa za’atum fiy sya’in faruddu illahu warasulli inkuntum  mu’minina billahi walyaumil akhiri artinya : “ Dan sekiranya kamu  berbantahan tentang suatu hukum atau urusan hendaklah kamu kembalikan  kepada Tuhan  dan kepada Rasul, jika memang kamu beriman kepada Allah  dan percaya akan hari kemudian.  Demikian pula yang bergelar ulil amri  setiap tindakan dalam menjalankan pemerintahan harus  pedoman atas  firman Allah : “ Wa amrihim syuura basnahun, artinya : segala pekerjaan  mereka bermusyawarah.  Tujuannya supaya segala keputusan sesuatu hukum  diperoleh sesudah musyawarah.  Dan keputusan musyawarah tetap teguh  tak  boleh berubah sebagaimana firman Allah : Inna laaha laa yuhlifu miy  aad, artinya : Sesungguhnya Tuhan tiada mengubah janjinya.
Oleh karena  syarat-syaratnya yang cukup dan sempurna sifat kemuliaan  diri batin seorang Sultan maka seorang Sultan disembah oleh hamba  rakyatnya bukan karena hanya kesempurnaan wujud lahirnya tetapi karena  kesucian jiwa dan kesempurnaan diri batinnya yang dengan tepat menerima  bayang-bayang wajibul wujud diri batinnya yang mencapai nama  ISMURRAHMAANI. sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Waizkala rabbuka  lilmalaikati sjuduw li adama. artinya : Dan Allah berkata kepada  Malaikat sembahlah Adam.
Atas ketetapan keesaan persatuaan tauhidya maka timbullah 4 sifat kemuliaan diri batin pada diri seorang Sultan, yaitu :
- Hikmat kecerdasaan akal menyelidiki keadaan diri batin sendiri yang sejati supaya dapat pula mempertimbangkan dan menyelidiki diri orang lain.
 - Adil kecerdasan perasaan yang menimbang sama berat dalam ukuran hidup
 - Cinta kehalusan budi pekerti sehingga pengasihan kepada sesama insani sebagai juga mengasihi diri sendiri yang sejati karena segala wujud insani tiada berdiri sendirinya melainkan qadim dengan wujud Allah.
 - Kanaa (kekayaan) batin atau jiwa tiada sekali-kali menurut kekayaan lahir yang berlebih-lebihan karena tetap berlindung atas kekayaan jiwa atau batinya.
 
Dengan kesempurnaan empat sifat ini akan melahirkan 3 (tiga) pengorbanan, yaitu :
    Pengorbanan harta benda
    Pengorbanan tenaga pikiran
    Pengorbanan jiwa
Ketiga pengorbanan ini selaras dengan firman Allah : Alladzayna  aamanu wahaajaru wajaahadu fiy sabiylil laahi bi amwaalihim wa anfusihim  a’alamu darajatan indal laaha wa ulaa ika humul faa izuuna.  Artinya :  Orang-orang yang beriman bersungguh-sungguh lah dan korbankanlah harta  bendamu tenaga dan jiwamu dijalan Allah dan itulah suatu derajat yang  besar disisi Allah dan mereka itulah yang mendapat kejayaan atau  kemenanga. (Surat At Taubah : 20).
Oleh karena itu  Sultan di Kesultanan Buthuuni setiap Jumat patutlah  di sebut/puji oleh khatib di atas mimbar karena Sultan di Kesultanan  Buthuuni bergelar juga KHALIFATUL KHAMSI LA QAIMUDDIN ADDIN BIN ISLAM  dengan sebesar-besar hakikatnya karena tetap berdiri atas diri Sultan 4  (empat) syarat, yaitu :
1.  Akhyar : pilihan sekalian rakyat hanyalah ia yang patut.
2. Derajat : diangkat atau dilantik dan dinaikkan duduk diatas tahta  kerajaannya serta dikenakan mahkota dan dikembangkan payung kemuliaanya.
3.  Maudhu : dihantarkan kesempurnaan kemuliaan belo baruga yang dipilih pada anak negeri.
4.  Makbul diterima Allah pada segala hajat dan maksud karena adalah  Sultan tetap ke esaan tauhidnya pada wujud mutlak serta tetap berlindung  pada cahaya Nur Muhammad dalam meliputi segala alam.
