OLEH : ALI HABIU *)
Konstruksi
sejarah Maha Patih Gajah Mada yang diakui oleh berbagai ahli sejarah di
Indonesia masih tidak jelas dimana lahirnya, siapa ayah dan ibunya serta
dimana dia meninggal dunia, dengan berbagai temuan hasil penelitian
belakangan ini semakin memberikan ketegasan bahwa Maha Patih Gajah Mada lahir
dan meninggalnya di eks wilayah kerajaan buton. Walaupun statemen ini diperoleh
baru sebatas hasil observasi lapangan dari berbagai hasil wawancara (data
foklour) dengan masyarakat buton dan masyarakat Liya serta berbagai artifak,
atefak, situs yang menunjukkan keberadaan Maha Patih Gajah Mada di wilayah
tersebut, namun masyarakat lokal sangat meyakini bahwa histeryografi yang
dibangun oleh masyarakat buton dan Liya tentang keberadaan Maha Patih Gajah
Mada tersebut bukan tidak beralasan karena diturunkan secara tutur ratusan
tahun silam secara turun temurun dari leluhur mereka (baca abstraksi penelitian
penelusuran jejak makam maha patih gajah mada di wilayah buton sulawesi
tenggara, http://www.bumibuton.blogspot.com/2012/01/abstraksi-penelitian-penelusuran-jejak.html)
Menurut tulisan Sufyan Al Jawi Arkeolog
di Numismatik Indonesia berjudul “Jejak Prajurit islam Majapahit dari Bali
hingga Australia”, yang dimuat dalam media on line, mengatakan bahwa Maha Patih
Gajah Mada itu adalah seorang Muslim.
Hal ini didasarkan fakta sejarah bahwa ternyata wilayah Majapahit lebih luas
dari yang diperkirakan selama ini oleh sejarawan. Riset terbaru tentang penempatan
prajurit Majapahit di luar Jawa menemui fakta yang menakjubkan. Uniknya,
pleton-pleton kawal Majapahit beranggotakan prajurit beragama Islam.
Peninggalannya pun masih bisa dibuktikan hingga sekarang.
Maha Patih Gajah Mada
Adanya penempatan prajurit Majapahit di Kerajaan Vasal (bawahan) yang terdiri dari 40 prajurit elite beragama Islam di Kerajaan Gelgel-Bali, Wanin-Papua, Kayu Jawa-Australia Barat, dan Marege-Tanah Amhem (Darwin) Australia Utara pada abad ke 14 memperkuat bukti bahwa Gajah Mada adalah seorang Muslim. Silakan anda berkunjung ke daerah tersebut, terutama ke Bali Utara sebelum anda memberi komentar tanpa dasar.
Prajurit Islam ini berasal dari basis
Gajah Mada dalam merekrut prajurit elite yang terdiri dari 3 (tiga) kriteria:
Mada; Gondang (Tenggulun-Lamongan) dan Badander (Jombang) yang diketahui
sebagai basis teman-teman lama beliau. Dari desa-desa ini pemudanya direkrut
menjadi Bhayangkara angkatan II dan seterusnya. Tuban, Leran, Ampel, Sedayu
sebagai basis Garda Pantura. Pahang-Malaya, Bugis-Makasar, dan Pasai sebagai basis
tentara Laut Luar Jawa.
Hal
ini adalah wajar, karena di Jawa, Islam telah berbaur sejak abad ke 10 yang
dibuktikan dengan penemuan Prasasti nisan Fatimah binti Maimun (wafat 1082 M)
di Leran, Gresik yang bertuliskan huruf Arab Kufi. Dan Prasasti Gondang -
Lamongan yang ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi).
Keduanya merupakan peninggalan zaman Airlangga. Sedangkan orang Islam sudah
masuk ke Jawa sejak zaman Kerajaan Medang abad ke 7. Islam baru berkembang
dengan pesat di Jawa pada abad ke 15, atas peran tak langsung dari politik
Gajah Mada, putra desa Mada-Lamongan, politikus abad ke 14.
Sementara dilain
pihak, Sufyan Al
Jawi, dalam artikelnya yang berjudul “Meluruskan
Sejarah Maha Patih Gajah Mada” mengatakan bahwa Historyografi (Penulisan Sejarah) suatu
bangsa merupakan kewajiban dari bangsa itu sendiri. Karena bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Ilmu sejarah itu dinamis, tidak
statis.
Meskipun kedinamisan dalam ilmu sejarah itu lamban, dan
bisa berubah apabila ditemukan bukti-bukti baru yang akurat. Tentu harus dengan
kaidah Historyografi, yaitu : ilmiah – berdasarkan fakta bukan spekulasi, jujur
tidak ada yang ditutupi dan netral terlepas dari kepentingan politik/agama tertentu.
Untuk menulis sejarah tidak bisa hanya dengan membaca
buku-buku status quo, itu berarti merupakan pengulangan/saduran saja. Juga
tidak cukup dengan kajian tesis sejarah dikampus dan seminar, tapi wajib riset
di lapangan, observasi mencari situs tersembunyi, ekskavasi situs, dan bila
perlu melakukan forensik.
Sejak JLA Brandes, NJ Krom, dan JH Kern dari tahun
1902-1920 menulis sejarah bangsa kita, tentang Majapahit dan Sriwijaya secara
sudut pandang Barat (Modern), banyak sejarahwan menulis puluhan buku tentang
Majapahit. Namun tak ada satu pun yang berhasil mengungkap jatidiri tokoh besar
Majapahit, Mahapatih Gajah Mada.
…..”Sungguh aneh dan miris! Karena begitu besarnya nama
Gajah Mada, tapi tidak diketahui asal usulnya? Sehingga meimbulkan spekulasi beberapa
daerah yang mengklaim Gajah Mada berasal dari daerah mereka, tanpa di dasari
oleh fakta yang akurat…..”
Statemen artikel Sufyan Al Jawi di atas semakin mendukung data folklour masyarakat buton yang diyakininya bahwa Ayah Gajah Mada bernama Si Jawangkati seorang sakti asal johor yang datang bersamaan rombongan Si Malui dan dia sebagai pengawal pribadi Si Malui diperkirakan mendarat di pulau buton tahun 1238 masehi. Si Jawangkati seorang muslim dalam riwayat beberapa sejarah kontemporer buton disebutkan sebagai seorang sakti mandraguna, ahli kanukragan dan ahli berbagai ilmu kebathinan. Mula mendarat armada laut Si Malui dan Sijawangkati dan rombongan di Kamaru yang letaknya sebelah timur kota bau-bau saat ini. Tak lama mereka tiba disana, Si Malui membuat benteng Wonco di Kamaru dan Si Jawanagkati diperintahkan untuk membuat benteng Wabula di Wasuemba Lasalimu, jarak sekitar 48 km arah selatan Kamaru.
Menjelang akhir
abad XII, sekitar tahun 1287 datanglah rombongan kakak beradik bernama
Raden Jutubun dengan nama panggilan Bau Besi yang disertai adiknya yang bernama
Lailan Manggraini beserta 40 orang pengikut setiaanya di pulau Buton menyusul
kakaknya yang bernama Raden Sibahtera yang telah datang sebelunnya. Ketiga
kakak beradik ini muslim adalah merupakan anak selir Raden Wijaya semasa masih
menjadi Raja Mataram. Pada saat peralihan kerajaan Mataram ke kerajaan
Majapahit, diam-diam Raden Wijaya mengutus ketiga orang anaknya ini untuk
membuat Bandar di pulau buton (baca sejarah perak buton, berjudul : Assajaru
Haliqa Darul Bathniy Wa Darul Munajat dan Hikayat Negeri Buton)
Tak lama Lailan Manggraini berada di pulau Buton,
diam-diam Si Jawangkati menaruh hati dan melamarnya menjadi istrinya. Hasil
perkawinan antara Si Jawanagkati dan Lailan Manggraini inllah melahirkan Gajah
Mada. Semasa kecil Gajah Mada sudah
memiliki tanda-tanda sebagai kesatria, makanya ayahandanya tak segang-segang
mewariskan seluruh ilmu kesaktian yang dimilikinya kepada Gajah Mada. Pada usia
menjelang 15 Tahun, Gajah Mada dibawah ke pulau Jawa oleh ibunya, karena mendengar
bahwa neneknya bernama Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit tengah dalam
kesulitan mengatasi pemerintahannya, karena banyaknya pemberontakan dalam
istana. Kedatangan Gajah Mada di pulau jawa bersifat rahasia, oleh karena
itulah sejarah asal muasalnya Gajah Mada di pulau Jawa hingga saat ini tidak
ada dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit. Dan menjadi menggelitik para tokoh
masyarakat buton, “mengapa para sejarawan, para arkiolog di Indonesia hingga
saat ini hanya melulu terobsesi dengan folklour tentang kisah Gajah Mada yang
ada di desa mada, desa gondang, desa badender dan trowulan jawa timur sementara
disana hingga saat ini belum jelas konstruksi sejarah asal muasal termasuk
wafatnya ?! Adakah memang perbedaan entitas kesukuan di negeri ini, sehingga
eksistensi kebesaran Maha Patih Gajah Mada harus mutlak selalu berada di pulau
Jawa ?! Lantas Buton sebagai eks wilayah kerajaan Majapahit (pupuh XIV
negarakretagama) dan eks wilayah keresian Majapahit (pupuh LXXVIII
negarakretagama) mau disembunyikan dikolong bawa tanah mana di negeri ini ?! “Pada
saatnya duniapun akan tahu ketidakadilan ini..” Ojo Dumeh !! ****
*). Ketua Umum Lembaga Kabali Indonesia.