OLEH : ALI AHMADI
Dalam menyikapi Mardan Ali yang populer dengan nama kecil “La Tjila”. Sumber-sumber sejarah di Buton menyatakan bahwa La Tjila dalam kehidupannya telah tumbuh menjadi seorang yang cerdas, berwatak keras dan menunjukkan sifat-sifat kepemimpinan, keteladanan yang telah diturunkan oleh ayahnya sendiri yaitu Laelangi Sultan Buton ke-4 juga merupakan sosok yang sangat menyenangkan bahkan nyaris tanpa cela.
Unsur-unsur yang menonjol telah dimiliki La Tjila Mardan Ali sejak kecil sebagai komponen awal yang mengantarkan seseorang menjadi Calon Pemimpin Negeri sebagian telah terlihat teriring dengan perjalanan waktu, tanda-tanda itu makin lama makin kelihatan walaupun hal itu tidak disadarinya.
La Tjila Mardan Ali dalam menata masa depannya dipengaruhi dua faktor utama yaitu sebagai putra Sultan yang tinggal dalam lingkungan keraton telah banyak belajar tentang Pemerintahan, Politik, Ekonomi dan Budaya. Faktor kedua adalah keimanan yang telah memperkokoh kepribadiannya untuk kemudian memperjuangkan, membela dan mempertahankan hak-hak azasi manusia.
Seiring dengan perjalanan waktu La Tjila tumbuh menjadi dewasa telah menyadari bahwa Negeri Buton saat itu berada pada posisi sulit menjadi Negeri rebutan Belanda, Gowa dan Ternate yang tidak mungkin dapat dilawan dengan kekuatan fisik.
Bersamaan dengan meninggalnya Saparigau Sultan Buton ke-7 maka dilantiklah La Tjila Mardan Ali sebagai Sultan ke-8 dimana situasi Negeri saat itu sudah sangat menyulitkan dan instabilitas politik keamanan, maka dengan sifat-sifat seorang Negarawan Beliau mampu menciptakan hubungan yang baik dengan Ternate, Belanda maupun dengan Kerajaan tetangga.
Sebagai bukti Sulltan Mardan Ali sangat menghargai dan menghormati hak asasi manusia hal ini tergambar ketika beliau menyelamatkan orang-orang Belanda yang mengalami musibah dengan pecahnya 3 buah kapal di Pulau Sagori Kabaena tahun 1650 dengan 561 orang penumpang.
Sebagai ucapan terima kasih dari Pemerintah Belanda kepada Sultan Buton maka beliau diberikan Bintang Kehormatan Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang telah menyelamatkan dan membantu orang-orang Belanda dalam peristiwa di Pulau Sagori.
Konsekuensi logis akibat eratnya hubungan antara Belanda dan Sultan Buton menimbulkan ketidak puasan Dewan Sara Kesultanan Buton karena menganggap Mardan Ali telah melanggar Sumpah jabatannya sebagai Sultan. Untuk tidak menimbulkan konfrontasi dengan Pemerintah Belanda maka dalil yang tepat untuk menghukum Mardan Ali tidak lain dengan jalan membuat fitnah seolah-olah Sultan telah melakukan perbuatan melanggar hukum agama dengan dijatuhi hukuman gogoli ( hukuman gantung ).
Sesungguhnya Mardan Ali sangat menyadari hal tersebut tetapi beliau juga seorang Negarawan hukum harus ditegakkan tidak ada perbedaan antara penguasa dengan rakyatnya. Inilah wujud dari keikhlasan, kerelaan, kersadaran Mardan Ali menerima hukuman tersebut dan hal ini dilakukan semata-mata untuk mengelabui agar Pemerintah Belanda tidak terlalu jauh mencampuri urusan dalam Negeri Kesultanan Buton maka dipilihlah Liwuto ( Pulau Makasar ) sebagai tempat Penguburan Jasad beliau yang sangat dicintai oleh rakyatnya.****