ABSTRAK
Tradisi
lisan menyimpan berbagai ingatan kolektif masyarakatnya, termasuk jejak
kebudayan yang berkembang di dalam masyarakat itu. Sebagai tradisi lisan, Betena Tombula merupakan tradisi lisan masyarakat Buton yang mengisahkan tentang
jejak kebudayaan masyarakat Tionghoa dalam dunia Melayu Buton. Oleh karena itu,
penelusuran jejak Tionghoa dalam tradisi lisan betena tombola merupakan
ruang pertautan kebudayaan Tionghoa dan Melayu Buton dalam ingatan kolektif
masyarakat Buton.
Penelitian
mengenai Betena Tombula untuk
menemukan jejak Tionghoa dalam masyarakat Buton ini dilakukan dengan pendekatan
etnografi. Dengan demikian, baik data pustaka mapun data lapangan dalam penelitian
ini akan dianalisis berdasarkan sudut pandang masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Buton memiliki pandangan
bahwa Ratu pertama Wakaa kaa merupakan keturunan Tionghoa yang berasal dari Mongol.
Hal ini dapat dilihat dari deskripsi fisik Wakaa kaa yang memiliki leher
panjang, rambut lurus, serta kulit yang putih. Masyarakat Buton menganggap
bahwa betena tombula dapat
interprestasikan sebagai keturunan China yang disebut negeri tirai bambu. Di
samping itu, di dalam masyarakat Buton ditemukan beberapa ornament yang
menggunakan simbol-simbol naga dalam kebudayaannya, yaitu adanya patung naga di
pantai kamali Kota Bau-Bau, serta penggunaan simbol naga di atas hampir setiap atap
rumah tradisional masyarakat Buton. Selain itu, hasil penelitian ini juga
menemukan bahwa masyarakat Binongko memiliki ingatan kelektif tentang
perkawinan orang sakti dari Binongko dengan putri nakhoda kapal China.
Kata kunci: betena tombola, jejak Tionghoa, tradisi lisan, Buton
A.
Pengatar
Menjelang
akhir abad ke-18 mulai timbul reaksi terhadap pemikiran rasionalisme dari zaman
Pencerahan. Artinya perasaan dalam kehidupan manusia mulai mendapat perhatian,
karena keterlibatannya secara emosional menjadi nyata dalam kesadaran akan
keterkaitannya pada suatu bangsa dan sejarahnya (Baal, 1987: 39). Manusia tidak
menolak sentuhan peraasan ini tetapi memeliharanya. Dengan demikian, mitos dan
legenda suatu masyarakat mendapatkan arti yang baru, antara lain menjadi sumber
tentang bagaimana dan apa yang dipercaya di masa lalu tersebut. Bahkan Irwan
Adullah mengatakan bahwa kesenian merupakan ruang yang dapat merekonstruksi
suatu realitas dalam suatu kebudayaan (Abdullah, kuliah Kebudayaan,
2010). Sehubungan dengan itu, Thomas Carlyle dalam John Man (2010: 3)
mengatakan bahwa sejarah pada dasarnya merupakan sejarah orang-orang hebat.
Sementara nyanyian dan syair menjadi ruang ingatan dan proyeksi kolektif
masyarakat tentang masa masa lalu dan masa depannya, misalnya, Kakawin Nagara
Krtagama,
The Secret Histroy of the Mongol,
Bulamalino
dan Anjonga Yinda Malusa,
Hikayat Hang Tuah,
sedangkan dalam dunia Islam mengenal teks Barjanji sebagai cara untuk mengingat
sejarah kehidupan rasul.
Masyarakat
Buton memiliki tradisi lisan yang menyimpan berbagai ingatan kolektif
masyarakatnya. Dalam ingatan kolektif itulah, jejak emosional dan kesadaran
masyarakat Buton dapat ditelusuri mengenai masa lalunya. Kesadaran mengenai
hubungan kekerabatannya, kepercayaannya, prinsip hidupnya, serta berbagai emosi
dan kesadarannya tentang sejarah dan peradaban bangsanya. Beberapa kesadaran
itu, tersimpan di dalam cerita rakyat, misalnya legenda betena tombula, landoke-ndoke
kene lakolopua, atau yang tersimpan dalam berbagai teks kaбanti yang sampai sekarang masih
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Buton.
Secara
etimologi kata betena I tombula berasal
dari bahasa Wolio
yang berarti yang lahir dari bambu. Dengan demikian, cerita rakyat Betena Tombula merupakan tradisi lisan masyarakat Buton tentang asal-usul
Ratu Wakaaka yang mengisahkan tentang kesadaran dan emosi mengenai dirinya dan jejak
kebudayaan masyarakat Tionghoa. Oleh karena itu, penelusuran jejak Tionghoa
dalam tradisi lisan Betena Tombola merupakan upaya untuk memahami kesadaran
dan emosi masyarakat Buton tentang masa lalu, serta bagaimana mereka memahami
diri dan sejarah dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat lain di dunia
termasuk dengan masyarakat Tionghoa.
Di
samping Betena Tombula, jejak
kesadaran dan emosi masyarakat Buton mengenai Tionghoa itu dapat ditelusuri
lebih jauh pada beberapa simbol yang ada dalam kehidupan orang Buton.
Benda-benda artefak tersebut dapat berupa simbol Tionghoa seperti naga,
keramik, dan beberapa cerita rakyat lainnya yang memuat memori orang Buton
tentang Tionghoa. Hal ini sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang memiliki
ingatan kolektif yang tersimpan di dalam hikayat tentang negerinya, misalnya
dapat dilihat dalam buku Sejarah Melayu yang
dihimpun oleh W.G. Shellabear (1979).
Ahli
lain yang pernah mencoba mengkaji sejarah dunia Melayu di dalam karya sastra
adalah Umar Junus (1984) dengan judul Sejarah
Melayu Menemukan Dirinya Kembali, ini menunjukkan bahwa cerita rakyat
memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah yang tersimpan di dalam ingatan
kelektif masyarakat Melayu, Johanes Jacobus
Ras (1990) yang menulis tentang Hikayat
Negeri Banjar, termasuk tulisan Pim Schoorl mengenai sejarah masyarakat dan
kebudayaan Buton. Dengan demikian, tulisan ini merupakan kelanjutan dari
berbagai usaha ahli terdahulu, terutama dalam melihat berbagai memori
masyarakat Buton tentang dirinya dan beberapa etnis lain di dunia.
Usaha
untuk mengenal atau memahami memori kolektif orang-orang Buton tersebut diperlukan
suatu pendekatan etnografi guna melihat bagaimana masyarakat Buton memandang
dunianya. Spradley (1997: xix) mengatakan bahwa pendekatan etnografi merupakan
suatu paradigma yang melihat sturuktur sosial dan budaya masyarakat merupakan
susunan yang ada dalam pikiran (mind
anggota masyarakat tersebut) dan tugas sang peneliti adalah mengoreknya keluar
dari dalam pikiran mereka.
Dengan
demikian, kajian ini dilakukan untuk memahami kesadaran dan emosi orang Buton, tentang
masa lalunya, terutama dalam hubunganya dengan etnis-etnis lain di Nusantara
seperti: etnis Jawa, Melayu, Arab, Kei, dan Tionghoa berdasarkan cara
masyarakat mereka memahaminya. Tulisan ini akan lebih difokuskan pada memori
orang Buton terhadap etnis Tionghoa yang
selama ini dilupakan atau sengaja dilupakan dalam penulisan atau pembicaraan
sejarah, dan kebudayan masyarakat Buton.
B.
Betena
Tombula, Jejak Tionghoa dalam Tradisi Lisan
Buton
Istilah
betena tombula merupakan istilah yang
ditemukan dalam masyarakat Buton yang berarti yang terlahir dari bambu. Dengan
demikian, tradisi lisan Betena Tombula merupakan
cerita rakyat Buton yang mengisahkan tentang asal-usul Wakaaka,
ratu pertama kerajaan Buton yang terlahir dari bambu.
Cerita ini masih tetap hidup dan berkembang di dalam masyarakat Buton, walaupun
telah ditulis dalam bentuk naskah yang kemudian di dalam Katalog Naskah Buton (2001), naskah yang berisi cerita asal-asul
Wakaaka atau Betena Tombula ini
diberi judul Hikayat Negeri Buton
atau banyak juga orang Buton menyebutnya Hikayat Si Panjongan.
Baik
cerita yang ada di dalam naskah maupun yang ada di dalam tradisi lisan
masyarakat Buton, Ratu Wakaaka dikisahkan terlahir dari bambu tumbila.
Namun di dalam tradisi lisan, masyarakat Buton sampai sekarang percaya bahwa
Wakaaka merupakan putri raja China. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh La Ode
Sirajuddin Djarudju bahwa jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya, maka secara
antropologis khususnya somatologis, orang-orang Buton yang keturunan Wakaaka itu
berasal dari ras Mongoloid
dan sebagian masyarakat Buton berasal ras Papua Melanesoid. Ras-ras tersebut
memasuki wilayah Buton secara bergelombang dan setiap gelombang mempunyai jarak
waktu yang cukup panjang. Gelombang pertama diperkirakan masuk pada awal abad 1
M (Djarudju dalam Yusran, 2009: 113).
Di
dalam tradisi lisan Betena Tombula atau
lebih dikenal dewasa ini judul dengan nama Hikayat
Negeri Buton dikisahkan bahwa Ratu Wakaaka terlahir dari pohon bambu. Yang
kemudian di arak beramai-ramai menuju kampung dan selanjutnya dilantik menjadi
ratu pertama kerajaan Buton yang dibangun oleh miapatamiana atau orang yang empat yaitu, si Panjongan,
si Malui, si Jawangkati dan si Tamanajo. Berbeda dengan yang ada di dalam
naskah Hikayat Negeri Buton, dalam
tradisi lisan, kisah betena tombula memiliki
cerita yang berbeda dengan yang ada di dalam naskah.
Di
dalam cerita rakyat tersebut dikatakan
bahwa Wa Kaakaa menikah dengan si Batara dan beranakkan
Bulawambona yang menikah dengan La Baluwu kemudian melahirkan, seorang
laki-laki Bancapatola atau Bataraguru. Bataraguru beristri dengan Wa Eloncugi
yaitu anak Dungkuncangia yang berasal dari negeri
peri. Maka Bataraguru dan Wa Eloncugi pun beranak tiga orang laki-laki pertama
Rajamanguntu kedua Tuamaruju ketiga Tuarade. Itulah yang menjadi raja Buton
berikutnya. Tetapi, asal-usul tokoh Wakaaka dan Dungkuncangia tidak banyak diceritakan. Pada hal kedua
tokoh tersebut merupakan tokoh penting di dalam kesadaran dan memori orang Buton.
Masyarakat Buton mengenal dua tokoh ini sebagai tokoh yang berasal dari
keturunan Mongol dan sebagian masyarakat Buton menganggap bahwa kedua tokoh ini
sangat berperan dalam pembentukan kerajaan Buton. Hal ini sebagaimana yang
dikatakan oleh Jamal Harimudin bahwa Dungkucangia
adalah perwira tinggi atau Panglima tentara kavaleri kekaisaran China
berkebangsaan Mongol bernama Khau Shing Khan.
Sedangkan salah seorang informan dari Wakatobi mengatakan bahwa cerita itu
pernah dia dengar sewaktu kecil, tetapi ia lupa cerita selengkapnya. Dalam
tradisi lisan, masyarakat Buton masih percaya bahwa konon perahu yang
ditumpangi Dungkucangia masih dikeramatkan oleh penduduk Wabula hingga saat ini.
Menelusuri jejak ini, maka di sana kita
masih mengenal ritual untuk menghormati perahu Dungkuncangia (ada semacam
ritualnya) dari keturunan Dungkucangia yang berada di wilayah Wabula dan
sekitarnya. Dan secara fisik masyarakat Wabula memiliki ciri-ciri fisik yang
berbeda dengan orang Buton kebanyakan. Mereka lebih cenderung berkulit putih
dan berambut lurus (Wawancara dengan Jamal Harimuddin melalui Face Book,
tanggal 9 April 2011).
Dalam
naskah Hikayat Negeri Buton dikatakan
bahwa kedatangan si Panjongan dengan berbagai masyarakatnya, telah mendarat di
kerajaan Toбe-Toбe
yang merupakan wilayah kerajaan Dungkuncangia. Informan mencurigai bahwa
kerajaan Toбe-Toбe merupakan kerajaan yang dibangun oleh para panglima perang kerajaan
Mongol. Dengan demikian, sebelum terbentuknya kerajaan Buton yang kita kenal
hari ini, sudah ada beberapa kerajaan yang jauh lebih tua jika dibandingkan
dengan kerajaan Buton.
Kalau
kita masuk lebih jauh, maka kita akan menemukan bahwa dalam memori dan
kesadaran orang Buton mengenai jejak masyarakat Tionghoa, Jawa dan Melayu sebagai
bagian dari masyarakat Buton hari ini. Bahkan dalam penelitian mengenai
silsilah masyarakat Wakatobi, ditemukan cerita-cerita tentang asal-usul masyarakat
Kapota berasal dari masyarakat Alor di Nusa Tenggara Timur, keturunan Kei di
Maluku Tenggara,
masyarakat Hitu di Ambon, Masyarakat Johor dengan adanya bukti lain yaitu
makamnya Ince Sulaiman di benteng Suo-Suo di Pulau Tomia yang kemudian
diabadikan dalam cerita rakyat Moori (Udu,
2007: 34).
Sedangkan
menurut sumber lain, Darfito Pado mengatakan bahwa ia pernah berdiskusi dengan
Haliadi Saadi, dalam diskusi tersebut Haliadi menyinggung pedang dan topi baja milik
Dungkuncangia yang masih tersimpan di Keraton Wolio (Wawancara, tanggal 9 April
2011). Bahkan Jamal Harimudin
mengatakan bahwa beberapa gagasan penting Dungkucangia dalam proses pembentukan
kerajaan Buton yaitu: (1) Meletakkan dasar benteng Wolio; (2) Membuat Istana
yang disebut Malige; (3) Memilih Wolio sebagai pusat Kerajaan Buton dan membagi
wilayah Buton menjadi patalimbona atau
empat kampung; (4) Memprakarsai penyatuan Kerajaan Toбe-toбe dengan Kamaru,
Todanga dan Batauga untuk menjadi wilayah Kerajaan Buton. Ia bahkan menambahkan
bahwa tokoh Dungkuncangia merupakan sosok yang menjadi Founding Fahers sesungguhnya bagi kerajaan Buton yang kita kenal
dewasa ini (Chatting, tanggal 9 April 2011).
Selanjutnya,
Agus Risdianto menceritakan bahwa Ratu Wakaaka berasal dari daratan China. Ia
menambahkan bahwa Kubalai Khan pernah mengirim armada untuk menggempur
Kartanegara yang pernah menghina utusan Kubalai Khan (Meng Ki) dengan
memberikan sayatan pada muka utusan itu (bdk. Muldjana, 2005: 194). Namun dalam
versi lisan masyarakat Buton dikatakan pula bahwa Tentara armada Kubilai Khan ini
pernah menghina utusan Jayakatwang (pengganti Kartanegara) dengan membawa harta
rampasan dan tawanan. Diantara tawanan itu terdapat saudara putri dari Jayakatwang
sendiri yang kemudian diperistrikan Kubalai Khan.
Setelah
Kubalai Khan meninggal,
keadaan di negerinya menjadi kacau sebab banyak raja kecil yang ingin berkuasa
sendiri, karena itulah Wakaaka dengan pamannya yang berdarah campuran Nusantara
berusaha meloloskan diri kembali ke Nusantara. Ada riwayat yang mengatakan
bahwa rombongan Wakaaka lebih dahulu singgah di Sumatra, namun situasi di sana
juga kurang aman sebagai akibat dari kemunduran Sriwijaya, maka mereka
meneruskan perjalanannya ke Timur yang akhirnya sampai ke Buton kira-kira tahun
1332 M. Menurut riwayat Wakaaka bersama dengan pengawalnya yakni Dungkuncagia
beserta rombongan tiba di Wolio (Buton) dijemput oleh keempat kepala rombongan
terdahulu dan kemudian diusung di atas bambu kuning. Selanjutnya Wakaaka
diangkat sebagai Ratu pertama dikerajaan Buton (wawancara dengan Agus
Risdianto, 17 April 2011).
Wakaaka
memerintah selama 18 tahun yakni sejak 1332 M sampai dengan 1350 M. Dalam
memimpin kerajaan Buton, Ratu Wakaaka didampingi oleh suaminya seorang
bangsawan putra raja Majapahit bernama Sibatara dengan kedudukan sebagai
pangeran merangkap sebagai Laksamana Laut. Wakaaka mempunyai 7 orang anak yang
semuanya adalah wanita dan salah seorang anaknya yakni Bulawambona
menggantikannya sebagai Ratu kedua (wawancara dengan Agus Risdianto, 17 April
2011).
Kesimpangsiuran
cerita asal usul Wakaaka dan Dungkuncangia di dalam masyarakat Buton, merupakan
versi-versi di dalam tradisi lisan. Namun yang jelas bahwa masyarakat Buton
sampai dengan saat ini masih memiliki kesadaran dan emosi bahwa ratu pertama
mereka adalah berasal dari bangsawan China. Serta pamannya Dungkuncangia
merupakan anak dari Kubilai Khan yang juga keturunan Jawa. Perkawinan Wakaaka
dengan si Batara yang berasal dari Majapahit melahirkan kepercayaan masyarakat Buton,
bahwa Buton merupakan perpaduan antara kerajaan besar China di Utara dan Jawa (Majapahit)
di selatan garis katulistiwa.
Pengangkatan
Bulawambona sebagai ratu dan perkawinannya dengan Sangariariana melahirkan
Bataraguru yang kemudian menikahi Wa Eloncugi anak dari Dungkuncangia.
Perkawinan ini melahirkan Rajamanguntu, Tuamaruju,
Tuarade (raja Buton IV). Dari
sinilah raja-raja Buton dari keturunan Tanailandu berasal, tetapi asal-usul
Wakaaka dan Dungkuncangia selalu dilupakan tertutupi dengan pengaruh sejarah Melayu
dan Jawa, serta Islam dan Belanda di Buton.
Sebelum
datang penyiar Islam dan bangsa Melayu di Buton, beberapa kerajaan sudah ada di
daerah ini. Bahkan sejak awal yakni sekitar tahun 1215 bangsa Buton khususnya
masyarakat Wakatobi (Tomia dan Binongko) sudah menjangkau pantai utara
Australia untuk mencari mutiara, teripang (Ligtvoet, 1878: 10; dalam Zuhdi,
2010: 46; Man, 2010b: 1;). Tentunya kerajaan-kerajaan yang ada di Buton seperti
kerajaan Lasalimu (Togo Motondu),
kerajaan Kamaru dan kerajaan Toбe-toбe serta beberapa kerajaan di Kepulaun
Wakatobi seperti Kerajaan Tindoi
adalah kerajaan yang dihuni oleh pelaut-pelaut ulung, yang menaklukan samudra
selama berabad-abad. Kesaksian Bangsa Buton tentang peperangan antara pasukan
Kubilai dengan pasukan Singosari sebagaimana dikatakan oleh John Man, bukanlah
suatu yang tidak beralasan, hal ini dapat dilihat dari memori orang Buton
tentang kedatangan orang China ke Buton, sekitar tahun tahun ekspansi Mongol ke
kepulauan Nusantara. Di samping itu, sebagai salah satu kerajaan yang harus
membayar upeti kepada Majapahit, maka bangsa Buton (Sulawesi) sudah menjadi
saksi sejarah dalam peperangan itu (Man, 2010: 1).
Naskah-naskah berisi sejarah terbentuknya
kerajaan Buton beserta silsilah rajanya merupakan salah satu informasi penting yang
perlu direspon dan diketahui generasi dewasa ini. Naskah-naskah itu menjelaskan
bahwa jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk, di kepulauan ini telah terbentuk
sejumlah kerajaan di antaranya Togo Motondu, Kamaru dan Toбe-toбe. Menurut salah seorang
pedagang asal Banjar
yang pernah terdampar di Buton tahun 1267H, kerajaan di kepulauan Buton
berjumlah 120 buah yaitu sama dengan jumlah kerajaan yang tergabung dalam
kerajaan Banjar (La Niampe, 2007:
2). Sehubungan dengan asal-usul Wakaaka, La Niampe mengatakan bahwa ia adalah
keturunan dari Kerajaan Majapahit. Namun di dalam Naskah Hikayat Negeri
Buton dikatakan bahwa Wakaaka berasal dari bambu atau betena tombula atau
negeri peri di kahyangan.
Konsep
perkawinan Bataraguru dengan Wa Eloncugi merupakan ruang awal penyatuan
kerajaan-kerajaan kecil di Buton dalam negara Buton. Di susul dengan perkawinan
Betoambari dengan Waguntu juga merupakan ruang penyatuan kerajaan Kamaru dengan
kerajaan Buton (Catatan dari Salim Ode). Jika kita melihat bagaimana strategi
Jengis Khan dalam melakukan penyatuan bangsa-bangsa di daratan Asia, strategi
perkawinan ini
merupakan strategi pembangunan kerajaan Buton yang dilakukan oleh pasukan Mongol
yang bernama Dungkuncangia dan Wakaaka yang merupakan kemenakannya sendiri.
Tentunya memori orang Buton tersebut di atas harus ditindaklanjuti dengan
penelitian sejarah yang lebih teliti di masa yang akan datang.
Di
sisi yang lain, sisa-sisa peninggalan dari Dungkuncangia adalah adanya ilmu bela
diri Balaba yang memiliki yang falsafah mirip dengan beladiri Tai Chi Chuan
dari daratan China. Kedua beladiri tersebut menggunakan kekuatan lawan untuk
melumpuhkan musuh. Menggunakan kelembutan dalam kekuatan, dan kekuatan dalam
kelembutan. Falsafah
ini merupakan ruang kesadaran dan emosi orang Buton yang merupakan bukti
tentang adanya jejak Tionghoa terutama keturunan Dungkuncangia dan Wakaaka.
Dalam sistem politik Buton, keturunan bangsawan ini dikenal dengan keturunan
Tanailandu.
Yaitu bangsawan Buton yang paling banyak memegang jabatan sultan dibadingkan
dengan dua kamboru-mboru lainnya
yaitu Tapi-tapi dan Kumbewaha.
C.
Si Sakti dari Binongko, dan Istri Kapten
Kapal China
Di
samping cerita tentang betena tombula dan
kisah panglima perang China Dungkuncangia, masyarakat Binongko juga memiliki
memori yang mengisahkan tentang hubungan asal-usul masyarakat Binongko dalam
hubungannya dengan China. Di dalam tradisi lisan masyarakat Binongko,
diceritakan bahwa suatu waktu kapal China lewat di perantaraan pulau Tomia
dengan pulau Binongko. Di pantai ada seorang laki-laki yang sedang membuang
jala, dan melihat sebuah kapal, maka berkatalah lelaki itu bahwa kapal itu
tidak akan mampu meninggalkan pulau Binongko, maka berhari-hari kapal itu
berlayar, maka tidak pernah juga meninggalkan pulau Binongko. Maka kapten kapal
itu, memerintahkan anak buahnya untuk tunun ke darat, dan bertemulah utusan
kapten kapal itu dengan lelaki sakti di daerah benteng palahidu. Dan
berceritalah anak buah kapten kapal China itu bahwa mereka tidak dapat mampu
melewati pulau ini. Maka berkatalah orang sakti bahwa itu bisa melewati selat
ini kalau saya memandikan kapal anda. Maka pergilah ke kapal untuk menyampaikan
utusan itu pada kapten kapal China, maka kapten kapal itu pergi kembali ke
daratan dan minta tolonglah anak buah kapal itu kepada orang sakti itu. Maka
berangkatlah mereka ke kapal. Setiba di kapal China orang Binongko itu
memandikan kapal China itu. Maka berhasillah kapal itu melewati pasi atau karang Binongko, dan atas rasa
terima kasihnya, maka berkatalah bahwa silahkan Anda memilih apa saja yang ada
di kapal ini sebagai oleh-oleh, maka berkatalah orang sakti itu bahwa saya mau
memilih sebutir telur, dan ternyata ia tuju adalah istri dari kapten kapal itu.
Maka dinikahkanlah istri kapten kapal China itu dengan orang sakti dari
Binongko dan kemudian melahirkan etnis dengan campuran wajah China dan Binongko
yang mendiami daerah kekuasaan Kapitan Waloindi
yaitu Binongko bagian selatan yang meliputi Wali, Haka, Waloindi sekarang
(Wawancara, dengan La Karim, 23 Januari 2007).
Dalam
versi yang lain, mitos yang berkembang di dalam masyarakat Binongko, kedatangan
kapal China ini dihubungkan dengan orang sakti dari Benteng Watiwa. Dikatakan bahwa dari benteng ini pernah
dilihat sebuah kapal China yang lewat, tetapi akhirnya dikerjain oleh seorang
pelaut yang berasal dari benteng Fatiwa. Dalam penuturan lisan masyarakat Binongko,
kapal China tersebut tidak dapat meninggalkan selat Tomia walaupun kapal melaju
dengan cepat selama beberapa hari. Kemudian orang itu dipanggil ke kapal untuk
membacakan mantra agar kapal itu dapat bergeser dari selat Tomia. Tetapi orang
tersebut memberikan syarat bahwa ia harus memilih sesuka hatinya di atas kapal
tersebut dan yang dipilihnya adalah istri kapten (nakhoda kapal) yang cantik
jelita dengan berdarah China.
Sirajuddin
Djarudju mengatakan bahwa kedatangan pasukan Mongol melalui Sulawesi Utara
terus ke selatan (Buton) adalah usaha Mongol untuk menghambat laju perluasan
pasukan Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada. Pengetahuan bangsa Mongol pada kelemahan
pembesar-pembesar Majapahit pada perempuan cantik. Memungkinkan mereka (Mongol)
untuk melakukan strategi perempuan cantik dalam membendung laju ekspansi
Majapahit. Jika dikaitkan dengan cerita-cerita masyarakat Sulawesi Utara yang
mengaku bahwa masyarakat Minahasa adalah pasukan Kubilai Khan, maka Wakaaka
adalah perempuan cantik yang dikirim ke tanah Buton sebagai umpan pembesar
Majapahit (Djarudju dalam Yusran, 2005: 136). Ia menambahkan bahwa tujuan
pengiriman Wakaaka adalah untuk menangkap Gajah Mada. Maka Wakaaka datang di
Buton dengan dikawal oleh pasukan yang kuat yaitu Dungkuncangia raja Tobe-Tobe.
Wakaaka memasuki Wolio (bukit Lelemangura) sekitar tahun 1302 setelah mendengar
berita bahwa Gajah Mada masuk dan menuju Wolio melalui Masiri, Bola dan
kira-kira di sekitar desa Majapahit membelok dan menuju ke arah timur melalui
desa Waboroboro dan Tembus di Surawolio (Djarudju dalam Yusran, 2009: 137).
Selanjutnya,
Sirajuddin Djarudju mengatakan bahwa pada (sekitar tahun 70-an) ada berita
bahwa di di wilayah Kacamatan Batauga (di sekitar desa Majapahit)
ditemukan kuburan Gajah Mada. Sehubungan dengan ini, Siradjuddin Djarudju
mengatakan bahwa disebabkan oleh mungkin kecapean dan usia yang lanjut dll,
Gajah Mada meninggal di kecamatan Batauga kampung Majapahit, sehingga ia
mengatakan bahwa Gajah Mada meninggal di Buton itu mengandung kebenaran.
Dengan
demikian, berdasarkan tradisi-tradisi lisan tersebut, Wakaaka adalah seorang
gadis cantik yang berasal dari pasukan Kubilai yang dikirim untuk menghambat
kekuasaan Gajah Mada, yang mendarat di Buton melalui bagian timur yaitu desa
Wabula sekarang. Sehingga dapat diketahui bahwa masyarakat Buton memiliki
kesadaran dan emosi bahwa nenek moyang (Wakaaka Raja Buton I dan Dungkincangia
atau Dungkung Cang Yang) adalah pasukan Kubilai Khan yang datang melawan laju
pergerakan ekspansi Majapahit di timur Nusantara.
D.
Beberapa Simbol, sebagai Ruang Pertautan
Budaya Buton – Tionghoa
Sebagai
blue print yang menjadi kompas dalam
kehidupan manusia, kebudayaan merupakan pola dari pengertian-pengertian atau
makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan
ditransmisikan secara historis (Greertz dalam Abdullah, 2009: 1). Dengan demikian,
pembicaraan mengenai simbol sebagai ruang pertemuan antara budaya Buton –
Tionghoa merupakan ruang pemaknaan yang memungkinkan ruang interprestasi yang
dapat menuntun kedua masyarakat ini untuk memahami dan bekerja sama dalam
membangun dirinya saat ini. Misalnya, sejarah asal-usulnya, ekonominya,
politiknya serta berbagai model kepemimpinannya, sebagaimana dikatakan oleh
John Man, bahwa Jenghis Khan memiliki karakter kepemimpinan yang khas, yang
pernah ada dalam sejarah manusia dan gayanya akan tetap relevan dengan gaya
kepemimpinan dewasa ini (Man, 2010b: vii).
Oleh
karena itu, penelusuran mengenai simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat
Buton dan Tionghoa, akan membawa kita pada ruang pertemuan di dalam memori
kolektif kebudayaan bangsa Buton, khususnya mengenai etnis Tionghoa di daratan
China. Simbol-simbol tersebut, tentunya tidak hadir dengan sendirinya, tetapi
dibentuk oleh realitas sejarah di zamannya, atau dapat juga bahwa semua itu
adalah ruang seni dan tradisi masyarakat Buton yang melampaui realitas sejarah
zamannya. Sehubungan dengan itu, Irwan Abdullah
mengatakan bahwa kesenian jauh melampaui kesadaran kita (termasuk di dalamnya
sastra (cerita rakyat) dan kesenian seperti kaбanti)
merupakan ruang kreativitas masyarakat yang dapat merekonstruksi suatu realitas
sosial budaya masyarakatnya.
Di
dalam masyarakat Buton, ditemukan beberapa penggunaan simbol yang memiliki
keterkaitan dengan etnis Tionghoa. Beberapa simbol tersebut, yaitu simbol naga,
nenas, bambu dan dunia kahyangan (negeri peri). Dalam masyarakat Buton, simbol
naga dipakai sebagai bumbungan rumah tradisional mereka. Ini tentunya
berhubungan dengan paham mereka bahwa naga itu adalah hewan yang hidup di
langit atau kahyangan. Dalam teks kaбanti
dikatakan bahwa, /hempitu nobali na
naga/ “tujuh kali naga berputar”, /maka
nolara na dunia/ “baru kita dapat melihat dunia”. Bandingkan dengan konsep
Raja langit yang dikembangkan oleh Kubilai Khan, ketika ia menguasai daratan
China. Dengan demikian, simbol naga di dalam masyarakat Buton memiliki hubungan
mitologis dengan konsep Kubilai Khan di daratan China.
Namun
kalau kita masuk lebih jauh ke dalam sejarah kebudayaan manusia, maka kita akan
menemukan kebudayaan Babylonia yang memiliki pemahaman yang luas tentang ruang
angkasa (Baal, 1987: 167). Sementara dalam sejarah pelayaran orang Buton,
mereka menggunakan bintang sebagai kompas mereka dalam mengarungi lautan
Nusantara, dan perputaran naga di langit sebagai penunjuk waktu mereka di waktu
malam. Mereka meyakini bahwa naga atau cahaya putih yang memanjang dari selatan
ke utara di waktu malam merupakan naga yang menjaga malam, dan tujuh kali
berputar baru waktu subuh tiba. Motif cerita yang berhubungan dengan langit
juga dapat ditemukan pada mitos masyarakat Gorontalo, dimana dikisahkan bahwa
raja-raja mereka berasal dari langit dan memiliki sifat suka berkelana (Tuloli,
1991: 4).
Simbol
bambu dalam tradisi betena tombula tentunya
berhubungan dengan sebutan China sebagai negeri tirai bambu. Tetapi dalam
sejarah kebudayaan bangsa-bangsa di dunia, beberapa kerajaan di Nusantara yang
memiliki cerita yang mirip dengan Buton adalah cerita Saweriding di Sulawesi Selatan, Hikayat Negeri Banjar,
dan Hikayat Negeri Pasai. Sedangkan menurut Thompson, (dalam, Mattulada, 1990:
39; 1966, I : 205) mengatakan bahwa motif cerita yang berasal dari bambu ini
juga di temukan di sekitar Irian, Kei, Indonesia bagian Timur, Batak Toba, Minahasa
serta beberapa bangsa di dunia seperti India, Australia Utara, pada orang
Eskimo di selat Bering, orang Carib, orang Indian Amerika Utara dan Selatan dan
orang Afrika. Tentunya, perlu dipahami semangat zaman pada waktu itu.
Pertanyaan yang paling penting adalah, pada zaman itu (sekitar tahun 1300)
seberapa besar pengaruh kerajaan Mongol di dunia? Sehingga mampu mempengaruhi
pola pikir beberapa kerajaan di Nusantara. Untuk menjawab pertanyaan ini, John
Man mengatakan bahwa kekuasaan Kubilai Khan adalah lebih dari seperlima wilayah
dunia yang hanya dilakukan dalam tiga generasi (Man, 2010b: 2), yaitu dari
Jengis Khan sampai cucunya Kubilai Khan.
Di
samping itu, masyarakat Buton sampai saat ini masih dipercaya bahwa topi dan
pedang Dungkuncangia tersimpan di kraton Buton. Sedangkan di dalam masyarakat
Binongko – Wakatobi masih percaya bahwa keterampilan mereka sebagai pandai besi
diyakini merupakan jasa bangsa China yang mengajari mereka menjadi tukang besi.
Di sisi yang lain, La Ode Abu Bakar (dalam Zuhdi 2010: 61-62) mengatakan bahwa sebutan nama Kepulauan Tukang Besi
merupakan sebutan dari seorang tentara Hitu Maluku yang ditawan oleh kesultanan
Buton di kepulauan tukang besi yang bernama Toluka besi bersama kira-kira tiga
ratus anak buahnya.
Beberapa
simbol seperti naga yang ada pada masyarakat Buton baik yang ada di bumbungan
rumah tradisional mereka, maupun yang dibangun belakangan di pantai Kamali
merupakan bukti betapa kuatnya pengaruh Tionghoa di dalam kesadaran dan emosi
masyarakat Buton. Dan ini merupakan jejak etnis Tionghoa yang masih tetap ada
dalam kesadaran masyarakat Buton, karena di samping dalam bentuk artefak seperti itu, juga tumbuh
berbagai cerita tentang hubungan dengan bumbungan tersebut dalam masyarakat
Buton.
Berbagai
bentuk cerita dan simbol di atas, di samping berhubungan dengan sejarah, tetapi
yang lebih penting adalah pembentukan citra mengenai masa lalu bangsa Buton
yang berasal dari berbagai etnis bangsa-bangsa di dunia. Ini kemudian
melahirkan hukum yang kuat sebagai pegangan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta kemampuan sara dalam
menjalankan hukum secara konsekuen, dimana semua manusia Buton yang multietnis
tersebut sama dimuka hukum, termasuk sultan.
Oleh karena itu, pembicaraan mengenai cerita rakyat yang mengisahkan tentang
asal-usul masyarakat dalam suatu kebudayaan (Buton), bukannya untuk membongkar
dan menghancurkan tatanan sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut, tetapi
untuk menyadari dan memahami, mengapa kerajaan Buton harus menegakkan hukum? Hal
ini disebabkan karena mereka berasal dari berbagai etnis yang berbeda di
Nusantara. Di sinilah, sebenarnya upaya yang harus diperjuangan dalam
memperbaiki masalah-malasah kebangsaan dewasa ini. Jika hukum tidak ditegakkan,
maka berbagai masalah sosial akan terjadi dalam berbagai bentuk perwujudannya
termasuk dalam melawan negara Indonesia saat ini.
E.
Penutup
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Buton memiliki
kesadaran bahwa leluhur mereka (Wakaaka dan Dungkuncagia) merupakan sisa-sisa
pasukan Kubilai Khan yang datang untuk menghambat laju perluasan kekuasaan
Majapahit di bagian Timur pulau Jawa. Dengan demikian, terdapat jejak
masyarakat Tionghoa dalam memori kolektif masyarakat Buton yang tersimpan dalam
tradisi lisan mereka. Ruang memori ini, tentu sangat penting untuk memahami
beberapa kerja sama yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bau-Bau dengan Korea
beberapa tahun yang lalu dalam penulisan bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Di
samping itu, pelaksanaan survei pengusaha China di Buton untuk pembangunan
pabrik tepung Tapioka dari singkong merupakan ruang-ruang kerja sama sebagai
negeri serumpun. Di sisi yang lain, kerja sama penelitian naskah-naskah Buton
dengan Malaysia beberapa tahun terakhir, merupakan ruang untuk menemukan jejak
Melayu di Buton. Hanya saja prinsip kerja sama harus didudukkan dalam konteks
yang adil, sebagai ruang kesadaran bangsa Buton sebagai negara bangsa yang
multi etnis.
Tentunya,
dengan membaca kesadaran masyarakat Buton tentang masa lalunya, dan ditunjang
oleh letak Buton yang strategis serta manusianya yang heterogen, maka Buton
merupakan tempat strategis dalam pengembangan usaha dan kerja sama ekonomi dan
politik di masa depan. Jejak Tionghoa, Melayu, Jawa, Kei, Maluku, Bugis
Makassar dan berbagai etnis yang berasal dari berbagai bangsa yang ada di
Buton, merupakan modal sosial bangsa Buton dan berbagai etnis tersebut dalam
melakukan kerja sama di masa depan, terutama dalam pembangunan Sumber Daya
Manusia dan Ekonomi, sehingga kembali terjalin hubungan kekeluargaan di masa
depan sebagaimana di masa lalu. Perlu dicatat bahwa keragaman etnis hanya dapat
berkembang di dalam tatanan hukum yang adil yang disepakati oleh seluruh
komponen keragaman tersebut.
F.
Daftar Pustaka
Achadiati.
2001. Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta:
Manassa-Yayasan Obor Indonesia.
Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-Pola
Kebudayaan Jepang (diterjemahkan oleh Pamudji). Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
J. Van Baal. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya (Hingga Dekade 1970) diterjemahkan oleh Ipong Purnama Sidhi.
Jakarta: PT. Gramedia.
Junus, Umar. 1984. Sejarah Melayu Menemukan Dirinya Kembali. Petaling
Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.
La Niampe. 2007. Silsilah Raja-Raja Buton. Kendari: Belum diterbitkan.
Man, John. 2010a. Kubilai Khan: Legenda Sang Penguasa Terbesar dalam Sejarah. Jakarta:
Penerbit Pustaka Alvabet
Man, John. 2010b. The Leadership Secret of Genghis Khan: 21 Pelajaran Kepemempinan dari
Sang Penakluk Paling Gemilang dalam Sejarah. Jakarta: Azakia Publisher.
Mattulada, dkk. 1990. Sawerigading: Folktale Sulawesi. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nabbai, Abas. Tidak bertahun. Mutiara Buton yang Terpendam. Bau-Bau:
Sebuah catatan dari masyarakat Buton
belum diterbitkan.
Ode, Salim. 2011. Sebuah Catatan Mengenai Kebudayaan Buton. Wangi-Wangi: Belum
diterbitkan.
Ras, Johanes Jacobus. 1990. Hikayat Banjar (diterjemahkan Oles Siti Hawa
Saleh). Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan
Malaysia.
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara
Krtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Shellabear, W.G.. 1979. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit
Fajar Bakti SDN. BHD.
Spradley, James P. 1997.
Metode Etnografi (diterj. Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.
Sutrisno, Sulastrin. 1983. Hikayat Hang Tuah Struktur dan Fungsi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tuloli,
Nani. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam
Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.
Udu, dkk., 2008. Studi Teknis Benteng Tindoi. Wangi-Wangi: Laporan Penelitian Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi.
Udu, Sumiman, dkk. 2007. Benda-Benda Cagar Budaya Kabupaten Wakatobi.
Wangi-Wangi: Laporan Penelitian Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Wakatobi.
Yunus, Rahim. 1995. Posisi Tasauw dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: Indonesia-Netherlands
Cooperation In Islamic Studies (INIS).
Yusran, Darmawan. 2009. “Naskah dan
Sejarah Kerajaan Buton serta Silsilah Raja-Raja Buton dan Muna” dalam Naskah Buton, Naskah Dunia (Prosiding
Simposium Internasional IX pernaskahan Nusantara di Kota Bau-Bau. Kota
Bau-Bau: Respect.
Zahari, A. M., 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton)
Jilid II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Zahari, A.M., 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton)
jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Kebudayaan.
Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Wana Labu Rope. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Tokoh Dungkucangia, menurut cerita orang-orang tua
Buton berasal dari China, yaitu sama dengan asal-usul Wakaakaa yang terlahir
dari dunia peri yang menjelma di dalam pohon bambu (Naskah silsilah Buton
dengan nomor di KTLV 178/Jawi/19/43 R. 3.25).