bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Selasa, 27 Maret 2012

JEJAK SEJARAH KESULTANAN BUTON



OLEH : WINDU TIASTUTI

Juru Kamera : Joni Suryadi 



indosiar.com, Buton - Pulau Buton. Nama yang selalu dihubungkan dengan pertambangan aspal alam. Tak banyak yang tahu, di pulau ini ada satu kesultanan, yang berperan mengisi sejarah Indonesia. Juga tak tercantum dalam buku pelajaran sejarah sekolah dasar. Kesultanan Buton seakan berdiri sendiri, diluar hiruk pikuk pentas sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia. 
 
Datanglah ke Kota Bau-bau. Di kota kecil inilah komplek Kesultanan Buton berada. Terletak di puncak bukit dan menghadap ke Selat Buton. Penduduk setempat menyebutnya keraton. Aura kemegahannya masih terasa nyata.
Dari arah laut, tiang bendera setinggi dua puluh satu meter, adalah tanda pertama yang akan terlihat oleh kapal yang datang. Tiang megah dari kayu jati ini didirikan tahun 1712 tepat dihalaman depan benteng. Seolah memberi isyarat, anda sedang memasuki wilayah kota raja. Di tiang ini juga pernah dikibarkan bendera kerajaan Belanda, Jepang sebelum akhirnya dikibarkan sang merah putih.Kerajaan Buton diperkirakan berdiri pada abad empat belas, dua abad kemudian berubah menjadi kesultanan. Kompleks keraton dikelilingi oleh benteng sepanjang dua ribu tujuh ratus empat puluh meter. Benteng ini dibangun dalam kurun waktu lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda.
Benteng berbentuk huruf 'dal' dalam aksara Arab ini, disusun dari batu kapur dan pasir. Benteng ini dilengkapi dua belas pintu masuk dan enam belas kubu pertahanan. Banyaknya meriam yang ditempatkan di tiap sisi benteng, menunjukkan masa Kesultanan Buton tidaklah mudah. Ada musuh, ada tamu asing, dan juga ada kerajaan tetangga, yang setiap saat datang sebagai lawan.
Disisi tebing yang sekaligus pembatas benteng bagian belakang, terdapat sebuah ceruk. Letaknya tepat di bawah tanah keraton. Gua ini menjadi tempat persembunyian Arupalaka, Raja Bone, saat melarikan diri dari kejaran tentara Sultan Hasanudin dari Kerajaan Gowa. Berkat sumpah Sultan Buton yang menyatakan Arupalaka tidak berada di atas tanah Buton, maka selamatlah Raja Bone itu. Konon Arupalaka masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan petinggi Kesultanan Buton.
Perubahan sistem kerajaan menjadi Kesultanan Buton, tidak lepas dari nama besar Sultan Murhum. Dialah yang menorehkan sejarah di atas tanah Buton. Raja terakhir dari enam raja, sekaligus sultan pertama dari tiga puluh delapan sultan. Ia memerintah dari tahun 1538 hingga 1584, dengan gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis. Makamnya hingga saat ini masih terawat dengan baik di dalam kompleks keraton. Orang Buton tidak melupakannya. Nama sang sultan diabadikan menjadi nama pelabuhan laut, udara dan nama jalan.
Dalam komplek keraton, kediaman sultan tampak jauh lebih sederhana dibanding dengan istana raja-raja di tanah lain. Rumah panggung yang pernah didiami sejumlah sultan dari era yang berbeda, masih tersisa hingga kini. Rumah-rumah itu disebut kamali atau malige. Didalamnya, berbagai benda bersejarah juga masih disimpan, seperti bendera kerajaan yang pernah berkibar megah ratusan tahun lalu. 
Kesederhanaan ini seperti cermin dari iklim demokrasi yang telah tercipta di Kesultanan Buton, jauh sebelum Indonesia lahir. Meski ada tiga golongan yang berbeda tugas, Sultan Buton tidak selalu diangkat dari keturunan sebelumnya, melainkan tergantung pada rapat anggota dewan legislatif yang berada di tangan golongan Walaka. Beberapa sultan konon dicopot dan dihukum karena di nilai melakukan pelanggaran.
Nuansa Islami amat lekat dengan Kesultanan Buton. Ddalam setiap pengangkatan sultan baru, ada sejumlah ritual yang telah menjadi tradisi. Ada sebuah batu berbentuk tonggak tempat menyimpan air, yang akan dipakai mandi sang calon sultan, sebelum diambil sumpahnya di Masjid Agung dalam kompleks keraton. Sehabis diambil sumpahnya, sang sultan baru dibawa ke batu pengangkatan. Diatas batu yang menyerupai alat kelamin perempuan ini, sang sultan di upacarai seolah-olah baru terlahir kembali. Bentuk batu ini mengingatkan pada lingga yoni, dalam konsep ajaran Hindu.
Masjid Agung keraton. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng ini, didirikan pada awal abad delapan belas, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Meski menjadi bagian dari kompleks keraton dalam Kesultanan Buton, wujud bangunan ini tetap terlihat sederhana. Namun sebaliknya, setiap komponen bangunan masjid ini penuh dengan simbol yang kaya akan makna.
Pengaruh Islam masuk ke Buton secara resmi pada tahun 948 hijriah, dibawa oleh Syeikh Abdul Wahid bin Sulaiman. Syeikh ini berasal dari Semenanjung Tanah Melayu. Namun baru dua abad kemudian Masjid Agung keraton dibangun. Untuk mendirikan masjid ini konon menghabiskan tiga ratus tiga belas potongan kayu, yang sama jumlahnya dengan potongan tulang-tulang tubuh manusia. 
Dilengkapi dengan dua belas pintu, masjid ini mampu menampung hingga lima ratus orang jemaah. Jumlah pintu merupakan simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia.
Pengaruh demokrasi dalam sistem kesultanan, juga berlaku pada anggota pengurus Masjid Agung, yang berjumlah lima puluh enam orang. Namanya Sarakidina. Mereka datang dari keturunan bangsawan maupun rakyat jelata. Tugas mereka terdiri dari satu orang lakina agama, satu orang imam, empat orang khatib, sepuluh orang moji dan empat puluh orang anggotanya.
Di era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik, karena dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.
Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang Shalat Jumat. Petugas pemukul bedug atau tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain khas Buton. Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.

Ada banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang shalat, para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin shalat. 
Jamaah mulai berdatangan. Imam melakukan shalat terlebih dulu, sebelum melangkahkan kaki di sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum shalat di mulai. Ritual sebelum shalat di mulai memang terlihat rumit. Namun semua yang dilakukan merupakan tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang di coba untuk dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi orang Buton.
Keberadaan para pengurus masjid ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus
bertugas untuk mengurus jenasah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat, karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna.
Sayangnya denyut nadi kehidupan dan budaya masyarakat Buton yang begitu elok, seperti terisolasi dari pengetahuan nasional. Ceritanya hanya bergaung lewat artikel-artikel sederhana dalam koran. Padahal, dengan sedikit polesan tangan terampil, Pulau Buton bisa menjadi surga wisata.(Idh)
Sumber : http://www.indosiar.com/ragam/jejak-sejarah-kesultanan-buton_39318.html

Rabu, 21 Maret 2012

BETENA TOMBULA : "JEJEKA TIONGHOA DALAM TRADISI LISAN BUTON

OLEH : SUMIMAN UDU


ABSTRAK
Tradisi lisan menyimpan berbagai ingatan kolektif masyarakatnya, termasuk jejak kebudayan yang berkembang di dalam masyarakat itu. Sebagai tradisi lisan, Betena Tombula merupakan tradisi lisan masyarakat Buton yang mengisahkan tentang jejak kebudayaan masyarakat Tionghoa dalam dunia Melayu Buton. Oleh karena itu, penelusuran jejak Tionghoa dalam tradisi lisan betena tombola merupakan ruang pertautan kebudayaan Tionghoa dan Melayu Buton dalam ingatan kolektif masyarakat Buton.
Penelitian mengenai Betena Tombula untuk menemukan jejak Tionghoa dalam masyarakat Buton ini dilakukan dengan pendekatan etnografi. Dengan demikian, baik data pustaka mapun data lapangan dalam penelitian ini akan dianalisis berdasarkan sudut pandang masyarakat  pemilik tradisi lisan tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Buton memiliki pandangan bahwa Ratu pertama Wakaa kaa merupakan keturunan Tionghoa yang berasal dari Mongol. Hal ini dapat dilihat dari deskripsi fisik Wakaa kaa yang memiliki leher panjang, rambut lurus, serta kulit yang putih. Masyarakat Buton menganggap bahwa betena tombula dapat interprestasikan sebagai keturunan China yang disebut negeri tirai bambu. Di samping itu, di dalam masyarakat Buton ditemukan beberapa ornament yang menggunakan simbol-simbol naga dalam kebudayaannya, yaitu adanya patung naga di pantai kamali Kota Bau-Bau, serta penggunaan simbol naga di atas hampir setiap atap rumah tradisional masyarakat Buton. Selain itu, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa masyarakat Binongko memiliki ingatan kelektif tentang perkawinan orang sakti dari Binongko dengan putri nakhoda kapal China.

Kata kunci: betena tombola, jejak Tionghoa, tradisi lisan, Buton


A.     Pengatar
Menjelang akhir abad ke-18 mulai timbul reaksi terhadap pemikiran rasionalisme dari zaman Pencerahan. Artinya perasaan dalam kehidupan manusia mulai mendapat perhatian, karena keterlibatannya secara emosional menjadi nyata dalam kesadaran akan keterkaitannya pada suatu bangsa dan sejarahnya (Baal, 1987: 39). Manusia tidak menolak sentuhan peraasan ini tetapi memeliharanya. Dengan demikian, mitos dan legenda suatu masyarakat mendapatkan arti yang baru, antara lain menjadi sumber tentang bagaimana dan apa yang dipercaya di masa lalu tersebut. Bahkan Irwan Adullah mengatakan bahwa kesenian merupakan ruang yang dapat merekonstruksi suatu realitas dalam suatu kebudayaan (Abdullah, kuliah Kebudayaan[3], 2010). Sehubungan dengan itu, Thomas Carlyle dalam John Man (2010: 3) mengatakan bahwa sejarah pada dasarnya merupakan sejarah orang-orang hebat. Sementara nyanyian dan syair menjadi ruang ingatan dan proyeksi kolektif masyarakat tentang masa masa lalu dan masa depannya, misalnya, Kakawin Nagara Krtagama[4], The Secret Histroy of the Mongol[5], Bulamalino[6] dan Anjonga Yinda Malusa[7], Hikayat Hang Tuah[8], sedangkan dalam dunia Islam mengenal teks Barjanji sebagai cara untuk mengingat sejarah kehidupan rasul.
Masyarakat Buton memiliki tradisi lisan yang menyimpan berbagai ingatan kolektif masyarakatnya. Dalam ingatan kolektif itulah, jejak emosional dan kesadaran masyarakat Buton dapat ditelusuri mengenai masa lalunya. Kesadaran mengenai hubungan kekerabatannya, kepercayaannya, prinsip hidupnya, serta berbagai emosi dan kesadarannya tentang sejarah dan peradaban bangsanya. Beberapa kesadaran itu, tersimpan di dalam cerita rakyat, misalnya legenda betena tombula, landoke-ndoke kene lakolopua, atau yang tersimpan dalam berbagai teks kaбanti yang sampai sekarang masih tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Buton.
Secara etimologi kata betena I tombula berasal dari bahasa Wolio[9] yang berarti yang lahir dari bambu. Dengan demikian, cerita rakyat Betena Tombula merupakan tradisi lisan masyarakat Buton tentang asal-usul Ratu Wakaaka yang mengisahkan tentang kesadaran dan emosi mengenai dirinya dan jejak kebudayaan masyarakat Tionghoa. Oleh karena itu, penelusuran jejak Tionghoa dalam tradisi lisan Betena Tombola merupakan upaya untuk memahami kesadaran dan emosi masyarakat Buton tentang masa lalu, serta bagaimana mereka memahami diri dan sejarah dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat lain di dunia termasuk dengan masyarakat Tionghoa.
Di samping Betena Tombula, jejak kesadaran dan emosi masyarakat Buton mengenai Tionghoa itu dapat ditelusuri lebih jauh pada beberapa simbol yang ada dalam kehidupan orang Buton. Benda-benda artefak tersebut dapat berupa simbol Tionghoa seperti naga, keramik, dan beberapa cerita rakyat lainnya yang memuat memori orang Buton tentang Tionghoa. Hal ini sama dengan  kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang memiliki ingatan kolektif yang tersimpan di dalam hikayat tentang negerinya, misalnya dapat dilihat dalam buku Sejarah Melayu yang dihimpun oleh W.G. Shellabear (1979).
Ahli lain yang pernah mencoba mengkaji sejarah dunia Melayu di dalam karya sastra adalah Umar Junus (1984) dengan judul Sejarah Melayu Menemukan Dirinya Kembali, ini menunjukkan bahwa cerita rakyat memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah yang tersimpan di dalam ingatan kelektif masyarakat Melayu, Johanes Jacobus Ras (1990) yang menulis tentang Hikayat Negeri Banjar, termasuk tulisan Pim Schoorl mengenai sejarah masyarakat dan kebudayaan Buton. Dengan demikian, tulisan ini merupakan kelanjutan dari berbagai usaha ahli terdahulu, terutama dalam melihat berbagai memori masyarakat Buton tentang dirinya dan beberapa etnis lain di dunia.
Usaha untuk mengenal atau memahami memori kolektif orang-orang Buton tersebut diperlukan suatu pendekatan etnografi guna melihat bagaimana masyarakat Buton memandang dunianya. Spradley (1997: xix) mengatakan bahwa pendekatan etnografi merupakan suatu paradigma yang melihat sturuktur sosial dan budaya masyarakat merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind anggota masyarakat tersebut) dan tugas sang peneliti adalah mengoreknya keluar dari dalam pikiran mereka.
Dengan demikian, kajian ini dilakukan untuk memahami kesadaran dan emosi orang Buton, tentang masa lalunya, terutama dalam hubunganya dengan etnis-etnis lain di Nusantara seperti: etnis Jawa, Melayu, Arab, Kei, dan Tionghoa berdasarkan cara masyarakat mereka memahaminya. Tulisan ini akan lebih difokuskan pada memori orang Buton terhadap etnis Tionghoa  yang selama ini dilupakan atau sengaja dilupakan dalam penulisan atau pembicaraan sejarah, dan kebudayan masyarakat Buton.
B.     Betena Tombula, Jejak Tionghoa dalam Tradisi Lisan Buton

Istilah betena tombula merupakan istilah yang ditemukan dalam masyarakat Buton yang berarti yang terlahir dari bambu. Dengan demikian, tradisi lisan Betena Tombula merupakan cerita rakyat Buton yang mengisahkan tentang asal-usul Wakaaka[10], ratu pertama kerajaan Buton yang terlahir dari bambu[11]. Cerita ini masih tetap hidup dan berkembang di dalam masyarakat Buton, walaupun telah ditulis dalam bentuk naskah yang kemudian di dalam Katalog Naskah Buton (2001), naskah yang berisi cerita asal-asul Wakaaka atau Betena Tombula ini diberi judul Hikayat Negeri Buton[12] atau banyak juga orang Buton menyebutnya Hikayat Si Panjongan.
Baik cerita yang ada di dalam naskah maupun yang ada di dalam tradisi lisan masyarakat Buton, Ratu Wakaaka dikisahkan terlahir dari bambu tumbila[13]. Namun di dalam tradisi lisan, masyarakat Buton sampai sekarang percaya bahwa Wakaaka merupakan putri raja China. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh La Ode Sirajuddin Djarudju bahwa jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya, maka secara antropologis khususnya somatologis, orang-orang Buton yang keturunan Wakaaka itu berasal dari ras Mongoloid[14] dan sebagian masyarakat Buton berasal ras Papua Melanesoid. Ras-ras tersebut memasuki wilayah Buton secara bergelombang dan setiap gelombang mempunyai jarak waktu yang cukup panjang. Gelombang pertama diperkirakan masuk pada awal abad 1 M (Djarudju dalam Yusran, 2009: 113).
Di dalam tradisi lisan Betena Tombula atau lebih dikenal dewasa ini judul dengan nama Hikayat Negeri Buton dikisahkan bahwa Ratu Wakaaka terlahir dari pohon bambu. Yang kemudian di arak beramai-ramai menuju kampung dan selanjutnya dilantik menjadi ratu pertama kerajaan Buton yang dibangun oleh miapatamiana atau orang yang empat yaitu, si Panjongan[15], si Malui, si Jawangkati dan si Tamanajo. Berbeda dengan yang ada di dalam naskah Hikayat Negeri Buton, dalam tradisi lisan, kisah betena tombula memiliki cerita yang berbeda dengan yang ada di dalam naskah[16].
Di dalam cerita rakyat tersebut dikatakan bahwa Wa Kaakaa menikah dengan si Batara dan beranakkan Bulawambona yang menikah dengan La Baluwu kemudian melahirkan, seorang laki-laki Bancapatola atau Bataraguru. Bataraguru beristri dengan Wa Eloncugi yaitu anak Dungkuncangia[17] yang berasal dari negeri peri. Maka Bataraguru dan Wa Eloncugi pun beranak tiga orang laki-laki pertama Rajamanguntu kedua Tuamaruju ketiga Tuarade. Itulah yang menjadi raja Buton berikutnya. Tetapi,  asal-usul tokoh Wakaaka dan Dungkuncangia  tidak banyak diceritakan. Pada hal kedua tokoh tersebut merupakan tokoh penting di dalam kesadaran dan memori orang Buton. Masyarakat Buton mengenal dua tokoh ini sebagai tokoh yang berasal dari keturunan Mongol dan sebagian masyarakat Buton menganggap bahwa kedua tokoh ini sangat berperan dalam pembentukan kerajaan Buton. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Jamal Harimudin[18] bahwa Dungkucangia adalah perwira tinggi atau Panglima tentara kavaleri kekaisaran China berkebangsaan Mongol bernama Khau Shing Khan[19]. Sedangkan salah seorang informan dari Wakatobi mengatakan bahwa cerita itu pernah dia dengar sewaktu kecil, tetapi ia lupa cerita selengkapnya. Dalam tradisi lisan, masyarakat Buton masih percaya bahwa konon perahu yang ditumpangi Dungkucangia masih dikeramatkan oleh penduduk Wabula hingga saat ini[20]. Menelusuri jejak ini, maka  di sana kita masih mengenal ritual untuk menghormati perahu Dungkuncangia (ada semacam ritualnya) dari keturunan Dungkucangia yang berada di wilayah Wabula dan sekitarnya. Dan secara fisik masyarakat Wabula memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda dengan orang Buton kebanyakan. Mereka lebih cenderung berkulit putih dan berambut lurus (Wawancara dengan Jamal Harimuddin melalui Face Book, tanggal 9 April 2011).
Dalam naskah Hikayat Negeri Buton dikatakan bahwa kedatangan si Panjongan dengan berbagai masyarakatnya, telah mendarat di kerajaan Toбe-Toбe[21] yang merupakan wilayah kerajaan Dungkuncangia. Informan mencurigai bahwa kerajaan Toбe-Toбe merupakan kerajaan yang dibangun oleh para panglima perang kerajaan Mongol. Dengan demikian, sebelum terbentuknya kerajaan Buton yang kita kenal hari ini, sudah ada beberapa kerajaan yang jauh lebih tua jika dibandingkan dengan kerajaan Buton.
Kalau kita masuk lebih jauh, maka kita akan menemukan bahwa dalam memori dan kesadaran orang Buton mengenai jejak masyarakat Tionghoa, Jawa dan Melayu sebagai bagian dari masyarakat Buton hari ini. Bahkan dalam penelitian mengenai silsilah masyarakat Wakatobi, ditemukan cerita-cerita tentang asal-usul masyarakat Kapota berasal dari masyarakat Alor di Nusa Tenggara Timur, keturunan Kei di Maluku Tenggara[22], masyarakat Hitu di Ambon, Masyarakat Johor dengan adanya bukti lain yaitu makamnya Ince Sulaiman di benteng Suo-Suo di Pulau Tomia yang kemudian diabadikan dalam cerita rakyat Moori (Udu, 2007: 34).
Sedangkan menurut sumber lain, Darfito Pado mengatakan bahwa ia pernah berdiskusi dengan Haliadi Saadi, dalam diskusi tersebut Haliadi menyinggung pedang dan topi baja milik Dungkuncangia yang masih tersimpan di Keraton Wolio (Wawancara, tanggal 9 April 2011). Bahkan Jamal Harimudin mengatakan bahwa beberapa gagasan penting Dungkucangia dalam proses pembentukan kerajaan Buton yaitu: (1) Meletakkan dasar benteng Wolio; (2) Membuat Istana yang disebut Malige; (3) Memilih Wolio sebagai pusat Kerajaan Buton dan membagi wilayah Buton menjadi patalimbona atau empat kampung; (4) Memprakarsai penyatuan Kerajaan Toбe-toбe dengan Kamaru, Todanga dan Batauga untuk menjadi wilayah Kerajaan Buton. Ia bahkan menambahkan bahwa tokoh Dungkuncangia merupakan sosok yang menjadi Founding Fahers sesungguhnya bagi kerajaan Buton yang kita kenal dewasa ini (Chatting, tanggal 9 April 2011).
Selanjutnya, Agus Risdianto menceritakan bahwa Ratu Wakaaka berasal dari daratan China. Ia menambahkan bahwa Kubalai Khan pernah mengirim armada untuk menggempur Kartanegara yang pernah menghina utusan Kubalai Khan (Meng Ki) dengan memberikan sayatan pada muka utusan itu (bdk. Muldjana, 2005: 194). Namun dalam versi lisan masyarakat Buton dikatakan pula bahwa Tentara armada Kubilai Khan ini pernah menghina utusan Jayakatwang (pengganti Kartanegara) dengan membawa harta rampasan dan tawanan. Diantara tawanan itu terdapat saudara putri dari Jayakatwang sendiri yang kemudian diperistrikan Kubalai Khan[23].
Setelah Kubalai Khan meninggal[24], keadaan di negerinya menjadi kacau sebab banyak raja kecil yang ingin berkuasa sendiri, karena itulah Wakaaka dengan pamannya yang berdarah campuran Nusantara berusaha meloloskan diri kembali ke Nusantara. Ada riwayat yang mengatakan bahwa rombongan Wakaaka lebih dahulu singgah di Sumatra, namun situasi di sana juga kurang aman sebagai akibat dari kemunduran Sriwijaya, maka mereka meneruskan perjalanannya ke Timur yang akhirnya sampai ke Buton kira-kira tahun 1332 M. Menurut riwayat Wakaaka bersama dengan pengawalnya yakni Dungkuncagia beserta rombongan tiba di Wolio (Buton) dijemput oleh keempat kepala rombongan terdahulu dan kemudian diusung di atas bambu kuning. Selanjutnya Wakaaka diangkat sebagai Ratu pertama dikerajaan Buton (wawancara dengan Agus Risdianto, 17 April 2011).
Wakaaka memerintah selama 18 tahun yakni sejak 1332 M sampai dengan 1350 M. Dalam memimpin kerajaan Buton, Ratu Wakaaka didampingi oleh suaminya seorang bangsawan putra raja Majapahit bernama Sibatara dengan kedudukan sebagai pangeran merangkap sebagai Laksamana Laut. Wakaaka mempunyai 7 orang anak yang semuanya adalah wanita dan salah seorang anaknya yakni Bulawambona menggantikannya sebagai Ratu kedua (wawancara dengan Agus Risdianto, 17 April 2011).
Kesimpangsiuran cerita asal usul Wakaaka dan Dungkuncangia di dalam masyarakat Buton, merupakan versi-versi di dalam tradisi lisan. Namun yang jelas bahwa masyarakat Buton sampai dengan saat ini masih memiliki kesadaran dan emosi bahwa ratu pertama mereka adalah berasal dari bangsawan China. Serta pamannya Dungkuncangia merupakan anak dari Kubilai Khan yang juga keturunan Jawa. Perkawinan Wakaaka dengan si Batara yang berasal dari Majapahit melahirkan kepercayaan masyarakat Buton, bahwa Buton merupakan perpaduan antara kerajaan besar China di Utara dan Jawa (Majapahit) di selatan garis katulistiwa.
Pengangkatan Bulawambona sebagai ratu dan perkawinannya dengan Sangariariana melahirkan Bataraguru yang kemudian menikahi Wa Eloncugi anak dari Dungkuncangia. Perkawinan ini melahirkan Rajamanguntu, Tuamaruju, Tuarade (raja Buton IV). Dari sinilah raja-raja Buton dari keturunan Tanailandu berasal, tetapi asal-usul Wakaaka dan Dungkuncangia selalu dilupakan tertutupi dengan pengaruh sejarah Melayu dan Jawa, serta Islam dan Belanda di Buton.
Sebelum datang penyiar Islam dan bangsa Melayu di Buton, beberapa kerajaan sudah ada di daerah ini. Bahkan sejak awal yakni sekitar tahun 1215 bangsa Buton khususnya masyarakat Wakatobi (Tomia dan Binongko) sudah menjangkau pantai utara Australia untuk mencari mutiara, teripang (Ligtvoet, 1878: 10; dalam Zuhdi, 2010: 46; Man, 2010b: 1;). Tentunya kerajaan-kerajaan yang ada di Buton seperti kerajaan Lasalimu (Togo Motondu[25]), kerajaan Kamaru dan kerajaan Toбe-toбe serta beberapa kerajaan di Kepulaun Wakatobi seperti Kerajaan Tindoi[26] adalah kerajaan yang dihuni oleh pelaut-pelaut ulung, yang menaklukan samudra selama berabad-abad. Kesaksian Bangsa Buton tentang peperangan antara pasukan Kubilai dengan pasukan Singosari sebagaimana dikatakan oleh John Man, bukanlah suatu yang tidak beralasan, hal ini dapat dilihat dari memori orang Buton tentang kedatangan orang China ke Buton, sekitar tahun tahun ekspansi Mongol ke kepulauan Nusantara. Di samping itu, sebagai salah satu kerajaan yang harus membayar upeti kepada Majapahit, maka bangsa Buton (Sulawesi) sudah menjadi saksi sejarah dalam peperangan itu (Man, 2010: 1).
Naskah-naskah berisi sejarah terbentuknya kerajaan Buton beserta silsilah rajanya merupakan salah satu informasi penting yang perlu direspon dan diketahui generasi dewasa ini. Naskah-naskah itu menjelaskan bahwa jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk, di kepulauan ini telah terbentuk sejumlah kerajaan di antaranya Togo Motondu, Kamaru dan Toбe-toбe. Menurut salah seorang pedagang asal Banjar yang pernah terdampar di Buton tahun 1267H, kerajaan di kepulauan Buton berjumlah 120 buah yaitu sama dengan jumlah kerajaan yang tergabung dalam kerajaan Banjar (La Niampe, 2007: 2). Sehubungan dengan asal-usul Wakaaka, La Niampe mengatakan bahwa ia adalah keturunan dari Kerajaan Majapahit. Namun di dalam Naskah Hikayat Negeri Buton dikatakan bahwa Wakaaka berasal dari bambu atau betena tombula atau negeri peri di kahyangan.
Konsep perkawinan Bataraguru dengan Wa Eloncugi merupakan ruang awal penyatuan kerajaan-kerajaan kecil di Buton dalam negara Buton. Di susul dengan perkawinan Betoambari dengan Waguntu juga merupakan ruang penyatuan kerajaan Kamaru dengan kerajaan Buton (Catatan dari Salim Ode). Jika kita melihat bagaimana strategi Jengis Khan dalam melakukan penyatuan bangsa-bangsa di daratan Asia, strategi perkawinan ini[27] merupakan strategi pembangunan kerajaan Buton yang dilakukan oleh pasukan Mongol yang bernama Dungkuncangia dan Wakaaka yang merupakan kemenakannya sendiri[28]. Tentunya memori orang Buton tersebut di atas harus ditindaklanjuti dengan penelitian sejarah yang lebih teliti di masa yang akan datang.
Di sisi yang lain, sisa-sisa peninggalan dari Dungkuncangia adalah adanya ilmu bela diri Balaba yang memiliki yang falsafah mirip dengan beladiri Tai Chi Chuan dari daratan China. Kedua beladiri tersebut menggunakan kekuatan lawan untuk melumpuhkan musuh. Menggunakan kelembutan dalam kekuatan, dan kekuatan dalam kelembutan[29]. Falsafah ini merupakan ruang kesadaran dan emosi orang Buton yang merupakan bukti tentang adanya jejak Tionghoa terutama keturunan Dungkuncangia dan Wakaaka. Dalam sistem politik Buton, keturunan bangsawan ini dikenal dengan keturunan Tanailandu[30]. Yaitu bangsawan Buton yang paling banyak memegang jabatan sultan dibadingkan dengan dua kamboru-mboru lainnya yaitu Tapi-tapi dan Kumbewaha.
C.     Si Sakti dari Binongko, dan Istri Kapten Kapal China
Di samping cerita tentang betena tombula dan kisah panglima perang China Dungkuncangia, masyarakat Binongko juga memiliki memori yang mengisahkan tentang hubungan asal-usul masyarakat Binongko dalam hubungannya dengan China. Di dalam tradisi lisan masyarakat Binongko, diceritakan bahwa suatu waktu kapal China lewat di perantaraan pulau Tomia dengan pulau Binongko. Di pantai ada seorang laki-laki yang sedang membuang jala, dan melihat sebuah kapal, maka berkatalah lelaki itu bahwa kapal itu tidak akan mampu meninggalkan pulau Binongko, maka berhari-hari kapal itu berlayar, maka tidak pernah juga meninggalkan pulau Binongko. Maka kapten kapal itu, memerintahkan anak buahnya untuk tunun ke darat, dan bertemulah utusan kapten kapal itu dengan lelaki sakti di daerah benteng palahidu. Dan berceritalah anak buah kapten kapal China itu bahwa mereka tidak dapat mampu melewati pulau ini. Maka berkatalah orang sakti bahwa itu bisa melewati selat ini kalau saya memandikan kapal anda. Maka pergilah ke kapal untuk menyampaikan utusan itu pada kapten kapal China, maka kapten kapal itu pergi kembali ke daratan dan minta tolonglah anak buah kapal itu kepada orang sakti itu. Maka berangkatlah mereka ke kapal. Setiba di kapal China orang Binongko itu memandikan kapal China itu. Maka berhasillah kapal itu melewati pasi atau karang Binongko, dan atas rasa terima kasihnya, maka berkatalah bahwa silahkan Anda memilih apa saja yang ada di kapal ini sebagai oleh-oleh, maka berkatalah orang sakti itu bahwa saya mau memilih sebutir telur, dan ternyata ia tuju adalah istri dari kapten kapal itu. Maka dinikahkanlah istri kapten kapal China itu dengan orang sakti dari Binongko dan kemudian melahirkan etnis dengan campuran wajah China dan Binongko yang mendiami daerah kekuasaan Kapitan Waloindi[31] yaitu Binongko bagian selatan yang meliputi Wali, Haka, Waloindi sekarang (Wawancara, dengan La Karim, 23 Januari 2007).
Dalam versi yang lain, mitos yang berkembang di dalam masyarakat Binongko, kedatangan kapal China ini dihubungkan dengan orang sakti dari Benteng Watiwa.  Dikatakan bahwa dari benteng ini pernah dilihat sebuah kapal China yang lewat, tetapi akhirnya dikerjain oleh seorang pelaut yang berasal dari benteng Fatiwa. Dalam penuturan lisan masyarakat Binongko, kapal China tersebut tidak dapat meninggalkan selat Tomia walaupun kapal melaju dengan cepat selama beberapa hari. Kemudian orang itu dipanggil ke kapal untuk membacakan mantra agar kapal itu dapat bergeser dari selat Tomia. Tetapi orang tersebut memberikan syarat bahwa ia harus memilih sesuka hatinya di atas kapal tersebut dan yang dipilihnya adalah istri kapten (nakhoda kapal) yang cantik jelita dengan berdarah China.
Sirajuddin Djarudju mengatakan bahwa kedatangan pasukan Mongol melalui Sulawesi Utara[32] terus ke selatan (Buton) adalah usaha Mongol untuk menghambat laju perluasan pasukan Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada. Pengetahuan bangsa Mongol pada kelemahan pembesar-pembesar Majapahit pada perempuan cantik. Memungkinkan mereka (Mongol) untuk melakukan strategi perempuan cantik dalam membendung laju ekspansi Majapahit. Jika dikaitkan dengan cerita-cerita masyarakat Sulawesi Utara yang mengaku bahwa masyarakat Minahasa adalah pasukan Kubilai Khan, maka Wakaaka adalah perempuan cantik yang dikirim ke tanah Buton sebagai umpan pembesar Majapahit (Djarudju dalam Yusran, 2005: 136). Ia menambahkan bahwa tujuan pengiriman Wakaaka adalah untuk menangkap Gajah Mada. Maka Wakaaka datang di Buton dengan dikawal oleh pasukan yang kuat yaitu Dungkuncangia raja Tobe-Tobe. Wakaaka memasuki Wolio (bukit Lelemangura) sekitar tahun 1302 setelah mendengar berita bahwa Gajah Mada masuk dan menuju Wolio melalui Masiri, Bola dan kira-kira di sekitar desa Majapahit membelok dan menuju ke arah timur melalui desa Waboroboro dan Tembus di Surawolio (Djarudju dalam Yusran, 2009: 137).
Selanjutnya, Sirajuddin Djarudju mengatakan bahwa pada (sekitar tahun 70-an) ada berita bahwa di di wilayah Kacamatan Batauga (di sekitar desa Majapahit[33]) ditemukan kuburan Gajah Mada. Sehubungan dengan ini, Siradjuddin Djarudju mengatakan bahwa disebabkan oleh mungkin kecapean dan usia yang lanjut dll, Gajah Mada meninggal di kecamatan Batauga kampung Majapahit, sehingga ia mengatakan bahwa Gajah Mada meninggal di Buton itu mengandung kebenaran.
Dengan demikian, berdasarkan tradisi-tradisi lisan tersebut, Wakaaka adalah seorang gadis cantik yang berasal dari pasukan Kubilai yang dikirim untuk menghambat kekuasaan Gajah Mada, yang mendarat di Buton melalui bagian timur yaitu desa Wabula sekarang. Sehingga dapat diketahui bahwa masyarakat Buton memiliki kesadaran dan emosi bahwa nenek moyang (Wakaaka Raja Buton I dan Dungkincangia atau Dungkung Cang Yang) adalah pasukan Kubilai Khan yang datang melawan laju pergerakan ekspansi Majapahit di timur Nusantara.

D.     Beberapa Simbol, sebagai Ruang Pertautan Budaya Buton – Tionghoa
Sebagai blue print yang menjadi kompas dalam kehidupan manusia, kebudayaan merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis (Greertz dalam Abdullah, 2009: 1). Dengan demikian, pembicaraan mengenai simbol sebagai ruang pertemuan antara budaya Buton – Tionghoa merupakan ruang pemaknaan yang memungkinkan ruang interprestasi yang dapat menuntun kedua masyarakat ini untuk memahami dan bekerja sama dalam membangun dirinya saat ini. Misalnya, sejarah asal-usulnya, ekonominya, politiknya serta berbagai model kepemimpinannya, sebagaimana dikatakan oleh John Man, bahwa Jenghis Khan memiliki karakter kepemimpinan yang khas, yang pernah ada dalam sejarah manusia dan gayanya akan tetap relevan dengan gaya kepemimpinan dewasa ini (Man, 2010b: vii).
Oleh karena itu, penelusuran mengenai simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat Buton dan Tionghoa, akan membawa kita pada ruang pertemuan di dalam memori kolektif kebudayaan bangsa Buton, khususnya mengenai etnis Tionghoa di daratan China. Simbol-simbol tersebut, tentunya tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh realitas sejarah di zamannya, atau dapat juga bahwa semua itu adalah ruang seni dan tradisi masyarakat Buton yang melampaui realitas sejarah zamannya. Sehubungan dengan itu, Irwan Abdullah[34] mengatakan bahwa kesenian jauh melampaui kesadaran kita (termasuk di dalamnya sastra (cerita rakyat) dan kesenian seperti kaбanti) merupakan ruang kreativitas masyarakat yang dapat merekonstruksi suatu realitas sosial budaya masyarakatnya.
Di dalam masyarakat Buton, ditemukan beberapa penggunaan simbol yang memiliki keterkaitan dengan etnis Tionghoa. Beberapa simbol tersebut, yaitu simbol naga, nenas, bambu dan dunia kahyangan (negeri peri). Dalam masyarakat Buton, simbol naga dipakai sebagai bumbungan rumah tradisional mereka. Ini tentunya berhubungan dengan paham mereka bahwa naga itu adalah hewan yang hidup di langit atau kahyangan. Dalam teks kaбanti dikatakan bahwa, /hempitu nobali na naga/ “tujuh kali naga berputar”, /maka nolara na dunia/ “baru kita dapat melihat dunia”. Bandingkan dengan konsep Raja langit yang dikembangkan oleh Kubilai Khan, ketika ia menguasai daratan China. Dengan demikian, simbol naga di dalam masyarakat Buton memiliki hubungan mitologis dengan konsep Kubilai Khan di daratan China.
Namun kalau kita masuk lebih jauh ke dalam sejarah kebudayaan manusia, maka kita akan menemukan kebudayaan Babylonia yang memiliki pemahaman yang luas tentang ruang angkasa (Baal, 1987: 167). Sementara dalam sejarah pelayaran orang Buton, mereka menggunakan bintang sebagai kompas mereka dalam mengarungi lautan Nusantara, dan perputaran naga di langit sebagai penunjuk waktu mereka di waktu malam. Mereka meyakini bahwa naga atau cahaya putih yang memanjang dari selatan ke utara di waktu malam merupakan naga yang menjaga malam, dan tujuh kali berputar baru waktu subuh tiba. Motif cerita yang berhubungan dengan langit juga dapat ditemukan pada mitos masyarakat Gorontalo, dimana dikisahkan bahwa raja-raja mereka berasal dari langit dan memiliki sifat suka berkelana (Tuloli, 1991: 4).
Simbol bambu dalam tradisi betena tombula tentunya berhubungan dengan sebutan China sebagai negeri tirai bambu. Tetapi dalam sejarah kebudayaan bangsa-bangsa di dunia, beberapa kerajaan di Nusantara yang memiliki cerita yang mirip dengan Buton adalah cerita Saweriding di Sulawesi Selatan, Hikayat Negeri Banjar[35], dan Hikayat Negeri Pasai. Sedangkan menurut Thompson, (dalam, Mattulada, 1990: 39; 1966, I : 205) mengatakan bahwa motif cerita yang berasal dari bambu ini juga di temukan di sekitar Irian, Kei, Indonesia bagian Timur, Batak Toba, Minahasa serta beberapa bangsa di dunia seperti India, Australia Utara, pada orang Eskimo di selat Bering, orang Carib, orang Indian Amerika Utara dan Selatan dan orang Afrika. Tentunya, perlu dipahami semangat zaman pada waktu itu. Pertanyaan yang paling penting adalah, pada zaman itu (sekitar tahun 1300) seberapa besar pengaruh kerajaan Mongol di dunia? Sehingga mampu mempengaruhi pola pikir beberapa kerajaan di Nusantara. Untuk menjawab pertanyaan ini, John Man mengatakan bahwa kekuasaan Kubilai Khan adalah lebih dari seperlima wilayah dunia yang hanya dilakukan dalam tiga generasi (Man, 2010b: 2), yaitu dari Jengis Khan sampai cucunya Kubilai Khan.
Di samping itu, masyarakat Buton sampai saat ini masih dipercaya bahwa topi dan pedang Dungkuncangia tersimpan di kraton Buton. Sedangkan di dalam masyarakat Binongko – Wakatobi masih percaya bahwa keterampilan mereka sebagai pandai besi diyakini merupakan jasa bangsa China yang mengajari mereka menjadi tukang besi. Di sisi yang lain, La Ode Abu Bakar (dalam Zuhdi 2010: 61-62) mengatakan bahwa sebutan nama Kepulauan Tukang Besi merupakan sebutan dari seorang tentara Hitu Maluku yang ditawan oleh kesultanan Buton di kepulauan tukang besi yang bernama Toluka besi bersama kira-kira tiga ratus anak buahnya.
Beberapa simbol seperti naga yang ada pada masyarakat Buton baik yang ada di bumbungan rumah tradisional mereka, maupun yang dibangun belakangan di pantai Kamali merupakan bukti betapa kuatnya pengaruh Tionghoa di dalam kesadaran dan emosi masyarakat Buton. Dan ini merupakan jejak etnis Tionghoa yang masih tetap ada dalam kesadaran masyarakat Buton, karena di samping dalam  bentuk artefak seperti itu, juga tumbuh berbagai cerita tentang hubungan dengan bumbungan tersebut dalam masyarakat Buton.
Berbagai bentuk cerita dan simbol di atas, di samping berhubungan dengan sejarah, tetapi yang lebih penting adalah pembentukan citra mengenai masa lalu bangsa Buton yang berasal dari berbagai etnis bangsa-bangsa di dunia. Ini kemudian melahirkan hukum yang kuat sebagai pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kemampuan sara dalam menjalankan hukum secara konsekuen, dimana semua manusia Buton yang multietnis tersebut sama dimuka hukum, termasuk sultan[36]. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai cerita rakyat yang mengisahkan tentang asal-usul masyarakat dalam suatu kebudayaan (Buton), bukannya untuk membongkar dan menghancurkan tatanan sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut, tetapi untuk menyadari dan memahami, mengapa kerajaan Buton harus menegakkan hukum? Hal ini disebabkan karena mereka berasal dari berbagai etnis yang berbeda di Nusantara. Di sinilah, sebenarnya upaya yang harus diperjuangan dalam memperbaiki masalah-malasah kebangsaan dewasa ini. Jika hukum tidak ditegakkan, maka berbagai masalah sosial akan terjadi dalam berbagai bentuk perwujudannya termasuk dalam melawan negara Indonesia saat ini.

E.     Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Buton memiliki kesadaran bahwa leluhur mereka (Wakaaka dan Dungkuncagia) merupakan sisa-sisa pasukan Kubilai Khan yang datang untuk menghambat laju perluasan kekuasaan Majapahit di bagian Timur pulau Jawa. Dengan demikian, terdapat jejak masyarakat Tionghoa dalam memori kolektif masyarakat Buton yang tersimpan dalam tradisi lisan mereka. Ruang memori ini, tentu sangat penting untuk memahami beberapa kerja sama yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bau-Bau dengan Korea beberapa tahun yang lalu dalam penulisan bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Di samping itu, pelaksanaan survei pengusaha China di Buton untuk pembangunan pabrik tepung Tapioka dari singkong merupakan ruang-ruang kerja sama sebagai negeri serumpun. Di sisi yang lain, kerja sama penelitian naskah-naskah Buton dengan Malaysia beberapa tahun terakhir, merupakan ruang untuk menemukan jejak Melayu di Buton. Hanya saja prinsip kerja sama harus didudukkan dalam konteks yang adil, sebagai ruang kesadaran bangsa Buton sebagai negara bangsa yang multi etnis.
Tentunya, dengan membaca kesadaran masyarakat Buton tentang masa lalunya, dan ditunjang oleh letak Buton yang strategis serta manusianya yang heterogen, maka Buton merupakan tempat strategis dalam pengembangan usaha dan kerja sama ekonomi dan politik di masa depan. Jejak Tionghoa, Melayu, Jawa, Kei, Maluku, Bugis Makassar dan berbagai etnis yang berasal dari berbagai bangsa yang ada di Buton, merupakan modal sosial bangsa Buton dan berbagai etnis tersebut dalam melakukan kerja sama di masa depan, terutama dalam pembangunan Sumber Daya Manusia dan Ekonomi, sehingga kembali terjalin hubungan kekeluargaan di masa depan sebagaimana di masa lalu. Perlu dicatat bahwa keragaman etnis hanya dapat berkembang di dalam tatanan hukum yang adil yang disepakati oleh seluruh komponen keragaman tersebut.

F.     Daftar Pustaka

Achadiati. 2001. Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Manassa-Yayasan Obor Indonesia.
Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-Pola Kebudayaan Jepang (diterjemahkan oleh Pamudji). Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
J. Van Baal. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970) diterjemahkan oleh Ipong Purnama Sidhi. Jakarta: PT. Gramedia.
Junus, Umar. 1984. Sejarah Melayu Menemukan Dirinya Kembali. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.
La Niampe. 2007. Silsilah Raja-Raja Buton. Kendari: Belum diterbitkan.
Man, John. 2010a. Kubilai Khan: Legenda Sang Penguasa Terbesar dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Pustaka Alvabet
Man, John. 2010b. The Leadership Secret of Genghis Khan: 21 Pelajaran Kepemempinan dari Sang Penakluk Paling Gemilang dalam Sejarah. Jakarta: Azakia Publisher.
Mattulada, dkk. 1990. Sawerigading: Folktale Sulawesi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nabbai, Abas. Tidak bertahun. Mutiara Buton yang Terpendam. Bau-Bau: Sebuah  catatan dari masyarakat Buton belum diterbitkan.
Ode, Salim. 2011. Sebuah Catatan Mengenai Kebudayaan Buton. Wangi-Wangi: Belum diterbitkan.
Ras, Johanes Jacobus. 1990. Hikayat Banjar (diterjemahkan Oles Siti Hawa Saleh). Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Shellabear, W.G.. 1979. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi (diterj. Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Sutrisno, Sulastrin. 1983. Hikayat Hang Tuah Struktur dan Fungsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.
Udu, dkk., 2008. Studi Teknis Benteng Tindoi. Wangi-Wangi: Laporan Penelitian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi.
Udu, Sumiman, dkk. 2007. Benda-Benda Cagar Budaya Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi: Laporan  Penelitian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Wakatobi.
Yunus, Rahim. 1995. Posisi Tasauw dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS).
Yusran, Darmawan. 2009. “Naskah dan Sejarah Kerajaan Buton serta Silsilah Raja-Raja Buton dan Muna” dalam Naskah Buton, Naskah Dunia (Prosiding Simposium Internasional IX pernaskahan Nusantara di Kota Bau-Bau. Kota Bau-Bau: Respect.
Zahari, A. M., 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) Jilid II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Zahari, A.M., 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Wana Labu Rope. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada


[1] Disampaikan dalam seminar Internasional Melayu Serumun yang dilaksanakan Oleh Universitas Hasanuddin Makassar bekerja sama dengan Universitas Kebangsan Malaysia tanggal 8-9 Juni 2011, Unhas.
[2] Dosen FKIP Universitas Haluoleo, dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Wakatobi Yayasan Udu Kolaborasi Global
[3] Kuliah kebudayaan yang di CDkan, sebagai rangkaian kuliah kebudayaan yang dibawakan oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah.
[4] Merupakan nyanyian masyarat Jawa yang mengenang perjalanan kehidupan Patih Gajah Mada (Riana, 2010).
[5] Syair kepahlawanan yang menjadi fondasi bangsa Mongolia, ini juga menjelaskan tentang perjalanan seorang Jengis Khan (Man, 2010: 5).
[6] Syair yang pada akhirnya menjelaskan tentang kenangan, impian dan proyeksi Muhamad Idrus Kaimuddin tentang masa lalu dan masa depan masyarakat Buton, Sultan Buton 29 (Zahari, 1977: 28).
[7] Berisi tentang nasihat Syeh Haji Abdul Gani, kepada dirinya, pemerintah, guru dan masyarakat Buton dan dunia tentang tata cara dan pegangan hidup(Naskah Anjonga Yinda Malusa).
[8] Merupakan Hikayat Melayu yang memuat tentang pandangan dunia Melayu, yang menurut Nesther Hikayat Hang Tuah merupakan roman yang amat penting untuk mengetahui tatacara hidup Melayu beberapa abad yang  lalu (Nestcher dalam Sutrisno, 1983: 22). Dan sutrisno memandang bahwa pandangan Nestcher merupakan pandangan yang tepat untuk hikayat Hang Tuah.
[9] Sedangkan nama Wolio sendiri memiliki arti yang berbeda, sebagaian mengacu pada kata welia atau menebas, dan ada juga yang mengacu pada kata “wo” artinya saya dalam bahasa China, dan “liong” yang artinya di sini. Yang kemudian berubah pelafalannya menjadi “wolio” (Nabbai, ? : 18).
[10] Dalam tradisi lisan Buton, mereka mengatakan bahwa Wakakaa berasal dari negeri peri yang tidak diketahui asal-usulnya, sama dengan Dungkuncangia yang merupakan raja Toбe-toбe yang kemudian bergabung dengan Wolio. Dungkuncangia merupakan ayah Waeloncugi yang merupakan istri dari Sibatara cucu Wakakaa. Namun beberapa sumber yang dikumpulkan oleh (Nabbai, 39-39) mengatakan bahwa dalam penulisan sejarah Buton terdapat beberapa perbedaan soal keberadaan Wakaaka, yaitu (1) Wakaaka itu anak raja Jayakatwang yang sudah dewasa yang sempat dibawa lari oleh Cho Cha Ching atau Kao Shing atau Dungkucangia untuk dipersembahkan kepada Kubulai Khan dalam buku Wolio Morikana oleh La ode Madu); (2) Wakaaka, dari negeri Iraq yang kawin dengan raja Sang Hai dari kerajaan Kubilai Khan. Nama Wakaaka setelah dewasa di Sanghai disebut Sri Malwi Mahrama Dewa (dalam buku Riwayat Nenek Moyang Kita, oleh La Ode Aumane); (3) Wakaaka berasal dari Turki yang pergi ke Pasai bersama Dungkuncangia (sumber lain, tidak disebutkan oleh Abas Nabbai); (4) Wakaaka berasal dari negeri Yastrib atau Madinah, ibunya sepupu satu kali dengan Rasulullah SAW dari Bani Hasyim bernama asli Musarafatul Izzati Al Fakhiri (dalam buku Sejarah Negeri Buton karya La Ode Ircham); (5) Wakaaka ditemukan oleh Sangia Langkuru dalam bulu gading dan disebut putri kahyangan atau putri peri (Zahari, 1977).
[11] Beberapa kerajaan di Nusantara memiliki cerita yang sama bahwa raja mereka yang pertama adalah terlahir dari bambu, misalnya yang terdapat di dalam Hikayat Negeri Pasai (Shallebear, 1979). Ini dapat dipahami sebagai semangat zamannya, dimana kebudayaan masyarakat saat itu menemukan sesuatu yang besar di luar dirinya. Dan aspek yang berpengaruh di luar diri manusia tersebut adalah pohon bambu, atau ini mungkin memiliki hubungan dengan kebesaran China di masa lalu.
[12] Taalami mengatakan bahwa pemberian nama Hikayat Negeri Buton diambil dari salah satu kalimat yang ada di dalam teks Hikayat Negeri Buton (Akhadiati, 2001) dan (Wawancara, dengan La Ode Taalami tanggal 9 April 2011, pukul 09:10).
[13] Bambu tumbila, merupakan jenis bambu yang besar tetapi tipis.
[14] Dalam kehidupan masyarakat Buton dewasa ini, etnis Buton yang memiliki wajah dan kulit sebagaimana dikatakan oleh Siradjudin Djarudju di atas, masih ditemukan pada etnis Wabula di Pasar Wajo atau Daoa Wajo.
[15] Si Panjongan adalah kepala rombongan masyarakat Buton yang berasal dari Johor bersama anggota keluarga dan handitolannya mereka mendarat di Buton dan sudah disambut oleh masyarakat di beberapa kerajaan yang telah ada sebelum kerajaan Buton.
[16] Ini disebabkan oleh memori si pencerita, atau bisa jadi karena di dalam tradisi lisan, ruang komposisi dapat saja di pengaruhi oleh konteks penceritaan, sehingga variasi cerita betena tombula lebih kaya di dalam tradisi lisan.
[17] Tokoh Dungkucangia, menurut cerita orang-orang tua Buton berasal dari China, yaitu sama dengan asal-usul Wakaakaa yang terlahir dari dunia peri yang menjelma di dalam pohon bambu (Naskah silsilah Buton dengan nomor di KTLV 178/Jawi/19/43 R. 3.25).
[18] Diposting tanggal 9 April 2011, pada blog Buton Raya, hal ini dibenarkan juga oleh Agus Risdianto yang mengatakan bahwa Dungnchangia adalah panglima perang bangsa Mongol.
[19] Sehubungan dengan nama ini, (Nabbai hal. 22) mengatakan bahwa Dungkuncangia merupakan satu satu dari tiga jenderal yang diutus oleh Kubilai Khan, yaitu Sihpi, Ikamase, Kau Hsing (dalam sejarah Buton  ditulis Kao Cing atau Khun Khan Ching) atau Dungku Cangia atau dalam juga di tulis dengan nama Dung Kung Sang Hiang artinya panglima perang.
[20] Nabbai, (hal, 26) kemudian menjelaskan bahwa Dungkuncangia berlayar ke timur mengikuti angin barat dengan perahunya bersama pasukannya laki dan perempuan dan mereka mendarat di Buton selatan yang sekarang disebut Wabula. Dalam pelayaran itu, mereka membawa bendera ula-ula atau tombi pagi yang kemudian menjadi bendera kebangsaan Buton sampai sekarang.
[21] Di  dapatkan dari cacatan Salim Ode, S.Sos, yang berisi tentang sejarah Buton, yang konon kabarnya di tulisnya dari apa yang didengarnya sejak kecil.
[22] Dalam cerita rakyat Wa Surubaende, dikatakan bahwa masyarakat Wangi-Wangi berasal dari masyarakat Kei di Maluku Selatan (Wawancara dengan Wadamusa, 2007). Dan dalam Masyarakat Key, juga mengakui bahwa mereka bersaudara dengan masyarakat Buton, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Mariana (Wawancara, tanggl 11 April 2011) bahkan Imran mengatakan bahwa ketika mengajar di Werinama, seorang dokter dari Kei memberikan pelayanan yang khusus untuk pasien yang berasal dari Buton.
[23] Tentunya, ini sangat bertentangan dengan sejarah Majapahit yang melakukan pembunuhan terhadap tentara Tar-Tar pada acara perjamuan penerimaan hadiah berupa putri Tumapel tersebut (Muljana, 2005: 200). Namun, jika melihat kesadaran dan memori orang Buton, maka jelaslah tergambar bagaimana mereka memiliki pandangan dunia bahwa ada hubungan kekerabatan yang erat antara Buton dengan etnis Tionghoa.
[24] Dalam buku John Man mengenai Kubilai Khan, tidak menguaraikan peristiwa ini, namun melukiskan kekacauan diberbagai negeri sebagai akibat melemahnya dan meninggalnya Kubilai Khan.
[25] Togo Motondu merupakan salah satu kerajaan yang wilayahnya sekarang meliputi daerah Lasalimu dan Pasar Wajo sekarang. Dalam tradisi lisan Togo Motondu dijelaskan bahwa negeri itu dilanda oleh air bah yang besar. Ini merupakan ingatan kolektif masyarakat Buton tentang patahan lempeng bumi yang pernah menghancurkan satu kerajaan.
[26] Kerajaan Tindoi merupakan kerajaan yang paling tua di Wakatobi jika dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa keramik yang ada, bahwa di Benteng Tindoi, belum ditemukan keramik, sementara sisa-sisa kehidupan manusia masih berupa kulit kerang dan gerabah, jika dibandingkan dengan beberapa benteng yang lain di Wakatobi sudah ditemukan beberapa keramik (Udu, dkk. 2008).
[27] Perkawinan Batara guru dengan Wa Eloncugi
[28] Asal-usul kedua Wakaaka dan Dungkuncangia di dalam tradisi lisan maupun naskah Buton dikenal berasal dari negeri peri atau kahyangan, ini dapat dihubungkan dengan kerajaan Kubilai yang mengangkat dirinya sebagai putra langit dan mengambil nama Yuan untuk nama dinastinya (Bdk. dengan Muljana, 2005: 153).
[29] Untuk kepentingan menghidupkan kembali memori mereka tentang budaya Buton masa lalu, generasi Buton yang bergabung dalam dunia maya Grop Buton Raya membicarakan konsep Tarian Balaba dan Syair kaбanti sebagai ruang rekulturasi budaya Buton, dimana Tarian Balaba sebagai ruang melatih fisik anak-ana Buton dan syair kaбanti sebagai ruang konstruksi pikiran dan jiwa anak-anak Buton, seperti halnya dalam tradisi Jepang yang menggabungkan semangat pedang samurai dan bunga seruni sebagai energy dalam pembangunan bangsanya.
[30] Dalam Kesultanan Buton mengenal tiga bangsawan Buton yang dikenal dengan konsep kamboru-mboru tolu palena yang terdiri dari Tapi-Tapi, Tanailandu dan Kumbewaha. Konsep kamboru-mboru tolu palena menurut saya merupakan tiga golongan bangsawan yang cenderung bekerja sebagai partai politik saat ini yang bertugas untuk mengusung calon sultan dari kaumnya. Dari 31 Sultan yang jelas keberadaannya dalam kamboru-mboru tolu palena maka Tanailandu mempunyai 14 orang Sultan, Kumbewaha 10 Sultan, 3 orang Sultan dari Tapi-Tapi (Zuhdi, 2010: 333-334).
[31] Kapitan Waloindi merupakan salah seorang tokoh yang berkuasa di Binongko dan melakukan peperangan terhadap Wolio. Konon kabarnya, Waloindi merupakan turunan dari orang sakti itu, dan kemudian diyakini oleh orang Binongko sebagai tokoh sejarah nasional yang dikenal sebagai Patimura di Maluku.
[32] Dalam tradisi lisan masyarakat Minahasa, nenek moyang orang Minahasa adalah Toar Lumimuut juga lahir di dalam bambu. Namun dalam tradisi yang lain, masyarakat Minahasa juga mengatakan bahwa mereka juga adalah turunan Marinir Kubilai Khan (Djarudju dalam Yusran, 2005: 136).
[33] Tahun 2004 yang lalu bersama rombongan, saya menuju kuburan Gajah Mada dengan dituntun oleh masyarakat Lokal dan kuburan itu berada di tengah hutan yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sirajuddin Djarudju menambahkan bahwa di dalam buku IPS Sejarah Penlok P3G di Pandaan Jawa Timur tahun 1901, ada yang pernah mengatakan bahwa Gajah Mada meninggalkan tiga amanah di tiga tempat yaitu Surakarta, Surabaya, dan satunya berada di luar pulau Jawa yang hingga sekarang belum diketahui, maka menurut Sirajuddin, bahwa itu adalah Surawolio, “sura” artinya “amanah” (Djarudju dalam Yusran, 2009: 137).
[34] Materi kuliah Umum Kebudayaan yang berhasil di CDkan. Pada bagian ketiga dengan judul “Konstruksi Budaya atas Realitas” mengatakan bahwa kesenian merupakan ruang konstruksi budaya dalam suatu masyarakat.
[35] Dalam Hikayat Negeri Banjar, Raja Iskandar menikah dengan putri dari Kahyangan yang bernama Dewi Ratna Kusuma Puteri Batara Bisnu (Ras, 1990: 23).
[36] Sultan La Cila atau Oputa Igogoli merupakan salah satu contoh penegakan hukum yang pernah terjadi di Buton. Karena Sultan terbukti memngganggu istri pejabat kerajaan, dan di dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Mardan Ali di hukum karena tidak mau menghukum orang-orang Buton yang pernah membunuh Belanda dari Sultan Ternate (Mandarsyah), tetapi Mardan Ali tetap bersikukuh untuk tidak melakukan hukuman (Yunus, 1995: 40), maka akhirnya ia jatuhi hukuman mati tanpa memandang bulu (Zahari, 1977: 30). Untuk mengabadikan penegakan hukum tersebut, kemudian Sultan La Cila disebut dengan Oupta I gogoli.