bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Minggu, 21 Agustus 2011

SENJA KEBUDAYAAN (BUTON) CIA-CIA

Print E-mail
Written by La Taya   
Thursday, 18 August 2011
OLEH: ABD RAHMAN HAMID *)

Pada tanggal 22 Juli 2011, harian ini menurunkan artikel Cho Tae Young bertajuk refleksi dua tahun pengajaran aksara Hanguel-Korea di Kota Bau-Bau, tepatnya pada masyarakat Cia-cia. Artinya, sudah dua tahun pengguna kebudayaan asing itu melewati masa senjanya dari kebudayaan daerah (Buton) dan nasional. Atas dasar itulah, artikel ini diketengahkan sebagai bahan penyadar dini akan ancaman matinya kebudayaan daerah, seperti juga disitir oleh Young.
Sekilas pandang, sebagian kalangan berpendapat bahwa usaha adaptasi kebudayaan Korea di masyarakat Cia-Cia adalah langkah maju dalam persetubuhan kebudayaan asing dengan keudayaan lokal, yang nota bone memiliki berakar budaya Buton. Mengapa itu terjadi?

Masalah ini seharusnya dijawab dengan terang benderang oleh Pemerintah Kota Bau-bau yang telah membuka pintu Malige bagi adaptasi kebudayaan ini. Itu juga membuktikan, bahwa telah kian lama Pemerintah abai merawat dan membina kebudayaan daerah. Sikap yang demikian kontradiksi dengan usaha Pemerintah dalam membangun kebudayaan nasional, ranah mana tempat bersemainya kebudayaan daerah yang secara antropologi terdiri dari 500 kelompok etnik dengan ciri-ciri bahasa dan kultur tersendiri.

Bila pembiaran itu terus terjadi, maka terbuka kemungkinan peristiwa “Matinya Kebudayaan Daerah”, atau “Krisis Kepribadian Bangsa” dalam bahasa Bung Karno. Untuk menata kehidupan di masa mendatang, kata Bung Karno pada pidato monumentalnya yang menandai lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, kita harus mempunyai landasan kepribadian yang kokoh dan digali dari situs kebudayaan daerah kita yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.

Tetapi, sudahkah penggalian kebudayaan itu dilakukan secara serius dan berkelanjutan? Oleh siapa dan untuk apa? Tak jarang upaya macam itu semata dilakukan oleh kalangan akademik sekadar menuntaskan kewajiban penempaan ilmiah akhirnya di meja studi, atau peneliti pada proyek risetnya. Sangat jarang ditemukan orang yang bergiat melakukan ikhtiar ilmiah dan kebudayaan tersebut demi pelestarian budaya daerah dan pembangunan bangsa.

MENGAPA KEBUDAYAAN KOREA?

Pertanyaan ini diajukan untuk memastikan titik pijak Pemerintah melegalkan adaptasi kebudayaan Korea bagi kaum belia akademik Cia-cia. Objek sasaran ini sangat strategis. Sebab mereka adalah generasi baru dan nakhoda Buton ditengah samudera budaya daerah dan global.

Dalam batas cakupan jelajah akademik saya selama ini, terhadap sejarah dan kebudayaan Buton, upaya sosialisasi dan adaptasi ini tidak memiliki pijak yang kuat. Bahkan, hal itu tak lain dari gerak rantai pematian kebudayaan Buton.

Pemilihan dan penggunaan aksara sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan sepatutnya berlatarkan sejarah dan budaya masyarakat penggunanya. Sebagai contoh, pemanfaatan aksara Latin di Indonesia tidak lepas dari pengaruh bangsa Barat (Eropa) di Bumi Pertiwi pada masa silam. Demikian juga pemungsian aksara Pallawa pada sejumlah Prasasti di Pulau Jawa erat kaitannya dengan interaksi masyarakat Nusantara dengan masyarakat kebudayaan India, khususnya pada periode Hindu-Budha.

Penggunaan aksara Arab berbahasa Melayu, Arab, dan Wolio pada sejumlah naskah Buton merupakan buah interaksi pendukung kebudayaan itu di masa lalu. Aksara dan bahasa Arab, sebagai alat transformasi pesan-pesan Ilahi, tersebar seiring perkembangan agama Islam di Buton, dengan penganjur pada masa awalnya adalah Syekh Abdul Wahid dari Arab. Juga bahasa Melayu yang pernah menjadi lingua franca dalam dunia pelayaran dan perdagangan maritim Nusantara. Akar kebudayaan terakhir ini sangat kuat terutama pada fase awal sejarah politik Buton di abad XIII Masehi. Empat orang pengembara atau juga dikenal dengan Mia Pata Miana (Sijawangkati, Simalui, Sipanjonga, dan Sitamanajo) yang mendirikan Kerajaan Buton berasal dari Negeri Melayu di Semenanjung.

Pendeknya, bila frase-frase kebudayaan itu digunakan sebagai alat transformasi pengetahuan dan kebudayaan di Kota Bau-bau, maka jelas memiliki akar sejarah yang kuat. Sejalan dengan usaha itu pula, jika terdapat itikad baik Pemerintah Kota untuk menggunakan frase budaya (Asia) Timur di masyarakat Buton Cia-cia, maka alternatif aksara China sedikit lebih tepat karena secara faktual memiliki fondasi sejarah dengan masyarakat Cia-cia.

Dalam tradisi lisan Buton dikatakan, bahwa Ratu Buton pertama adalah Wa Kaa Kaa berasal dari China. Pendahulunya adalah Dungku Cangia yang menetap dan menjadi raja di Negeri Tobe-Tobe. Konon, setelah rombongan Wa Kaa Kaa mendarat di Wabula (Pasar Wajo), mereka bergabung dibawah pimpinan Dungku Cangia menuju Lelemangura, kelak menjadi pusat kerajaan. Dari Wa Kaa Kaa inilah, menurut tradisi lisan itu, berkembang masyarakat Cia-cia (di Wabula).

Lalu, bagaimana akar serupa dapat ditunjukkan untuk aspek kebudayan Korea yang kini dipilih sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan bagi kaum belia akademik Cia-cia di Kota Bau-bau? Jika pemerintah Korea bersimpati pada penyelamatan kebudayaan daerah di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Young dalam artikelnya, mengapa alas usahanya tidak bertumpu pada pemupukan kebudayaan daerah yang sudah ada sejak awal, sehingga terjaga kelangsunganya. Bukan menggantikannya, apalagi memaksakannya, dengan anasir kebudayaan baru menggunakan pemikat teknologi dan kapitalisme modern.

BERALTERNATIF

Penggunaan aksara Hangul-Korea di Bau-bau telah membawa kita pada, apa yang dikatakan oleh Bapak Antropologi Idonesia Koentjaraningrat, praktek mentalitas menerabas. Demi mencari jalan pintas dan instan untuk sebuah popularitas publik, sebagai daerah yang mampu mengadaptasi dan menyembangkan kebudayaan asing di era global, khasanah kekayaan kebudayaan nasional tergadai.

Masyarakat Indonesia memiliki beragam kebudayaan, berikut aksara dalam mentransformasikan pegetahuan dan nilai-nilai budayanya. Di Sulawesi misalnya, tiga daerah yang memiliki ikatan erat di masa lalu adalah Wolio (Buton), Wotu (Luwu), dan Layolo (Selayar).

Ketiganya, dari hasil studi lingusitik, memiliki persentase kimiripan bahasa yang tinggi (Pelras 2006), yang mengindikasikan kedekatan akar kebudayaannya. Dalam kaitan itu, masyarakat Bugis-Makassar telah lama dikenal menggunakan aksara Lontara sebagai media komunikasinya. Tetapi, mengapa kita tidak beralternatif untuk menggunakan media itu? Terlepas dari aspek dominasi budaya dan politiknya, yang dimiliki setiap daerah itu, alternatif ini masih dalam batas-batas terawang kebudayaan nasional. Atau alternatif lainnya adalah pemanfaatan aksara Arab dan Latin bagi kaum belia akademik Cia-cia. Akhirnya, selamatkan kebudayaan daerah demi masa depan kebudayaan nasional.

*) Staf Pengajar tidak tetap Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unhas



Tidak ada komentar: