OLEH : LA YUSRIE
Kisah La Cila di mata umumnya orang Lakudo dilihat sebagai cerita politik penuh intrik yang menggetarkan. Ini kisah politik seutuh-utuhnya mengenai kudeta pertama di tanah Buton. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian kekuasaan sepenuh-penuhnya. Meminjam istilah Pram, ini sebagai kudeta licik tapi cerdik. Berdarah, tapi para pembunuh yang sejati bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Melibatkan sara kesultanan, menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antar kawan dan memanasi perkubuan. Kudeta dan konflik ini menjadi awal mulai intrik dan konflik panjang tak henti, hingga di tahun 1960 akhirnya Kesultanan ini tumbang..
******
Sejarah selama ini selalu dilihat dari sumber pusat kesultanan, saya ingin mengajak semua sahabat untuk sedikit keluar dari kebiasaan itu dan memasuki sejarah dari perspektif yang lain, sehingga paling tidak wacana kita terkayakan. Cakrawala kita terluaskan.
Menulis ini tidak semata-mata dalam konteks pinggiran menggugat pusat, tetapi yang lebih penting adalah mendapatkan penggambaran secara lebih utuh dan berimbang tentang realita kemanusiaan yang terkait dengan dinaikannya La Cila ke tiang gantungan yang berbarengan dengan pelucutan seluruh pengaruh dan kuasanya.
Teropong amatan akan kita dudukan dari sebuah Kadie kesultanan; Lakudo. Pun yang akan kita sigi ini adalah seorang tokoh kontroversial yang pada namanya disematkan bukan kemuliaan sebagai sultan/bekas sultan, tetapi martir terkalah sebagai pecundang terhukum karena salah yang memalukan sebagai pezina. Sematan pezina oleh majelis sara kesultanan itulah yang membawanya ke tiang gantungan sehingga kemudian hingga kini langgenglah itu namanya sebagai Sultan Gogoli yi Liwuto.
Tapi benarkan ia ‘nakal’ sepengecut begitu? Sehingga pengadilan dan hukuman itu pantas ia terima sebagaimana sejarah telah menuliskannya?, ataukah jangan-jangan dia hanya korban seteru dan intrik politik rebut kuasa yang kala itu massif terjadi? Harus pula diingat bahwa di masa-masa inilah awal mulai bibit konflik sesama elit kesultanan (kamboru-mboru talu palena) intens dan massif terjadi. Tercatat sejak Sultan Buton kedelapan La Cila atau Mardhan Ali 1647-1654 hingga sultan terakhir (ketigapuluh delapan) Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin 1938-1960, 13 sultan dimakzulkan atau mengundurkan diri, 2 sultan di hukum gantung, satu sultan di bunuh. (lihat Aslim dalam Konflik politik kaomu kamboru-mboru talu palena di Kesultanan Buton. Tesis, UGM)
Gelar sematan yang sungguh memalukan dan memilukan itu, menutup semua kontribusi dan jasa baik abdinya pada kesultanan. Semua hal baiknya kemudian mati tenggelam tertimbuni gelar sematannya yang memalukan itu. Paling tidak hingga kini tak lagi pernah ia disebut-sebut. Kecuali bahwa ia seorang ‘nakal’ dan pezina yang pengecut. Sosok mulia tangguh kesatrianya rontok bersamaan pergi nyawanya ketika tali pancung kuat mengekang menggogoli lehernya. Dia terkalah, dan sejarah selalu saja menjadi milik yang menang. Dia terkalah, oleh siasat sebangsanya sendiri yang memerangkapnya dalam jebak yang sesak sebagai siasat penaklukan dan rebut kuasa.
Adalah Sapati La Menempa atau masyhur dengan nama Kapolingku yang bersekutu Siolimbona lawan tandingnya, telah habis cara upaya mereka lakukan. La Cila terlalu tangguh, terlalu kuat. Dan pada soal kebatinan benar-benar ia lelaki berilmu tinggi, tak tertembusi mantera membunuh yang dikirim bergelumbang memakai angin, melalui bawah tanah, ia kebal, terlalu kokoh benteng pelindung jaga dirinya. Ia benar-benar susah dibuat takluk jatuh apalagi disuruk bertekuk kalah. Maka dicarilah kemudian lemah kurangnya, sebagai titik mulai masuk melumpuhkannya.
