bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Jumat, 15 Juni 2012

NASKAH HIKAYAT NEGERI BUTON (NHNB)



DALAM NASKAH HIKAYAT NEGERI BUTON 
DIKISAHKAN BAHWA SIPANJONGA DAN SI MALUI 
PERNAH SINGGAH DI PULAU LIYA (WANGI-WANGI)

NASKAH HIKAYAT NEGERI BUTON INI
DI SUNTING DARI BUKU SILSILAH RAHA-RAJA DI WAKATOBI
HUBUNGANNYA DENGAN RAJA RAJA DI NUSANTARA
(Dr. LA NIAMPE, M.HUM, SUMIMAN UDU,M.HUM, HAMIRUDDIN UDU,M.HUM)


OLEH : ALI HABIU


Bermula ketahui olehmu, “Hai sekalian sanak sudara “ ! Tatkala kami berlayar dari Mangkasar hendak pergi ke negeri Sumbawa kepada tiga likur hari bulan syafar kepada tahun 1267 sanat tahun. Maka tatkala sudah sampai di gunung api, lawan takdir Allah Taala, dipukulnya angin ribut tiga hari tiga malam tiadalah lagi melihat daratan maka jatuh di pulau Kalautua. Tiga hari bernanti di sana, maka dapat satu perahu orang Bajo dua beranak. Itulah yang menunjuki jalan sehingga sampai di negeri Butun.
Berapa lama kami tinggal di negeri itu, duduk dengan segala percintaan. Maka kami dengar daripada asal-usulnya kejadian negeri Butun dan asal kejadian rajanya, tiadalah berlainan dengan cerita asal kejadian yang Dipertuan Sultan Banjar 25 yang mempunyai alat takhta kerajaan di dalam negerinya dan beberapa negeri yang ta,luk kepadanya sampai kepada sekarang ini ada turut pada seratus dua puluh buah negeri yang menyembah [kepadanya]. Maka kami perbuat hikayat ini ceritera daripada negeri Butun yang dianugerahi Allah Taala berkat dan keramat. Bahwa yang amat takut dankesentosaan sejahtera yang amat indah-indah kedengarannya, cinta berahi yang amatpatut daripada kata segala nuzum dan akhlil firasat.
Ketahui olehmu, bahwa negeri yang terlalu mahabesar kerajaannya dan yang mahamulia amalnya dan mahasuci doanya dan mahalebat takutnya kepada Allah Taala azza wajallah. Maka itulah bumi yang amat termashyur wartanya daripada segala negeri yang besar-besar (di) bawah angin, dan tiga puluh orang menteri yang memegang bicara dengan pelbagai alatnya, dan dua orang menteri yang besar memakai serba yang keemasan bertatahkan ratna mutuira manikan, dan seratus hulubalang anak raja-raja yang mengikut memakai segala pakaian emas yang bertatahkan serba keemasan, dan berbaju sof sahalat ainalbanaat sekalian datang berhambakan dirinya, menyembah rantai kepadanya tiada menghilangkan dengan senjata melainkan dengan akal dan isyarat juga. Dan sentiasa ia tiada berubah mengerjakan perintah di dalam majelis negerinya dan lagi yang amat lebih mengasihpada segala orang dagang dan kepada sekalian orang isi negeri itu pun berbuat ibadatdan kebaktian memberi sedekah segala fakir dan miskin dan yang menolong kepada sekalian orang yang kesukaran.
Demikianlah hikayat akan awal orang yang empunya cerita ini. Sekali peristiwa pada dahulu kala ceritanya orang pun tiada manusia pada tanah. Sebermula maka tersebut pula seorang raja dari pulau Liyaa di tanah Melayu bernama Sipanjongan, terlalu hartawan dan dermawan dan beberapa banyak kaum keluarga dan hamba sahayanya.
Maka pada suatu malam Sipanjongan tidur di dalam peraduannya, maka itu pun bermimpi bertemu dengan seorang tua. Maka berkata orang tua itu kepada Sipanjongan, “Hai cucuku!” “Apa juga sudahnya cucuku tinggal di dalam pulau ini?” Lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini. Karena pulau ini, bukan cucuku yang menempati [dia]. Maka tatkala didenganrnya kata orang tua itu oleh Sipanjongan maka kata Sipanjongan, “Hai neneku, ”Bagaimana hal aku pergi mencari tempat lain daripada pulau ini?” Maka kata orang tua, “Cucuku, “Perbuat kayu yang di ujung pulau itu perahu supaya boleh cucuku pergi sekalian dengan segala keluarganya, cucuku. Maka Sipanjongan jaga daripada tidurnya serta diciumnya tubuhnya baau-baau yang harum. Maka di dalam hati[nya] Sipanjongan, “Mimpiku ini bukan daripada setan, niscaya mimpi rahmat”. Maka Sipanjongan ke luar ke nesibaani mendapat sahabatnya dan handai taulannya, seraya ia mengkhabarkan hal mimpi[nya]. Maka sekalian orang isi pulau itu heran semuanya menengar mimpinya Sipanjongan itu.
Hatta maka tiada berapa lamanya Sipanjongan pun menitahkan hamba sahayanya memotong kayu serta disuruh perbuat sebuah perahu. Maka tiada berapa lamanya perahu itu pun jadi. Namakan Sipanjongan perahu itu “Palulang” [namanya].
Maka Sipanjongan pun menghimpunkan sekalian sahabatnya dan keluarganya musyawarat daripada hendak berpindah itu. Maka sekalian pun masing-masing pada mengikut [dia] kepada ikhtiar[nya] Sipanjongan. 26 Maka palulang itu dimuat orang, sekalian perkakas dan hartanya, sekalian jenis emas dan perak, tembaga, suasa dan permata, dan intan baiduri, nilam pualam separkat, dan palembaga, warna kain sufa sahalat minalbanaat, beledru, hitof, dewangga beramai-ramai akan mutiara.
Syahdan lain daripada itu beberapa harta indah-indah dibawanya. Setelah [sudah] lengkap di dalam palulang itu, maka Sipanjongan menyuruh[kan] sekalian orang naik ke palulang dengan segala sahabatnya dan ra,yatnya dan hamba sahayanya [sekalian]. Maka layar perahu pun dipasang oranglah merapat kiri kanannya. Maka Siopanjongan pun naiklah ke palulang serta dengan segala bunyibunyian. Itulah adat segala anak raja-raja yang besar-besar di dalam negeri. Maka kepada hari yang baik dan saat yang baik, [maka] Sipanjongan pun menyuruh orangnya (mem)bongkar sauh. Maka orang pun hadirlah masing-masing dipegannya. Maka meriam pun dipasang oranglah kiri kanan dan bunyi-bunyian dipalu [oranglah] terlalu admat bunyinya dan layar pun dibuka [orang]. Maka angin bertiuplah terlalu keras jalannya palulang itu seperti burung rajawali pantasnya.
Dengan seketika juga pulau Liyaa itu lepas daripada orang banyak. Syahdan ada sehari semalam pelayarannya di tengah laut, maka turunlah rebut taufan halilintar kilat, maka sampan pun putuslah.
Hatta berapa lamanya di tengah laut, maka sampailah pula itu pada suatu pulau, tanah Malalang namanya. Maka dengan takdir Allah Taala angin pun teduhlah. Maka pilang itu berlabuh sauh di pulau itu tujuh hari lamanya menanti akan angin teduh juga turun.
Syahdan orang sekalian pun duka citalah hendak turun ke pulau itu maka tiada pun sampan. Maka sekalian orang di dalam pilang itu pun mengantuk dan dlaif daripada sengat kepanasan matahari. Maka Sipanjongan menyuruh berbuat suatu lanjang di dalam pilang itu. Setelah [sudah] berbuat, maka diturunkan oranglah lanjang itu. Maka Sipanjongan pun turunlah ke lanjang itu dengan segala sahabatnya lalu naik ke pilang itu dengan sahabatnya. Setelah sampailah [ia] ke pulau, maka Sipanjongan pun turun ke darat lalu naik berjalan. Masing-masing orang pada mencari tempat bernaung daripada sengat kepanasan matahari.
Maka adalah sepohon kayu perkasa namanya, mahalebat daunnya, maka disanahlah duduk semuhanya masing-masing pada (ber)[per]buat himat. Setelah [sudah] berbuat himat itu, maka Sipanjongan pun menyuruh orang membawa lanjang menurunkan makan-makanan dan minum-minuman anggur, bantalnya hendak bermalam di sana. Setelah itu, maka Sipanjongan pun di dalam himat itu dihadap oleh segala sahabatnya dan ra,yatnya [semuhanya]. Makan minum bersuka-sukaan dengan segala bunyi-bunyiannya menyukakan hati segala sahabatnya. Setelah mabuklah sekalian orang itu masing-masinglah tidur di dalam himat itu.
Maka Sipanjongan seorang dirinya tiada tidur duduk mengadap matahari bersandar-sandar dirinya pada himat itu. Dengan suka citanya melihat bulan purnama barulah terbit naik dari tepi langit. Maka dengan takdir Allah Taala kedengaranlah suara tidak diketahui tempat di mana suara itu berkata-kata dengan nyaring suaranya dan fasih lidahnya. Demikian bunyinya, “Hai Sipanjongan, janganlah engkau duka citamu apa pekerjaanmu maka engka melakukan dirimu seperti demikian itu?”
Kembalilah engkau ke pilangmu. Bukan engkau tempat bagimu pada pulau itu. Hendaklah engkau segera berlayar menuju matahari. Adalah sebuah pulau besar, “Butun” namanya disebut orang. Disanalah engkau duduk yang sedia inayah Allah Taala, kemudian hari pula itu dapat menjadi sebuah negeri yang besar-besar beribu 27 ribu orangnya, lagi beroleh anak-anak seorang laki-laki, dan cucumu maka banyak. Dan anakmu itu pun mendapat seorang perempuan di dalam buluh-gading yaitu menjadi raja di dalam negeri itu, lagi anakmu itu kaya kekal ke kayangannya dating kepada anak cucumu dengan berkat orang yang didapat di dalam buluh itu.
Hatta bunyi suara itu pun tiada kedengaran. Maka Sipanjongan pun barulah diperingat hatinya. Lalu berlari-lari membangunkan segala orang yang tidur itu. Setelah bangun, maka bergegaslah turun ke lanjang Sipanjongan dengan sekalian orang-orang [semuhanya] lalu berlayar. Setelah sampailah di pilang, maka orang pun naik keatas pilang itu. Setelah [sudah] lengkap, maka angin pun turun bertiup dan bulan purnama pun teranglah cahayanya. Maka Sipanjongan pun menyurukan membongkar sauh. Maka sekalian ra,yatnya pun masing-masing memegang tali sauh.
Setelah berbongkar sauh, lalu berlayar pada malam itu. Hatta hari pun siang, maka pilang itu pun hampirlah ke pulau Butun itu. Maka Sipanjongan pun menyuruh orang mehiasi pilang itu dengan segala perhisan yang indah-indah. Maka didirikan panji-panji seperti adat kelengkapan segala raja-raja di dalam negerinya rupanya dan segala bunyi-bunyiannya pun dipalu orang. Hatta maka pilang itu pun sampailah pada suatu pantai Kalampa namanya, yaitulah Tobe-Tobe yang empunya pantai itu. Maka Sipanjongan pun tetaplah duduk di sana serta berbuat kebun. Al-fasal peri pada menyatakan tatkala ceritera suatu lagi dusun. Sebermula dusun itu pun tiadalah tetap [ia] pada suatu tempat. Dan peri mengatakan tatkala dusun itu menjadilah sebuah negeri yang besar. Demikianlah ceritera ini diceriterakan orang yang empunya [cerita ini]. Sekali peristiwa ada suatu dusun itu Mandaika namanya dan rajanya Samalui namanya, dan seorang menterinya La Taata namanya. Maka pada tahun itu pun berhuma. Maka dengan takdir Allah Taala huma itu pun tiada berisi dan tiada berdaun dan segala buah-buahan dan tanam-tanaman itu pun tiada menjadi. Maka orang pun bersegeralah berangkat hendak berpindah kepada yang lain lalu berjalan menuju kesudahan.
Sebermula sampailah kepada suatu bukit Kapuntori namanya itulah hamper pada suatu sungai Bancuka [namanya di sungai itu]. Di sinilah ia duduk sekira-kira dua tahun di sana. Maka berhuma pula pada tanah Walalogusi namanya. Berhuma di sana duduk setahun juga. Maka pada tahun yang kemudian, berhuma pula pada tanah Kaedupa lalu ke Bau-bau, sampailah kesungai Butun. Dengan selamanya sedia duduk di sana. Maka kedua[nya] negeri itu besar kelak. Maka Sipanjongan dan Samalui mufakatlah hendak berkumpul dirinya seperti adat satu negeri tetapi hukumnya masing-masing kedua kaum itu. Demikianlah hal keduanya itu. Hatta berapa lamanya, Sipanjongan pun menengar warta ada sudaranya Samalui seorang perempuan baik parasnya dan putih kuning warna tubuhnya. Maka fikir Sipanjongan, jikalau demikian baik kita mengantim ganti diri pakai meminang.
Maka ada suatu hari Sipanjongan pun pakai mengantar emas dan perak dengan beberapa banyaknya kain sutera kepada Samalui. Maka sampai kepada Samalui sertaSamalui pun talah menerima harta yang telah dibawah[nya] Sipanjongan itu. Maka Sipanjongan pun dikawinkan dengan saudara Samalui, Sabanang namanya. Setelah berapa lamanya berkumpul dua laki-istri, Sabanang pun hamillah. Setelah sampai bulannya, sembilan bulan pada saat yang baik, maka beranaklah seorang laki-laki terlalu baik rupanya. Maka dinamai akan bapanya budaklah itu 28 Bitaumbara namanya. Maka dipelihara berapa tahun lamanya, Bitaumbara pun besarlah. Maka Sipanjongan dan Samalui mangkin betambah-tambah suka citanya.
Datang beganti-ganti pada rumahnya keduanya makan dan minum bersuka-sukaanyadengan sekalian orang besar-besarnya dan segala sahabatnya dan ra,yatnya [sekalian]. Hatta berapa lamanya, maka Bitaumbara pun sampailah umurnya delapanbelas tahun. Maka ia pun menengar khabar anak raja Kamaru, Sagaranya namanya, seorang perempuan baik parasnya. Maka Bitaumbara pun berahilah akan perempuan itu. 

Hatta maka Bitaumbara pun masuklah, beradulah dengan berahinya itu. Maka keesokan harinya, [maka] Bitaumbara pun pergilah kepada bapanya keduanya dan ibunya. Setelah Samalui dengan segala ra,yatnya adalah pada rumah Sipanjongan duduk suka-sukaanya dan berkasih-kasihan makan dan minum pada hari itu.Setelah Sipanjongan dan Samalui melihat anaknya Bitaumbara datang, maka segeranya disapanya kepada bapanya Bitaumbara serta berkata, “Hai anakku cahaya mata bapaku”. Maka Bitaumbara pun sujud kepada bapanya kedua dan ibunya seraya duduk. Maka berkata Bitaumbara, “Hai bapaku dan ibuku”. Hamba ini hendak bermuhun pergi bermain-main kepada negeri, karena hamba hendak melihat kekayaan Allah Subhanahu Wataala.
Maka kata bapanya keduanya, “Hai anakku!” Apa kehendak hatimu anakku di dalam kedua negeri ini pun anakku yang empunya dia, maka perempuan mana anakku kehendaki itu sudah orang kedua negeri ini. Maka nankku pergi sendiri[nya] niscaya binasalah hati bundanya dan ayahanda. Kedua kami ini hilanglah seraya risau hati bandang dan ayahanda patah. Jadi ayahanda bandang anakku tinggalkan. Maka sembah Bitaumbara seraya menyapu air matanya, “Jikalau tiada disukai akan hamba pergi ini, adalah ayahanda bandang hilanglah dalam percintaan, lenyaplah hamba dengan masygul hamba”. Maka ayahanda pun keduanya telah melihat anaknya seraya berkata, “janganlah anakku berkata demikian itu, dan janganlah anakku duka cita atas kami. Ayahanda kedua ini yang mengerjakan dia”. Setelah demikian itu, maka hati Bitaumbara pun suka cita menengar kata bandang itu.
Maka Sipanjongan itu dan Samalui pun memanggil orang besar-besarnya dan sahabatnya. Maka segala mereka itu pun datanglah, lalu sujud di hadapan Sipanjongan dan Samalui itu. Maka kedua mereka itu pun berkata memberi perintah akan sekalian sahabatnya, handai taulannya dan menteri yang kepercayannya. Demikian katanya, “Hai segala sudaraku!” “Kamu himpunkanlah kedua negeri kita ini sekalian orang muda-muda [semuhanya] karena anak kita Bitaumbara hendaklah pergi bermain-main kepada negeri ini, Kamaru”. Maka kamu pilihlah segala orang muda-muda itu barang yang baik-baik parasnya dan suaranya dan tinggi besarnya. Itu pun samakan anak kita Bitaumbara.
Maka segala sahabat dan orang besar-besar itu pun sujudlah bermuhun kembali menghimpunkan segala orang muda-muda itu. Dipilihnya rupanya dan suaranya dan tinggi besarnya. Setelah [sudah] habis dipilihnya sekalian itu sebermula seratus orang muda-muda yang baik parasnya dan seratus orang muda-muda yang baik suaranya akan serta Bitaumbara pergi ke negeri Kamaru.
Hatta setelah [sudah] sekalian berhimpunkan sekalian orang muda-muda itu, maka Sipanjongan pun menghimpunkan sekalian anak hamba sahayanya yang muda mudaitu juga, yang dipilihnya dua puluh laki-laki yang muda, dan dua puluh hamba 29 sahayanya perempuan yang muda-muda, dan perak dan kain yang halus-halus, pakaian yang indah-indah berbagai-bagi juga. Setelah hadirlah orang masing-masing dibawanya orang itu, maka Sipanjongan pun memanggil orang besarnya seorang, Sijawangkati namanya. Dan Samalui pun demikian juga, [memanggil orang besarnya seorang] Sitamanajo namanya. Maka kedua mereka itu pun datanglah di hadapan Sipanjongan dan Samalui. Maka Sipanjongan pun berkata akan kedua orang besarnya itu. Demikian katanya, “Hai saudaraku,” Tuan-tuan kedua fanarahakar pada sudara akan kedua anak hamba dan sekalian anak saudara kita yang muda-muda serta anak hamba itupun baik dan jahat atas tuan kedua itu yang membicarakan dia. Dan jika ada hyaat tuan hamba kedua itu akan orang muda-muda jangan diubah martabatnya yang telah seperti anak hamba dikaruniakan itu. Maka kedua mereka itu pun berkata, “Yaa Tuanku,” Hamba ini pertaruhkan diri [hamba] pada yang [telah] sudah. Maka Sipanjongan pun memanggil anaknya Bitaumbara.
Maka Bitaumbara pun datanglah, lalu sujud di hadapan bapaknya keduanya. Maka berkata bapanya, demikian bunyinya, “Hai anakku,” Jika engkau diberi Allah Taala selamat sampai ke negeri tempat di mana-mana datang anakku, berbuat suatu permainan. Hendaklah anakku itu berbuat suatu kegemaran segala hati yang menghilangkan dan segala kedukaan dalam hati. Dan baik-baik anakku peliharakan segala ra,yatmu antara suatu kaum tiada mengenal dia dan tiada ketahui akan bahasanya. Maka dapat ia melakukan akalnya dan pengetahuannya tiada kekurangan.Itu pun tanda orang budiman, karena budi manusia itu dengan delapan perkara. Hendaklah dikenal semuanya supaya sempurna pengetahuan kita. Pertama, tahan hati padanya. Kedua, perkara mengenal [dirinya] dan memelihara akan dirinya pada segalabahaya . Ketiga, perkara kebakti kepada raja-raja dan mencahari yang kegemaran hatikepada raja-raja, dan mencahari pekerjaan yang memberi kesentosaan [hatinya] dari pada suatu masygul pada hatinya. Keempat, mengambil berteman dua orang bersahabat berkasih-kasihan supaya menaruh rahasianya dan rahasia orang padanya.Kelima, perkara amat memeliharakan rahasia dan rahasia orang padanya . Keenam, perkara mengadap raja itu dengan manis mukanya dan fasih lidahnya. Bermula segala yang raja-raja itu hendaklah disukainya, sudah kalah marahlah ia dengan dia. Ketujuh,perkara barang kala berdirinya melainkan ditanyai orang maka berkata. Kedelapan, perkara menghakimkan lidahnya, sekira-kira mendatangkan hajatnya. Itulah alamat orang budiman. Bermula barang siapa ada padanya barang delapan perkara ini, niscaya barang apa dituntutnya diperoleh juga.
Demikian kehendaknya orang budiman. Maka ujar bapanya, “Hai anakku, jikalau engkau hendak berbuat suatu pekerjaan, hendaklah ia berbaik dahulu hatinya dan selesai citanya, supaya bertambah-tambah budinya dan bicaranya niscayalah tiadalah sudah di dalamnya. “Hai anakku jika engkau diharap segala ra,yatnya berdiam-diam. Sebermula akan orang berkata-kata pun bukan mudah karena besar kata mahabesar bahaya (di)dalamnya. Karena itulah puhun ada jangan pun ada pencuri kanan dan kiri pun [ada]. Hendaklah dibicarakan 30 dahulu di dalam hati, maka kau katakan dan jika engkau bersahabat hendaklah engkau menutupi [rahasianya] sahabatmu dan sentiasa tiada berubah. Karena barang siapa bersahabat barang rahasianya dikatakan, hendaklah menaruh rahasia sahabatmu itu, apamu awan di langit tatkala pada tempat tiada bergerak. Apabila awan itu bergerak bertemu dengan suatu niscaya kita ketahuilah bahwa itu awan namanya.
Demikian perinya orang bersahabat. Setelah [sudah] (meng)ajarnya, maka Sipanjongan dan Samalui dipeluk dan (di)ciumnya dua anaknya Bitaumbara seraya ditangisinya. Maka Bitaumbara pun bermuhunlah berjalan. Maka ayahanda bandang pun mengharaplah lalu pengasih. Maka Bitaumbara pun kembali pula. Maka disembah ayah bundanya, lalu disapunya air mawar. Maka bundanya pun bangunlah lalu didekapnya dan diciumnya itu seraya beri nodai. Maka Bitaumbara pun berdiri kepada ayahanda kedu(nya). Maka Bitaumbara pun berjalan serta dengan tangisnya. Maka kata ayahanda kedua(nya) dan bundanya, “Hai sudaraku sekalian orang besar-besar yang tinggal [sekalian] itu.
“Pergilah kamu hantarkan anakku berjalan”. Maka sekalian itu pun pergilah. Hatta maka Bitaumbara pun pergi memberi karunia segala ra,yatnya yang tinggal itu. Semuanya dikarunia Bitaumbara masing-masing kepada padarana. Maka Bitaumbara pun berpegang tangan dengan segala orang besar-besar dan ra,yatnya yang tinggal itu. Maka Bitaumbara pun berkata, “Hai sekalian tuan-tuan, “Petaruh hamba kepada tuan-tuan sekalian ayahanda kedua[nya] dan bundanya.” Maka segala mereka itu pun bersujudlah, kepada Bitaumbara pun berjalanlah dengan segala sahabatnya dan orang muda-muda dan ra,yatnya [semuanya]. Seorang pun tiada yang tua. Maka segala bunyi-bunyian pun dipalu oranglah. Terlalu admat bunyinya didengarkan. Maka segala orang besar dan ra,yat sekalian yang mengantarkan pun kembalilah dengan percintaan di dalam hatinya. Maka Bitaumbara pun berjalan.
Maka melalui sungai dan sarukan dan beberapa melalui rimba dan padang dan beberapa melalui bukit dan gunung yang tinggi-tinggi. Hatta berapa hari lamanya berjalan itu, maka dengan takdir Allah Taala Bitaumbara pun sampailah ke negeri LaWela. Maka segala negeri yang hampir di sana semuanya orang datang berhimpun mengadap kepada Bitaumbara serta menyerahkan dirinya masing-masing bawaanya. Mereka itu ada membawa makanan dan segala buah-buah(an) kayu [dibawanya]. Setelah Bitaumbara pun keluar daripada negeri itu, maka berjalan ketika ke mari. Setelah hampirlah Bitaumbara ketika itu, lalu turun berjalan ke sebelah bukit itu. Setelah sampailah [Bitaumbara] sebelah laut atas matahari, maka Bitaumbara pun berhenti kepada pantai Kaluku namanya. Di sanalah ia duduk berhenti berbuat sebuah himat besar. Maka dihiasinya dengan perhiasan yang indah-indah siri kulambu dan langit-langit yang keemasan.
Maka segala harta yang dibawanya itu pun sekaliannya ditaruhnya ke dalam[nya] himat itu. Maka segala orang besar-besar dan segala ra,yat dan sahabatnya masingmasing berbuat himanya, dan segala negeri dan dusun yang dijalaninya itu pun sekalian sertalah orangnya mengikuti dia. Hatta maka kelihatanlah segala himat itu dari dusun seperti sebuah negeri rupanya. Maka segala isi dusun itu pun (ber)kumpul. Maka ditawarkan orang kepada raja Kamaru. Maka raja pun keluarlah dari [di] dalam pagarnya. Maka ia pun menghimpunkan segala anak raja-raja duduk di atas balai di hadapan sekalian perdana menteri dan sekalian ra,yat. Hatta maka orang dusun yang melihat itu pun datanglah, lalu naik diatas balai mengadap raja Kamaru. Maka penghulu dusun itu 31 pun berdatangan sembah kepada raja Kamaru seraya berkata, “Ya Tuanku, “Hamba lihat dari atas dusun terlalu banyak himat. Penuh pada segala pantai itu seperti sebuah negeri yang besar-besar rupanya. Maka kata penghulu, “Enta atawa enta atawa musuh, “Hamba tiada tahu, tetapi jikalau niscaya tidak terlawan. Maka raja
Kamaru dan segala mereka itu pun heranlah serta betambah-tambah duka citanya menengar khabar itu seraya menyuruh orang memukul gendang dan gong besar. Maka segala anak raja-raja pun mengumpulkan sekalian hulubalang yang gagah berani dan [sekalian] orang-orang dusun pun masuk dalam negeri itu seraya raja bertitah, “Hai segala orang, keluarkan sekalian senjata alat peperangan itu”. Maka masing-masing menggunakan senjata dengan pakaian yang terlalu hebat sikapnya.
Maka raja pun menyuruh menunggui pantai dan mengelilingi negeri itu masing masing ketemukannya. Setelah [sudah] lengkap dengan senjatanya, maka seorang hulubalang Tartamu namanya, maka itu pun memakai pakayannya dan senjatanya dan ketupangnya lalu ia berjalan naik di atas bukit lalu dusun kepada pihak kelalu peri itu serta dengan penghulu dusun itu dan ra,yat. Maka turun berjalan di hampirnya pantai itu. Maka terlihatlah beberapa ra,yat berhimpun seperti kawan(an) kerbau rupanya melihat himat itu dan balai terlalu banyak. Maka raja pun menyuruh memanggil akhli nuzum. Maka akhli nuzum pun datang lalu sujud kepada raja. Maka kata raja, “Hai akhli nuzum. Lihatlah, apakah di dalam nuzummu betapa persatuannya kepada yang datang itu. Maka akhli nuzum pun melihat nuzumnya. Maka ia pun tersenyum seraya menggerakan kepalanya serta katanya, “Yaa Tuanku, dalam nuzum hamba itu datangnya banyak itu wallahu a,lam.
Bermula akan pekerjaannya yang khiraa itu juga rupanya. Maka raja pun mengucapkan syukur Alhamdulilah akan pekerjaan yang khiraa itu rupanya. Maka raja pun memberi persalin akan akhli nuzum itu. Setelah [sudah], maka raja pun menyuruh dua (sampai) tiga perahu berisi baik-baik ni,mat. Maka segala menteri pun turun di perahu. Hatta maka perahu itu pun pergilah mandapatkan dia [itu].
Hatta maka Bitaumbara pun memakai pakain yang indah-indah daripada yang keemasan. Maka Bitaumbara pun duduk di atas hamparan yang keemasan di hadap oleh Sitamanajo dan Sijawangkati, [dan] orang besar-besar, [dan] sahabatnya, [dan] segala ra,yatnya, dan segala orang negeri dan orang dusun yang telah dijalaninya [sekalian]. Sebermula dua ratus orang muda-muda bawanya yang dipilih itu, maka dibahagi masing-masing dipegangnya. Dua belas muda-muda memegang pedang berikat yang keemasan duduk dari kanan Bitaumbara. Dua belas orang muda-muda memegang pedang berikat seraya duduk di kiri Bitaumbara, dua belas anak orang besar-besar muda-muda duduk dengan pakaian yang keemasan dudk dari kanan Bitaumbara, [dan] dua belas anak menteri-menteri menyandang wali kain kekuningan duduk dari kirinya, [dan] dua belas anak hamba sahayanya perempuan muda-muda dengan perhiasan duduk menyelempeng [dia] dengan kain indah-indah dari belangnya, [dan] dua belas orang muda-muda yang memegang pakaian, [dan] dua belas muda-muda yang budiman, [dan] dua belas orang muda-muda pahlawan yang telah perkasa, [dan] dua belas orang muda-muda yang baik parasnya berdiri memegang pedang daripada samparnya yang telah terhunus bediri dari kanannya, dan dua belas orang muda-muda menyelempang pedang yang keemasan yang bediri di hadapannya.
Apabila Bitaumbara berangkat, maka ialah mengantar yang mengabarangkan dia, [dan] dua belas orang muda-muda hulubalang daripada alim dan hikmat pagi 32 pagi sekalian hadirlah mengadap dia, [dan] dua orang raja besar-besar yaitu raja Tobe-Tobe dan raja Batauga duduk mengadap dia serta memegang keris tatarapang bersarungkan permata duduk dari kirinya, [dan] dua orang menteri yang arif yaitu menteri Barangkatopa La Tamanajo namanya dan menteri Gundu-Gundu La Jawangkati [namanya] duduk memegang kalung kalewang kerajaannya berhulukan emas duduk dari kanan, [dan] orang muda-muda memegang puan yang keemasan duduk dari kanan dan dua orang memegang kipas beremas bersarung duduk dari kiri. Adapun anak raja-raja itu {ber}pakaian raja [yang dipakainya].Dan anak menteri pun [itu] demikian juga. Masing-masing dengan namanya supaya kakanda jangan bercampur [masing-masing] duduk dengan pakaian. Maka bunyi-bunyian pun dipalu orang terlalu merdu bunyinya.
Maka Bitaumbara pun dinaikan orang. Maka perahu yang mendatangkan itu pun sampailah. Maka dilihatnya orang yang di dalam perahu itu terlalu banyak orang dan terlalu admat dengan segala bunyi-bunyiannya.Keluar asap apinya pun kalang kabut. Hatta maka (di)ambilnya orang di dalam perahu itu dengan campur pun. Orang yang di dalam himat itu pun mendirikan tangkal alamat kebajikan seraya dengan cemara kuning. Maka kata menteri, yang mendapatkan, “Itulah anak raja-raja rupanya yang datang ini, alamat kebajikan didirikannya. Maka perahu yang berisi itu pun naik ke atas himat itu seraya menyembah kepada Bitaumbara [itu].
Syahdan berjabat kepada tangan segala menteri, maka kata menteri yang datang itu kepada menteri Barangkatopa dan menteri Gundu-Gundu, “Yaa taun-tuan apa-apa maksud yang dipertuan datang ke negeri ini?” Maka kata keduanya itu, “Adapun maksud yang dipertuan itu, hendak mengadap ayahanda”. Maka inilah yang diceritakan orang kepada yang dipertuan ini sudah mengikat melainkan hendak mengadap ayahanda. Mudah-mudahan dapat minta diperhambakan kepada ayahanda dan bundanya, dan hendaklah melihat negeri ayahanda dan bunda. Maka sahut segala menteri itu seraya mengucap, “Alhamdulilah syukur patih sahinya”. Maka segala ni,mat itu pun diangkat oranglah. Maka segala menteri yang mendapatkan itu pun semuanya kasihan kedua laki istri. Setelah Bitaumbara pun bersadarlah akan ayah bundanya.
Bitaumbara (ber)haraplah pada suatu hari [Bitaumbara]. Maka bermuhunlah kepada ayahanda dan bundanya, demikian bunyinya, “Yaa ayahanda bundanya, “Aku lamalah hamba kutinggalkan dari padaku kanda betapa hal ayahanda bunda hamba”. Maka Bitaumbara beranak seorang laki-laki maka dinamainya Sangariarana. Maka Sangariarana pun beristri dengan anak negeri. Maka beranak seorang (anak) laki-laki yaitu La Balowu namanya.
Adapun segala peristiwa cerita dari pada dahulu kala nenek moyang kita yang tua-tua, pertama negeri Butun itu konon dari tanah Mandauli yaitu hampir negeri Lambu Saangu. Maka kemudian berpindahlah pada tanah Kapuntori dengan beberapa lamanya duduk di sana. Maka datang setahun lamanya duduk berhuma semuanya pada tahun itu. Setelah sudah, maka datanglah lagi tahunnya. Maka berhuma pula pada tanah Kadolo, dekat pantai samuta pantai berhuma kepantai Baau-Baau sampai kepada kaki sungai. Di sanalah tempat salu. Demikian itu betap lamanya [duduk di sana]. Itu pun belum lagi mendapat rajanya. Demikianlah. Hatta maka tersebut cerita itu rayang ke Butun yaitu Batara Wa Kaakaa namanya.
Demikian bunyi ceritanya. 33 Adapun segala peristiwa ada seorang Butun yang membawa anjingnya mencari perburuan, Sangia I Langkuru namanya yaitu dari kampung Peropa. Maka ia sebab berjalan mengikut ke hulu sungai membawa anjing mencari perburuan. Hari pun petanglah, seekor pun tiada (men)dapat perburuan. Dan anjingnya pun bercerai dengan Sangia I Langkuru. Maka ia mencari anjingnya lalu [ia] naik ke atas bukit.
Setelah sampailah ke atas bukit itu, maka kedengaran suara anjingnya [itu]. Maka Sangia I Langkuru pun berlari-lari mengikuti suara anjingnya itu. Setelah sampai[lah] pada suatu kebun (di)atas tengah bukit itu, lalu ia masuk ke dalam kebun itu. Setelah maka anjing itu pun telah melihat tuhannya mangkin berseru-seru. Demikianlah bunyinya, “Aw,aw”. Dan kakinya pun menggali tanah di puhun bulu gading namanya, yaitu patung gading. Setelah maka Sangia I Langkuru pun bertemu dengan anjingnya. Seekor pun tiada melihat perburuan. Hanya dilihat oleh anjingnya dan kelakuan anjingnya itu digalinya tanah kukunya pada puhun bulu gading itu. Sebentar berlari-lari pada tuhannya, sebentar kembali berlari-lari pada puhun bulu itu. Digalinya tanah dengan kukunya anjing itu berturut-turut dengan tujuh kali. Demikian kelakuan fiil[nya]anjing itu. Maka Sangia I Langkuru melihat hal anjingnya demikian itu, maka berfikir di dalam hatinya. Demikian bunyi fikirannya, “Apakah sebab anjing ini maka digalinya puhun bulu ini?” Dan dirasanya sepula-pula berisi di dalam bulu ini rupanya. Baiklah aku ambil bulu ini. Lalu diparangnya puhun bulu itu. Lalu luka sedikit kaki Batara Wa Kaakaa di dalam buluh itu. Lalu keluarlah darahnya sangat putihnya seperti air susu rupanya. Lalu bersuara, demikian katanya, “Janganlah penggal kakiku itu”. Maka Sangia I Langkuru pun terkejut mendengar suara di dalam bulu gading itu. Maka tiada lagi diparanginya dengan dua kali, sebab terdengar suara di dalam bulu itu lagi.
Dipukulnya (bahagian) atas itu lagi. Berserulah “Aa....aa..., “Tanganku.” Berturut dengan tiga kali bersuara, “Aa...aa....aa...., “Janganlah penggal.”  Maka Sangia I Langkru pun takut, lalu ia kembali berlari-lari memberi tahu orang besar-besarnya yaitu Bitaumbara namanya. Diceritakanlah pada barang apa dilihat dan didengarnya daripada permulaan digalinya anjing dan disuruhnya dating pada kesudahannya kembalinya itu. Maka Bitaumbara pun suka citanya rasa hatinya. Lalu menyuruh orang memanggil anaknya Sangariarana dan segala menteri dan ra,yat. Sekaliannya pun datanglah [semuanya] berkumpul penuh sesak.
Maka berangkatlah Bitaumbara dan anaknya Sangariarana dan sekalian menteri dan ra,yat [sekalian pun] naik berjalan (ke)atas bukit Lelemangura. Setelah sampai kepada bukit itu, maka segala orang banyak itu pun duduk berkeliling pada puhun bulu gading itu. Maka Bitaumbara dan Sangariarana dan segala menterimenterinya pun duduk bersaf-saf. Maka Bitaumbara pun memeriksa suara dalam buluh itu. Lalu diambilnya kayu. Maka dipukulnya dengan kayu buluh itu. Lalu berbunyi dalam buluh itu. Demikian katanya, Aa....aa...., aa...., jangan kau penggal kaki dan tanganku dan kepalaku itu. “Setelah diperiksa oleh Bitaumbara akan suara itu, maka dipanggil segala akhli nuzum. Maka dilihat di dalam nuzumnya yaitu katandu-tandu namanya.
Maka berkata segala akhli nuzum itu. Demikian katanya pada Bitaumbara dan Sangariarana, “Yaa Tuanku, jangan kau penggal buluh itu.” Di dalamnya ada seorang perempuan “peri” namanya, dari atas langit terlalu baik parasnya. 34 Maka Bitaumbara menyuruh orang menggali puhun bulu itu supaya kita belah itu. Maka segala orang pun digalinya tanah itu. Lalu di bawah bahunya dapat diangkatnya. Maka diubahnya bulu itu. Sudah (di)belah oleh Bitaumbara dan Sangariarana, maka keluarlah seorang putri [perempuan] dalam buluh itu yaitu Batara yang ke Butun Wa Kaakaa namanya. Terlalu baik parasnya, gilang gemilang warnanya, rupanya seperti bulan purnama empat belas hari bulan dan kulitnya pun terlalu sangat putihnya. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun melihat rupa Wa Kaakaa itu pun rubuhlah [keduanya] tiada khabarkan dirinya.
Maka Wa Kaakaa itu pun telah melihat hal yang demikian. Maka diludahnya tubuh Bitaumbara dan Sangariarana. Setelah [sudah] Bitaumbara dan Sangariarana baharulah diangkat dirinya. Lalu bangun dengan sembah sujudnya di bawah kaki Batara ke Butun. Kemudian Batara pun berturut-turut berkata-kata. Demikian katanya, “Aa....aa....aa,” sebab itulah kemudian dinamainya Wa Kaakaa [namanyalah kamu].
Maka segala orang pun hadirlah berbuat “gata”. Setelah sudah maka Bitaumbara pun berbangkit mengambil segala kain keemasan akan selendang WaKaakaa itu. Setelah [sudah] diperselendang oleh Bitaumbara pun menyembah pada tuan Wa Kaakaa. Demikian sembahnya, “Ya Tuanku, naiklah tuan (ke)atas gata itu.” Maka Wa Kaakaa itu pun naik duduk atas gata itu. Maka orang pun diangkatnya gata itu lalu berjalan dua selangka dua berjalan. Maka matahari pun tiada kelihatan, maka turunlah ribut taufan halilintar petir. Gata gelaplah tiada kelihatan seorang kepada seorang, berpegang tangan sebab sangatlah gelapnya setelah maka Bitaumbara pun berseru-seru, “Hai kamu sekalian,”
Duduklah kamu!” Maka segala orang pun duduklah, dan gata itu pun diturunkan ke tanah. Setelah matahari pun kelihatanlah, ribut taufan tiadalah. Bitaumbara dan Sangariarana dengan tiga kali berturut-turut diangkatnya, ribut taufan pun demikian[lagi berturut-turut dengan tiga itu juga]. Demikian halnya berkata Wa Kaakaa itu. Maka segala orang banyak pun takutlah. Setelah di dalam antara itu, maka adalah seorang perempuan tua “Wa Bua”namanya yaitu (dari) kampung Balowu, yaitulah tertidur matanya sebab sangatlah hujan dan ribut taufan. Maka ia terpaling penglihatan[nya] dan pendengarannya seperti orang bermimpi rasanya. Demikian bunyi di dalam mimpinya itu, “Melihat seorang laki-laki orang tua besar tubuhnya lagi panjang dengan janggutnya. Tiada diketahui ke sana sini datangnya orang tua itu seperti kilat lakunya. Lalu ia berdiri dengan marahnya di hadapan segala orang banyak itu. Demikian katanya, “Hai kamu [segala] orang Butun sekalian, janganlah kebawa anak hamba itu. Aku tiada mau kuberikan pada kamu sekalian itu, melainkan yang perhiasanlah gata itu dengan perhiasan yang keemasan dan anta itu pun dihiasi juga dengan kain yang mahamulia dan genderang, gong pun dipalu orang seperti adat segala raja-raja. Maka kamu sekalian baharu aku angkat gata itu lalu kam bejalan.
Maka hamba pun mau aku berikan kau bawa anak itu. Jika segala lagi hal yang demikian itu juga bersalah adat segala raja-raja, niscaya aku turunkan hujan guruh kilat ribut taufan supaya rubuhlah bukit ini lalu binasa, dan kamu sekalian nyawamu di dalam tanganku juga. Dan jika kamu berikan duka cita lagi, mudah-mudahan anak itu niscaya aku turunlah kunaikan ke langit (ke) atas ke kayanganku lagi. Setelah orang bermimpi itu pun juga daripada tidurnya lalu menyembah kepada orang tua di dalam mimpinya itu juga, “Ya Tuanku,”Dari mana datang Tuan Hamba,? “Siapa nama Tuan Hamba,? Dan apa nama negeri Tuan Hamba? Dan asal 35 mana Tuan Hamba? Maka menyahut orang tua itu, “Hai perempuan, “Adapun namaku Bataraguru dan asalku peri dan tempatku (di) atas tujuh lapis langit. Sebab hamba sampai kemari, hendak kuajar kamu sekalian seperti kata itu juga. Setelah [sudah] berkata Bataraguru itu, dengansekejap mata lenyaplah tiada kelihatan daripada demikianlah katanya, “Hai kamu sekalian, turun ambil orang yang didapat itu naik ke mari yaitu akan suamiku dan berilah aku nasinya dan baranga yang makanan niscaya kumakanlah supaya takut tulangku,” Demikian katanya. Tetapi sungguhpun mulutnya berkata demikian itu, [hatinya] jangan lagi diketahuinya di dalam hatinya didengarnya dengan telinganya pun tiada siapa mengetahui takdir Allah Taala. Maka dapat berkata yang demikian itu karena Wa Kaakaa adalah lemah lembut dilihatnya.
Segala orang di hima itu dan tiada lagi bergerak, [dan tiada lagi] berkata-kata, dan [tiada lagi] dapat bangun duduk sendirinya, melainkan orang yang membangunkan dia. Maka Bitaumbara dan Sangariarana [oleh] telah menengar suara Wa Kaakaa baharulah dapat berkata dan [baharulah] dia minta nasi akan dimakannya [Wa Kaakaa itu]. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun suka citalah rasa hatinya keduanya. Lalu ditanya-tanya, demikian katanya “Hai Tuanku, jikalau hendak mau santap, bangunlah akan diri Tuan hamba supaya puaslah isi hati segala membawa sekalian ini.” Maka Wa Kaakaa pun tiada lagi dapat menyahut. Jangan lagi menyahut, bergerak pun tiada dapat [oleh Wa Kaakaa itu].
Setelah maka Bitaumbara dan Sangariarana pun hadirlah menyuruh orang membawa nasinya dan segala makan-makanan dibawahnya akan dimakan oleh Wa Kaakaa itu, maka Bitaumbara pun diambilnya sebuah mangkuk emas berisis nasinya lalu diunjukkan kepada Wa Kaakaa [nasi itu]. Maka Wa Kaakaa pun disambutinya nasi itu, lalu dimakannya dengan tiga kali. Sudah itu tiada lama duduk pada perutnya nasi yang dimakannya itu, maka ia berseru-seru. Demikian serunya, Kaa....kaa....kaa.... Dan tangannya sebentar memegang perutnya dan sebentar tangannya terus (ke)dapur dan sebentar memegang pantatnya. Maka segala bunyinya dan menteri dan orang besar-besar itu pun masing-masing datang membuka lante, ada yang mengamparkan hamparan yang banyak dan tikar. Maka Wa Kaakaa itu pun makin berseru-seru, “Kaa....kaa....kaa.... lalu ia berjalan empat kaki menuju dapur lalu duduk berpindah batu-batu sumpah periwayat kadla hajat pada dapur itu. Setelah kelurlah tahi emas yaitu wandawaki sebab (di)jatuhkan pada sebelah jatuh pada dapur tahi itu. Sebab itulah jadi hitam sebelah rupanya wandawaki itu. Ada pun wasampu itu kemudian kembalinya kepada ke kayangannya dari atas langit, maka dijatuhkannya lagi. Setelah [sudah] hajat, maka mengambil air. Setelah maka lalu berdiri dan serta dapat berkat-kata dengan manusia lalu duduk di hadapan segala nene menteri-menterinya dan nene orang besar-besarnya.
Hatta maka Sangariarana pun bermuhunlah pada bapanya Bitaumbara dan segala orang besar-besar dan ra,yat sekalian pun turunlah mengalungkarkan orang yang menjadi pada air sungai yaitu pantai Bumbu namanya, sebab mendapat seorang laki-laki yang baik parasnya, gilang-gemilang rupanya seperti bulan purnama empat belas hari. Entah jinkah entah perikah. Sangariarana pun turunlah mengalu-ngalukan orang yang di jalan oleh Simanguranca dan Simandalu didapatnya di dalam jalannya. Bitaumbara pun berjalan di belakang hendaknya dihabiskannya segala orang hina dina dan menyuruh orang berseru-seru yaitu “Talombo Sejalang” namanya dan “Sibasarapu” namanya dan orang namanya “Situlubu”. Setelah [sudah] habis 36 sekalian orang itu maka Bitaumbara pun turun di belakang segala orang itu. Setelah sampailah Bitaumbara dan Sangariarana dan [segala] ra,yat sekalian pula berkeliling, duduklah di hadapan orang yang di dapat di dalam jalan itu. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun menyuruh orang berbuat gata. Maka segala orang pun hadirlah masing-masing pada membuat gata itu. Setelah [sudah] berbuat maka Bitaumbara dan Sangariarana pun diangkatnya oleh orang itu (di)atas gata. Setelah [sudah] duduk maka segala orang pun hadirlah diangkatnya gata itu dan ditaruhnya (di)atas bahunya lalu berjalan.
Hatta dengan takdir Allah Taala, maka laut itu pun telah berbunyilah. Maka ombak pun tambahlah seperti dawam di langit dan maka rupanya harus pun berdengung seperti sampai ke darat. Maka ombak itu memecah seperti lagi kiamat rupanya. Ombak itu mengilat segala orang banyak itu pun takutlah. Lalu diturunkan ke tanah gata itu. Setelah demikian, bunyi pun tiadalah didengarnya dan ombak pun berhentilah tiada dilihatnya. Hatta dengan seketika itu maka kelihatanlah seorang laki-laki terlalu indahindah rupanya seperti cermin yang kena sebentar matahari tiada diketahui datangnya. Orang itu dengan hebatnya lalu berdiri di tengah-tengah segala orang banyak itu. Maka (ber)kata, “Hai kamu segala orang Butun, janganlah kamu ambil cucuku ini.
Tiada kuberikan jangan muda-muda hanya cucuku ini.” Sahut[nya oleh] Bitaumbara dan Sangariarana, “Demikian katanya, “Ya Tuhanku, jangan kuhantarkan nene hamba ini akan suami raja kami, karena raja kami perempuan belum bersuami. Inilah sebabnya maka diceriterakan daripada pertama didapatnya Wa Kaakaa itu dating kepada kesudahannya, [habis diceriterakan] oleh Bitaumbara dan Sangariarana. Maka Bitaumbara pun berkata pada orang itu. Demikian katanya, “Ya Tuhanku, berkata benar supaya takwa hati hambamu beranak nene tuan hamba ini, “Siapa nama Tuan hamba dan asal mana tuan hamba dan dari mana datang tuan hamba maka sampai ke mari dan mana negeri tuan hamba?” “Hai manusia Bataraguru, [dan] asalku asal peri dan tempatku pada langit yang ke tujuh. Adapun hamba ini sampai ke mari sebab kelakuan hal cucuku ini tiga orang kembar dua orang laki-laki dan seorang perempuan.
Dibuangkannya bapanya ke laut itu ketiganya. Sebab maka Bitaumbara pun bertanya pula, “Ya Tuhanku, adapun bapa cucu tuan hamba ini, “Siapa namanya dan asal mana dan apa nama negerinya?” Maka menyahut Bataragu itu, “Adapun namanya bapanya Raja Manyuba dan namanya negerinya Majapai dan asalnya asal kamu juga, tiada lain baharu dan dua zaman diturunkan Allah Subhanahu Wataala ke dalam dunia. Maka diceriterakan oleh Batara kamu dari pada permulaan diturunnya dari atas langit datang kepada kesudahannya. Dibuangnya oleh bapanya lalu didapatnya oleh orang Butun pada pantai Bumbu itu. Habis diceriterakannya. Setelah [sudah] diceriterakan, maka Bataraguru pun memuhun kepada segala orang banyak itu.
Maka Bitaumbara pun bertanya pada Batarakala itu, “Ya Tuhanku, di mana tuan hamba pergi dan pada pihak hamba tuju?” Maka Batarakala pun tiada menyahut, hanya menunjukkan tangannya kepada tanah Pancana. Telah sudah, maka Batarakala pun lenyap dengan sekejap mata, tiada kelihatan daripada mata segala orang banyak seperti kilat pantasnya. Setelah maka Bitaumbara dan Sangariarana dan [segala] ra,yat pun naik berjalan ke negeri Butun menuju kampung Baaluwu. Setelah sampai kepadakampung Baaluwu itu, maka Bitaumbara dan Sangariarana pun menyuratlah yang 37demikian bunyinya musiba wartanya, “baiklah kita perbuat lagi suatu dusu pada tempat ini, dan sebuah rumah besar akan tempat raja lagi besarlah dahulu raja ini duduk tempat ini supaya kita bahagi segala orang ini dengan dua bahagi. Setelah [sudah] musyawarah itu, maka segala orang banyak masing-masing hadirlah berbuat dusun pada tempat itu. Setelah [sudah] habis diperbuatnya dusun itu, dari rumah raja itu dengan rumah segala orang banyak itu pun habisnya semua diperbuatnya dan [segala orang banyak pun] seraya dibahaginya dengan dua bahagi. Sebahagi dengantiga kampung ; pertama kampung Baaluwu, [dan] kedua kampung Barangkatopa, [dan] ketiga kampung Wandailolo yaitu bahaginnya Sangariarana akan ra,yat raja laki-laki yaitu Sibatara namanya. Dan lagi sebahagiannya itu dengan lima kampung, pertama kampung Peropa, [dan] kedua kampung Gundu-Gundu, [dan] ketiga kampung Kadatua, [dan] keempat kampung Rakia dan kelima, kampung Gama, yaitu baginya Bitaumbara, akan raja perempuan yaitu Wa Kaakaa. Setelah [sudah] dibahagi segala orang itu dan rumah raja itu pun dihiasi dengan perhiasan yang mahamulia. Maka raja pun naik (ke) atas rumah duduk kepada (ke)atas hamparan yang keemasan itu di hadapan menteri, [dan] orang besarbesarnya dan ra,yatnya sekalian penuh sesak pada duduk itu. Dan segala perempuan itu pun masing-masing membawa makan-makanan dan segala buah-buahan yang dimakan pun dibawanya [dan] kepada raja perempuan itu [pun]. Demikialah tiap-tiap hari, sebab sudah terbahagi ra,yatnya.
Setelah dengan berapa hari [dengan] Bitaumbara dan Sangariarana pun musyawarah akan telah hendak mengawinkan rajanya memulai berjaga-jaga. Setelah [sudah] musyawarat, maka Bitaumbara dan Sangariarana pun menyuruh orang berbuat suatu maligai besar akan tampat beristri rajanya. Maka orang pun berbuatlah maligai besar lagi tinggi pada telah dipilih oleh Bitaumbara dan Sangariarana (di)atas bukit Waberongalu itu.
Setelah [sudah] habis diperbuat maligai itu maka dihiasinya [maligai itu] dengan kain jinggai yang keemasan, [dan] kain cilala yang keemasan, [dan] kenakan tirai kelambung yang keemasan dan kata tirai langit-langit berambai-rambai akan mutiara maligai itu. Setelah [sudah] perhiasan maligai itu, maka Bitaumbara dan Sangariarana itu pun kembali dahulu mengalu-alukan Batara Wa Kaakaa. Setelah sampailah pada hima Batara Wa Kaakaa itu, maka Wa Kaakaa pun dihiasi oleh Bitaumbara dan Sangariarana dengan pakaian yang indah-indah. Setelah [sudah] memakai, maka Wa Kaakaa pun duduk (di)atas gata. Maka orang pun diangkatnya gata itu lalu ditaruhnya (di)atas bahunya lalu berjalan naik ke maligai (ke)atas bukit Waberongalu. Diiringi dengan nene perempuan menteri dan nene orang besarbesarnya.
Tiada dapat berjalan segala orang itu sebab kebanyakan manusia. Setelah sampailah pada maligai maka Wa Kaakaa pun naiklah lalu masuk ke dalam peraduannya. Maka kelambu yang keemasan itu pun dirunta oranglah. Maka segala nene perdana menteri da nene wazir yang menghadap di hadapan putri Wa Kaakaa itu. Bitaumbara dan Sangariarana pun, turun mengelu-elukan Sibatara. Setelah sampai pada hima, Sibatara itu lalu mengadap. Semuanya berdatang sembah sujudnya di bawah duli Sibatara. Demikian sembahnya, “Ya Tuhanku, baik tuan hamba berangkat, kita ke maligai tuan putri Wa Kaakaa. Baik, “Tuan hamba mandi dahulu”. Maka orang pun hadirlah di hadapan Bitaumbara dan Sangariarana menantikan katanya. Bitaumbara dan Sangariarana pun dibahagi segala kampung itu masing-masing dengan baginya. 38 Adapun baginya kampung Peropa tempat makanan raja Butun, [dan] baginya kampung Baaluwu kain besarnya raja Butun yaitu kain permandian, [dan] baginya negeri Tobe-Tobe adalah yang membawa air baginya, [dan] kampung Gundu-Gnndu, [dan] Kadatua, [dan] Rakia, [dan] Gama, [dan] Wandailolo dan Barangkatopa baginya sirih pinang, [dan] barang yang makanan dan buah-buahan [pun ialah yang membawa dia].
Setelah [sudah] hadir, maka Sibatara pun dimandikan oleh Bitaumbara dan Sangariarana. Setelah [sudah] mandi maka dihiasi dengan pakaian yang keemasan. Setelah [sudah] memakai,maka Sibatara pun berjalan diiringkan Bitaumbara, [dan] Sangariarana, [dan] segala orang besar-besar dan ra,yat sekalian. Setelah smpailah pada maligai Tuan Puteri Wa Kaakaa itu, maka Sibatara pun naik ke maligai lalu masuk ke peraduan Tuan Peteri. Maka kelambu yang keemasan pun dilabu orang. Setelah [sudah] masuk, maka segala orang pun masing-masing kembali ke rumahnya.
Setelah [sudah] beristri Sibatara dengan Wa Kaakaa itu, Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun mendirikan perintah istiadat segala wazir ma,dun dan perdana menteri. Syahdan bicara adat segala menteri dan hukum di dalam negeri itu pun lengkap semuanya. Habis dibahagi barang yang segala hukum di dalam negeri itu, masing-masing dengan pikapnya.
Hatta tersebut perkataan Sibatara dengan tuan puteri beberapa lamanya bersuka-sukaan di dalam peraduannya, maka dengan takdir Allah Taala Tuan puteri pun hamillah. Setelah datang bulannya kepada hari yang baik dan saat yang baik, maka tuan puteri Wa Kaakaa pun beranak seorang perempuan yang baik parasnyagilang-gemilang cahayanya seperti bulan purnama empat belas hari rupanya, maka dinamai Bulawambona [anaknya itu].
Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun mengambil inang pengalasan di dalam kampung itu juga delapan orang. Kemudian maka puteri Wa Kaakaa pun beberapa pula seorang perempuan yaitu Patolambona namanya. Dan beberapa lagi bulan antaranya, Patolambona maka beranakan pula Patolasunda namanya. Ketiganya hanya perempuan. Dan lagi beberapa bulan lamanaya antaranya maka pun menjadi raja negei Butun Sibatara dan Wa Kaakaa.Maka masyhurlah wartanya ada sepuhun huu menjadi pada sisi rumah Bitaumbara.
Dan dilihatnya segala orang banyak menjadi sepuhun kayu huu namanya. Hampir kesisi pasar segala Peropa yaitu tanah terkembangkan payung segala raja-raja yang Sulthan Butun tempat puhunnya itu. Maka orang pun telah menengar warta itu, makagemparlah. Lalu berjalan dengan Bitaumbara dan Sangariarana. Setelah sampailah pada pasar itu, lalu duduk pada puhun huu itu dikelilingi orang dan hampir sepuhun kayu besar lagi tingginya. Kayu itu Peropa namanya, karena itulah dinamai menteri Peropa.
Hatta maka Bitaumbara dan Sangariarana pun musyawaratlah dengan [segala] ra,yat sekalian. Setelah sudah musyawarat, maka Bitaumbara dan Sangariarana pun naik keduanya memberi tahu raja Butun setelah sampailah pada kota itu. Hatta maka tersebut raja Butun pada ketika itu sedang pangka dihadap segala dayang-dayang bata-bata periwali sekalian ada hadir. Maka Bitaumbara pun dating dengan Sangariarana itu. Lalu mengadap raja serta berdatang sembah. 
Demikian sembahnya, kepalanya sampai ke tanah, tiada dapat mengangkatkan kepalanya keduanya. Maka Sibatara pun melihat hal menteri itu. Maka raja itu pun berkata 39 kepada Bitaumbara dan Sangariarana. Demikian katanya, “Hai menteriku, apa kehendakmu datang daripada ini?” Maka Bitaumbara dan Sangariarana demikian sebabnya, Yaa Tuanku, hambamu melihat sepuhun kayu huu namanya. Puhundaunlebardi dalam kebun hambamu Tuanku. Maka raja pun tersenyum menengar perkataan menteri keduanya itu, serta berkata, “Hai menteriku, itulah payungka”.
Kembalilah kedua kamu pada kebun. Bicara panggil [segala] ra,yat semuanya turun mengambil payung huu itu serta dengan bunyinya semuhanya bawa bagaimana alatkerajaan. Demikianlah perintah payung itu. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun musyawarat pada sekalian orang tuatua. Setelah musyawarat, maka Bitaumbara dan Sangariarana itu pun hadirlah berangkat dirinya masing-masing ada membawa emas dan perak dan kain yang mulia-mulia, jingga selara yang keemasan dan suripatani yang maha indah-indah dibawanya akan memerintahkan kayu huu itu. Gendang dan gong pun dipalu orang.
Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun berjalan kepada tempat huu itu. Setelah sampailah pada huu itu, maka hari pun malamlah, kendilah pelita pun terpasang.Maka orang pun masing-masing duduk di hadapan mengelilingi pada puhun paying huu itu. Maka genderang kesukaan pun berbunyilah, lalu berdiri menaruh bergantiganti kepada seorang kepada seorang. Demikian kelakuan hal segala orang pada malam itu. Setelah malam pun mau sianglah, maka Bitaumbara dan Sangariarana pun berangkat naik berjalan mengelu-elukan Sibatara. Setelah sampailah Bitaumbara dan Sangariarana dan [segala] ra,yat sekalian pun, lalu masuk di dalam kota raja Butun.
Hatta dengan takdir Allah Taala, Sibatara dan Tuan puteri pun sedang pangka di hadapan sekalian dayang-dayang, bata-bata pariwali sekalian di dalam maligai itu. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun masuk di dalam maligai. Lalu sujud di hadapan raja serta sembah kepalanya, lalu di bawa hamparan. Demikian sembahnya,“Yaa Tuhanku, Baik tuan hamba berangkat karena matahari pun belum terbit. Maka raja pun hadirlah lalu naik duduk (di)atas gata yang keemasan. Maka gata itu pun diangkat ditaruh (di)atas bahunya lalu turun berjalan diiringkan Bitaumbara dan Sangariarana dan ra,yat sekaliannya itu. Setelah sampailah pada rumah Bitaumbara dan Sangariarana dan ra,yat, maka raja pun turun (dari) atas gatanya lalu duduk (di)atas rumah Bitaumbara itu di hadapan oleh segala menteri dan segala waziytil ma,alam.
Maka datang seorang, orangnya berlari-lari, lalu berdatang sembah di hadapan raja itu. Demikian sembahnya, “Ya Tuhanku, ada hamba melihat air kulamu bata pada tempat baluara kadang (di)atas bukit Lelemangura itu. Maka raja pun telah menengar seraya menyuruh orang mengambil air itu. Setelah maka Bitaumbara dan Sangariarana pun menyuruh orang Tobe-Tobe lima orang mengambil air (di)atas bukit itu. Maka orang Tobe-Tobe itu pun segera berlari-lari dengan sekejap mata sampai[kan] (lah) orang itu pada bukit Lelemangura itu. Lalu ditambunya kulam itu.
Setalah [sudah] diisinya tempat air itu, maka orang Tobe-Tobe itu pun kembalilah kelimanya itu. Setelah sampailah orang itu lalu di hadapan Bitaumbara dan Sangariarana. Maka Bitaumbara pun menyuruh anaknya Sangariarana memandi rajaitu. Setelah mandi raja itu, seraya lalu turun pada huu itu. Lalu memegang puhun huuitu, dengan kedua tangannya dapat di bawah bahunya [huu itu]. Maka diserahakan oleh Sangariarana puhun huu itu. Setelah menyerahkan puhun huu itu, maka raja punhendak kembali kemaligainya. Lalu berjalan di hadapannya puhun huu itu, didahulukan berjalan dari kanannya. Bitaumbara da Sangariarana dari kirinya dan 40 belakangnya segala menteri iringkan ra,yat hina dina sekalian remba-remba dan jalan sekalian pun. Setelah sampailah pada atas faa besar-besar itu serta terbit matahari maka payung huu itu pun terdirilah atas kepala raja itu. Maka dipegangnya oleh Sangariarana, maka tiada dikannya lagi matahari raja itu. Setelah sampailah maligainya, lalu duduk di atas kursinya di hadap segala menteri-menterinya, [dan] orang besar-besarnya dan hulubalang ra,yatnya, sekalian ra,yat hina dina. Setelah sudah, maka hidangan nasi pun (di)peredarkan oranglah. Maka minium-minuman pun terangkat orang. Maka raja pun makan minum bersuka-sukaan dengan segala menteri-menterinya dan hulubalang ra,yat sekalian. Setelah [sudah] makan minum maka raja pun masuk (ke) dalam maligai. Maka segala menteri, (dan) orang banyak masing-masing kembali ke rumahnya.
Hatta dengan takdir Allah Taala, berapa lamanya raja itu antara beranakan tiga perempuan, maka beranakan pula empat orang perempuan juga, seorang laki pun tiada [hanya perempuan juga]. Antaranya maka beranakkan Patolasunda namanya [dan berapa lagi antaranya] maka beranakkan Wa Batau, [namanya]. [Dan berapa lagi lamanya antaranya maka beranakkan] Wa Betao, [namanya]. [Dan berapa lagi lamanya antaranya, maka beranakkan pula] Paramasunyi [namanya], yaitu anak empunya itu kaum segala anak raja-raja. Jumlah[nya] anak Wa Kaakaa dengan Sibatara itu menjadi tujuh orang perempuan juga.
Setelah dengan berapa tahun antaranya menjadi raja di dalam negeri Butun Sibatara dan Wa Kaakaa itu, maka hendaklah ia pulang ke kayangannya dari atas langit, sebab kemaluannya [oleh Wa Kaakaa] kepada gundi[nya] Sibatara yaitu kampung Baaluwu. Hatta maka tersebutlah cerita pulangnya Wa Kaakaa pada kayangannya dari atas.
Demikian ceriteranya. Segala peristiwa pada hari yang lain tengah hari benar, maka Wa Kaakaa hendaklah tidur, lalu kebantal kepalanya lalu seraya memanggil seorang hambanya menyikat rambutnya. Maka hambanya pun datang menyikat rambutnya [Wa Kaakaa] pada bantal itu, lalu (di)sisirnya [oleh Wa Kaakaa itu]. Setelah terlihatlah ubun-ubun Wa Kaakaa itu, berkata hambanya itu, “Yaa Tuhaku, mengapa ubun-ubun tuan hamba ini seperti tahi bau rupanya. Serta (men)dengar[lah] yang demikian itu katanya, maka Wa Kaakaa itu pun terkejut lalu bangun daripada tidurnya dengan malunya dan marahnya hatinya. Jangan terdengar pada istri Sibatara yang lain di kampung Baaluwu, yaitulah yang dikasih oleh Sibatara pada perempuan itu. Selangselang Wa Kaakaa pun disamakan istimewa pula pada istri yang lain, sungguh pun Wa Kaakaa terlalu baik parasnya separti anak-anakkan kadang rupanya, tetapi diinginya penglihat(an) segala orang banyak karena ia peri.
Setelah sudah, maka Wa Kaakaa pun terlalu [sangat] marahnya bertambahtambah malunya sebab terlihat ubun-ubunnya. Tiada lagi dapat berkata-kata, lalu tunduk berdiam dirinya seraya di dalam rahasianya, “Baiklah aku kembali naik kepada kayanganku [dari] (di)atas langit. Karena aku tiada dapat menahan hatiku sebab kemaluanku pada perempuan itu, dan ubun-ubunku pun terlihat pada manusia. Setelah [sudah] ia (ber)fikir, maka berkatalah Wa Kaakaa pada hambanya [yang melihat ubun-ubunnya] itu. Demikian katanya dengan kata yang lemah lembut, “Hai sudaraku, rahasia ini jangan kau katakan kesana kemari. Jika aku tiada pada tempat ini sekali pun jangan mudah-mudahan. Setelah [sudah] berkata-kata, Wa Kaakaa pun menyuruh orang memanggil Bitaumbara dan Sangariarana. Maka Bitaumbara dan Sangariarana datanglah di hadapan Wa Kaakaa lalu sujud menyuruh 41 kepalanya kepada lantai. Maka berkata-kata, “Hai kamu Bapaku, salamku atasmu [ke](ber)dua kamu itu, hamba minta memuhun pada kamu (ber) [ke]dua itu dan orang di dalam negeri itu sekalian.” Maka sembah Bitaumbara dan Sangariarana, demikian sembahnya, “Yaa Tuhanku, raja yang kebutuhan patik di bawah duli, atas batu kepala hambamu, sekalian”di mana Tuan hamba pergi dan negeri mana Tuan hamba main-main”. Maka berkata Wa Kaakaa, “Hai Bapaku, sebab minta muhun pada kamu [ke] (ber)dua, “Hamba hendak kembali ke kayanganku di atas langit,”
Maka sembah Bitaumbara dan Sangariarana, “Yaa Tuhanku, siapa anak Tuan hambameninggalkan kamu akan ganti tuan hamba di dalam negeri Tuanku?” Maka Wa Kaakaa bersuamikan anaknya seorang bernama Bulawambona dan anaknya Sangariarana La Balowu namanya, yaitu cucu Bitaumbara. Setelah bersuamikan anaknya Bulawambona dan La Balowu, maka diangkat pula menjadi raja Butun akan ganti dirinya, tetapi tiada terkembang payung kepada La Balowu, Bulawambona yang dikembangkannya payung (di)atas kepalanya. Setelah [sudah,sudah] diangkat [oleh] Bulawambona dan La Balowu itu, maka Wa Kaakaa pun berpesanlah Bitaumbara dan Sangariarana. Demikian bunyi pesannya, “Hai bapaku, dengar(kanlah) pesanku ini, “Jangan kau lalai [oleh] anakku ini.” Jangan kau melihat dan ikutilah salahnya dan bebalnya atas kamu dalam tangan kamu [ke](ber)dua. Kita hubaya-hubaya, jangan ajarkan baik karena lagi muda tiada dan jangan kau dengarkan ke sana sini. Peliharakanlah anak kita ini seperti engkau memeliharakan daku.
Setelah [sudah] berpesan Wa Kaakaa itu, maka diambilnya anta kusumu anaknya Bulawambona. Lalu dilihat anta kusumu itu dengan ampat-ampat jari lebarnya [anta kusumu] itu yaitu Sangkia namanya. Maka diberikan Bitaumbara dan Sangariarana Sangkia itu seraya berkata “Hai menteri yang budiman lagi bijaksana kamu, “Kedua kamu itu ambillah olehmu anta kusumu hamba itu hubaya-hubaya jangan tiada kamu suruh orang berbuat belanja seperti belanja negeri yang lain.Supaya selamat negeri kita ini, ‘Ambillah belanja kamu seperti pesanku ini. Jikalau kau lalai seperti pesanku ini kamu atawa anak cucumu atawa kaum kolawarganya atawa barang dalam negeri itu dikutuk Allah Taala dengan beribu-ribu kutuk dating balaa. Jika kamu menanam padi menjadi padang, jika kamu menanam barang makanmakanan menjadi batu atawa kayu. Dan lagi pesanku, “Hukum dalam negeri jangan kau bertukar-tukarkan, seperti kampung dengan menteri-menterinya atawa seperti anak raja-raja dengan negerinya melainkan asalnya juga. Dan jangan kau ambilkan upeti di dalam hokum negeri ini yaitu baku makan. Dan jangan lagi musyawarat malam atawa (mem) beri hukum. Itulah barang sesuatu bicara jangan lagi musyawarat malam waktu asar pun, jangan kurang katanya karena setan hampir masuk di dalam negeri, itulah sebab.
Setelah [sudah] berpesan hadapan pun diperdengarkan oranglah. Dan pilihnya yang keemasan pun diangkat orang. Maka bermain, makan dan minum bersuka-sukaan dengan menterinya dan [segala] ra,yatnya sekalian. Setelah [sudah] makan, maka dianugerahinya segala ra,yatnya hina dina dengan arta yang mulia. Setelah Wa Kaakaa pun mencium anaknya Bulawambona dan mantunya La Balowu, maka Bulawambona dan La Balowu pun menangis. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun segera menyembah keduanya lalu mencium kaki Wa Kaakaa itu. Maka segala ra,yat pun datang berjabat tangan dan mencium kaki Wa Kaakaa. 42 [Setelah] belum habis segala orang memegang Wa Kaakaa maka guruh pun berbunyilah dan kilat hujan pun turunlah, ributlah taufan halilintar petir kilat sambung-menyambung. Maka Wa Kaakaa pun lenyap akan dirinya. Ia pulang ke kayangannya, di atas langit dengan enam orang anaknya. Yang ada di tanah hanya seorang ditinggalnya akan digantinya Bulawambona namanya yaitulah yang diangkat oleh ibunya menjadi raja Butun. Setelah bunyi guruh pun tiadalah kedengaran dan ribut taufan telahlah, matahari [telah] terbitlah. Maka raja yang kebutuhan itu pun tiada kelihatan mata segala orang banyak itu. Maka berseru-seru segala manusia menangis, gempar bunyi segala orang seperti lagi kiamat bunyinya. Dan ceriteralah segala manusia tiada mengetahui akan dirinya sebab bercintakan Tuhannya itu. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun bersuaralah menangis keduanya. Demikian bunyi suaranya, “Tuhanku yang kebutuhan, “Hambamu ini pun itulah dan negerimu pun kasihanlah ra,yat Tuhanku. Hambamu belum puas risau hati hambamu pada Tuhanku yang kebutuhan. Betapalah hal kami sekarang.
Hatta dengan takdir Allah Taala, maka terdengarlah seperti suara dari atas langit yaitu suara raja yang kebutuhan. Demikian katanya, “Janganlah bercintakan diri kamu dan negerimu adalah ketulang, karena Sibatara kasihan istrinya yang lain daripada aku, yaitulah kampung Baaluwu memberi kemaluan,” Sebab itulah maka aku pulang ke kayangan, kutinggalkan anakku dan kamu dan negeri itu. Setelah sudah maka tersebutlah kemaluan kebutuhan. Demikian bunyi ceriteranya. Segala peristiwan Sibatara lagi bertangis-tangis dengan anaknya, Bulawambona pun rebalah (di) atas ribaan bapanya*****