bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Sabtu, 11 Juni 2011

MEMBANGUN OPTIMISME KEBUTONAN

OLEH : HASMINA SYARIF

 

Ditengah diskusi dan banyaknya postingan yang ada di group ini, banyak bermunculan ide-ide dan pikiran cerdas generasi Buton dari berbagai aspek keilmuan, mulai dari yang berstatus dosen, mahasiswa, aparat pemerintahan, pelajar, bahkan, ibu-ibu rumah tangga dan para professional asal Buton yang ada di dalam negeri maupun luar negeri.

 Untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi dalam menemukan masa depan Buton, nurani kita terkadang membisikan sesuatu dan bertanya, apakah pemerintah daerah selaku pemegang kekuasaan yang memiliki otorisasi penuh sebagai pengemban amanat rakyat dan pengambil keputusan yg terkait dengan pembangunan di “Bumi Bolimo Karo Somano Lipu” ini, memiliki greget, rasa memiliki (sense of belonging), pola pikir (mindset), keprihatinan (concerns) bahkan merospon pikiran positif yang konstrukif dari manapun datangnnya termasuk dari group diskusi ini?

Timbul pertanyaan, apakah  mereka yg tengah berkuasa dan memperoleh gaji dari jabatannya, justru tengah sibuk memikirkan nasib dirinya dan kelompoknya dengan menghalalkan segala macam cara untuk memenangkan pesta demokrasi pilkada kedepan.? Jangan-jangan para pemimpin dan wakil-wakil kita di legislatif sedang membuat kalkulasi bagaimana melanggengkan kekuasaan di tengah derita rakyat kita yang berkepanjangan.!. Bahkan jangan-jangan forum diskusi yang dihuni banyak generasi intlektual Buton ini,  gaungnya hanya sebatas dunia maya, yang diteriakan dan didengarkan oleh orang-orang yang sama di group ini ?

Ketika muncul pemikiran demikian, seharusnya kita segera meralat dan menghibur diri dengan pemikiran positif bahwa berbuat kebaikan sekecil apapun, harus dilandasi keihlasan  tanpa mengharapkan balasan dan pujian. Tidak usah menganggap diri baik dan menjelekan yang lain, menganggap diri lebih pintar dan orang lain bodoh, kalaupun mengeluarkan kritik hendaknya dilakukan dengan santun, tulus dan sampai sasaran.

Kita harus tetap optimis, semoga pikiran-pikiran cerdas yg keluar dari hati kita yang tulus, dapat menjelma sebagai pilar kekuatan & kepintaran kolektif kedaerahan kita, sembari kita berharap akan berkembang lalu memiliki sayap serta kaki untuk menyapa masyarakat luas, menyebarkan penyadaran kolektif di bumi buton yang tercinta.

Kekayaan alam Buton dalam wujud “Endowment” dan keunggulan nilai leluhur dari Allah Swt, haruslah disyukuri dan disikapi dalam wujud implementasi yang real (nyata), dengan selalu konsisten berada dilintasan “nilai kebutonan” yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.  Buton akan maju dan bermartabat menuju masa depan kalau “Start-Up” pemahaman kita, diawali dengan mencangkokkan pendekatan nilai filosofi yang kita miliki seperti “Pekalapepo Karota Sebelumnya Tapekalepe Lipu” (Memperbaiki diri sebelum memperbaiki Kampung ) sebagai prinsip nilai-nilai kearifan local yang seharusnya di junjung tinggi.

Kalimat sederhana yang bersumber dari nilai leluhur diatas, mengingatkan saya kepada seseorang teman dekat yang banyak memahami konsep nilai budaya strategis bangsa Jepang, dengan mengatakan bahwa nilai spirit diatas, memiliki kesamaan dengan strategi “Perbaikan Berkesinambungan " ala bangsa Jepang yang mendunia dan  dikenal dengan  “Kaizen" (Continuous Improvement), yang salah satunya terfokus pada kekuatan “Create People Before Create Product”. Kedahsyatan pendekatan ini telah menjadi salah satu kunci kesuksesan Jepang dalam persaingan untuk menjadi bangsa yang maju.

Timbul pertanyaan, apakah ini mengindikasikan bahwa filosofi  perbaikan Buton “Pekalapepo Karota Sebelumna Tapekalape Lipu”  sudah ada sebelum konsep Kaizen itu ada. Jawabannya “Maybe Yes Maybe No”, akan tetapi secara faktual pendekatan filosofi „Kaizen“  telah membuktikan konstribusinya untuk mensejahterakan bangsa Jepang. Sementara wujud implementasi dari nilai filosifi "Pekalapepo Karota Sebelumnya Tapekalape Lipu" , hilang dan lenyap hampir tidak berbekas karena terlindas roda penuaan dunia politik yang menghalalkan segala macam cara dengan tidak menempatkan nilai budaya sebagai fondasi kekuatan pembangunan.