Mula-mula, bak domba, La Cila diadu dan dibuat berseberangan dengan kapitaraja yang adalah kemanakannya sendiri, adalah klan keluarga sedarahnya sendiri. Aduan memanas-manasi itu rupanya berhasil sangat efektif. Karena ulah provokasi dan intrik licik yang licin itu hubungan keluarga dua sedarah itu retak dan berkelanjutan dalam dendam saling menjengkeli. Apalagi ketika Kapitaraja dijatuhi hukuman gantung oleh majelis sara kesultanan atas restu dan persetujuan La Cila, dendam itu menaik menjadi kesumat. Pada kata-kata terakhir sebelum penggantungannya, Kapitaraja mengucap pesan dalam sumpah, meluap-luap penuh emosi;
“Pkawaa kaaku okasameyaku iandeyaku siate; kamanda aiy tapo tapaakeya, satapa toiyaku, satapana toinciya. Teemo duka okasameyaku isyara. O la imati siyate pekayuluya kaaku o baana, barangkalaaka anaida kualaa keya badilina subhanna otana Wolio maka siympo kupahancuruya….”
“Sampaikan pesanku kepada saudaraku Sultan Mardhan Ali, bahwa tali yang akan menjadi pengikat leherku ini, satu ujung untuk saya, sedangkan ujung yang satunya untuk dia. Dan pula pesanku kepada syarat kerajaan supaya anakku La Umati diputarkan payung kemuliaan padanya, dan apabila tidak maka saya akan ambilkan bedil subhannahuu dan menghancurkan tanah negeri Buton..”
pada kenyataannya kemudian, kata-kata dalam serapah ini terbukti adanya. La Cila memang dihukum gogoli pula sebagaimana ia, pun La Umati naik tahta sebagai Sultan Buton yang ketigabelas di tahun 1689 dan memerintah sampai 1697 dengan gelar Sultan Liyaauddin Ismail (lihat Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni II, 1977: 70)
intrik mula-mula telah sukses berhasil. Kapitaraja yang adalah ‘orang kuat’ nya La Cila telah berhasil disingkirkan, langkah selanjutnya adalah menohok sekuatnya tepat ke diri La Cila, dan jalan masuk yang dipakai adalah melalui kelemahan pribadinya yang sebelumnya telah diidentifikasi yaitu mengumpankannya wanita sehingga ia terjebak dan dapat ditangkap tangan.
Memang bukan rahasia lagi dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa La Cila adalah seorang yang bersyahwat tinggi, meskipun sejak ia naik menjabat sultan sebisanya itu ia kekang, sekuatnya itu ia lawan. Tapi lawan-lawannya terlalu intens gigih menjebak-jebak terus. Maka apa yang tidak bisa dari sesuatu yang dilakukan berulang-ulang? Bahkan kebohongan sekalipun dapat menjadi benar. Dan La Cila seperti tanpa sadar ikut menari dalam mainan jebak itu, syahwat terlepas dari kekanganya, dan seperti lepas kendali ia memerintahkan sapati untuk keluar berkeliling meninjau kadie-kadie sebagai bulus menggauli istri sapati itu. Cerita kemudian gampang saja tertebak, La Cila kena perangkap. Ia tertangkap tangan berlaku tak senonoh pada istri sapati. Dan yang menangkap tangan adalah sapati sendiri yang ternyata mangkir, ia tak keluar berkeliling meninjau ke kadie tapi bersembunyi di bawah kolong ranjang tempat tidur istrinya. Tak ada kelelakian, tak ada kesaktian, di puncak nafsu semua ilmu lantak tak laku, dan La Cila dibekuk , seperti maling ia berjalan dalam tunduk, menghindari malu dilihat orang-orang.
Bukti tangkap tangan itu di bawa ke muka sidang Siolimbona, dan tak terbantahkan. Dari sidang majelis sara siolimbona itulah diputus, La Cila alias Sultan Mardhan Ali telah mencorengi kesultanan, melanggar norma tata etika kesultanan, sehingga padanya dijatuhkan HUKUMAN MATI dengan DIGOGOLI.
*****
Siapa La Cila?
La Cila adalah anak Sultan Dayanu Iksanuddin atau La Elangi. Bangsawan Tanailandu ini naik tahta dan memerintah Kesultanan Buton di tahun 1647 hingga 1654. Ia bersaudara sekandung dengan Sultan Abdul Wahab, Sangia Labalawa atau La Sinuru dan La Tumpamana Sultan ke 12 yang juga bernama alias Ncili-ncili. Ketika naik tahta berkuasa, La Cila memilih nama Mardhan Ali sebagai gelar kesultanannya.
Sebelum ia naik menjadi Sultan, La Cila adalah seorang Kapitaraja yang mengemban misi diplomasi luar negeri. Ia tercatat beberapa kali dalam tugas dan sukses diselesaikannya. Bersama saudaranya La Sinuru atau juga bernama alias Sangia Labalawa, mereka memimpin tentara bantuan Buton pada kompeni Belanda ke Amboina terkait huru-hara dan peristiwa rusuh Kakiali di gunung Wawani Hitu. Karena kontribusi dan bantuan itu Kompeni Belanda berterima kasih luarbiasa, dan atas nama Kesultanan Buton La Cila meneken perjanjian dengan Kompeni Belanda yang isinya tak bertentangan atau mengukuhkan perjanjian Laelangi-schot sebelumnya yaitu ‘sahabat abadi’
La Cila memang telah terkenal nakal sejak kecilnya. Hikayat mengenai masa kecilnya sangatlah sedikit diceritakan, kecuali bahwa ia pernah sakit keras dan telah hampir diambil maut. Ia menderita sakit aneh yang menggerogoti badan tubuhnya dan hampir saja membuatnya meninggal dunia, tetapi disembuhkan dan disehatkan kembali oleh seorang alim ulama yang kemudian dikenal sebagai Mojina Kalau. Pada Mojina Kalau inilah La Cila berguru mengaji dan mendalami kebatinan dan ilmu tasawuf. Tak pula runtun diceritakan siapa nama sebenarnya Mojina Kalau ini, kecuali bahwa ia adalah seorang alim yang mengajar agama di kalau, daerah dalam benteng keraton buton. Orang-orang lakudo menyebutnya sebagai Haji Pada. Serupa kisah masa kecil La Cila, Haji Pada juga ini gelap tak jelas runtun silsilahnya
Pada masa ia remaja, karena nakal dan senang mengganggu gadis-gadis, ia kemudian dihukum ayahnya; diasingkan di Lakudo, sebuah kadie Kesultanan diwilayah pulau Muna yang tanahnya berbatu cadas tajam-tajam. Kalau kini kita menaiki gunung tempat pengasingannya, untuk kerja napak tilas, akan nampak darisitu alam dan laut menghampar luas begitu indah. Di timur, benteng Umbunowulu nampak terlihat tak cukup jauh, di utara, teluk Wasilomata (dalam perspektif kesultanan adalah salah satu dari empat matana sorumba) terlihat teduh sekali, bahkan kalau pandang kita arahkan lurus ke selatan, Benteng Keraton Buton terlihat cukup jelas.
Mungkin dari kita banyak yang tidak mengetahui, bahwa sebenarnya muasal nama Lakudo adalah dari lakodo atau latodo. Lakodo atau Latodo ini adalah panggilan mengejek pada La Cila yang kemudian berkembang ditujukan pada orang-orang Lakudo pada umumnya. 'Lakodo' atau 'Latodo' yang merujuk pada kelamin dan sikap mereka yang keras. Dalam bahasa Gu/Lakudo 'Todo' atau 'Kodo' berarti keras (merujuk pada kelamin), kalau Indonesianya ereksi. Pada umumnya orang Lakudo menolak sematan ejekan ini karena terkesan tidak sopan, sehingga kemudian dibuatlah cerita penghalusan dengan menyebut bahwa nama Abdul Kudus yang adalah ulama penyiar Islam di Liwu kampung lama sebagai muasal nama Lakudo. Mula-mula dengan Lakudu, waktu silih berselang mengubahnya seperti kini; Lakudo.
*****
******
Sejarah selama ini selalu dilihat dari sumber pusat kesultanan, saya ingin mengajak semua sahabat untuk sedikit keluar dari kebiasaan itu dan memasuki sejarah dari perspektif yang lain, sehingga paling tidak wacana kita terkayakan. Cakrawala kita terluaskan.
Menulis ini tidak semata-mata dalam konteks pinggiran menggugat pusat, tetapi yang lebih penting adalah mendapatkan penggambaran secara lebih utuh dan berimbang tentang realita kemanusiaan yang terkait dengan dinaikannya La Cila ke tiang gantungan yang berbarengan dengan pelucutan seluruh pengaruh dan kuasanya.
Teropong amatan akan kita dudukan dari sebuah Kadie kesultanan; Lakudo. Pun yang akan kita sigi ini adalah seorang tokoh kontroversial yang pada namanya disematkan bukan kemuliaan sebagai sultan/bekas sultan, tetapi martir terkalah sebagai pecundang terhukum karena salah yang memalukan sebagai pezina. Sematan pezina oleh majelis sara kesultanan itulah yang membawanya ke tiang gantungan sehingga kemudian hingga kini langgenglah itu namanya sebagai Sultan Gogoli yi Liwuto.
Tapi benarkan ia ‘nakal’ sepengecut begitu? Sehingga pengadilan dan hukuman itu pantas ia terima sebagaimana sejarah telah menuliskannya?, ataukah jangan-jangan dia hanya korban seteru dan intrik politik rebut kuasa yang kala itu massif terjadi? Harus pula diingat bahwa di masa-masa inilah awal mulai bibit konflik sesama elit kesultanan (kamboru-mboru talu palena) intens dan massif terjadi. Tercatat sejak Sultan Buton kedelapan La Cila atau Mardhan Ali 1647-1654 hingga sultan terakhir (ketigapuluh delapan) Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin 1938-1960, 13 sultan dimakzulkan atau mengundurkan diri, 2 sultan di hukum gantung, satu sultan di bunuh. (lihat Aslim dalam Konflik politik kaomu kamboru-mboru talu palena di Kesultanan Buton. Tesis, UGM)
Gelar sematan yang sungguh memalukan dan memilukan itu, menutup semua kontribusi dan jasa baik abdinya pada kesultanan. Semua hal baiknya kemudian mati tenggelam tertimbuni gelar sematannya yang memalukan itu. Paling tidak hingga kini tak lagi pernah ia disebut-sebut. Kecuali bahwa ia seorang ‘nakal’ dan pezina yang pengecut. Sosok mulia tangguh kesatrianya rontok bersamaan pergi nyawanya ketika tali pancung kuat mengekang menggogoli lehernya. Dia terkalah, dan sejarah selalu saja menjadi milik yang menang. Dia terkalah, oleh siasat sebangsanya sendiri yang memerangkapnya dalam jebak yang sesak sebagai siasat penaklukan dan rebut kuasa.
Adalah Sapati La Menempa atau masyhur dengan nama Kapolingku yang bersekutu Siolimbona lawan tandingnya, telah habis cara upaya mereka lakukan. La Cila terlalu tangguh, terlalu kuat. Dan pada soal kebatinan benar-benar ia lelaki berilmu tinggi, tak tertembusi mantera membunuh yang dikirim bergelumbang memakai angin, melalui bawah tanah, ia kebal, terlalu kokoh benteng pelindung jaga dirinya. Ia benar-benar susah dibuat takluk jatuh apalagi disuruk bertekuk kalah. Maka dicarilah kemudian lemah kurangnya, sebagai titik mulai masuk melumpuhkannya.
Mula-mula, bak domba, La Cila diadu dan dibuat berseberangan dengan kapitaraja yang adalah kemanakannya sendiri, adalah klan keluarga sedarahnya sendiri. Aduan memanas-manasi itu rupanya berhasil sangat efektif. Karena ulah provokasi dan intrik licik yang licin itu hubungan keluarga dua sedarah itu retak dan berkelanjutan dalam dendam saling menjengkeli. Apalagi ketika Kapitaraja dijatuhi hukuman gantung oleh majelis sara kesultanan atas restu dan persetujuan La Cila, dendam itu menaik menjadi kesumat. Pada kata-kata terakhir sebelum penggantungannya, Kapitaraja mengucap pesan dalam sumpah, meluap-luap penuh emosi;
“Pkawaa kaaku okasameyaku iandeyaku siate; kamanda aiy tapo tapaakeya, satapa toiyaku, satapana toinciya. Teemo duka okasameyaku isyara. O la imati siyate pekayuluya kaaku o baana, barangkalaaka anaida kualaa keya badilina subhanna otana Wolio maka siympo kupahancuruya….”
“Sampaikan pesanku kepada saudaraku Sultan Mardhan Ali, bahwa tali yang akan menjadi pengikat leherku ini, satu ujung untuk saya, sedangkan ujung yang satunya untuk dia. Dan pula pesanku kepada syarat kerajaan supaya anakku La Umati diputarkan payung kemuliaan padanya, dan apabila tidak maka saya akan ambilkan bedil subhannahuu dan menghancurkan tanah negeri Buton..”
pada kenyataannya kemudian, kata-kata dalam serapah ini terbukti adanya. La Cila memang dihukum gogoli pula sebagaimana ia, pun La Umati naik tahta sebagai Sultan Buton yang ketigabelas di tahun 1689 dan memerintah sampai 1697 dengan gelar Sultan Liyaauddin Ismail (lihat Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni II, 1977: 70)
intrik mula-mula telah sukses berhasil. Kapitaraja yang adalah ‘orang kuat’ nya La Cila telah berhasil disingkirkan, langkah selanjutnya adalah menohok sekuatnya tepat ke diri La Cila, dan jalan masuk yang dipakai adalah melalui kelemahan pribadinya yang sebelumnya telah diidentifikasi yaitu mengumpankannya wanita sehingga ia terjebak dan dapat ditangkap tangan.
Memang bukan rahasia lagi dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa La Cila adalah seorang yang bersyahwat tinggi, meskipun sejak ia naik menjabat sultan sebisanya itu ia kekang, sekuatnya itu ia lawan. Tapi lawan-lawannya terlalu intens gigih menjebak-jebak terus. Maka apa yang tidak bisa dari sesuatu yang dilakukan berulang-ulang? Bahkan kebohongan sekalipun dapat menjadi benar. Dan La Cila seperti tanpa sadar ikut menari dalam mainan jebak itu, syahwat terlepas dari kekanganya, dan seperti lepas kendali ia memerintahkan sapati untuk keluar berkeliling meninjau kadie-kadie sebagai bulus menggauli istri sapati itu. Cerita kemudian gampang saja tertebak, La Cila kena perangkap. Ia tertangkap tangan berlaku tak senonoh pada istri sapati. Dan yang menangkap tangan adalah sapati sendiri yang ternyata mangkir, ia tak keluar berkeliling meninjau ke kadie tapi bersembunyi di bawah kolong ranjang tempat tidur istrinya. Tak ada kelelakian, tak ada kesaktian, di puncak nafsu semua ilmu lantak tak laku, dan La Cila dibekuk , seperti maling ia berjalan dalam tunduk, menghindari malu dilihat orang-orang.
Bukti tangkap tangan itu di bawa ke muka sidang Siolimbona, dan tak terbantahkan. Dari sidang majelis sara siolimbona itulah diputus, La Cila alias Sultan Mardhan Ali telah mencorengi kesultanan, melanggar norma tata etika kesultanan, sehingga padanya dijatuhkan HUKUMAN MATI dengan DIGOGOLI.
*****
Siapa La Cila?
La Cila adalah anak Sultan Dayanu Iksanuddin atau La Elangi. Bangsawan Tanailandu ini naik tahta dan memerintah Kesultanan Buton di tahun 1647 hingga 1654. Ia bersaudara sekandung dengan Sultan Abdul Wahab, Sangia Labalawa atau La Sinuru dan La Tumpamana Sultan ke 12 yang juga bernama alias Ncili-ncili. Ketika naik tahta berkuasa, La Cila memilih nama Mardhan Ali sebagai gelar kesultanannya.
Sebelum ia naik menjadi Sultan, La Cila adalah seorang Kapitaraja yang mengemban misi diplomasi luar negeri. Ia tercatat beberapa kali dalam tugas dan sukses diselesaikannya. Bersama saudaranya La Sinuru atau juga bernama alias Sangia Labalawa, mereka memimpin tentara bantuan Buton pada kompeni Belanda ke Amboina terkait huru-hara dan peristiwa rusuh Kakiali di gunung Wawani Hitu. Karena kontribusi dan bantuan itu Kompeni Belanda berterima kasih luarbiasa, dan atas nama Kesultanan Buton La Cila meneken perjanjian dengan Kompeni Belanda yang isinya tak bertentangan atau mengukuhkan perjanjian Laelangi-schot sebelumnya yaitu ‘sahabat abadi’
La Cila memang telah terkenal nakal sejak kecilnya. Hikayat mengenai masa kecilnya sangatlah sedikit diceritakan, kecuali bahwa ia pernah sakit keras dan telah hampir diambil maut. Ia menderita sakit aneh yang menggerogoti badan tubuhnya dan hampir saja membuatnya meninggal dunia, tetapi disembuhkan dan disehatkan kembali oleh seorang alim ulama yang kemudian dikenal sebagai Mojina Kalau. Pada Mojina Kalau inilah La Cila berguru mengaji dan mendalami kebatinan dan ilmu tasawuf. Tak pula runtun diceritakan siapa nama sebenarnya Mojina Kalau ini, kecuali bahwa ia adalah seorang alim yang mengajar agama di kalau, daerah dalam benteng keraton buton. Orang-orang lakudo menyebutnya sebagai Haji Pada. Serupa kisah masa kecil La Cila, Haji Pada juga ini gelap tak jelas runtun silsilahnya
Pada masa ia remaja, karena nakal dan senang mengganggu gadis-gadis, ia kemudian dihukum ayahnya; diasingkan di Lakudo, sebuah kadie Kesultanan diwilayah pulau Muna yang tanahnya berbatu cadas tajam-tajam. Kalau kini kita menaiki gunung tempat pengasingannya, untuk kerja napak tilas, akan nampak darisitu alam dan laut menghampar luas begitu indah. Di timur, benteng Umbunowulu nampak terlihat tak cukup jauh, di utara, teluk Wasilomata (dalam perspektif kesultanan adalah salah satu dari empat matana sorumba) terlihat teduh sekali, bahkan kalau pandang kita arahkan lurus ke selatan, Benteng Keraton Buton terlihat cukup jelas.
Mungkin dari kita banyak yang tidak mengetahui, bahwa sebenarnya muasal nama Lakudo adalah dari lakodo atau latodo. Lakodo atau Latodo ini adalah panggilan mengejek pada La Cila yang kemudian berkembang ditujukan pada orang-orang Lakudo pada umumnya. 'Lakodo' atau 'Latodo' yang merujuk pada kelamin dan sikap mereka yang keras. Dalam bahasa Gu/Lakudo 'Todo' atau 'Kodo' berarti keras (merujuk pada kelamin), kalau Indonesianya ereksi. Pada umumnya orang Lakudo menolak sematan ejekan ini karena terkesan tidak sopan, sehingga kemudian dibuatlah cerita penghalusan dengan menyebut bahwa nama Abdul Kudus yang adalah ulama penyiar Islam di Liwu kampung lama sebagai muasal nama Lakudo. Mula-mula dengan Lakudu, waktu silih berselang mengubahnya seperti kini; Lakudo.
*****
2 komentar:
assalamu alaikum bascie, membaca tulisan bascie mengenai sejarah "la Cila dan Orang lakudo" saya sebagai orang lakudo yang mendapatkan kisah lakudo langsung dari orangtua saya merasa keberatan atas sejarah orang lakudo yang bascie posting di blog ini. sejarah asal muasal orang lakudo yang berasal dari gunung lambelu tidak seperti yang bascie paparkan justru bertolak belakang 180 derajat. darimana dan bukti otentik apa yang bascie miliki hingga berani mengatakan bahwa asal muasal nama La Kudo di ambil dari kata ejekan buat la Cila dengan kata La Todo dan la kodo pesan saya koe mehampa wamba kalau bascie bukan orang La Kudo jangan asal ngomong sebelum mencari tau kebenaran kisahnya dari orang lakudo sendiri yang tau sejarah.
assalamualaikum nama saya yusrin dari lakudo.........saya sangat senang dengan orang seprti anda yang ingin mmbudayakan buton....tapi saran saya agar anda membuat postingan dengan sumber dari orang buton itu sendiri..........ini link saya
anak-boetown.blogspot.com
dan sebaiknya komentar anda dipermudah prosesnya....
Posting Komentar