OLEH : SUMIMAN UDU  (KANDIDAT DR ANTROPOLOGI)
Ketika
 generasi Buton mulai merasakan pentingnya mengenal identitas dirinya di
 tengah-tengah globalisasi kebudayaan, maka benang-benang kebudayaan 
Buton itu ingin kembali dirajut. Helai demi helai kembali dikumpulkan 
untuk menyulam kembali kebudayaan itu. Lalu, benang apakah yang bisa 
menyulam helai-helai kebudayaan Buton yang telah tersobek itu? Sehingga 
ia menjadi kebudayaan yang kelak dapat menjadi kebanggaan dan indentitas
 generasi anak-anak Buton ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas, harus 
dikembalikan kepada kesadaran sejarah, terutama mengenai bagaimana 
leluhur Buton menyulam kebudayaan Buton itu?
Ketika
 menelusuri beberapa arsip kebudayaan Buton di Perpusatakaan Universitas
 Leiden, maka jejak leluhur itu pelan-pelan terungkap. Beberapa tulisan 
tentang kaбanti dapat dilihat disini, misalnya kaбanti “Anjonga
 Yinda Malusa” menjadi salah satu buku yang tentunya sangat penting 
untuk dibaca. Di negeri kincir angin inilah, kesadaran bahwa, kebudayaan
 Buton masih memiliki benang yang dapat digunakan untuk menyulam 
kebudayaan itu, sehingga dapat dinikmati kembali oleh generasinya saat 
ini. Namun, ketika dendang kaбanti hanya
 satu-satunya yang digunakan untuk membangun kebudayaan Buton, maka 
tentunya itu akan meninggalkan dimensi fisik generasi Buton. Di situlah 
baru disadari bahwa leluhur Buton membangun kebudayaan Buton melalui 
tiga dimensi, yaitu (a) fisik (manusia dan alam), (b) pikiran, dan (c) 
jiwanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan tiga dimensi itulah, tarian 
balaba dan senandung kaбanti menjadi sangat relevan sebagai benang penyulam kebudayaan Buton itu.
Pembangunan
 kebudayaan Buton, harus dibangun dari individu-individu yang menjadi 
genesari Buton itu sendiri. Dengan demikian, untuk membangun kebudayaan 
Buton, harus dikembalikan kepada bagaimana leluhur Buton membangun 
kebudayaannya. Di sinilah, tarian balaba dan senandung kaбanti penting
 untuk kembali dihidupkan dalam masyarakat Buton dewasa ini. Karena 
melalui tarian balaba, anak-anak Buton akan diajarkan bagaimana bertahan
 dalam berbagai terpaan globalisasi kebudayaan. Strategi pertahanan 
balaba menjadi sangat relevan dalam menghidupkan kebudayaan Buton. 
Melalui tarian balaba fisik anak-anak Buton akan memiliki kekuatan dan 
ketepatan dalam berbagai tindakan mereka. Melalui tarian balaba gerakan 
tubuh mereka akan menjadi sangat lentur, sehingga mereka tidak menjadi 
bangsa yang kaku, bangsa yang merasa menang sendiri, bangsa yang benar 
sendiri. Melalui tarian balaba inilah, generasi Buton dapat memahami 
potensi fisiknya sebagai dimensi yang lahir.
Malalui
 tarian balaba, generasi Buton membuat kebersamaan, merangkai kekuatan, 
disiplin, dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Dalam tarian 
kehidupan yang ia mainkan, haruslah tetap dalam dimensi irama kebutonan.
 Kekuatan, semangat, rasa percaya diri, tertanam di kedalaman pemikiran 
anak-anak Buton dimasa depan. Sehingga mereka memiliki jiwa sastria yang
 tangguh sebagai orang Buton, yang rela berkorban untuk kebenaran dan 
kebudayaannya. Yang mau berkarya sesuai dengan keahliannya 
masing-masing, namun semua anak-anak Buton, memiliki nilai-nilai dari 
dua benang kebudayaan ini, yaitu tarian balaba dan senandung kaбanti.
Dengan
 demikian, kepribadian orang Buton, tidak cukup hanya dengan tarian 
balaba karena itu tidak akan sempurna, tetapi juga harus berada dalam 
dendang senandung kaбanti untuk
 menyempurnakan kekuatan yang ada dalam tarian balaba itu dengan 
kelembutan cinta dan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai humanism pobinci-binciki kuli yang menjadi landasan filosofi dari dua benan kebudayaan itu.
Dua
 benang inilah yang kemudian harus dihidupkan kembali dalam tatanan 
orang-orang atau generasi muda Buton. Karena balaba melatih fisiknya dan
 kaбanti akan mengkonstruksi pemikiran dan jiwa anak-anak Buton. Misalnya, senandung kaбanti Anjonga  Yinda Malusa itu harus kembali dilantunkan untuk mengiringi setiap gerak tarian balaba dalam kehidupan orang Buton. Senandung kaбanti yang menanamkan nilai-nilai kebutonan, senandung kaбanti yang mengajarkan tentang identitas kebutonan. Karena konsep keseimbangan jiwa akan dilatihkan dalam berbagai senandung kaбanti dan
 keseimbangan fisik akan diajarkan dalam derap langkah kuda-kuda balaba 
yang kokoh, sehingga anak-anak Buton memiliki kekuatan, berdiri, tegas, 
tegap seperti batu karang, dan memiliki kelembutan seperti awan, seperti
 batu karang yang tak pernah takluk dan seperti belaian awan yang tak 
pernah kasar.
Dalam lantunan senandung kaбanti dan
 tarian balaba itulah, pribadi-pribadi Buton itu harus dirajut, 
pribadi-pribadi Buton itu harus menemukan diri dan kediriannya, 
menemukan kebutonannya, sehingga menjadi orang Buton akan merasa 
memiliki tentang kebutonan. Pribadi-pribadi Buton yang memiliki 
kebanggaan akan identitas dirinya. Pribadi-pribadi yang kuat, 
pribadi-pribadi yang ulet dalam menjalani kehidupannya dalam konteks 
kehidupan modern saat ini.
Dengan
 demikian, masyarakat Buton saat ini membutuhkan dua benang kebudayaan 
itu, untuk menyulam berbagai benang kebudayaan itu dalam pribadi-pribadi
 Buton yang kuat dan utuh. Untuk itu, dibutuhkan lembaga tarian balaba 
yang dapat dimasuki oleh semua generasi muda Buton. Di dalam lembaga 
kebudayaan itulah, senandung kaбanti kembali
 dilantunkan mengiringi setiap gerakan tarian balaba. Sebab ajaran moral
 dan kebajikan harus kembali dihidupkan, dan tentunya sulaman ini 
kemudian diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai dasar identitas 
kebutonan yang humanis universal. 
Kalau kita menoleh ke belakang, maka tradisi kaбanti hampir memenuhi seluruh aktifitas kebudayaan Buton, pembelajaran tentang nilai-nilai disampaikan melalui senandung kaбanti, tidak salah kalau leluhur Buton memiliki banyak kaбanti dan salah satu contohnya yang dapat ditemukan di perpustakaan Universitas Leiden adalah naskah kaбanti “Anjonga Yinda Malusa”
 karangan Haji Abdul Ganiu atau yang di dunia Melayu Malaysia lebih 
dikenal dengan panggilan Haji Puteh. Di samping itu, tentunya masih 
banyak naskah-naskah Buton yang dapat dieksplorasi di perpustakaan 
Universitas Leiden ini.
Pertanyaannya adalah, mungkinkan dimasa depan, bangsa Buton memiliki kemampuan untuk memiliki lembaga Balaba dan kaбanti yang
 dapat dijadikan sebagai ruang konstruksi nilai-nilai budaya Buton. 
Sebab jika dua benang kebudayaan itu dapat diwujudkan, maka di masa 
depan, orang-orang Buton akan kembali menemukan dirinya dan bangga pada 
identitas kebutonannya. Sekurang-kurangnya, tarian balaba dan senandung kaбanti ini,
 kelak dapat merajut pemikiran dan pemahaman anak-anak Buton tentang 
kehidupannya. Sehingga anak-anak Buton tetap berdiri kokoh dalam terpaan
 kebudayaan global yang terus menerus menggerus kebudayaan-kebudayaan 
kecil di dunia. Anak-anak Buton memiliki kekuatan untuk tetap bertahan 
dengan kepribadiannya, dan kelak akan lahir pemimpin-pempimpin Buton 
yang punya mimpi untuk kebesaran budaya dan bangsanya.
Kita
 tengoklah, bagaimana bangsa Jepang mampu mewarisi semangat samurai dan 
bunga seruni dalam kepribadian anak-anak bangsanya. Memiliki visi, misi,
 kekuatan, disiplin, ketegasan, keberanian, komitmen, konsisten dan 
semangat dalam membangun diri dan kebudayaan mereka. Bagaimana bangsa 
Jepang mencintai nilai-nilai kemanusiaan di dalam kekuatan samurai 
mereka. Samurai yang memiliki sisi membunuh, ternyata memiliki dimensi 
cinta selembut bunga serunai. Demikian juga bangsa Buton membangun 
kekuatan fisik, pikiran dan jiwa dalam tarian balaba dan senandung cinta
 yang dilantunkan dalam setiap bait-bait kaбanti.
Mungkinkan,
 kita dapat meramu nilai-nilai tradisional kita dalam dua benang 
kebudayaan itu? Dan mungkinkan kita dapat menerima globalisasi dalam 
dimensinya yang lain, sebagaimana Jepang memiliki kepribadian sebagai 
orang Jepang, tetapi memiliki penguasaan teknologi yang tinggi, yang 
harus diakui di dunia timur maupun di dunia barat. Semoga bangsa Buton 
kembali menemukan dirinya, kembali menarikan balaba dan melantunkan 
senandung kaбanti.  Merebut
 masa depan mereka, teknologi, ilmu pengetahuan, kesenian. Sebagaimana 
Leluhur Buton mencetak sejarah bahwa sekolah penerjemahan pertama di 
Nusantara itu pertama kali berada di Buton, yang menurut Mike seorang 
Belanda yang ayahnya masih temannya Almarhum La Ode Manarfa, lembaga 
pendidikan itu berdiri sekitar abad 15 belas. Suatu pencapaian dan 
prestasi leluhur Buton yang harus digapai kembali oleh anak-anaknya hari
 ini. Semoga, amin.*****
 Sumber :
http://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/2011/11/tarian-balaba-dan-senandung-kaanti-dua.html