Sejak pengangkatan raja pertama wa Kaa Kaa, sudah terlihat dasar  pemahaman yang seturut atau sejalan dengan agama Islam (faham tasawuf),  hal ini di dasarkan pada salah satu versi sejarah Buton yang menyebutkan  bahwa pada saat Wa Kaa Kaa di minta kesediaannya untuk menjadi raja  oleh para keempat Bonto (Pata Limbona). Sebelum Wa Kaa Kaa dilantik  menjadi raja, beliau memberikan suatu pertanyaaan yang bermakna filosofi  dan sejalan dengan pemahaman tasawuf. Pernyataan dan sekaligus menjadi  pertanyaaan Wa Kha Kha tersebut ditujukan kepada Pata Limbona,  pernyataan tersebut seturut dengan salah satu hadis kudsi yaitu:
Wa Kaa Kaa meberikan pernyataan “Kul Rabbi Maa Abdi” yang artinya  jika aku Tuhan siapa hambaku. Dimaksudkan oleh Wa Kha Kha bahwa jika  seandainya diangkat menjadi raja maka siapa rakyatnya. Kemudian  dilanjutkan dengan “Kul Abdi Maa Rabbi” artinya jika aku hamba siapa  Tuhanku. Hal ini juga dimaksudkan bahwa seandainya aku hamba atau rakyat  siapa Rajaku. Dan Wa Kha Kha, kemudian menjawab sendiri pernyataannya,  dengan melanjukan kalimatnya “Kul Rabbi Maa Abdi Wahidun” yang berarti  Tuhan dan Hamba itu bersatu. Pemahaman atas kalimat terakhir tersebut  pada dimaknai secara filosofis (niali-nilai tasawuf), bahwa Raja adalah  satu kesatuan dengan rakyatnya. Sehingga pemahaman tersebut, oleh  masyarakat Buton diabadikan dengan sebuah pepatah yang dalam bahasa  daerah di katakan “Poromu yindaa saangu, Pogaa yinda koolota” yang  artinya berkumpul tidak bersenyawa bercerai tidak berantara. Atau  bersatu tetapi tidak berantara, berantara tetapi tidak bersatu.
Adapun prosedur adat dalam  pemilihan calon Sultan Buthuuni dimulai  jauh hari sebelum seorang Sultan wafat atau diberhentikan.  Proses ini  dimulai dengan pencalonan terhadap mereka yang berasal dari galongan  Kaumu (Lalaki). Bonto Siolimbona mencari calon-calon Sultan dari garis  keturunan Tiga Kamboru-mboru  yaitu Kaumu ( Lalaki ) Tanailando, Kaumu  (Lalaki), Tapi-Tapi dan Kaumu (Lalaki) Kumbewaha . Tiga Bonto, yaitu :  Bontona Peropa, Bontona Gundu-Gundu dan Bontona Rakia, bertugas memilih  calon dari Kaumu Tanailandu; Bontona Baluwu, Bontona Barangkatopa dan  Bontona Wandailolo, bertugas memilih calon dari Kaumu (Lalaki)  Tapi-Tapi; dan Bontona Gama, Bontona Siompu dan Bonto Melai bertugas  memilih calon dari Kaumu (Lalaki) Kumbewaha.  Calon-calon yang diajukan  kemudian dievaluasi sehingga ketika Sultan lama tidak bisa melanjutkan  tugasnya baik meninggal dunia atau diberhentikan atau berhenti telah  memiliki calon yang paling kapabel dan sesuai dengan kriteria yang  ditentukan.
Adapun uraian singkat proses atau tahap-tahapan pemilhan Sultan adalah :
Pembesar-pembesar kesultanan Syara Wolio mengadakan pertemuan untuk  mengambil alat-alat kelengkapan atau kemuliaan sultan dari pejabat  sultan yang mangkat, di pecat atau mengundurkan diri. Perlengkapan  sultan terdahulu tersebut di pindahkan ke rumah Bontona Baluwu dan  Peropa untuk diamankan sementara, selama sultan baru belum terpilih,  jangka waktu yang diberikan adalah 120 hari.
[1] Tahap Pencalonan, Sio Limbona (sembilan orang Bonto), mencari  calon-calon sultan dari Kamboru-mboru Talupalena (tanailandu, tapi-tapu,  dan kumbewaha). Tiga Bonto yaitu Bontona Peropa, Gundu-Gundu dan Rakia,  bertugas memilih calon dari Tanailandu. Tiga Bonto lainnya, Bontona  Baluwu, Barangkatopa, dan Wandailolo, bertugas memilih calon dari  Tapi-Tapi. Kemudian tiga Bonto sisanya, Bontona Gama, Siompu, dan Melai,  bertugas memilih calon dari Kumbewaha.
[2] Setelah para calon sultan telah ditentukan oleh para Bonto Sio  Limbona, maka hasil penentuan calon tersebut disampaikan kepada kedua  Bonto Ogena yang di pimpin oleh Bontona Balawu, dalam adat di sebut  Buataka Katange artinya membuka rahasia. Setelah mendengarkan para calon  kandidat tersebut maka Bonto Ogena meminta kepada Sio Limbona agar  berkonsultasi dahulu dengan para pejabat dan mantan pejabat/pembesar  kesultanan lainnya.
Sio Limbona kemudian melakukan kunjungan kepada para pembesar  kesultanan, yang dalam adat disebut Kambojai. Para pembesar kesultanan  yang dikunjungi adalah Sapati dan Kapitalao yang disebut Kayarona. Sio  Limbona dalam hal ini meminta penegasan dan pertimbangan, sekaligus  penilaian atas calon kandidat yang telah mereka siapkan sebelumnya.  Apabila Kayarona sepakat dengan apa yang telah diusulkan oleh Sio  Limbona, maka Kayarona memberikan legitimasi untuk mengokohkan para  kandidat tersebut sebagai dasar bahwa Kayarona telah sepakat dengan  penilaian Sio Limbona.
Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kembali oleh Sio Limbona  kepada Bonto Ogena yang disebut Buataka Katange, lalu kemudian  dilajutkan kepada musyawarah bersama. Musyawarah ini bertujuan untuk  melakukan penjarigan dari enam kandidat/calon sultan tersebut.  Penjaringan dilakukan untuk menkerucutkan kandidat yang jumlahnya enam  menjadi tiga kandidat saja. Apabila tiga kandidat telah terpilih melalui  musyawarah bersama antara Sio Limbona bersama Bonto Ogena, maka  keduanya mengambil suatu keputusan penetapan atas tiga kandidat terpilih  yang dalam adat disebut dengan Paso (dipaku atau diteguhkan). Ketiga  calon/kandidat yang sudah di Paso (diteguhkan) tersebut kemudian meunggu  tahap berikutnya yang disebut Afalia. Penentuan waktu afaali ini  menggunakan buku Jafaraa.
[3]    Tahap Afaali atau Faali, dilaksanakan di Mesjid Agung Keraton  yang di pimpin oleh Bisa Patamiana (Dukun Kerajaan). Malam Faali  Biasanya jatuh pada malam Jum`at jam 24.00 Wita. Hal ini diawali dengan  sholat bersama, berzikir dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah agar  jalannya faali mendapat berkah dengan menghasilkan sultan terpilih yang  benar-benar terbaik diantara ketiga calon tersebut. Yang ditetapkan  sebagai calon sultan terpilih adalah yang afaaliaya paling banyak jumlah  huruf Khair (huruf baik) dalam Al-Qur`an.
[4] Sultan yang terpilih dari afaalia tersebut di sebut Ikokompoakana Balauwu operopa (yang dikandung oleh Baluwu dan Peropa).
 Afalia/Faali tersebut dipimpin oleh Bisa Patamiana melalui mandapat  Sio Limbona dan Bonto Ogena. Bisa melakukan prosedur pemilihan sultan,  dengan cara yang sangat sakral dan rahasia dalam pengetahuan adat.  Proses pemilihan tersebut menggunakan media Al-Qur`an sebagai alat untuk  memilih yang terbaik diantara para kandidat. Awal prosesnya adalah Al  Qur`an dibuka oleh Bisa Patamiana secara acak atau sembarang dengan  sekali buka, sebagai penanda awal untuk memulai pembukaan atas lembaran  berikutnya. Setelah lembaran pembuka telah dibuka, maka lembaran  berikutnya dibuka lagi sebanyak 7 (tujuh) lembar untuk melakukan  perhitunagan. Pada tiap lembarnya akan di hitung jumlah huruf “Kh dan  Sy” yang terdapat pada masing-masing halaman. Huruf Kh menunjukan Khair  yang berarti baik, sedangkan Sy adalah menunjukan Syar yang berarti  jelek. Hal ini dilakukan pada masing-masing calon. Setelah semua calon  telah diafaali oleh Bisa Patamiana, maka diteruska dengan perhitungan  hasil afalianya, apabila afalia pada salah satu calon tersebut lebih  banyak mendapatkan huruf Khair (baik), daripada calon lainnya, maka  dialah yang ditetapkan menjadi calon sultan terpilih.
Setelah afalia dilakukan dengan mendapatkan calon sultan terpilih,  maka hasil afaalia tersebut disampaikan kepada Kapitalau untuk diumumkan  kepada khyalak ramai, pengumuman ini dilakukan dengan upacara khusus  yang dalam adat di sebut Sokaiana Pau. Upacara ini di laksanakan di  Baruga yang dihadiri oleh aparat Syara Wolio.
[5] Dalam Upacara Sokaiana Pau yang di pimpin oleh Bonto Baluwu dan  Bontona Peropa yang membisikan hasil seleksi kepada ke dua Kapitalao.   Kedua Kapitalao mengumumkan dengan bahasa adat : “ Tarango, Tarango,  Tarango bari-bari kita siy.  Yimondoakana Baluwu, Peropa tee Syara  bari-baria kobolosina laki wolio La.. ( nama calon terpilih menjadi  sultan ) yincema-yincema mokawala-walana ngangarandana moka  singku-singkuna fikirina maimo yitanga-tanga siy bekulae-lae kea hancu  siy, Ha…ha…ha. Artinya : “ Dengarkan, dengarkan, dengarkan para hadirin  bahwa yang telah disepakati oleh Bontona Baluwu dan Bontona Peropa untuk  menjadi calon yang terpilih adalah La.. ( nama calon terpilih menjadi  sultan ) di dalam dan di luar di seluruh kerajaan Buthuuni jikalau ada  yang tidak setuju atau masih ragu dan tidak puas dengan hasil ini  datanglah kehadapan saya ditengah ini biar saya potong-potong dengan  pedang ini. Haa..ha..ha….  Setelah Kapitalau mengumumkan hasil sultan  terpilih, maka selanjutnya akan di adakan upacara pelantikan.
Setelah prosesi  kegiatan pencalonan selesai maka dilakukan  persiapan-persiapan untuk dilakukan pelantikan Sultan pada hari Jumat.  Pada sore hari Kamis Batu Wolio ( Batu Igandangi ) diberi kelambu.  Pada  malamnya genderang dan gong-gong dibunyikan semalam suntuk.  Pada Batu  Wolio diletakkan air yang diisi dalam bambu bersama pucuk kelapa.  Air  ini diambil dari daerah Tobe-Tobe untuk dipakai mandi calon sultan.  Selain itu dipersiapkan juga secara khusus bedak. Jumat pagi calon  sultan  dimandikan oleh Bonto Patalimbona dan dibedaki dengan 120  macam  ramuan. Pada waktu dimandikan inilah calon Sultan diperlakukan bagaikan  anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa dan kerjanya hanya menangis  dan tertawa. Pada saat dimandikan Bontona Peropa berada di sebelah  kanan, Bontona Baluwu disebelah kiri, Bontona Gundu-Gundu di depan dan  Bontona Barangkatopa di belakang calon sultan.  Ketika dibedaki Bontona  Baluwu mengatakan kata-kata : rango laode teduku mumo,  bangule mumo,   malala mumo, welalo mumo tanda komo laode. Boli upoande-andea akea tana  siy tedaga moumba te lemangku moumba/mokawa, Boli udawu-dawuakea  kampurui ibamu.  Barangkana upoeandeandeakea otana siy te daganga  moumba, uadwwu-udawukea kampurui yibamu, maropu, masoka hancuru binasa  oanamu tea anana baluwu peropa oyingko te baluwu peropa.  Selesai  dimandikan, Mojina Kalau dan Mojina Waberangalu menyerahkan sepersalinan  pakaian kepada Patalimbonan untuk dipakaikan kepada calon sultan dan  calon sultan diantara dirumah kediamannya.
Menjelang  tengah hari Sultan dengan pengiring-pengiringnya menuju  Mesjid Keraton untuk shalat Jumat. Calon Sultan dengan berpakaian serba  putih diapit oleh Patalimbona dengan pedang terhunus.  Sesampainya  dimesjid calon Sultan dijemput dan ditempatkan sesuai tempatnya.  Bonto  Gama segera menyampaikan kepada Bonto Ogena bahwa calon Sultan sudah  tiba dimesjid. Imam segera diisaratkan untuk memulai pelaksanaan shalat  Jumat. Dalam tradisi di Kesultanan Buthuuni setiap pelantikan Sultan  maka judul khutbah  Halakal arwah.  Setelah shalat Jumat prosesi  pelantikan Sultan dimulai.  Serimonial ini dimulai dari Mesjid dimana  Bisa Patamiana melakukan penulisan kaliman dipunggung Sultan sebagai  tanda ke Sultanan. Kemudian seseorang yang memutarkan diatas kepala  sultan sebanyak 8 kali kesebelah kanan dan 9 kali disebelah kiri.  “  Bake akakomo maulana, ouluna rahmatimu bea peohi akamo Walaka tee Kaumu.  artinya : Kukembangkan payung kepadaTuanku. Awan rahmat Tuanku untuk  melindungi Walaka dan Kaumu. Sultan kemudian dibawa ke Batu Popaua untuk  memutaran kedua yang dilakukan oleh Bonto Patalimbona.  Pada prosesi  ini kaki kiri sultan dimasukkan kedalam lubang Batu Popau sambil  menghadap ke Barat.  Diputarkan payung kebesaran sebanyak 8 putaran.   Kemudian sultan meletakkan kaki kanan ke dalam batu yang sama sambil  menghadap Timur sebanyak 9 putaran oleh Bontona Peropa dengan ucapan :  Ise, Jua, Talu, Yapa, Lima, Ana, Pitu, Walu Yulagi, Sio Manuru,  Sapuluaka ingkomo La Ode.  Rango, rango, rango La Ode dangipo miningko  imondo-mondoakana, isasanguakana mangamamu, mangaopuamu.  Bontona Wolio  bari-baria tee manga Andimu - Mangaakamu Bobato bari-baria tee  Mangandimu Mangakamu Pangka bari-baria tee mangaopuamu  tapa ruo  tapana.  Tee manga opua Baluwu – Peropa.  Dangiapomini ingko  mokantu-ntuakea, mokambena-mbenakea, mokawara-warakea.  Isarana Wolio  otanasi La Ode. Inunca – Isambali tee Batu-batuna tee Kau-kauna. Boli  pomatakea ruambali, boli upoandea-ndeakea. Boli upebulakea otana sii La  Ode.  Boli alakea kanciana biya yitangamu, Boli yulakea kanciana sala  yitangamu, boli yualakea kampurui ibamu.  Susubagamu La Ode. Utuntu  yulagi yutuwu manuwu-nuwu yudadi  malumba-lumba.  Boli amapipi Bamu,  boli amagarigari bulumu.  Onamu-namu tee tana Baluwu-Peropa.  Opuamu-  Opuamu tee opuana Baluwu - Peropa oingko tee yaku.
Rango La Ode, Rango La Ode, Rango La Ode yuncuramikimea opulangamu  tee pusakamu yisarana Wolio.  Dangiapomini  yumembali yana-yana mangura  yimajelisna sarana Wolio.  Yatanduakako kayurae, asipoko  kaupokanga-nga.  Atandoakako waa indamo umangau soa mangau motandakako.   Yasipoko racu indamo umalango soa malango mosipoko.  Osipoko buku  yindamo yatongkoko sooyatongko mosipoko.  Ingko somo tangi tee potawa  yimataumu yitana sii La Ode.