Melihat Fenomena yang ada didepan kita, mungkin para leluhur akan meneteskan airmata  dengan penuh penyesalan, karena melihat generasi Buton sekarang ini banyak yang menikung, menghianati, mengabaikan, merusak, menjegal cita-cita mulia mereka melalui pandangan-pandangan dan agenda pendek dengan membajak instrumen-instrumen daerah untuk kepentingan pribadinya. Banyak yang berebut untuk duduk  dalam posisi strategis pemerintahan dan jabatan politik tapi agenda yg dominan hanya kepentingan politik jangka pendek untuk diri, keluarga dan kelompoknya. Bagaimana mungkin Buton akan menemukan masa depannya, jikalau sepintas sistem demokrasi pemeilihan pemimpin kita dalam pilkada sekarang ini telah berubah seperti pasar, dimana seorang dihargai karena duitnya sehingga pada kenyataannya yang menang bukanlah moralitas dan gagasan serta program yang jelas dan cerdas, malainkan siapa yang punya sumber dana yang besar dan berlimpah.

Siapa yang salah dari semua ini, tentunya semua adalah kesalahan kita. Kita butuh proses transformasi yang berlandaskan dan menegdepankan nilai budaya kita, semoga kedepan rakyat Buton semakin kritis, sadar dan memegang prinsip moral dan nilai untuk tidak memilih pemimpin dan wakil rakyat yang miskin kompetensi, moral serta membeli suara dengan uang. Proses transisi yang diperlukan diharapkan semoga mendewasakan kita untuk selalu melakukan perbaikan sekecil apapun, yang penting dilakukan secara berkesinambungan.

Perubahan dari suatu orde haus kekuasaan untuk kembali ke orde pembangunan yang berbasis nilai, tidak semudah membalikan telapak tangan. Mengapa? Dalam ukuran sejarah, sebagaimana negara maju seperti Korea Selatan yang periode “Star Up” pembangunannya, paska kemerdekaan dari penjajahan Jepang memeiliki kesamaan dengan negara kita, negara ginseng ini butuh waktu satu genarasi yaitu 20 – 25 tahun dengan pendekatan strategi pembangunan yang berbasisi nilai & berkelanjutan “Sustainable”, bahkan negara ginsen in berhasil menggiring budaya mereka menjadi "budaya unggu"   yang selalu haus akan prestasi (need for Achievement). Korea Selatan juga telah membuka mata kita dengan membuktikan bahwa bukanlah sumber daya alam semata yang menjadi modal utama pembangunan tetapi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitaslah yang membawa mereka duduk dan berdiri sejajar dengan negara-negara industri utama didunia.

Dibutuhkan kepemimpinan yang tangguh yang berbasis nilai, komitmen, konsistensi, kekuatan fisik dan kesadaran para elite serta kesadaran sosial masyarakat buton yg bermodalkan napas  panjang untuk siap berlari jarak jauh selama satu generasi. Kemudian Buton memerlukan “mind set & visi” bersama, diikuti dengan kesiapan berkorban untuk mewujudkannya, melalui strategi sosialisasi kesadaran kolektif yang effective dan berkesinambungan. Perubahan "mind set"  untuk menjadi "manusia Buton yang maju"  secara kolektif, harus menjadi  suatu target yang mutlak untuk dicapai, sebab ditengah kegamangan  orientasi nilai budaya kita, Buton semakin sulit menjaga keseimbangan olengan gelombang globalisasi, yang juga dipengarahi oleh jarak pandang kemasa depan pun sangat pendek karena kemiskinan visi yang realistis.

Perbedaan antara manusia maju dan kurang maju hanya ditentukan oleh komitment untuk berubah melalui kehausan untuk belajar dan belajar, sementara kehausan untuk belajar berpadanan dengan keterbukaaan diri kita untuk menerima perubahan dari manapun asalnya. Sikap terbuka ini sangat menguntungkan selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita, karena dengan membuka diri terhadap perubahan berarti sudah membuka jalan kearah pengalaman baru untuk dipelajari dan diterapkan.
Sikap ketertutupan kita tentang hal-hal yang baru dari dunia luar yang terkesan dibentengi oleh keangkuhan kita akan keberhasilan sejarah Buton masa lalu yang memegang teguh nilai-nilai budayanya, hanya membuat kita selalu terlena dan terperosok dalam kehidupan yang bermental inlander, tidak mau berkembang, bermalas-malasan, hampir tanpa budaya etos kerja tinggi bahkan akan berujung keterpencilan dari dunia nyata yang berarti hanya menangani kehidupan Buton dari luar permasalahan. Masa lalu Buton harusnya diposisikan sebagai pijakan dan tempat yang merujukkan arah perkembangan, tetapi fokus usahanya adalah perbaikan-perbaikan yang didorong oleh harapan hari ini dan masa depan.

Alex Inkeles, sejalan dengan pendekatan baru yang kini banyak dibicarakan dan diterapkan, yakni pandangannya yang menegaskan bahwa “Culture Matter”  kebudayaan dalam arti sikap dan orientasi nilai & karya amatlah berperan dalam membangun kemajuan bangsa & Negara diantaranya sikap dan orientasi nilai yang mengacuh pada :
  1. Berorientasi kemasa depan,
  2. Kerja keras, kreatifitas, prestasi penting untuk menghasilkan dan harga diri.
  3. Hidup hemat pangkal investasi.
  4. Pendidikan kunci kemajuan
  5. Prestasi dihargai
  6. Saling percaya modal utama
  7. Keadilan dan berbuat fair adalah nilai-nilai progresif dll.
(sumber : “Culture Matter” – How Value shape human Progress) Lawrence E Harrison & Samuel P. Hutington)

Untuk mencapai sikap dan orientasi nilai diatas, maka Buton harus di “grand desaign dengan strartegi pembangunan dalam waktu satu generasi yang  “sustainable”  dengan membutuhkan strategi yang mumpuni, kepemimpinan yang tangguh yang berbasis nilai (Value Based Leadership), Management Sistem & Method yang efektif dan sumber daya yang terampil, jujur dan bertanggung jawab, serta transparansi pengawasan dan pengendalian yang efektif.

Kita harus optimis bahwa Buton belum kehabisan seluruh potensinya untuk melaksanakan tugas sejarah dalam melakukan perbaikan untuk menuju masa depan. Maka pemotretan terhadap berbagai persoalan Buton perlu dilakukan sekedar tumpuan melakukan transformasi pikiran, mental, dan tindakan untuk berbagai langkah perbaikan. Maka sangatlah penting untuk menggelar perdebatan umum dan membuka dialektika pendapat antara sesama generasi Buton sembari mengharap semoga sikap pemerintah daerah untuk selalu membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran generasi buton yang ada didalam maupun diluar sistem pemerintahan.

Saatnya merubah mind set kita untuk menyikapi bersama bahwa “Key Performance Indikator (KPI) kemajuan pembangunan suatu daerah tidak hanya cukup dilihat dengan menggunakan kacamata fisik, namun juga harus memadai dilihat dalam kacamata  ahlak dan budi pekerti, sebagai modal utama kita dalam menghadap Allah SWT.***

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat, amin.
Hasmina Syarif, Jakarta 10 June 2011

Kamis, 09 Juni 2011

LA CILA DAN ORANG LA KUDO

OLEH : LA YUSRIE

Kisah La Cila di mata umumnya orang Lakudo dilihat sebagai cerita politik penuh intrik yang menggetarkan. Ini kisah politik seutuh-utuhnya mengenai kudeta pertama di tanah Buton. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian kekuasaan sepenuh-penuhnya. Meminjam istilah Pram, ini sebagai kudeta licik tapi cerdik. Berdarah, tapi para pembunuh yang sejati bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Melibatkan sara kesultanan, menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antar kawan dan memanasi perkubuan. Kudeta dan konflik ini menjadi awal mulai intrik dan konflik panjang tak henti, hingga di tahun 1960 akhirnya Kesultanan ini tumbang..

******

Sejarah selama ini selalu dilihat dari sumber pusat kesultanan, saya ingin mengajak semua sahabat untuk sedikit keluar dari kebiasaan itu dan memasuki sejarah dari perspektif yang lain, sehingga paling tidak wacana kita terkayakan. Cakrawala kita terluaskan.

Menulis ini tidak semata-mata dalam konteks pinggiran menggugat pusat, tetapi yang lebih penting adalah mendapatkan penggambaran secara lebih utuh dan berimbang tentang realita kemanusiaan yang terkait dengan dinaikannya La Cila ke tiang gantungan yang berbarengan dengan pelucutan seluruh pengaruh dan kuasanya.

Teropong amatan akan kita dudukan dari sebuah Kadie kesultanan; Lakudo. Pun yang akan kita sigi ini adalah seorang tokoh kontroversial yang pada namanya disematkan bukan kemuliaan sebagai sultan/bekas sultan, tetapi martir terkalah sebagai pecundang terhukum karena salah yang memalukan sebagai pezina. Sematan pezina oleh majelis sara kesultanan itulah yang membawanya ke tiang gantungan sehingga kemudian hingga kini langgenglah itu namanya sebagai Sultan Gogoli yi Liwuto.

Tapi benarkan ia ‘nakal’ sepengecut begitu? Sehingga pengadilan dan hukuman itu pantas ia terima sebagaimana sejarah telah menuliskannya?, ataukah jangan-jangan dia hanya korban seteru dan intrik politik rebut kuasa yang kala itu massif terjadi? Harus pula diingat bahwa di masa-masa inilah awal mulai bibit konflik sesama elit kesultanan (kamboru-mboru talu palena) intens dan massif terjadi. Tercatat sejak Sultan Buton kedelapan La Cila atau Mardhan Ali 1647-1654 hingga sultan terakhir (ketigapuluh delapan) Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin 1938-1960, 13 sultan dimakzulkan atau mengundurkan diri, 2 sultan di hukum gantung, satu sultan di bunuh. (lihat Aslim dalam Konflik politik kaomu kamboru-mboru talu palena di Kesultanan Buton. Tesis, UGM)

Gelar sematan yang sungguh memalukan dan memilukan itu, menutup semua kontribusi dan jasa baik abdinya pada kesultanan. Semua hal baiknya kemudian mati tenggelam tertimbuni gelar sematannya yang memalukan itu. Paling tidak hingga kini tak lagi pernah ia disebut-sebut. Kecuali bahwa ia seorang ‘nakal’ dan pezina yang pengecut. Sosok mulia tangguh kesatrianya rontok bersamaan pergi nyawanya ketika tali pancung kuat mengekang menggogoli lehernya. Dia terkalah, dan sejarah selalu saja menjadi milik yang menang. Dia terkalah, oleh siasat sebangsanya sendiri yang memerangkapnya dalam jebak yang sesak sebagai siasat penaklukan dan rebut kuasa.

Adalah Sapati La Menempa atau masyhur dengan nama Kapolingku yang bersekutu Siolimbona lawan tandingnya, telah habis cara upaya mereka lakukan. La Cila terlalu tangguh, terlalu kuat. Dan pada soal kebatinan benar-benar ia lelaki berilmu tinggi, tak tertembusi mantera membunuh yang dikirim bergelumbang memakai angin, melalui bawah tanah, ia kebal, terlalu kokoh benteng pelindung jaga dirinya. Ia benar-benar susah dibuat takluk jatuh apalagi disuruk bertekuk kalah. Maka dicarilah kemudian lemah kurangnya, sebagai titik mulai masuk melumpuhkannya.

Mula-mula, bak domba, La Cila diadu dan dibuat berseberangan dengan kapitaraja yang adalah kemanakannya sendiri, adalah klan keluarga sedarahnya sendiri. Aduan memanas-manasi itu rupanya berhasil sangat efektif. Karena ulah provokasi dan intrik licik yang licin itu hubungan keluarga dua sedarah itu retak dan berkelanjutan dalam dendam saling menjengkeli. Apalagi ketika Kapitaraja dijatuhi hukuman gantung oleh majelis sara kesultanan atas restu dan persetujuan La Cila, dendam itu menaik menjadi kesumat. Pada kata-kata terakhir sebelum penggantungannya, Kapitaraja mengucap pesan dalam sumpah, meluap-luap penuh emosi;

“Pkawaa kaaku okasameyaku iandeyaku siate; kamanda aiy tapo tapaakeya, satapa toiyaku, satapana toinciya. Teemo duka okasameyaku isyara. O la imati siyate pekayuluya kaaku o baana, barangkalaaka anaida kualaa keya badilina subhanna otana Wolio maka siympo kupahancuruya….”

“Sampaikan pesanku kepada saudaraku Sultan Mardhan Ali, bahwa tali yang akan menjadi pengikat leherku ini, satu ujung untuk saya, sedangkan ujung yang satunya untuk dia. Dan pula pesanku kepada syarat kerajaan supaya anakku La Umati diputarkan payung kemuliaan padanya, dan apabila tidak maka saya akan ambilkan bedil subhannahuu dan menghancurkan tanah negeri Buton..”

pada kenyataannya kemudian, kata-kata dalam serapah ini terbukti adanya. La Cila memang dihukum gogoli pula sebagaimana ia, pun La Umati naik tahta sebagai Sultan Buton yang ketigabelas di tahun 1689 dan memerintah sampai 1697 dengan gelar Sultan Liyaauddin Ismail (lihat Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni II, 1977: 70)

intrik mula-mula telah sukses berhasil. Kapitaraja yang adalah ‘orang kuat’ nya La Cila telah berhasil disingkirkan, langkah selanjutnya adalah menohok sekuatnya tepat ke diri La Cila, dan jalan masuk yang dipakai adalah melalui kelemahan pribadinya yang sebelumnya telah diidentifikasi yaitu mengumpankannya wanita sehingga ia terjebak dan dapat ditangkap tangan.

Memang bukan rahasia lagi dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa La Cila adalah seorang yang bersyahwat tinggi, meskipun sejak ia naik menjabat sultan sebisanya itu ia kekang, sekuatnya itu ia lawan. Tapi lawan-lawannya terlalu intens gigih menjebak-jebak terus. Maka apa yang tidak bisa dari sesuatu yang dilakukan berulang-ulang? Bahkan kebohongan sekalipun dapat menjadi benar. Dan La Cila seperti tanpa sadar ikut menari dalam mainan jebak itu, syahwat terlepas dari kekanganya, dan seperti lepas kendali ia memerintahkan sapati untuk keluar berkeliling meninjau kadie-kadie sebagai bulus menggauli istri sapati itu. Cerita kemudian gampang saja tertebak, La Cila kena perangkap. Ia tertangkap tangan berlaku tak senonoh pada istri sapati. Dan yang menangkap tangan adalah sapati sendiri yang ternyata mangkir, ia tak keluar berkeliling meninjau ke kadie tapi bersembunyi di bawah kolong ranjang tempat tidur istrinya. Tak ada kelelakian, tak ada kesaktian, di puncak nafsu semua ilmu lantak tak laku, dan La Cila dibekuk , seperti maling ia berjalan dalam tunduk, menghindari malu dilihat orang-orang.

Bukti tangkap tangan itu di bawa ke muka sidang Siolimbona, dan tak terbantahkan. Dari sidang majelis sara siolimbona itulah diputus, La Cila alias Sultan Mardhan Ali telah mencorengi kesultanan, melanggar norma tata etika kesultanan, sehingga padanya dijatuhkan HUKUMAN MATI dengan DIGOGOLI.

*****

Siapa La Cila?

 
La Cila adalah anak Sultan Dayanu Iksanuddin atau La Elangi. Bangsawan Tanailandu ini naik tahta dan memerintah Kesultanan Buton di tahun 1647 hingga 1654. Ia bersaudara sekandung dengan Sultan Abdul Wahab, Sangia Labalawa atau La Sinuru dan La Tumpamana Sultan ke 12 yang juga bernama alias Ncili-ncili. Ketika naik tahta berkuasa, La Cila memilih nama Mardhan Ali sebagai gelar kesultanannya.

