OLEH : HASARUDDIN
A. Pendahuluan
SALAH
satu daerah di kawasan Nusantara yang banyak menyimpan naskah-naskah
lama adalah Wolio (Buton) (lihat Chambert-Loir dan Oman
Fathurahman,1999). Secara geografis, daerah ini merupakan daerah
kepulauan yang terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan berada di
kawasan timur Indonesia. Sebagai kerajaan yang tumbuh dari suatu
jaringan transmisi ajaran agama Islam di
Nusantara,
Buton tidak lepas dari kegiatan tulis menulis dan penyebaran
hasil-hasilnya. Dari sejumlah naskah yang ditemukan diketahui bahwa abad
ke-16 dan abad ke-17 adalah periode paling penting dalam proses
pembentukan tradisi pemikiran Islam. Pada masa pemerintahan Sultan
Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631) diberlakukan undang-undang secara
tertulis yang disebut dengan Martabat Tujuh (lihat, Ikram, 2001: 4; 2005: 8; Schoorl, 1985: 9; Yunus, 1995: 20; Zahari, 1977: 59; Zuhdi, 1996: 24) Tentu
dapat dimengerti secara material naskah setua itu tidak lagi dapat
bertahan lama. Akan tetapi, turunannya diperoleh sebagai yang disalin
kembali pada abad ke-19.
Dilihat
dari naskah yang ada sekarang kebanyakan naskah kuno Buton berasal dari
masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851). Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin sendiri dikenal pula sebagai penulis yang cukup
produktif. Karya-karya tulisannya membahas berbagai tema tentang
tasawuf dan ajaran Islam. Periode itu merupakan masa yang menunjukkan
banyaknya naskah yang disalin atau ditulis baru. Dari periode itu pula
terhimpun sejumlah besar naskah yang ada sekarang ini (lihat Ikram,
2001: 4). Di samping itu ada beberapa naskah yang berisi tentang
peristiwa sejarah antara lain, Hikayat Negeri Butun yang
mengisahkan tentang pentang pertama di Buton, terbentuknya
perkampungan-perkampungan, kisah Wa Kaakaa diangkat menjadi raja pertama
sampai meninggalkan pulau Buton. Pada bagian tulisan ini akan salah satu bagian dari Hikayat Negeri Butun.
B. Latar Belakang Kedatangan Sipanjonga ke Butun
Naskah
Hikayat Negeri Butun (NHNB) adalah salah satu naskah Butun (Buton) yang
isi teks sebagian menceritakan tentang kedatangan orang-orang Melayu di
Pulau Butun (Buton). Naskah ini ditulis oleh salah seorang pedagang
yang berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Naskah ini ditulis
sekitar tahun 1267 H atau 1850 M[3]2.
Dalam teks naskah NHBN dijelaskan bahwa peletak dasar dari berdirinya
kerajaan Butun adalah orang-orang yang berasal dari Melayu. Dalam teks
naskah diberitakan bahwa:
Sebermula
maka tersebut pula seorang raja dari Pulau Liya di tanah Melayu bernama
Sipanjongan, terlalu hartawan, dermawan, dan beberapa banyak kaum
keluarganya dan hamba sahayanya. Maka pada suatu malam Sipanjongan tidur
di dalam peraduannya maka ia pun bermimpi bertemu dengan seorang orang
tua. Maka berkata orang tua itu kepada Sipanjongan, “hai cucuku, apa
juga sudinya cucuku tinggal di pulau ini”? lebih baik engkau mencari
lain tempat yang lebih baik dari pulau ini, karena pulau ini bukan
cucuku yang memegang dia.
Dalam
suatu tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Buton bahwa
Sipanjongan datang bersama wakil dan rombongannya, wakilnya itu bernama
Sijawangkati. Sipanjongan dan wakilnya meninggalkan tanah Melayu
(Malaka) pada tanggal 3 bulan Sya’ban tahun 634 H atau Rabu, 1 April
1237 M dengan perahu tumpangan yang oleh Sipanjongan menyebutnya Palulang. Mereka berlayar menuju ke arah matahari terbit atau kearah timur (Bhurhanuddin, 1977/1978: 43).
Sebagaimana
layaknya orang berlayar maka Sipanjongan pun membawa berbagai
kelengkapan dalam pelayarannya. Dalam teks dijelaskan bahwa:
Sipanjongan
memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengangkut perbekalan.
