bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Jumat, 23 Mei 2014

SESUAI HASIL ANALISIS PENGEMBANGAN SEJARAH : “TERNYATA GAJAHMADA SAUDARA TIRI JAYANEGARA DAN TRIBHUWANATUNGGADEWI”.

OLEH : ALI HABIU  *)

 


Siapa Gajahmada itu…??

Leo Suryadinata mengakui, sejarah awal kehidupan Gajahmada tidaklah begitu jelas. Namun, Encarta Encylopedia berani memperkirakan Gajahmada lahir tahun 1290 M. Jadi, ia lahir dan besar tatkala terjadi transisi antara kekuasaan Raden Wijaya kepada Jayanagara. Pembacaan atas tokoh Gajahmada kerap dihubungkan dengan dimensi supernatural. Ini sulit dihindari, oleh sebab masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, memang menilai tinggi dimensi tersebut.

Berdasarkan foklour masyarakt buton mengatakan bahwa Gajahmada merupakan anak pertama dari pasangan Si Jawangkati dengan Lailan Mangraini. Sijawangkati adalah seorang muslim merupakan pembantu Si Malui dan adiknya bernama Si Baana dan sebagai manusia yang kedua datang di pulau Buton. Si Jawangkati dating ke pulau Buton menemani Si Malui dan Si Baana pada hari bulan sya’ban tahun 634 Hijriah dengan menumpangi behtera kapal bernama “Popanguna” berbenderakan Buncaha yakni bendera dengan motif warna kuning hitam selang-seling yang tak lain adalah bendera kerajaan asal leluhurnya dari daerah Bumbu negeri Melayu Pariaman (baca buku perak buton berjudul : Assajaru Haliqa Darul bathniy Wa Darl Munajat, serta Hikayat Negeri Buton)
Pada akhir tahun 1236 M Si Jawangkati beserta tuannya terdampar di sebelah utara timur laut Buton yakni “Kamaru” dengan bentengnya bernama “Wonco”. Si Jawangkati dengan memimpin rombongan kecil berpamitan dengan Si Malui dan Si Baana untuk mencari daerah hunian baru dan setelah ditemukan hunian ini bernama “Wasuembu”. Setelah menemui tempat baru ini Si Jawangkati langsung membuat perkampungan serta benteng pertahanan bernama “Koncu” di Wabula.

Gajahmada cucu Raden Wijaya….. !
Tak lama berselang kedatangan Si Jawangkati di pulau Buton, maka datanglah serombongan para anak-anak bangsawan dari pulau Jawa. Anak-anak bangsawan tersebut tak lain adalah Raden Sibahtera, Raden Jutubun dan Lailan Mangraini yang merupakan anak-anak dari Raden Wijaya yang ketika itu masih sebagai Raja Mataram sebelum gabung dengan Majapahit.  Kedatangan ketiga anak-anak Raden Wijaya tersebut bukan tidak beralasan, mereka datang atas petunjuk ghaib yang diterima oleh dukun atau penasehat istana kerajaan Mataram untuk memerintahkan anak-anak Raden Wijaya tersebut mencari suatu pulau yang terdapat di wilayah Timur nusantara bernama pulau Buton. Setelah menemui pulau Buton ketiga anak-anak Raden Wijaya diperintahkan untuk membangun Bandar perniagaan.  Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan yang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran sufi, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang penganut Hindu.  
Kedatangan putra putri Raja Mataram itu menggunakan dua Armada antara lain satu armada dipimpin oleh Raden Sibahtera dengan adiknya Lailan Mangrani disertai dengan 40 pengikutnya, sedangkan armada yang satu dipimpin oleh Raden Jutubun beserta 40 pengawalnya. Kedua armada tersebut masing-masing membawa bendera leluhurnya yang dipasang diburitan kapal dengan warna bendera merah putih dan bendera ini dinamai “dayialo”. Kedua armada ini setelah tiba di laut Buton selanjutnya disambut oleh Si Jawangkati dan Si Tamanajo di teluk Kalampa tempat kedua armada tersebut berlabuh. 
Tak lama berselang beberapa tahun kemudian setelah Raden Sibahtera telah dinobatkan menjadi Raja Pertama Buton dengan permaisurinya bernama gelar Wa Kaa Kaa atau nama aslinya Mussarafatul Izzati Al Fakhriy, maka kawinlah Si Jawangkati denga Lailan Mangrani. Hasil dari perkawinan Sijawangkati dengan Putri Raden Wijaya ini membuahkan seorang anak pertama seorang bayi yang cukup besar dan  berparas jelek dan diberi nama Gajahmada. Mulai umur 3 tahun Gajahmada ini memiliki kelebihan-kelebihan luar biasa baik secara kekuatan fisik maupun instink dan setelah usia mencapai 7 tahun maka dilatihlah oleh ayahnya ilmu kanukragan dan ilmu kesaktian. Perlu diketahui bahwa Si Jawangkati ini adalah seorang amat sakti dari asal keturunan para wali negeri melayu.
Kemudian setelah ilmu kanukragan dan ilmu kesaktian telah diturunkan oleh ayahandanya kepada Gajahmada, genap usia 15 tahun Gajahmada di bawalah ke pulau Jawa oleh ibunya Lailan Mangrani untuk membantu Raden Wijaya dalam kesulitan melawan para pemberontak dari dalam kalangan lingkungan kerajaan Majapahit. Disanalah awal kisah Patih Gajahmada dalam peranannya membantu neneknya sendiri yakni Raden Wijaya dan pamannya bernama Jaya Negarauntuk memberantas para penjahat kerajaan (baca kisah Gajah Mada semakin sangat jelas, Gajah Mada lahir dan wafat di wilayah eks kerajaan buton, http://kabali-indonesia.blogspot.com/2012/09/semakin-sangat-jelas-kisah-maha-patih.html)
Leo Suryadinata menulis, Gajahmada mengandalkan intelijensi, keberanian, dan loyalitas dalam meraih mobilitas vertikalnya. Karirnya lanjutannya adalah kepala pasukan Bhayangkara, pasukan penjaga keamanan Raja dan keluarganya. Raja yang menjadi junjungannya saat itu adalah Jayanagara yang berkuasa di Majapahit sejak 1309-1328 M. Menjadi mungkin, Gajahmada telah meniti karir militer sejak kekuasaan Raden Wijaya, raja pertama Majapahit, dan sedikit banyak memahami spirit pemerintahannya.

Gajahmada Bersaudara Tiri dengan Jayanagara dan Tribuwanattunggadewi ….!
Jayanagara ini adalah putra pasangan Raden Wijaya dengan seorang putri Sumatera (Jambi) bernama Dara Petak. Sebab itu, darah yang mengalir di tubuh Jayanagara bukanlah pure Jawa. Anggapan yang relatif rasis ini merupakan fenomena sebuah kancah politik hegemoni dalam kekuasaan aneka suku bangsa tatkala itu. Buktinya, pernah tahun 1316 M muncul pemberontakan Nambi yang menurut http://www.gimonca.com muncul akibat sentimen "darah" Jayanagara tersebut. Meski pemberontakan itu berhasil dipadamkan, seolah sesuatu yang laten (faktor rasisme) 'menyala' dalam politik Majapahit ini.

Tatkala Gajahmada jadi kepala pasukan Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti, salah satu pejabat istana tahun 1319 M. Pemberontakan ini cukup menohok, oleh sebab si pemberontak mampu menduduki ibukota. Jayanagara berikut istri Raden Wijaya dan putrinya (Tribhuwanattungadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita) mengungsi ke Bedander. Selaku kepala pasukan keamanan, Gajahmada memastikan keamanan raja dan keluarga. Setelah dinyatakan save, ia berbalik ke ibukota guna menyusun serangan balasan.

Ia meneliti kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit kepada Raja Jayanagara dengan memunculkan isu keterbunuhan raja. Menurut anggapannya, raja dan sebagian besar pejabat Majapahit menyayangkan kematian raja dan membenci perilaku Ra Kuti. Atas dasar ini, Gajah Mada menyusun serangan balasan secara kemiliteran, dan berhasil membalik keadaan. Pemberontakan Kuti pun dipadamkan. Raja dan keluarganya kembali ke ibukota.

Kebijakan Jayanagara ditopang oleh kemampuan politik Arya Tadah, mahapatih Majapahit. Fokus kebijakan raja dan mahapatih ini adalah stabilitas politik dalam negeri. Jadi, Majapahit belum lagi melakukan penaklukan ke pulau-pulau "luar" Jawa. Ini mengingat Gajahmada belum memegang peran penting di dalam pembuatan keputusan politik level negara.

Atas jasanya memadamkan pemberontakan Kuti, Jayanagara menaikan status Gajahmada dari sekadar komandan pasukan Bhayangkara menjadi menteri wilayah (patih) dua daerah kekuasaan Majapahit: Daha dan kemudian, Jenggala. Posisi tersebut cukup berpengaruh mengingat dua wilayah tersebut diwenangi oleh putri Tribuwanattunggadewi (Daha) dan Dyah Wiyat (Jenggala), dua saudari tiri Jayanagara. Jayanagara sendiri belumlah memiliki putra laki-laki selaku penerus tahta.

Bukti mengenai hal ini, seperti ditulis Heritage of Java, sebuah enskripsi bernama Walandit menceritakan gelar Gajahmada dalam kekuasaan barunya itu adalah Pu Mada. Wilayah yang diwenangi kepatihan Gajahmada adalah Jenggala-Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura. Loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara tidaklah tetap. Versi cerita seputar perubahan loyalitas tokoh ini pada rajanya, paling tidak ada tiga. Seluruhnya berorama motif pribadi.

Pertama, dari Charles Kimball yang menulis, loyalitas Gajahmada terhadap Jayanagara mengalami titik balik tatkala raja mengambil istri Gajahmada selaku haremnya. Kedua, Kitab Negara Kertagama olahan Empu Prapanca menulis, perubahan loyalitas Gajahmada akibat mulai jatuh hatinya Raja Jayanagara terhadap dua saudari tirinya: Tribuwanattunggadewi dan Dyah Wiyat. Empu Prapanca ini akrab dengan Gajahmada sendiri. Ketiga, novelis Langit Kresna Hariyadi, yang menulis loyalitas Gajahmada terhadap Jayanagara berubah akibat kekhawatian Gajah Mada atas mulai berubahnya sikap raja terhadap Tribhuwanattunggadewi.

Ketiga asumsi tersebut melatarbelakangi proses meninggalnya Raja Jayanagara tahun 1328. Versi meninggalnya Jayanagara pun berlatar belakang loyalitas Gajahmada pada Jayanagara. Versi Kimball menyatakan, Gajahmada menskenario pembunuhan atas Jayanagara dengan memanfaatkan tangan Ra Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa membunuh Jayanagara akibat suruhan Gajah Mada dalam suatu proses pembedahan atas diri raja. Versi ini didukung pula oleh pendapat Leo Suryadinata, yang juga menulis kekecewaan Gajahmada akibat istrinya diambil oleh raja sebagai motif asasinasi. Setelah raja meninggal, Gajahmada menuding Tanca ini telah membunuh raja dan ia pun dieksekusi mati olehnya sendiri. Peristiwa 1328 M ini menggambarkan rumitnya politik pada aras Palace Circle. Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib dan masa depan suatu negara.


 Mahapatih Gajahmada


Pada masa terbunuh dan digantinya Jayanagara ini, Odoric dari Pordonone, pendeta ordo Fransiskan dari Italia mengunjungi Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Setelah terbunuhnya Jayanagara, Gajahmada berkeras Tribhuwanattunggadewi dijadikan ratu Majapahit. Belum ditemukan bukti yang cukup seputar alasan kekerasan hati Gajah Mada atas penunjukan ini. Namun yang belum sampai analisis para ahli sejarawan kita hingga saat ini adalah Gajah Mada dan Jayanegara sebetulnya adalah saudara tiri. Gajahmada lahir dari seorang selir Raden Wijaya semasa masih menjadi Raja Mataram dan Jayanegara lahir dari seorang ibu bernama dara petak masa Raden Wijaya menjabat Raja Majapahit. Hingga saat ini belum terkomfirmasi siapa nama slir Raden Wijaya semasa menjabat Raja Mataram yang memiliki 3 orang anak bernama Raden Sibahtera, Raden Jutubun dan Lailan Manggraini. Kalau silsilah dalam kerajaan Mataram bisa ditemukan, maka disana akan terungkap struktur keluarga Gajahmada secara spesifik yang memecahkan teka teki asal usul Gajahmada yang kontroversial.

Asumsi lain dari analisis ras, Gajahmada mungkin kuwatir singgasana akan jatuh pada Arya Damar, keturunan Raden Wijaya dari istri yang asal Jambi. Sementara, Tribhuwanattunggadewi adalah putri keturunan Raden Wijaya asli pulau Jawa. Mungkin saja, opini yang muncul saat itu adalah putra asli atau bukan. Atau, dimungkinkan pula, dengan beralihnya kekuasaan pada ratu ini, Gajahmada lebih leluasa dalam mengambil tindakan. Konflik suksesi ini terbukti dengan baru dilantiknya Ratu Tribhuwanattunggadewi tahun 1329, sekurang-kurangnya menurut Charles Kimball. Pemimpin perempuan Majapahit ini berkuasa sejak 1329 hingga 1350 M. Pada fase ini, Majapahit memulai fase penaklukannya.
Analisis rasialitas ini memiliki alasan pribadi yang sangat mendalam, yang mana antara Gajahmada, Arya Damar dan Tribhuwaanattunggadewi adalah semua bersaudara satu ayah bernama Raden Wijaya dan lain ibu yang mana Gajah Mada tentu dalam menunjuk atau memperjuangkan saudara-saudaranya berdasarkan pengamatan pribadi dia mana yang memiliki kelebihan sifat kepemimpinan antara keduanya Arya Damar dan Tribhuwanattunggadewi maka dia memilih memperjuangkan Tribhuwanattunggadewi sebagai Raja Majapahit pengganti Jayanegara.

Mahapatih Arya Tadah pensiun tahun 1329 M, dan praktis posisi tersebut jatuh ke tangan Gajahmada. Tribhuwanattunggadewi sangat mendukung program-program Gajahmada. Tahun 1331 M meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di wilayah timur Pulau Jawa. Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana dan berhasil memadamkan pemberontakan wilayah tersebut. Ra Kembar, salah satu bangsawan dan pejabat Majapahit berusaha menutup jalan pasukan Gajah Mada ke wilayah Sadeng, baik secara politik maupun militer.

Lokasi Wafat Gajahmada….?
Beberapa refensi menyebutkan bahwa Gajahmada wafat tahun 1364 M, akibat diasingkan dan dihianati oleh Hayam Wuruk sebagai suatu buntut peristiwa BUBAT dimana Gajahmada di singkirkan ke wilayah Madakaripura dan hidup Gajahmada di wilayah itu asketis (http://setabasri01.blogspot.com)

Terdapat sejumlah tulisan yang menyebut bahwa ia menderita sakit ataupun dibunuh oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) sendiri yang khawatir akan pengaruh politik Gajahmada yang sedemikian kuat di Majapahit. Penaklukan Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat ini, Hayam Wuruk mengarahkan politiknya ke arah stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau "luar" seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina itu pun diluluhlantakkan.
Dalam analisis penulis Gajahmada tidak dibunuh oleh Hayam Wuruk, namun dia begitu melihat sudah tak ada lagi kepercayaan dari sang Raja, dia menggunakan taktiknya untuk menghilangkan diri dari wilayah pengasingannya dengan diam-diam dia berangkat dengan membawa pasukan atau prajuritnya inti yang setia sampai mati sebanyak 40 orang berlayar menuju negeri asal kelahirannya yakni pulau Buton. Setelah melalui perjalanan panjang dari pulau Sumatera menuju pulau Buton Gajahmada dan rombongan prajuritnya melewati kepulauan tukang besi yang sekarang dikenal dengan Wakatobi. Perlu diketahui bahwa Gajahmada adalah seorang sakti mandraguna sebagaimana kesaktian yang dimiliki oleh ayahnya Si Jawangkati sehingga dalam perjalannya pulau ke pulau Buton dia dituntun secara ghaib dan senantiasa mendapatkan petunjuk-petunjuk spiritual dalam pelariannya. Oleh karena itu setelah melewati pulau Wangi-Wangi, Gajahmada singgah dengan prajurit setianya sebentar disalah satu pulau kecil di bagian barat kepulauan Wangi-Wangi dengan memasang simbol-simbol disana. Pada saat rombongan Gajahmada singgah di pulau ini dia disambut dengan baik oleh penghuni yang sudah lama mendiami pulau kecil ini yang tak lain adalah merupakan para hulubalang dan bajak laut (bajak laut tobelo). Para bajak laut di pulau ini terdiri dari sebagian besar adalah para prajurit Raja Khan yang berkuasa di Kamaru pertengahan abad IX dan sebagian asal Mingindanau, Papua, Tobelo, Lanun, Balangingi. Setelah beberapa saat Gajahmada menyinggahi pulau kecil ini dalam pelariannya ke pulau Buton, akhirnya berdasarkan petunjuk ghaib dia dapatkan memutuskan untuk wafat di pulau ini, sementara ke 40 prajurit inti pengawal setianya sebelumnya diperintahkan untuk melanjutkan perjalannya menuju pulau Buton dengan maksud agar kerahasiaan Maha Patih Gajahmada yang amat sakti ini tetap terjaga. Gajahmada akhirnya di pulau kecil sebelah barat wangi-wangi tersebut memutuskan untuk melakukan tapah brata didalam suatu gua yang didalamnya datar tembus ke laut dalam dan disanalah Maha Patih Gajamada meninggalkan alam maya padah ini dalam keadaan duduk bersemedi dengan salah satu bagian tangannya menggenggam cakram sebagai senjata andalannya. 

 Mahapatih Gajahmada

Meskipun secara ilmiah masih diperlukan penelitian mendalam atas riwayat ini, namun bahwa bukti-bukti secara ontologisme dapat dipertimbangkan dari salah seorang tua pertapa yang pernah menemukan Gajahmada dalam gua ini pernah menkisahkan secara terbatas dalam kalangan keluarga di pulau wangi-wangi, karena ada rasa ketakutan luar biasa ketika melihat sosok orang tak bergerak dalam keadaan duduk bersemedi dalam sebuah bagian gua di pulau kecil tersebut. Selain itu bukti-bukti fisik baik situs, atefak, artifak sejarah yang belum terpublikasi dan hanya dikonsumsi dari kalangan tertentu penduduk salah satu desa yang terdapat di pulau wangi-wangi telah diriwayatkan oleh leluhurnya secara turun temurun adanya segumpal batu muncul kepermukaan laut ketika air laut surut dan batu ini dinamai situs batu Mada.
Menurut folklour masyarakat setempat keberadaan situs batu Mada ini merupakan simbol yang sengaja dibuat oleh Gajahmada, dimana dibawa batu tersebut diperkirakan merupakan penyimpangan sebuah selendang warna kuning yang konon dikisahkan sebagai selendang sakti. Tak jauh dari situs batu Mada terdapat situs Oa (Gua) Buea yang digunakan oleh Gajahmada sebagai pintu rahasia keluar masuk menuju persembuyiannya. Tak jauh dari situs Gua Buea terdapat situs Kuni yang diyakini oleh masyarakat lokal sebagai tempat semedi Gajahmada dan tak jauh dari situs Kuni terdapat situs Oa (Gua) Winte yang diyakini oleh masyarakat lokal sebagai gua tempat penyimpanan harta-harta berharga Gajahmada.
Sedangkan ke 40 orang prajurit inti pengawal setianya berlabuh di Batauga salah satu wilayah pulau Buton terdekat dari kepulauan wangi-wangi, dan merekapun setelah tiba di wilayah ini tidak begitu lama berselang kemudian mencari sebuah gua yang lebar dan luas. Dan di dalam gua inilah ke 40 orang prajurit inti pengawal setia Maha Patih Gajahmada mlakukan semedi berbulan-bulan sampai mereka semua meninggal secara bersamaan di dalam gua ini. Keberadaan Gua ini di Batauga di kenal dengan nama Gua Mada tepatnya terdapat di desa Masiri Batauga.
Berdasarkan foklour masyarakat buton, diyakini bahwa Gajahmada lahir di buton dan merupakan anak pertama dari Si Jawangkati seorang muslim asal Johor-Melayu dengan ibu bernama Lailan Mangrani juga seorang muslim yang tak lain adalah anak slir  Raden Wijaya yang ketika itu sebagai Raja Mataram. Gajahmada sengaja secara rahasia dibawa oleh ibunya ke pulau Jawa untuk mengamankan sekaligus melindungi kakeknya bernama Raden Wijaya mengingat kala itu terdapat banyak pemberontakan dalam kalangan istana Majapahit, yang mana Gajah Mada diyakini memiliki kesaktian luar biasa hasil didikan orang tuanya . Oleh karena itu sejarah asal usul Gajahmada di kerajaan Majapahit tidak dimiliki mengingat kedatangannya disana merupakan urusan dalam internalitas keluarga pribadi Raja Majapahit. Dan  tak kala penting yang para ahli sejarah kita luput selama ini ialah bahwa ternyata “Gajahmada merupakan saudara tiri Jayanegara, Arya Damar, Tribhuwanatunggadewi. Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita. Jika silsilah keluarga ibu Gajahmada seorang slir istana Mataram bisa didapatkan, maka akan membuka ruang babak sejarah baru tentang Gajahmada di tanah air merevisi semua penulisan-penulisan sejarah yang sudah terbukukan selama ini. ****

*) Ketua Umum Lembaga Kabali Indonesia.