bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Rabu, 25 April 2012

SIPANJONGAN DALAM HIKAYAT NEGERI BUTUN : Suatu Penjelasan Singkat Hasaruddin









OLEH : HASARUDDIN

A. Pendahuluan

SALAH satu daerah di kawasan Nusantara yang banyak menyimpan naskah-naskah lama adalah Wolio (Buton) (lihat Chambert-Loir dan Oman Fathurahman,1999). Secara geografis, daerah ini merupakan daerah kepulauan yang terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan berada di kawasan timur Indonesia. Sebagai kerajaan yang tumbuh dari suatu jaringan transmisi ajaran agama Islam di
Nusantara, Buton tidak lepas dari kegiatan tulis menulis dan penyebaran hasil-hasilnya. Dari sejumlah naskah yang ditemukan diketahui bahwa abad ke-16 dan abad ke-17 adalah periode paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631) diberlakukan undang-undang secara tertulis yang disebut dengan Martabat Tujuh (lihat, Ikram, 2001: 4; 2005: 8; Schoorl, 1985: 9; Yunus, 1995: 20; Zahari, 1977: 59; Zuhdi, 1996: 24)  Tentu dapat dimengerti secara material naskah setua itu tidak lagi dapat bertahan lama. Akan tetapi, turunannya diperoleh sebagai yang disalin kembali pada abad ke-19.
Dilihat dari naskah yang ada sekarang kebanyakan naskah kuno Buton berasal dari masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851). Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin sendiri dikenal pula sebagai penulis yang cukup produktif. Karya-karya tulisannya membahas berbagai tema tentang tasawuf dan ajaran Islam. Periode itu merupakan masa yang menunjukkan banyaknya naskah yang disalin atau ditulis baru. Dari periode itu pula terhimpun sejumlah besar naskah yang ada sekarang ini (lihat Ikram, 2001: 4). Di samping itu ada beberapa naskah yang berisi tentang peristiwa sejarah antara lain, Hikayat Negeri Butun yang mengisahkan tentang pentang pertama di Buton, terbentuknya perkampungan-perkampungan, kisah Wa Kaakaa diangkat menjadi raja pertama sampai meninggalkan pulau Buton. Pada bagian tulisan ini akan salah satu bagian dari Hikayat Negeri Butun.

B.     Latar Belakang Kedatangan Sipanjonga ke Butun


Naskah Hikayat Negeri Butun (NHNB) adalah salah satu naskah Butun (Buton) yang isi teks sebagian menceritakan tentang kedatangan orang-orang Melayu di Pulau Butun (Buton). Naskah ini ditulis oleh salah seorang pedagang yang berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Naskah ini ditulis sekitar tahun 1267 H atau 1850 M[3]2. Dalam teks naskah NHBN dijelaskan bahwa peletak dasar dari berdirinya kerajaan Butun adalah orang-orang yang berasal dari Melayu. Dalam teks naskah diberitakan bahwa:

Sebermula maka tersebut pula seorang raja dari Pulau Liya di tanah Melayu bernama Sipanjongan, terlalu hartawan, dermawan, dan beberapa banyak kaum keluarganya dan hamba sahayanya. Maka pada suatu malam Sipanjongan tidur di dalam peraduannya maka ia pun bermimpi bertemu dengan seorang orang tua. Maka berkata orang tua itu kepada Sipanjongan, “hai cucuku, apa juga sudinya cucuku tinggal di pulau ini”? lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini, karena pulau ini bukan cucuku yang memegang dia.

Dalam suatu tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Buton bahwa Sipanjongan datang bersama wakil dan rombongannya, wakilnya itu bernama Sijawangkati. Sipanjongan dan wakilnya meninggalkan tanah Melayu (Malaka) pada tanggal 3 bulan Sya’ban tahun 634 H atau Rabu, 1 April 1237 M dengan perahu tumpangan yang oleh Sipanjongan menyebutnya Palulang. Mereka  berlayar menuju ke arah matahari terbit atau kearah timur (Bhurhanuddin, 1977/1978: 43). 

Sebagaimana layaknya orang berlayar maka Sipanjongan pun membawa berbagai kelengkapan dalam pelayarannya. Dalam teks dijelaskan bahwa:

Sipanjongan memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengangkut perbekalan. Setelah sudah lengkap di dalam Palulang itu, maka sipanjongan menyeruhkan sekalian orang naik ke palulang dengan segala sahabat dan rakyatnya dan hamba sahayanya sekalian. Maka alat perahu pun dipasang orang merapat kiri kanannya. Maka Sipanjongan pun naik ke palulang serta dengan segala bunyi bunyian istiadat segala anak raja-raja yang besar besar di dalam negeri. Maka kepada hari yang baik dan saat yang baik, maka Sipanjongan pun menyuruh orang membongkar sauh. Maka orang pun hadirlah masing-masing dipegangnya. Maka meriam pun dipasang oranglah kiri kanannya dan bunyi-bunyian dipalu terlalu azmat bunyinya, dan layar pun di buka orang. Maka angin bertiup terlalu keras jalannya palulang itu seperti burung rajawali pantasnya. Dengan seketika itu juga pulau Liya itu lepas daripada mata orang banyak.


Berdasarkan teks tersebut Sipanjongan adalah seorang bangsawan dari daratan Malaka yang ditandai dengan kelengkapan-kelengkapan seperti layaknya seorang raja. Di mungkinkan bahwa pelayaran yang dilakukan oleh Sipanjongan tersebut dikarenakan adanya perseteruan politik diwilayahnya. Jika tahun 1237 M menjadi patokan keberangkatan Sipanjongan interpretasi bahwa pada tahun tersebut terjadi pertikaian politik diwilayah itu.

Jika ditinjau dari pandangan sejarah, Satu-satu negeri itu ada masanya naik dan ada masanya turun Demikian pula nasib kerajaan Sriwijaya. Peperangan yang banyak itu. Peperangan yang banyak itu, dengan Jawa, dengan Kolomandala, dan lain-lain. Sangat mengurangi tenaga Sriwijaya. Pada abad kedua belas tiadalah dapat kerajaan itu menghalangi Melayu kuno bangkit kembali serta tidak mengakui Sriwijaya sebagai tuannya lagi.

Bahaya yang lebih besar lagi datang, waktu dalam tahun 1275 Kertanegara menjajah Melayu. Meskipun lemah betul, ada seratus tahun lagi demikian (1377) baru habis riwayat kerajaan Sriwijaya. Hilang sama sekali kekuasaannya sesudah mulai muncul Malaka.

Dari kedua penulisan itu, ternyata bahwa kerajaan Sriwijaya telah lemah dan tidak lagi dapat mempertahankan kedudukannya, namun itu berjalan lama. Kita berpandangan bahwa Sipanjonga dan kawan-kawannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai Raja yang berdaulat di negerinya yang tadinya termasuk dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya, mengambil kesempatan meninggalkan kerajaannya dan mencari daerah lain untuk tempat tinggal dan menetap.

Dalam Hikayat Negeri Butun dikisahkan pula perjalanan mencari daerah baru sebagai tempat pemukiman dengan segenap rombangannya. Syahdan ada sehari semalam pelayaran tengah laut, maka turunlah ribut topan, halilintar, kilat, maka sanpanpun putuslah. Hatta beberapa lamanya ditengah laut, maka sampailah Palulang itu pada suatu pulau Malalang namanya. Maka dengan takdir Allah Ta’ala maka anginpun teduhlah. Maka palulang itu berlabuhlah saat di pulau itu tujuh hari lamanya menanti akan tiada juga turun.

Syahdan orang sekalian pun duka citalah hendak turun ke pulau itu maka tiada punya sampan. Maka sekalian orang di dalam palulang itu pun mengantuk dan daif dari pada sangat kepanasan matahari. Maka Sipanjongan pun menyuruh berbuat suatu lancang di dalam palulang itu. Setelah sudah berbuat, maka diturunkan oranglah lancang itu. Maka Sipanjongan pun turunlah kelancang itu dengan segala sahabatnya semuhanya lalu naik ke pulau itu dengan suka cita. Setelah sampai ia ke pulau, maka Sipanjongan pun turun ke darat lalu naik berjalan. Masing-masing orang pada mencari tempat bernaung daripada sangat kepanasan matahari

Di saat beristirahat menunggu redahnya angin dan teduhnya gelombang laut Sipanjongan kemudian melanjutkan perjalannya. Dalam hikayat ini dikisahkan bawa keesokan harinya sampailah mereka pulau Butun. Jika berdasarkan kalimat ini diinterpretasi bahwa daerah tempat persinggahan sebelum sampai ke Buton adalah salah satu yang berada dikawasan Sulawesi. Jika mengikuti jalur pesisir pantai pulau kemudian melanjutkan perjalanan ke Sumbawa dan sebelum sampai di Buton dimungkinkan mereka berlindung di pulau Kalatoa, namun jika melewati jalur Makassar maka tempat persinggahan rombongan Sipanjongan adalah Selayar[4].

Sebagai penanda bahwa saat sebuah perahu mulai berlayar atau sampai kedarah yang menjadi tujuan diperdengarkan bunyi-bunyian.  Prosesi ini telah menjadi suatu hal yang umum terjadi dalam tradisi kemaritiman.

Apakah Sipanjonga meninggalkan kerajaannya dari Pulau Liya pada akhir masa kerajaan Sriwijaya atau pada waktu mulai suramnya kerajaan itu atau runtunhnya sama sekali, di sinilah terletak dasar pendapat kita dengan menyatakan bahwa tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya di Buton pada akhir abad ke-13 atau ke-14.

Pandangan itu kita landaskan  pula akan kemungkinan bahwa Sipanjonga sebagai raja di negerinya, tidak hendak dikuasai oleh kerajaan lain, maka dengan memperhatikan kekuatan yang ada padanya untuk mengadakan perlawanan sewaktu-waktu mendapat serangan, tidak dapat menandingi kekuatan pihak kerajaan yang hendak menduduki Sriwijaya, mengambil kesempatan meninggalkan negerinya sehingga tibalah ia di Buton.

Di Buton perahu tumpangan mereka mendarat di Pantai Kalampa. Hatta maka palulang itu pun sampailah pada suatu pantai Kalampa namanya, yaitulah Tobe-Tobe yang empunya pantai itu. Maka Sipanjongan pun tetaplah duduk di sana serta berbuat kebun. sebagai Raja yang berkuasa, maka tibalah mereka di Buton.


C. Sipanjongan Menetap di Buton

Tempat pemukiman dari Sipanjongan sangatlah strategis karena berada pada pesisir pantai. Namun karena posisi itu pada masa itu telah ada kelompok bajak laut yang berasal dari Ternate terutama yang berasal dari daerah Tobelo. Oleh karena seringmya mendapat gangguan dari bajak laut dari Tobelo maka rombongan Sipanjongan menuju kedaerah ketinggian (tempat itu saat ini disebut Lelemangura).

Sebelum ke wilayah Lelemangura Sipanjongan telah pula mendengar adanya kelompok lain yang datang di pulau Butun. Kelompok ini dipimpin oleh Simalui bersama saudara perempuan dan kelompoknya. Sipanjongan sangat kagum dan memiliki keinginan untuk mempersunting adik perempuan Simalui. Dalam naskah HNB dijelaskan bahwa:

Hatta berapa lamanya, Sipanjongan pun menengar warta ada saudaranya Simalui seorang perempuan baik parasnya dan putih kuning warna tubuhnya. Maka pikir Sipanjongan, jikalau demikian, baik kita mengantar ganti diri pakai meminang. Maka ada suatu hari Sipanjongan pun pergi mengantar emas dan perak dengan beberapa banyaknya kain sutra kepada Samalui, serta Samalui pun telah menerima harta yang dibawahnya Sipanjongan itu. Maka Sipanjongan pun di kenalkan dengan saudara Samalui, Sabanang namanya.

Dari perkawinan itu, kedua kelompok ini bergabung, hidup bersama dan damai. Hal ini lebih menyatu setelah lahinya Betoambari hasil perkawinan antara Sipanjongan dan Sabanang. bertambah mereka mempunayai seorang anak yang diberi nama Betoambari. Setelah menginjak dewasa Betoambari diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin kampung yang didiaminya.


C.    Kesimpulan

Naskah Hikayat Negeri Butun adalah naskah yang berisi tentang sejarah. Naskah ini menceritakan tentang perjalanan Sipanjongan dan rombongannya untuk mencari daerah baru di bagian timur Nusantara. Isi naskah berasal dari tradisi lisan kemudian ditulis oleh pedagang Banjar saat singgah di Pulau Buton dalam perjalanan niaganya ke Pulau Sumbawa. Kisah ini kemudian berkembang dalam bentuk tradisi lisan yang sampai saat ini tetap berkembang dalam masyarakat Buton.

Isi naskah sangat jelas menuturkan tentang Sipanjongan mendirikan perkampungan yang kemudian kawin dengan rombongan kedua yang datang di Pulau Buton. Dari hasil perkawinannya itu kemudian memperluas atau membuat perkampungan baru yang dipimpin oleh turunan atau anaknya. Meskipun naskah ini adalah merupakan naskah sejarah namun diharapkan lebih mendalam dikaji mnelalui metode-metode sejarah sehingga menghasilkan kisah sejarah yang objektif.
Sumber :
akbarmalik1996.blogspot.com/.../sipanjongan-dalam-hikayat-negeri-.buton