Setelah pemutaran kedua payung selesai di Batu Popau kedua Kapitalau berseru :
 “ Somba ! Somba ! Somba! Malape anana Kaomu, anana Walaka, anana  Papara.  Yincema-yincema yinda mosabana, maimo yaroaku beku lae-lae kea  hancu siy”.artinya : Sembah!Sembah!Sembah! Anak-anak Kaumu, anak-anak  Walaka, anak-anak Papara. Siapa-siapa yang tidak menyembah datanglah  didepan saya agar saya potong-potong dan saya tebas dengan pedang ini.
Dengan demikian maka proses pelantikan  Sultan sudah selesai. Selanjutnya Sultan ke Baruga untuk menerima ucapan selamat.
Penyerahan Tugas-Tugas Kesultanan
Setelah hari keempat selesainya pelantikan Sultan, pada malam hari  pukul 24.00 diadakan penyerahan tanggung jawab merupakan hak dan  kewajiban sultan oleh Patalimbona  ( Bontona Baluwu, Bontona Peropa,  Bontona Barangkatopa dan Bontona Gundu-Gundu ).  Kedatangan Patalimbona  kerumah Sultan disambut oleh Bontona Dete dan Bontona Katapi.   Patalimbona meminta izin ke Bontona Deta dan Bontona Katapi untuk  menghadap ke Sultan dengan kata-kata : “ Jou Bontona Dete taemani  tantaku “ artinya : Tuanku Bontona Dete, kami minta menghadap.  Sesuai  permintaan Patalimbona Bontona Dete segera menyapaikan kepada Sultan : “  Somba kita waopu, eatangku manga opuamiu Baluwu tee Peropa” artinya : “  Hormat Tuanku Yang Mulia Kakek-Kakek Tuanku Baluwu dan Peropa akan  menghadap.
Selanjutnya Patalimbona segera menghadap Sultan untuk menyampaikan  Tugas dan Tanggung Jawab (hak dan kewajiban) Sultan oleh Bontona Baluwu  dengan ucapan :
 “ Sombakita wa opu! Ikawakami irandana yayita, bea butakamo sapulu  ruanguna mangaopuamiu tee kuli-kulina tee anto-antona.  Babana yisarongi  kuli sapuluruangunayitu.  Babana Sara Jawa.  Sara Jawa patangu  kabarina.  Babana Opau Biya, ruanguankana oparamadani, taluanguaka   ogampi isoda.  Patanguaka Osomba.  Kayisarongiyaka Sara Pancana  patanguduka okabarina.  Babana Obante,ruanguaka Okabutu, taluanguaka  Pomua, patanguaka okalonga.  Kasimpo yisarongi Sara Wolio yitu  patanguduka kabarina. Babana Belobaruga umane, ruanguaka belobaruga  bawine, taluanguaka osusua wolio tee patanguaka susua papara.Sapuluh  ruangumoyitu.  Kawayantona Sarana Jawa patanguduka kabarina.  Babana  bangka mapasa, ruanguaka orampe, taluanguaka oambara, patanguaka oyikane  ogena.  Kasimpoduka oyantona sara pancana yitu patanguduka kabarina.   Babana opopene, ruanguaka osuruna karo, taluanguaka otali-tali,  patanguaka okarambau.  Kasimpo duka antona sara wolioyitu patanguduka  kabarina.  Babana yisalaka, ruanguaka ikodosaka, taluanguaka ibatuaka  tee patanguaka yimateaka.  Malosi yualakemea randana yaita poteona  sarana wolio sapuluh ruangu kabarina. Amapupumo, pada tatula-tula akako  siy, te kuli-kulina tee anto-antona, pata-patawalea, pata-pata singkua.   Podomo kapoolimu yinunca yisambali.  Mbakanamo siy yiemanina opuamo  Baluwu-Peropa, bholi uose-ose yincamu te loe akea poteo raetaimu.   Barangkana uose-ose yincamu, apasabuko opuamu Baluwu-Peropa, ronamo  yinda so yingkoo La Ode”.
