OLEH : SUMIMAN UDU (KANDIDAT DR ANTROPOLOGI)
(Sebuah mimpi dari Botermarkt 19a Leiden, Belanda, 1 November 2011, 02:13 am)
Ketika
generasi Buton mulai merasakan pentingnya mengenal identitas dirinya di
tengah-tengah globalisasi kebudayaan, maka benang-benang kebudayaan
Buton itu ingin kembali dirajut. Helai demi helai kembali dikumpulkan
untuk menyulam kembali kebudayaan itu. Lalu, benang apakah yang bisa
menyulam helai-helai kebudayaan Buton yang telah tersobek itu? Sehingga
ia menjadi kebudayaan yang kelak dapat menjadi kebanggaan dan indentitas
generasi anak-anak Buton ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas, harus
dikembalikan kepada kesadaran sejarah, terutama mengenai bagaimana
leluhur Buton menyulam kebudayaan Buton itu?
Ketika
menelusuri beberapa arsip kebudayaan Buton di Perpusatakaan Universitas
Leiden, maka jejak leluhur itu pelan-pelan terungkap. Beberapa tulisan
tentang kaŠ±anti dapat dilihat disini, misalnya kaŠ±anti “Anjonga
Yinda Malusa” menjadi salah satu buku yang tentunya sangat penting
untuk dibaca. Di negeri kincir angin inilah, kesadaran bahwa, kebudayaan
Buton masih memiliki benang yang dapat digunakan untuk menyulam
kebudayaan itu, sehingga dapat dinikmati kembali oleh generasinya saat
ini. Namun, ketika dendang kaŠ±anti hanya
satu-satunya yang digunakan untuk membangun kebudayaan Buton, maka
tentunya itu akan meninggalkan dimensi fisik generasi Buton. Di situlah
baru disadari bahwa leluhur Buton membangun kebudayaan Buton melalui
tiga dimensi, yaitu (a) fisik (manusia dan alam), (b) pikiran, dan (c)
jiwanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan tiga dimensi itulah, tarian
balaba dan senandung kaŠ±anti menjadi sangat relevan sebagai benang penyulam kebudayaan Buton itu.
Pembangunan
kebudayaan Buton, harus dibangun dari individu-individu yang menjadi
genesari Buton itu sendiri. Dengan demikian, untuk membangun kebudayaan
Buton, harus dikembalikan kepada bagaimana leluhur Buton membangun
kebudayaannya. Di sinilah, tarian balaba dan senandung kaŠ±anti penting
untuk kembali dihidupkan dalam masyarakat Buton dewasa ini. Karena
melalui tarian balaba, anak-anak Buton akan diajarkan bagaimana bertahan
dalam berbagai terpaan globalisasi kebudayaan. Strategi pertahanan
balaba menjadi sangat relevan dalam menghidupkan kebudayaan Buton.
Melalui tarian balaba fisik anak-anak Buton akan memiliki kekuatan dan
ketepatan dalam berbagai tindakan mereka. Melalui tarian balaba gerakan
tubuh mereka akan menjadi sangat lentur, sehingga mereka tidak menjadi
bangsa yang kaku, bangsa yang merasa menang sendiri, bangsa yang benar
sendiri. Melalui tarian balaba inilah, generasi Buton dapat memahami
potensi fisiknya sebagai dimensi yang lahir.
Malalui
tarian balaba, generasi Buton membuat kebersamaan, merangkai kekuatan,
disiplin, dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Dalam tarian
kehidupan yang ia mainkan, haruslah tetap dalam dimensi irama kebutonan.
Kekuatan, semangat, rasa percaya diri, tertanam di kedalaman pemikiran
anak-anak Buton dimasa depan. Sehingga mereka memiliki jiwa sastria yang
tangguh sebagai orang Buton, yang rela berkorban untuk kebenaran dan
kebudayaannya. Yang mau berkarya sesuai dengan keahliannya
masing-masing, namun semua anak-anak Buton, memiliki nilai-nilai dari
dua benang kebudayaan ini, yaitu tarian balaba dan senandung kaŠ±anti.
Dengan
demikian, kepribadian orang Buton, tidak cukup hanya dengan tarian
balaba karena itu tidak akan sempurna, tetapi juga harus berada dalam
dendang senandung kaŠ±anti untuk
menyempurnakan kekuatan yang ada dalam tarian balaba itu dengan
kelembutan cinta dan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai humanism pobinci-binciki kuli yang menjadi landasan filosofi dari dua benan kebudayaan itu.
Dua
benang inilah yang kemudian harus dihidupkan kembali dalam tatanan
orang-orang atau generasi muda Buton. Karena balaba melatih fisiknya dan
kaŠ±anti akan mengkonstruksi pemikiran dan jiwa anak-anak Buton. Misalnya, senandung kaŠ±anti Anjonga Yinda Malusa itu harus kembali dilantunkan untuk mengiringi setiap gerak tarian balaba dalam kehidupan orang Buton. Senandung kaŠ±anti yang menanamkan nilai-nilai kebutonan, senandung kaŠ±anti yang mengajarkan tentang identitas kebutonan. Karena konsep keseimbangan jiwa akan dilatihkan dalam berbagai senandung kaŠ±anti dan
keseimbangan fisik akan diajarkan dalam derap langkah kuda-kuda balaba
yang kokoh, sehingga anak-anak Buton memiliki kekuatan, berdiri, tegas,
tegap seperti batu karang, dan memiliki kelembutan seperti awan, seperti
batu karang yang tak pernah takluk dan seperti belaian awan yang tak
pernah kasar.
Dalam lantunan senandung kaŠ±anti dan
tarian balaba itulah, pribadi-pribadi Buton itu harus dirajut,
pribadi-pribadi Buton itu harus menemukan diri dan kediriannya,
menemukan kebutonannya, sehingga menjadi orang Buton akan merasa
memiliki tentang kebutonan. Pribadi-pribadi Buton yang memiliki
kebanggaan akan identitas dirinya. Pribadi-pribadi yang kuat,
pribadi-pribadi yang ulet dalam menjalani kehidupannya dalam konteks
kehidupan modern saat ini.
Dengan
demikian, masyarakat Buton saat ini membutuhkan dua benang kebudayaan
itu, untuk menyulam berbagai benang kebudayaan itu dalam pribadi-pribadi
Buton yang kuat dan utuh. Untuk itu, dibutuhkan lembaga tarian balaba
yang dapat dimasuki oleh semua generasi muda Buton. Di dalam lembaga
kebudayaan itulah, senandung kaŠ±anti kembali
dilantunkan mengiringi setiap gerakan tarian balaba. Sebab ajaran moral
dan kebajikan harus kembali dihidupkan, dan tentunya sulaman ini
kemudian diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai dasar identitas
kebutonan yang humanis universal.
Kalau kita menoleh ke belakang, maka tradisi kaŠ±anti hampir memenuhi seluruh aktifitas kebudayaan Buton, pembelajaran tentang nilai-nilai disampaikan melalui senandung kaŠ±anti, tidak salah kalau leluhur Buton memiliki banyak kaŠ±anti dan salah satu contohnya yang dapat ditemukan di perpustakaan Universitas Leiden adalah naskah kaŠ±anti “Anjonga Yinda Malusa”
karangan Haji Abdul Ganiu atau yang di dunia Melayu Malaysia lebih
dikenal dengan panggilan Haji Puteh. Di samping itu, tentunya masih
banyak naskah-naskah Buton yang dapat dieksplorasi di perpustakaan
Universitas Leiden ini.
Pertanyaannya adalah, mungkinkan dimasa depan, bangsa Buton memiliki kemampuan untuk memiliki lembaga Balaba dan kaŠ±anti yang
dapat dijadikan sebagai ruang konstruksi nilai-nilai budaya Buton.
Sebab jika dua benang kebudayaan itu dapat diwujudkan, maka di masa
depan, orang-orang Buton akan kembali menemukan dirinya dan bangga pada
identitas kebutonannya. Sekurang-kurangnya, tarian balaba dan senandung kaŠ±anti ini,
kelak dapat merajut pemikiran dan pemahaman anak-anak Buton tentang
kehidupannya. Sehingga anak-anak Buton tetap berdiri kokoh dalam terpaan
kebudayaan global yang terus menerus menggerus kebudayaan-kebudayaan
kecil di dunia. Anak-anak Buton memiliki kekuatan untuk tetap bertahan
dengan kepribadiannya, dan kelak akan lahir pemimpin-pempimpin Buton
yang punya mimpi untuk kebesaran budaya dan bangsanya.
Kita
tengoklah, bagaimana bangsa Jepang mampu mewarisi semangat samurai dan
bunga seruni dalam kepribadian anak-anak bangsanya. Memiliki visi, misi,
kekuatan, disiplin, ketegasan, keberanian, komitmen, konsisten dan
semangat dalam membangun diri dan kebudayaan mereka. Bagaimana bangsa
Jepang mencintai nilai-nilai kemanusiaan di dalam kekuatan samurai
mereka. Samurai yang memiliki sisi membunuh, ternyata memiliki dimensi
cinta selembut bunga serunai. Demikian juga bangsa Buton membangun
kekuatan fisik, pikiran dan jiwa dalam tarian balaba dan senandung cinta
yang dilantunkan dalam setiap bait-bait kaŠ±anti.
Mungkinkan,
kita dapat meramu nilai-nilai tradisional kita dalam dua benang
kebudayaan itu? Dan mungkinkan kita dapat menerima globalisasi dalam
dimensinya yang lain, sebagaimana Jepang memiliki kepribadian sebagai
orang Jepang, tetapi memiliki penguasaan teknologi yang tinggi, yang
harus diakui di dunia timur maupun di dunia barat. Semoga bangsa Buton
kembali menemukan dirinya, kembali menarikan balaba dan melantunkan
senandung kaŠ±anti. Merebut
masa depan mereka, teknologi, ilmu pengetahuan, kesenian. Sebagaimana
Leluhur Buton mencetak sejarah bahwa sekolah penerjemahan pertama di
Nusantara itu pertama kali berada di Buton, yang menurut Mike seorang
Belanda yang ayahnya masih temannya Almarhum La Ode Manarfa, lembaga
pendidikan itu berdiri sekitar abad 15 belas. Suatu pencapaian dan
prestasi leluhur Buton yang harus digapai kembali oleh anak-anaknya hari
ini. Semoga, amin.*****
Sumber :
http://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/2011/11/tarian-balaba-dan-senandung-kaanti-dua.html
2 komentar:
sayang klw balabatidak di budayakan lagi di buton, klw boleh tau masih ada tdk t4 belajar balaba di buton ??
terima kasih buat penulis,
Posting Komentar