Setelah sudah lengkap di dalam Palulang itu, maka sipanjongan
menyeruhkan sekalian orang naik ke palulang dengan segala sahabat dan
rakyatnya dan hamba sahayanya sekalian. Maka alat perahu pun dipasang
orang merapat kiri kanannya. Maka Sipanjongan pun naik ke palulang serta
dengan segala bunyi bunyian istiadat segala anak raja-raja yang besar
besar di dalam negeri. Maka kepada hari yang baik dan saat yang baik,
maka Sipanjongan pun menyuruh orang membongkar sauh. Maka orang pun
hadirlah masing-masing dipegangnya. Maka meriam pun dipasang oranglah
kiri kanannya dan bunyi-bunyian dipalu terlalu azmat bunyinya, dan layar
pun di buka orang. Maka angin bertiup terlalu keras jalannya palulang
itu seperti burung rajawali pantasnya. Dengan seketika itu juga pulau Liya itu lepas daripada mata orang banyak.
Berdasarkan
teks tersebut Sipanjongan adalah seorang bangsawan dari daratan Malaka
yang ditandai dengan kelengkapan-kelengkapan seperti layaknya seorang
raja. Di mungkinkan bahwa pelayaran yang dilakukan oleh Sipanjongan
tersebut dikarenakan adanya perseteruan politik diwilayahnya. Jika tahun
1237 M menjadi patokan keberangkatan Sipanjongan interpretasi bahwa
pada tahun tersebut terjadi pertikaian politik diwilayah itu.
Jika
ditinjau dari pandangan sejarah, Satu-satu negeri itu ada masanya naik
dan ada masanya turun Demikian pula nasib kerajaan Sriwijaya. Peperangan
yang banyak itu. Peperangan yang banyak itu, dengan Jawa, dengan
Kolomandala, dan lain-lain. Sangat mengurangi tenaga Sriwijaya. Pada
abad kedua belas tiadalah dapat kerajaan itu menghalangi Melayu kuno
bangkit kembali serta tidak mengakui Sriwijaya sebagai tuannya lagi.
Bahaya
yang lebih besar lagi datang, waktu dalam tahun 1275 Kertanegara
menjajah Melayu. Meskipun lemah betul, ada seratus tahun lagi demikian
(1377) baru habis riwayat kerajaan Sriwijaya. Hilang sama sekali
kekuasaannya sesudah mulai muncul Malaka.
Dari
kedua penulisan itu, ternyata bahwa kerajaan Sriwijaya telah lemah dan
tidak lagi dapat mempertahankan kedudukannya, namun itu berjalan lama.
Kita berpandangan bahwa Sipanjonga dan kawan-kawannya serta
pengikut-pengikutnya, sebagai Raja yang berdaulat di negerinya yang
tadinya termasuk dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya, mengetahui
kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya, mengambil kesempatan
meninggalkan kerajaannya dan mencari daerah lain untuk tempat tinggal
dan menetap.
Dalam Hikayat Negeri Butun dikisahkan
pula perjalanan mencari daerah baru sebagai tempat pemukiman dengan
segenap rombangannya. Syahdan ada sehari semalam pelayaran tengah laut,
maka turunlah ribut topan, halilintar, kilat, maka sanpanpun putuslah.
Hatta beberapa lamanya ditengah laut, maka sampailah Palulang itu pada
suatu pulau Malalang namanya. Maka dengan takdir Allah Ta’ala maka
anginpun teduhlah. Maka palulang itu berlabuhlah saat di pulau itu tujuh
hari lamanya menanti akan tiada juga turun.
Syahdan
orang sekalian pun duka citalah hendak turun ke pulau itu maka tiada
punya sampan. Maka sekalian orang di dalam palulang itu pun mengantuk
dan daif dari pada sangat kepanasan matahari. Maka Sipanjongan pun
menyuruh berbuat suatu lancang di dalam palulang itu. Setelah sudah
berbuat, maka diturunkan oranglah lancang itu. Maka Sipanjongan pun
turunlah kelancang itu dengan segala sahabatnya semuhanya lalu naik ke
pulau itu dengan suka cita. Setelah sampai ia ke pulau, maka Sipanjongan
pun turun ke darat lalu naik berjalan. Masing-masing orang pada mencari
tempat bernaung daripada sangat kepanasan matahari
Di
saat beristirahat menunggu redahnya angin dan teduhnya gelombang laut
Sipanjongan kemudian melanjutkan perjalannya. Dalam hikayat ini
dikisahkan bawa keesokan harinya sampailah mereka pulau Butun. Jika
berdasarkan kalimat ini diinterpretasi bahwa daerah tempat persinggahan
sebelum sampai ke Buton adalah salah satu yang berada dikawasan
Sulawesi. Jika mengikuti jalur pesisir pantai pulau kemudian melanjutkan
perjalanan ke Sumbawa dan sebelum sampai di Buton dimungkinkan mereka
berlindung di pulau Kalatoa, namun jika melewati jalur Makassar maka
tempat persinggahan rombongan Sipanjongan adalah Selayar[4].