Selanjutnya Bontona Baluwu menyampaikan pesan kepada Bontona Dete dan  Bontona Katapi : “ Jou, Bontona Dete – Bontona Katapi, alapasiy  tuturakana Baluwu-Peropa, atanduakamo yingkita Baluwu-Peropa apa mio-mio  matana, padenge-denge talingana.  Dangiapo mini yingkita mokana  akea-mosala akea”.
Dengan selesainya acara menyerahan tugas dan tanggungjawab kepada  Sultan maka selesailah rangkaian acara dan tata cara pemilihan dan  pelantikan Sultan Butuuni. 
Disamping itu berlaku adat pengkatan Sultan disebut dengan putra  mahkota atau dalam bahasa adat disebut dengan Ana Bangule. Dalam sistim  pengangkatannya tidak melalui pemilihan atau prosedur adat (Faali),  melainkan secara otomotis ana bangule tersebut dilantik menjadi sultan  oleh Sio Limbona.
Terjadinya pengecualian atas Ana Bangule atau putra mahkota tersebut,  dikarenakan adanya kesepakatan adat yang menyatakan bahwa anak  laki-laki yang lahir dari permaisuri sultan yang sah ketika sultan  tersebut sementara menjabat, maka anak tersebut disebut sebagai Ana  Bangule (putra mahkota) dan berhak meneruskan jabatan ayahnya kelak. Hal  ini sebenarnya sulit terjadi, bahkan diketahui dalam sejarah pergantian  kekuasaan dalam pemilihan sultan, hanya terjadi pada dua periode  kepemimpinan sultan yaitu pada masa sultan Dayanu Iksnanuddin (Sultan  ke-IV) yang di gantikan oleh anaknya La Baluwo dengan gelar Sultan Qamar  ad-Din, dan pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan ke-29)  yang digantikan oleh anaknya Sultan Muhammad Isa. Kedua anak tersebut  lahir dari permaisuri sultan pada masa kekuasaan berjalan, sehingga  mendapat gelar ana bangule atau putra mahkota.
            Kehadiran anak bangule ini sesungguhnya telah diantipasi  oleh Bisa Patamiana (Dukun Kerajaan). Sebab pada saat sultan terpilih di  lantik oleh majelis syara (Sio Limbona), maka pada saat itu pula ada  ritual adat yang dilakukan oleh Bisa Patamiana yang bertujuan agar  permaisuri sultan yang menjabat tersebut tidak dikaruniai anak  laki-laki, dimana syara atau adat tidak menginginkan permaisuri sultan  memiliki keturunan laki-laki. Larangan adat bagi sultan untuk melahirkan  anak bangule sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan kondisi atau  kestabilan pemerintahan kesultanan. Karena hal itu menghindarkan  kesultanan dari konflik perebutan kekuasaan dari putra-putra sultan,  sebagaimana yang terjadi pada kerajaan-kerajaan tradisional lainnya dan  sekaligus mencegah terjadinya pengangkatan sultan yang berusia di bawah  umur.
Ritual adat tersebut dilakukan oleh Bisa Patamiana dengan proses yang  sangat rahasia. Bisa  Patamiana tersebut mengambil sebuah sajadah yang  dianalogikan sebagai kandungan permaisuri sultan, kemudian sejadah  tersebut melalui ritual adat dipurtar dan diperas dengan tujuan agar  kandungan permaisuri sultan hanya dapat melahirkan anak perempuan. Dukun  kesultanan yang diyakini memilki kesaktian dan konsep kebatinan  tersebut akan sulit dikalahkan oleh ilmu kebatianan para pembesar  kesultanan bahkan sultan sendiri. Namun, apabila ternyata permaisuri  sultan tersebut mampu melahirkan seorang anak laki-laki, maka dapat  dikatakan bahwa ilmu kebatinan Sultan telah mencapai tingkat atau  setingkat dengan ilmu kebatinan dari bisa patamiana. Olehnya itu putra  sultan tidak perlu difaali lagi, melainkan secara otomatis menjadi putra  mahkota (ana bangule) dan berhak menggantikan kedudukannya ayahnya.*****