Sebelum ia naik menjadi Sultan, La Cila adalah seorang Kapitaraja yang mengemban misi diplomasi luar negeri. Ia tercatat beberapa kali dalam tugas dan sukses diselesaikannya. Bersama saudaranya La Sinuru atau juga bernama alias Sangia Labalawa, mereka memimpin tentara bantuan Buton pada kompeni Belanda ke Amboina terkait huru-hara dan peristiwa rusuh Kakiali di gunung Wawani Hitu. Karena kontribusi dan bantuan itu Kompeni Belanda berterima kasih luarbiasa, dan atas nama Kesultanan Buton La Cila meneken perjanjian dengan Kompeni Belanda yang isinya tak bertentangan atau mengukuhkan perjanjian Laelangi-schot sebelumnya yaitu ‘sahabat abadi’

La Cila memang telah terkenal nakal sejak kecilnya. Hikayat mengenai masa kecilnya sangatlah sedikit diceritakan, kecuali bahwa ia pernah sakit keras dan telah hampir diambil maut. Ia menderita sakit aneh yang menggerogoti badan tubuhnya dan hampir saja membuatnya meninggal dunia, tetapi disembuhkan dan disehatkan kembali oleh seorang alim ulama yang kemudian dikenal sebagai Mojina Kalau. Pada Mojina Kalau inilah La Cila berguru mengaji dan mendalami kebatinan dan ilmu tasawuf. Tak pula runtun diceritakan siapa nama sebenarnya Mojina Kalau ini, kecuali bahwa ia adalah seorang alim yang mengajar agama di kalau, daerah dalam benteng keraton buton. Orang-orang lakudo menyebutnya sebagai Haji Pada. Serupa kisah masa kecil La Cila, Haji Pada juga ini gelap tak jelas runtun silsilahnya

Pada masa ia remaja, karena nakal dan senang mengganggu gadis-gadis, ia kemudian dihukum ayahnya; diasingkan di Lakudo, sebuah kadie Kesultanan diwilayah pulau Muna yang tanahnya berbatu cadas tajam-tajam. Kalau kini kita menaiki gunung tempat pengasingannya, untuk kerja napak tilas, akan nampak darisitu alam dan laut menghampar luas begitu indah. Di timur, benteng Umbunowulu nampak terlihat tak cukup jauh, di utara, teluk Wasilomata (dalam perspektif kesultanan adalah salah satu dari empat matana sorumba) terlihat teduh sekali, bahkan kalau pandang kita arahkan lurus ke selatan, Benteng Keraton Buton terlihat cukup jelas.

Mungkin dari kita banyak yang tidak mengetahui, bahwa sebenarnya muasal nama Lakudo adalah dari lakodo atau latodo. Lakodo atau Latodo ini adalah panggilan mengejek pada La Cila yang kemudian berkembang ditujukan pada orang-orang Lakudo pada umumnya. 'Lakodo' atau 'Latodo' yang merujuk pada kelamin dan sikap mereka yang keras. Dalam bahasa Gu/Lakudo 'Todo' atau 'Kodo' berarti keras (merujuk pada kelamin), kalau Indonesianya ereksi. Pada umumnya orang Lakudo menolak sematan ejekan ini karena terkesan tidak sopan, sehingga kemudian dibuatlah cerita penghalusan dengan menyebut bahwa nama Abdul Kudus yang adalah ulama penyiar Islam di Liwu kampung lama sebagai muasal nama Lakudo. Mula-mula dengan Lakudu, waktu silih berselang mengubahnya seperti kini; Lakudo.

*****

Senin, 06 Juni 2011

MENUJU SARANA WOLIO (Implementasi Perwali Kota Nomor 9 Tahun 2011)

OLEH : ALIMUDDIN (BANG ALI)
 

Patut dicatat bahwa pada masa lalu Kesultanan Buton pernah mencapai kejayaan selama ratusan tahun dan karena terjadi pergeseran dalam tata kehidupan politik kejayaan itu harus berakhir dan ikhlas berintegrasi pada paradigma baru berbangsa dan bernegara sekalipun harus menelan pil pahit untuk tidak lagi eksis bahkan tidak terwadahi sama sekali dalam tatanan kekinian dalam arti keindonesiaan. Dengan tidak bermaksud mengungkit masa lalu dari sebuah negeri yang diterlantarkan atau bisa dikatakan sengaja dilupakan keberadaannya dan dengan menghindari kambing hitam siapa yang salah ternyata api kebesaran peradaban masa lalu tersebut belum padam oleh perjalanan waktu karena bersemayam dalam tutur kata dan hati sanubari orang buton sebagai jati diri yang selalu dibanggakan. Hilangnya kebesaran Kesultanan Buton sebagai sebuah lembaga bukan disebabkan oleh keputusan yang berhak untuk membubarkan sebagai representase rakyat buton, tetapi lebih pada upaya sistematis yang bertopengkan aturan perundang-undangan, sehingga janji tinggal janji dan kesepakatan dibuat hanya untuk dilanggar.

Keluarnya undang-undang nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah daerah tingkat II di Sulawesi merupakan pamungkas mengakhiri riwayat Kesultanan Buton dalam artian Sarana Wolio tapi sekalipun demikian ternyata senjata pamungkas tersebut tidak langsung meluluh lantahkan keseluruhan perangkat Kesultanan karena dalam beberapa kelompok masyarakat masih terpelihara kelembagaan adat parabela dan pangalasa sekalipun mereka hidup dalam suasana kebingungan karena induk mereka telah tiada. Lembaga Parabela dan Pangalasa hidup dipelihara oleh rakyat seakan mereka menunggu saat yang tepat untuk berkumpul untuk menghidupkan kembali induknya dalam paradigma baru yang tentunya tidak akan sama persis dengan eksistensinya pada masa lalu dimana Kesultanan Buton sebagai Negara yang mempunyai kedaulatan politik.

Saat peradaban Buton sedang sakarat dan masyarakatnya masih belum berani menampilkan diri, dunia ilmu pengetahuan muncul menjadi solusi untuk mencarikan jalan keluar, ditandai dengan berbagai macam kegiatan keilmuan yang mengedepankan issu kebutonan mencapai puncaknya pada kegiatan seminar pernaskahan yang berlabel internasional dan menjadi spirit bagi kearifan local untuk bangkit dan tampil secara fulgar. Berbagai kegiatan yang mengedepankan issu ilmu pengetahun telah memberikan harapan baru bagi komponen masyarakat local akan kebangkitan dari kegamangan untuk menjawab kerinduan akan hadirnya kembali sebuah lembaga adat yang mewadahi aspirasi kearifan local yang pernah jaya di negeri Buton. Harapan dan kehakhawatiran, akan romantisme dan traumatis historis memuncul keberanian untuk merintis jalan kearah lahirnya lembaga adat sarana wolio kesultanan buton yang secara logik mempunyai kekuatan hukum dan politik dalam bingkai Negara kesatuan republik Indonesia.

Langkah pemerintah daerah kota Baubau menetapkan peringatan hari kelahirannya yang mengambil momentum pelantikan sultan Buton pertama Murhum atau Lakilaponto seakan menjadi lampu hijau untuk menghadirkan kembali sebuah lembaga adat yang mempunyai legitimasi kuat dari rakyat sebagai pemilik. Upaya pemerintah daerah kota Baubau berjalan terus untuk memberikan kepastian hukum bagi lembaga adat yang kelak akan dibentuk kembali oleh mereka yang berhak, dan selanjutnya melalui peraturan Walikota Baubau nomor 9 tahun 2011 tentang pelestarian, pemberdayaan dan pengembangan keratin, lembaga adat sarana wolio dan adat istiadat daerah merupakan bukti keberpihakan pemerintah dalam memfasiliasi lahirnya kembali lembaga adat Sarana Wolio kesultanan buton yang dulu pernah ada sekaligus melaksanakan amanah dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan keratin dan lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah.

Kepastian hukum dari pemerintah kota Baubau dalam bentuk regulasi dan kerja keras tokoh-tokoh masyarakat serta dukungan penuh dari pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Pemerintah kabupaten Buton mengakumulasi pada terjadinya momentum tanggal 22 mei 2011 di baruga keraton Buton Baubau yang dihadiri oleh Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara dan Perwakilan bupati/walikota sebuton Raya pada perhelatan akbar pengukuhan Bonto Siolimbona oleh parabela matanasurumba patamatana menurut tatanan adat wolio. Kata kata pengukuhan bonto siolimbona yang dilafalkan oleh parabela lapandewa merupakan mandat penyerahan kewenangan untuk mengurus negeri buton dengan baik dan mencari seorang pemimpin yang handal dan mempuni jauh dari perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme.

Lembaga Siolimbona pada dasarnya telah mempunyai legitimasi kuat karena telah melalui prosesi yang menurut adat memenuhi syarat dan mereka pun berada dalam lembaga tersebut telah menyatakan kesiapannya untuk menjalankan tugas berat mencari seorang pemimpin yang akan mengepalai Lembaga adat sarana wolio sebagaimana yang telah diucapkan dihadapan matanasurumba patamatana. Pemilihan figure Laki wolio tentu mempunyai criteria untuk memenuhi persyaratan yang menurut adat sebagai mana amanah peraturan walikota nomor 11 tahun 2011 bahwa prosesi pemilihan sarana wolio berdasarkan adat wolio kesultanan buton. Kata kata jangan sekali kali engaku carikan jalur keluarga keturunanmu dan kerabatmu yang pegang kekuasaan dinegeri ini dan jangan engkau permainkan negeri ini dengan penguasa yang menjual negerinya serta jangan engau mengikuti hawa nafsumu dan seterusnya merupakan peringatan bahwa yang akan memimpin lembaga adat sarana wolio adalah mereka yang lebih kebaikannya dan lebih kedermawanannya, saying rakyat dan negerinya serta sempurna dan mendalam ilmunya.

Kesempurnaan lembaga adat sarana wolio tinggal menunggu waktu yakni hasil kerja siolimbona yang mempunyai tugas pemproses pencalonan dan memilih sultan definitif sesuai criteria dan persyaratan menurut adat wolio. Kehadiran sarana wolio sebagai lembaga adat resmi sangat diperlukan dalam upaya pemerintah mempertahankan, mengembangkan dan melestarikan budaya daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional.

Pembentukan lembaga adat Sarana Wolio dengan paradigma baru bukan untuk sebuah kegiatan yang isidensial tapi diharapkan dapat menjadi wadah budaya yang lestari sebagai jati diri orang buton secara keseluruhan dan merupakan cerminan kembalinya spirit cultural kebutonan yang kaya dengan ajaran kerakyatan, kejujuran, kebenaran, keadilan yang mengutamakan kehormatan dan peradaban sebagai paradigma dalam bertindak. Semangat dan nilai luhur universal yang mengikuti eksistensi sarana wolio akan bangkit kembali menjadi karakter bagi setiap insan buton dalam menjalankan aktivitas keseharian disegala bidang dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara tidak semata hanya seremoni belaka. Terlepas dari sorotan dan pendapat akan kurang lebih dalam pelaksanaan tehnis kegiatan dari acara yang terjadi pada tanggal 22 mei 2011 di baruga keraton Buton tersebut, kita semua harus mengakui bahwa kejadian itu adalah momentum resto***

Sabtu, 04 Juni 2011

SEPARUH JIWA BUTON DI SAMUDERA?


OLEH : LA YUSRIE
 
 
Saya tersentak kaget luar biasa ketika membaca berita kompas pagi ini, di headlinenya, pada paling atas, tepat di bawah kop harian nasional bergengsi ini. Nampak gambar sebagai ilustrasi perahu-perahu boti khas Buton, koli-koli yang ditumpangi beberapa anak laut desa Tira di Sampolawa, juga laut biru bersih, bahkan dapat kita lihat menembusi dasarnya, dan di pojok kiri tertulis judul Separuh Jiwa Buton di Samudera.

Sebuah judul yang teramat memukau. Benarkah separuh jiwa kita di samudera? Lantas kalau kita relasikan judul itu dengan mind dan visi pemerintah membangun daerah ini, sudahkan ia sejalan? Tentu saja akan sangat banyak persepsi perihal itu, tapi poin yang paling penting adalah bahwa kita telah cukup bisa berdiri mengisi dan mewarnai lembar-lembar berita harian nasional berkualitas dan kredibel itu. Tak bisa memang lepas, bahwa ini berkat beliau-beliau yang bukan orang Buton tapi peduli dan punya perhatian pada Buton.

Disebutkan dalam banyak literature bahwa pada urusan melayari samudera dan menggauli lautan, suku bangsa Buton hanya disaingi dan bergandeng setara dengan pelaut-pelaut suku bangsa Bugis-Makassar (lihat Pelras dalam manusia bugis). Saya tak lupa pula, bagaimana kakek saya bercerita bangga penuh heroik perihal tangguh kuatnnya pelaut-pelaut Buton, hanya dengan boti tak bermesin mereka melayari laut Cina Selatan dan menaklukannya, kota-kota pelabuhan di Jawa, dari Banyuwangi, Probolinggo dan Surabaya di Timur hingga Jakarta dan Banten di ujung barat, terus menggapai Sumatera, dari selatan Palembang, lampung, Bangka Belitung, hingga Aceh di Utara. Orang-orang Buton juga giat bergelut di Timur Nusantara. Melayari laut Banda, bahkan ke Arafura di Timur. Jejak itu dapat ditelusuri kini dengan banyaknya orang-orang Buton yang bermukim di pesisir selatan Papua, menaik hingga di pantai Utara Jayapura. Ini saya ketahui berkat laporan penelitian pemetaan bahasa-bahasa di Papua tahun 2006 yakni ditemukannya kantong-kantong atau enclave bahasa-bahasa Buton di daerah-daerah pesisir papua itu.

Bahkan seorang John Man, Sejarawan Inggris dan travel writer yang tulisan-tulisannya paling banyak di baca orang di dunia menulis informatif sekali, begini ia menulis ‘di tahun 1215, dunia belum menjadi tempat yang saling terhubung. Orang dan binatang sama-sama berkelana dengan amat lambat, butuh berhari-hari untuk sampai ke kota tetangga, berminggu-minggu untuk menyeberangi sebuah negeri. Benua yang begitu luas menjadi hamparan semesta, benua yang satu tak mengenal benua yang lainnya. Tak seorang pun pernah bepergian dari Asia ke Australia, kecuali penduduk Sulawesi, yang melintasi laut Timor untuk mengumpulkan Teripang dan menjualnya ke Cina’ (Lihat John Man dalam Kubilai Khan)

Dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa hanyalah orang-orang Buton yang gemar melakukan pelayaran ke Australia untuk mencari teripang dan kerang laut bermutiara, bahkan itu hingga kini, perahu-perahu tradisional sope atau koli-koli kerap berkucing-kucingan dengan patroli polisi laut negeri kanguru itu. Pun dapat kini dilihat pada pesisir-pesisir timur pulau flores dan pada umumnya di Kepulauan Nusa Tenggara banyak bermukim warga buton, mereka tinggal menikah dengan penduduk lokal dan berketurunan di sana.

Maka jika begitu, benarkah separuh jiwa Buton saja di samudera?
Rasanya yang agak tepat adalah sepenuh-penuhnya jiwa Buton di Samudera!.***

Kamis, 02 Juni 2011

BUAH NANAS SIMBOL KESULTANAN BUTON



OLEH : MARZUKI ASINU

Nenas adalah tanaman buah yang dapat hidup di segala tempat baik di tanah subur maupun tandus dengan aroma yang sangat harum dan mempunyai rasa yang cukup manis, serta mempunyai daun yang berduri – duri. Tanaman ini pada masa lalu banyak tumbuh di sekitar perkampungan Wolio (Kelurahan Melai Kota Bau – Bau) yang saat itu sebagai ibu kota Kesultanan Buton. Disamping sebagai tumbuhan peliharaan tetapi juga sebagai tanaman benteng pertahanan. Karena itu tumbuhan nenas mempunyai bagian – bagian yang mengandung makna, yaitu :

  1. Pada bagian atas mempunyai daun Mahkota menggambarkan payung dan dianggap sebagai Pimpinan yang senantiasa mengayomi rakyatnya;
  2. Pada bagian buah terdapat sisik yang sangat banyak sebagai rakyat umum dengan mendiami 72 Kadie (wilayah);
  3. Daun yang berduri adalah gambaran jiwa untuk mempertahankan diri dari segala gangguan keamanan dan ketertiban dari manapun datangnya;
  4. Buah yang manis adalah mencerminkan kebaikan dengan menempatkan prinsip kerendahan hati, sopan santun tutur kata dan tidak menyakiti orang lain;
  5. Pada bagian pangkal bawah buah nenas terdapat daun yang melebar adalah landasan berpijak seluruh masyarakat yaitu sara patanguna, dengan  (empat prinsip hidup) yaitu :
  • Pomae maeka : Saling menghargai sesama manusia;
  • Popia piara : Saling memelihara sesama manusia;
  • Pomaa maasiaka : Saling menyayangi sesama manusia;
  • Poangka angkataka : Saling menghargai sesama manusia;
  •  Pomae maeka : Saling takut sesama manusia;

Oleh karena itu simbol ini adalah makna hubungan antar sesama manusia dengan mengedepankan prinsip keadilan, persatuan dan kesatuan, juga hubungan antara pemimpin dengan masyarakat yang dipimpin.***

CERITA ASAL MULA LAHIRNYA NAMA "KULISUSU".


OLEH : MARZUKI ASINU 
\

Setelah Wa Kaa Kaa ditinggalkan saudaranya misannya yang bernama Muhammad Ali Idrus menuju Negeri Munajat atau Muna, Wa Kaa Kaa dinobatkan menjadi Raja Buton Pertama.
Seperti yang telah diriwayatkan dalam sejarah Budaya Buton, tidak berapa lama setelah Muhammad Ali Idrus tiba di negeri Munajat kawin dengan Wa Birah, putri Sangia Pure – Pure. Dari perkawinannya dikaruniai seorang putri yang diberi nama Wa Nambo Yi Tonto atau Wa Sala Bose. Kemudian Muhammad Ali Idrus digelar Maligana yang sekarang diabadikan menjadi nama sebuah desa di negeri Munajat atau Muna yakni Desa Maligana.

Di negeri Munajat, Muhammad Ali Idrus mendirikan sebuah pondok di pinggir pantai yang sebagian tiangnya berada di dalam laut. Namun tanpa sepengetahuannya dibelakang rumahnya ada sebuah kerang laut Raksasa (dalam bahasa Buton disebut Kamatuu Susu). Kerang raksasa tersebut setiap saat menyemprotkan air ke dalam pondok Muhammad Ali Idrus sehingga pondoknya tidak nyaman ketika sedang tidur atau beristirahat.

Akibat semprotan kerang laut Raksasa tersebut pondok Muhammad Ali Idrus selalu basah, maka Muhammad Ali Idrus meminta bantuan kepada sekelompok manusia untuk mencungkil kerang laut raksasa tersebut namun tidak berhasil.

Karena tetap gagal, maka Muhammad Ali Idrus mengadakan sayembara yang isinya ‘barang siapa dapat mencungkil kerang laut raksasa yang berada di belakang rumahnya maka akan dinikahkan dengan putrinya Wa Nambo Yi Tonto atau Wa Sala Bose.

Sayembara tersebut terdengar juga oleh seorang laki laki yang bernama Nggori-Nggori dari Bungku Sulawesi Tengah. Nggori – Nggori memiliki penyakit kulit (dalam bahasa Buton disebut Kuli Dambi) dan ingin mengikuti sayembara. Namun bagi Muhammad Ali Idrus bagaimanapun kondisi orang yang memenangkan sayembara tersebut akan tetap dikawinkan dengan putrinya.

Setelah mendapat persetujuan dari Muhammad Ali Idrus atau Maligana, maka Nggori – Nggori membawa tombak sebagai alat untuk mencungkil kerang laut raksasa atau Kamatuu Susu.

Dengan tekad yang kuat dan karena kesaktian yang dimilikinya, Nggori – Nggori mampu mencungkil kerang tersebut hingga melayang terbagi dua. Kulit yang sebelah jatuh di Sulawesi Tengah (daerah Bungku) yang saat itu masih wilayah kerajaan ternate dan kulit sebelahnya jatuh di Pulau Ereke yang saat itu masih wilayah Buton. Sampai sekarang Kulit Kerang itu masih ada dan diabadikan menjadi nama sebuah Ibu Kota wilayah Kecamatan Kulisusu, sekarang wilayah ini sedang diperjuangkan oleh para pewarisnya untuk menjadi ibu kota Kabupaten Buton Utara.****