Sebagai penanda bahwa saat sebuah perahu mulai berlayar atau sampai kedarah yang menjadi tujuan diperdengarkan bunyi-bunyian. Prosesi ini telah menjadi suatu hal yang umum terjadi dalam tradisi kemaritiman.
Apakah
Sipanjonga meninggalkan kerajaannya dari Pulau Liya pada akhir masa
kerajaan Sriwijaya atau pada waktu mulai suramnya kerajaan itu atau
runtunhnya sama sekali, di sinilah terletak dasar pendapat kita dengan
menyatakan bahwa tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya di Buton pada
akhir abad ke-13 atau ke-14.
Pandangan itu kita landaskan pula
akan kemungkinan bahwa Sipanjonga sebagai raja di negerinya, tidak
hendak dikuasai oleh kerajaan lain, maka dengan memperhatikan kekuatan
yang ada padanya untuk mengadakan perlawanan sewaktu-waktu mendapat
serangan, tidak dapat menandingi kekuatan pihak kerajaan yang hendak
menduduki Sriwijaya, mengambil kesempatan meninggalkan negerinya
sehingga tibalah ia di Buton.
Di
Buton perahu tumpangan mereka mendarat di Pantai Kalampa. Hatta maka
palulang itu pun sampailah pada suatu pantai Kalampa namanya, yaitulah
Tobe-Tobe yang empunya pantai itu. Maka Sipanjongan pun tetaplah duduk
di sana serta berbuat kebun. sebagai Raja yang berkuasa, maka tibalah
mereka di Buton.
C. Sipanjongan Menetap di Buton
Tempat
pemukiman dari Sipanjongan sangatlah strategis karena berada pada
pesisir pantai. Namun karena posisi itu pada masa itu telah ada kelompok
bajak laut yang berasal dari Ternate terutama yang berasal dari daerah
Tobelo. Oleh karena seringmya mendapat gangguan dari bajak laut dari
Tobelo maka rombongan Sipanjongan menuju kedaerah ketinggian (tempat itu
saat ini disebut Lelemangura).
Sebelum ke wilayah Lelemangura Sipanjongan telah pula mendengar adanya kelompok lain yang datang di pulau Butun. Kelompok
ini dipimpin oleh Simalui bersama saudara perempuan dan kelompoknya.
Sipanjongan sangat kagum dan memiliki keinginan untuk mempersunting adik
perempuan Simalui. Dalam naskah HNB dijelaskan bahwa:
Hatta
berapa lamanya, Sipanjongan pun menengar warta ada saudaranya Simalui
seorang perempuan baik parasnya dan putih kuning warna tubuhnya. Maka
pikir Sipanjongan, jikalau demikian, baik kita mengantar ganti diri
pakai meminang. Maka ada suatu hari Sipanjongan pun pergi mengantar emas
dan perak dengan beberapa banyaknya kain sutra kepada Samalui, serta
Samalui pun telah menerima harta yang dibawahnya Sipanjongan itu. Maka
Sipanjongan pun di kenalkan dengan saudara Samalui, Sabanang namanya.
Dari
perkawinan itu, kedua kelompok ini bergabung, hidup bersama dan damai.
Hal ini lebih menyatu setelah lahinya Betoambari hasil perkawinan antara
Sipanjongan dan Sabanang. bertambah mereka mempunayai seorang anak yang
diberi nama Betoambari. Setelah menginjak dewasa Betoambari diberi
kepercayaan untuk menjadi pemimpin kampung yang didiaminya.
C. Kesimpulan
Naskah Hikayat Negeri Butun adalah
naskah yang berisi tentang sejarah. Naskah ini menceritakan tentang
perjalanan Sipanjongan dan rombongannya untuk mencari daerah baru di
bagian timur Nusantara. Isi naskah berasal dari tradisi lisan kemudian
ditulis oleh pedagang Banjar saat singgah di Pulau Buton dalam
perjalanan niaganya ke Pulau Sumbawa. Kisah ini kemudian berkembang
dalam bentuk tradisi lisan yang sampai saat ini tetap berkembang dalam
masyarakat Buton.
Isi
naskah sangat jelas menuturkan tentang Sipanjongan mendirikan
perkampungan yang kemudian kawin dengan rombongan kedua yang datang di
Pulau Buton. Dari hasil perkawinannya itu kemudian memperluas atau
membuat perkampungan baru yang dipimpin oleh turunan atau anaknya.
Meskipun naskah ini adalah merupakan naskah sejarah namun diharapkan
lebih mendalam dikaji mnelalui metode-metode sejarah sehingga
menghasilkan kisah sejarah yang objektif.
Sumber :
akbarmalik1996.blogspot.com/.../sipanjongan-dalam-hikayat-negeri-.buton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar