bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Selasa, 31 Mei 2011

TATA CARA PEMILIHAN DAN PELANTIKAN SULTAN BUTHUUNI

OLEH :MUSRIFI DE LA IFI

 

Setiap kelompok masyarakat dimanapun berada senantiasa mempunyai pandangan (filosofi) dalam kehidupan.  Filosofi ini berlandaskan keyakinan yang dianutnya baik itu agama bumi maupun agama langit (samawi).   Nilai - nilai  kearifan ini tidak saja terpandang sebagai suatu ide tetapi selanjutnya diwujudkan dengan hasil karya nyata baik dalam kehidupan secara pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.


Sultan, Sapati, Kenepulu, Kapitalau, Bonto Ogena, Siolimbona, Bobato, Bobato Siolipuna, Bobato Bana Meja, Bobato Mancuana yang terhimpun dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buthuuni, wilayah dan kekuasaannya telah berakhir ketika pemerintahan swapraja ditiadakan tahun 1960.  Namun dalam perspektif budaya kebesaran dan kewibawaan tatanan pemerintahan masih dibutuhkan pada era otonomi daerah dewasa ini.  Pangka – demikian sebutan bagi pejabat tinggi Negara yang bertindak sebagai pimpinan tradisional dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buthuuni ketika itu sudah jarang terdengar dan nama itu sudah tidak bersahabat lagi dengan keseharian kita.  Sayang nama jabatan terhormat dan sacral pada masa lalu ini terancam menghilang dari memori kolektif dan perbincangan kita sehari-hari.  Nama-nama jabatan tersebut sudah asing ditelinga kita dan bahkan pengalaman kolektif ini sudah tidak dikenal lagi dikalangan generasi muda.

Berdasarkan arsip dan naskah Kerajaan/Kesultanan Buthuuni (baca Buton) adalah sebuah kerajaan yang berdaulat yang berdiri pada pertengahan abad ke 13 dan mengubah status pemerintahannya menjadi Negara Kesultanan pada tanggal 1 Ramadan tahun 948 H (1540 M) ketika itu agama Islam resmi diterima sebagai agama Negara.  Dari sumber-sumber berupa kabenci - kabenci (naskah-naskah) dan tula-tula (oral tradisional) yang tersimpan dalam berbagai bahasa dan versi menorehkan berbagai informasi keagungan dan kejayaan Kerajaan/Kesultanan Buthuuni di masa lampau.

Kabe-kabenci (naskah-naskah) dan tula-tula (oral tradisional) yang diwariskan secara turun temurun dari generasi generasi menorehkan berbagai informasi seperti masalah perundang-undangan, system dan struktur pemerintahan, tata aturan bernegara dan bermasyarakat kepemimpinan dan lain-lain yang dapat dikatagorikan sebagai sumber kekayaan sejarah Kerajaan/Kesultanan Buthuuni.  Melalui kabe-kabenci itu diketahui bahwa Wolio – Buthuuni (Buton) adalah sebuah Negara modern awal telah menyusun struktur pemerintahan, pembagian wilayah pusat dan daerah yang memiliki kedaulatan selama kurang lebih 7 abad lamanya, telah memerintah 6 orang raja dan 37 orang sultan.

Wilayah kekuasaan Kerajaan/Kesultanan Buthuuni terdiri dari pusat dan daerah dengan pusat pemerintahan adalah Wolio (sekarang Kota Baubau) dan daerah kekusaaan terdiri dari Barata dan Kadie yang meliputi gugusan kepulauan dikawasan bagian tenggara jazirah Sulawesi Tengggara yang terdiri dari Pulau Buthuuni ( Buton ), Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau-Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Pulau Makassar, Pulau Kadatua, Masiri, dan Pulau Siompu, Pulau Talaga Besar, Pulau Talaga Kecil, Poleang, Rumbia, Pulau Wawonii, Pulau Wanci, Pulau Tomia dan Pulau Binongko.  Dari keseluruhan wilayah terdapat 72 Kadie dan 4 wilayah Barata.  Adapun empat wilayah barata adalah Barata Tiworo, Barata Kolencusu, Barata Muna dan Barata Kaedupa.

Periode pemerintahan dimulai sejak Raja Pertama Wa Kaa Kaa sampai dengan Sultan La Ode Muhammad Falihi sebagi Sultan terakhir wafat tahun 1960.  Memasuki periode pasca kemerdekaan, kecemerlangan budaya Wolio Buthuuni mengalami stagnasi seiring dengan terpaan gelombang modernisasi pada era global, budaya Wolio Buthuuni semakin terkikis secara perlahan terlupakan dan akhirnya menuju ambang kemunduran.  Ditengah kemunduran itu kebudayaan Wolio Buthuuni masih menyisahkan kebesarannya untuk menjadi acuan dan pedoman dalam rangka kebangkitan kembali untuk itu kebudayaan Wolio Buthuuni perlu di dorong dengan berbagai kegiatan seperti penataan kelembagaan, melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah serta menulisan sejarah dan budaya guna merekontruksi kembali nilai-nilai kearifan sejarah dan kebudayaan Wolio Buthuuni.

Dari keseluruhan wilayah terdapat 72 Kadie dan 4 wilayah Barata.  Adapun empat wilyah barata adalah :
Barata Muna, pusatnya di Raha
Barata Tiworo, pusatnya di Tiworo
Barata Kolengcusu pusatnya di Kolencusu
Barata Kaedupa pusatnya di KaLedupa

Nama Buthuuni berasal dari  bahasa Arab yaitu Bathniy yang berarti   “ perut yang mengandung rahasia “. Buthuuni atau Bathniy  yang langsung diberi nama atau dicanangkan  oleh Nabi Muhammad sebagaimana diriwayatkan sebagai berikut (kata yang empunya cerita)  :
“ Pada tahun III Hijiriah atau tahun 624 M, Nabi Muhammad SAW setelah mengerjakan shalat Subuh berjamaah bersama-sama para Sahabat dalam mesjid beliau di Madinah seperti biasa selesai mengerjakan shalat tidak langsung pulang kerumah tetapi mendengarkan nasehat dari Rasulullah SAW tentang segala hal yang menyangkut Islam.  Tiba-tiba terdengar oleh mereka suara dentuman sebanyak tiga kali berturut-turut, lalu salah seorang sahabat bertanya “ Ya Rasulullah suara apakah itu ? Rasulullah SAW menjawab : “ Sesungguhnya suara yang baru kita dengar tadi adalah jauh dari sebelah masariki ada gugusan tanah yang telah lama muncul dari permukaan laut untuk memperkenalkan dirinya kepada dunia, sedang menurut ramalanku bahwa  manusia yang menjadi penghuni negeri itu sebagian besar akan mengikuti seruanku yaitu beriman dan taqwa kepada Allah SWT. Oleh karena itu sebelum kita didahului oleh bangsa lain untuk menginjakaan kakinya pada kedua negeri itu lebih baik kita yang dahului. Pada tahun VII Hijriah dalam suatu pertemuan keluarga ( Ahlul Bait ) Muhammad Rasulullah yang dihadiri oleh Sadina Ali bin Abithalib bersama Fatimah Az Zahra, Rasululullah mengutus dua orang dari Ahlul Bait (Bani Hasyim) untuk mencari negeri yang dimaksud yaitu Abdul Gafur dan Abdul Syukur.  Rasulullah berpesan kepada kedua utusan tersebut: Bawalah kedua bendera ini dan pasanglah pada tiap-tiap negeri yang dijumpai. Sebagai bukti yang menunjukkan penemuanku. Perlu dimaklumu bahwa hakekat dan rahasia isi hatiku pada kedua negeri dimaksud sangat erat dengan keadaanku baik dalam bathiniah maupun dalam lahiriah dan ini adalah satu  titipan sepeninggal ku nanti sebagai pusaka dari ku untuk kuwariskan kepada generasi penerus yang menjadi penghuni kedua negeri tersebut.  Karena dari Mekah, Medinah dan kedua negeri yang dimaksud adalah Empat negeri yang akan kusesuaikan dengan susunan rangkaian namaku Muhammad yang empat hurufnya akan kujadikan pula menjadi hakekat rahasia yang terkandung dalam tiap-tiap huruf namaku menjadi nama keempat negeri yang dimaksud yaitu : Mekah, Medinah dan kedua negeri yang akan dicari oleh saudaraku-saudara utusanku.

Kemudian Rasulullah bersabda lagi yang artinya :
Karena menurut rahasia hatiku adalah :
1. Mekkah itu ku tamsil ibarat Kepalaku dan makam hakekatnya di kandung huruf Mim awal dari   rangakaian huruf namaku Muhammad.
2. Medinah itu ku tamsil ibaratkan Badanku dan makam hakekatnya di kandung huruf Ha dari rangkaian huruf namaku Muhammad.
3. Dan tanah yang mula-mula di jumpai oleh saudara-saudara utusanku adalah ibaratkan perut  dan kunamai dia Bathniy artinya perutku makam hakekatnya dikandung huruf Mim akhir dari rangkaian huruf namaku Muhammad.
4. Sedangkan tanah terakhir yang dijumpai adalah kutamsil ibaratkan kedua belah kakiku yaitu Rijalaany dan makam hakekatnya di kandung huruf Dal dari rangkaian huruf namaku Muhammad dan kunamai dia Munajati.

Selanjutnya Rasulullah bersabda yang artinya :
Menurut hakekat rahasia keyakinan hati ku kedua negeri tersebut ku tamsil dia masing-masing Bathniy dan Rijalaany.  Mekkah itu menurut rahasia keyakinan isi hatiku adalah ku tamsil ibaratkan kepalaku dan bahwa tiap-tiap kepala manusia mengandung sesuatu makam Dimaqha namanya.  Di Maqha inilah letaknya Makkah itu yang ku rangkaikan dengan Huruf Mim awal dari rangkaian huruf nama ku.  Di Mekkalah mulai terbuka pikiranku untuk memperjuangkan kebenaran Islam sesuai dengan petunjuk Allah SWT.  Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “ Walmakkiyah wara’suukal miimil awali alaa suuratil Muhammad “.  Artinya : Mekkah itu adalah kepalaku huruf mim awal dari rangkaian namaku Muhammad.

Begitu pula dengan Yatsrib atau Madinatun nabi ( kota nabi ) adalah ku tamsil ibaratkan badan ku karena dalam badan/dada manusia itu merupakan suatu maqam yang mengandung hati dalam hakekatnya di kandung huruf Ha dari rangkaian huruf nama ku Muhammad.  Rasulullah SAW bersabda : “ Almadaniyah wal badaanu kal alaa suurati Muhammad “.  Artinya : Madinah itu adalah dada ku huruf Ha dari rangkaian huruf nama ku Muhammad dan ku tamsil ibaratkan dadaku.

Lebih lanjut Rasulullah bersabda yang artinya :
Dan di Medinah inilah saya mengumpulkan semua kekuatan, pikiran dan tenaga dengan tulus dan ikhlas karena Allah SWT bersama para sahabat dan pengikut-pengikut ku baik dari kaum muhajirin maupun kaum Ansyar untuk mempertahankan kemegahan Islam yaitu agama yang besar disisi Allah SWT.

Kemudian Rasulullah bersabda lagi yang artinya : “ Demikian pula negeri yang dijumpai, saya namai Bathniy atau perut ku, karena semua yang masuk dalam perut itu sebagian melalui jantung.  Itulah sebabnya saya namai Bathniy sebab di negeri itu merupakan hazanah bagi ku untuk ku jadikan perbendaharaan penyimpanan hakekat rahasia agama yang kuperjuangkan dan mengenai hubungannya dengan Allah SWT sebagaimana dalam hadist yang berbunyi : “ Wal bathniy kalmiymits tsaani alaa suurati Muhammad “. Artinya : Bathniy adalah negeri huruf Mim kedua dari rangkaian nama ku Muhammad dan ku tamsilkan ibaratkan sebagai perut ku.
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda :
Sedang negeri terakhir yang di temui  ku tamsil ibaratkan kedua belah kaki ku dan ku namai Munajat.

Rasulullah bersabda : “ Wal munajat rijaalaniy kal dal alaa suuratin Muhammad “. Artinya : Dan Munajat nama negeri Muna adalah huruf  Dal dari rangkaian namaku Muhammad dan kutamsil ibaratkan sebagai kedua kakiku.
Pada pertemuan  Mekah yang dihadiri oleh dua belas bendera.  Pertemuan ini dilaksanakan dua tahun sebelum Rasulullah wafat yang disebut  pertemuan Furuhaderana.  Dua pokok penting yang diuraiankan Nabi Muhammad SAW dalam pertemuan yang ada hubungan dengan Buthuuni  adalah :
a. Dua bendera atau dua Negara yang nantinya akan menjadi bangsa yang besar yaitu : wilayah Magribi (Barat) akan dikuasai oleh bangsa Inggiris dan wilayah Masyariki (Timur) akan dikuasai oleh bangsa Belanda. Hal ini dikarenakan kedua negri itu merupakan turunan dari Nabi Ibrahim as.
b. Akan ada pertemuan lanjutan dari pertemuan ini karena belum hadirnya utusan bendera wilayah Timur (bangsa Masyariki).  Kelak nanti yang mewakili negeri Masyariki itu bernama Buthuuni.  Penghuni negeri itu akan didiami oleh para ulama dan Aulia Allah yang mewarisi  ilmuku  walaupun  mereka itu tidak langsung mendengar ajaran dan ucapan yang keluar dari mulutku tentang keyakinan agama Islam yang murni dan negeri itu bernaung pada kebesaran bendera/payung warna kuning.

Hal yang sama Kerajaan  Majapahit mengenal Kerajaan/Kesultanaan Butuuni dengan nama  Buthuuni sebagaimana dalam buku Kakawin Negara Kertagama yang dikarang oleh Empu Prapanca pada tahun 1364/1365 Masehi.  Pada buku ini Kerajaan Butuuni disebut dua (2) kali, yaitu : pada Pupuh XIV No.5 berbunyi “ ... Yang dimaksud  dengan kesatuan Nusantara adalah Makassar, Buthuuni, Banggai, Kusir, Galian serta Selayar.  Sumba, Solor, Muar, lagi pula Wanda Ambon, Wanin, Seram Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain”.  Sedangkan pada Pupuh LXVII disebutkan “ ... Desa Keresian  seperti berikut : Sampud, Rupit, dan Pilan Puncangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun.  Disitulah terbentang taman, didirikan Lingga dan saluran air.  Yang Mulia Maha Guru – Demikian sebutan beliau ... “.

Sedangkan dalam risalah perjalanan Ibnu Batuta Kerajaan/Kesultanan Wolio – Buthuuni dikenal dengan Negeri Tawalisi (Negeri Kedamaian).  Dalam risalah tersebut diceritakan :” ...... dalam perjalanan Ibnu Batuta pada tahun 1237 tiba disebuah Negeri yang disebut Negeri Tawalisi yang dipimpin seorang Raja perempuan yang bernama Zamzawiah yang mahir berbahasa Parsi....”

Kemajuan suatu daerah/negara tentunya tidak lepas dengan  kepemimpinan.   Seorang pemimpin tidak hanya mengatur bagaimana  agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam komunitas yang dipimpinnya, tetapi juga memberi arah kemana seharusnya melangkah. Oleh karena itu agar dapat menjalankan kedua fungsi tersebut seorang Pemimpin tidak hanya mempunyai kecakapan dalam memimpin tetapi juga harus mempunyai legitimasi baik secara cultural maupun secara structural. Lantas Bagaimana Kesultanan Buhtuuni di dalam memandang dan menetapkan seorang Pemimpin/Sultan?

Pembentukan Kesultanan Buthuuni didasarkan atas nilai-nilai ajaran agama Islam (Sifat Dua Puluh dan Martabat Tujuh). Wilayah kesultanan terbagi atas 4 (empat ) Barata yaitu; Barata Muna, Barata Tiworo, Barata Kolencusu dan Barata Kaedupa dan 72 (tujuh puluh dua) kadie/daerah. Tujuh Puluh Dua kadie/Daerah diambil dari kiasan itikad dari kaum yang 72 ( tujuh puluh dua ) sebagaimana Al Quran dan Hadist mengatakan bahwa pada suatu zaman adalah suatu Negara terdiri atas 72 kaum dan hanya 2 (dua ) kaum yang teguh beriman kepada Allah SWT. Selainnya 70 kaum lemah kepercayaannya terhadap Allah lantaran dipengaruhi oleh hawa nafsunya sehingga mereka menjadi khianat, syirik dan munafik. Sedangkan struktur masyarakat Butuuni secara garis besar terdiri dari 3 (golongan) yang disebut Kabumbu Taluanguna, yaitu :

    Kaumu ( Lalaki / Ana ) yang di tamsilkan sebagai Nurullah
    Walaka ( Ama )  yang di tamsilkan sebagai Nur Muhammad
    Papara ( Rakyat ) yang di tamsilkan sebagai Nur Adam

Demikianlah dalam masyarakat Kesultanan Buthuuni memandang seluruh masyarakat didasarkan atas dasar hakikat hidup Insan, yaitu kesatuan dan persatuan di dalam proses perwujudan kemanusian.  Didalam Insanul Kamil dikatakan :  Hakikat shalaati fi insani, Hakikat Insani fi ain saabita dan hakekat ain sabita fi nokta (titik/hatullah).  Hayatullah merupakan sinar ketetapan makhluk dan melalui proses 4 (empat ) alam barulah manusia wujud.  Bahwa dengan dasar inilah menjadikan manusia berusaha dan mengatakan kembali asal kejadian dirinya melalui shalat 17 rakaat dan 5 waktu sehari semalam.  Atas dasar ini pula dari tiga golongan dalam masyarakat kesultanan Buthuuni yaitu : Lalaki, Walaka dan Papara bagaikan perpaduan antara Zat, Sifat dan Asma (wujud ).

Pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin, Sultan ke IV disepakati dalam musyawarah Sara yang mempunyai hak menjadi Sultan Buthuuni adalah Golongan Kaumu yang terdiri dari Kamborumboru Talupalena “ Tiga Tiang Pancang “ yaitu Kaumu Tanalaindu ditamsilkan dari Bani Hasyim turunan dari Laelangi, Kaum Tapi-Tapi ditamsilkan Bani Abbasia turunan dari La Singga dan Kaumu Kembewaha ditamsilkan Bani Umaya turunan dari La Bula. Kamborumboru Talupalena “ Tiga Tiang Pancang” dalam golongan Lalaki (Kaumu), berakar pada Bumbunga Sioanguna (Siolimbona) golongan Walaka (Ama/Bapak).

Keberadaan  tiga cabang golongan Kaumu (Lalaki) yang kemudian menyebabkan proses penentuan Sultan/Pemimpin di Kesultanan Buthuuni agak berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain.  Biasanya Sultan ditetapkan berdasarkan putra mahkota/garis genetic maka di Kesultanan Buthuuni seorang Sultan ditetapkan melalui proses pemilihan yang dilakkukan oleh Bonto Siolimbona dari Galongan Walaka   (Ama/Bapak ) yang mewakili sembilan Daerah yaitu : Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona Gundu-Gundu, Bontona Barangkatopa, Bontona Gama, Bontona Siompu, Bontona Wandailolo, Bontona Melai dan Bontona Rakia. Dengan kata lain seorang putra Sultan tidak secara otomatis menjadi Sultan.

Adapun kriteria seorang untuk menjadi Sultan Buthuuni adalah berasal dari Golongan Kaum (Lalaki) Kamborumboru Talupalena, Laki-Laki, sehat jasmani dan rohani, memiliki Sifat-sifat Nabi Muhammad yaitu Bersifat Sidik (benar dan jujur dalam segala hal, rela berkorban dijalan kebenaran, tak boleh berbohong); bersifat Tabliq (menyampaikan segala perkara yang memberi manfaat terhadap kepentingan umum, tak boleh  menyembunyikan sesuatu maksud); bersifat Amanah (mempunyai rasa kepercayaan terhadap umum, tak boleh mempertukarkan sesuatu hal sehingga pendengaran tidak sesuai bukti atau perasaan); bersifat Fatanah (fasih lidah dalam berbicara). Selain dari pada syarat-syarat tersebut seorang calon Sultan maka wajib juga memiliki sifat-sifat Ketuhanan, yaitu : bersifat Hiyaat, Ilmu, Kodrat, Iradat, Basyar, Sama’a dan bersifat Kalam.

Kriteria tersebut di atas  merupakan adat mufakat  Sara Kesultanan Buthuuni karena yang menjadi penghulu atau kepala dari rakyat atau masyarakat Buthuuni bergelarlah ia Sultan yang mempunyai hukum kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan dalam daerah kesultanannya.   Sebab itu menurut adat mufakat yang bergelar Sultan itu diteladankan sebagai Khalifatullah (Penggati Tuhan) sesuai kata Ulama Tahkiq : “ Assulthaani Khalifatullah Fil Ardhi artinya :“ Sultan itu pengganti Tuhan di Bumi.  Dengan pemahaman bahwa Sultan menerima bayang-bayang wajibul wujud sebagai mazhar yang bersemayamnya bayang-bayang kenyataan Sifat ke-Tuhan-an. Sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran Surat Al baqarah ayat 30 yang Artinya : Dan ingatlah (ketika Tuhanku) berkata kepada para malaikat .  Sesungguhnya aku akan menjadikan seseorang wakil (khalifah) di muka bumi. Dan Surat Hadid ayat 5 yang artinya : Dan Dialah (Tuhan) yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan  sebagian (yang lain ) beberapa derajat.

Oleh karena itu nama Sultan itu di Kesultanan Buthuuni diteladankan atas hakikat khalifatullah  maka diwajibkan kepada Sultan menerima bayang-banyang Wajibul Wujud yang sempurna sifat ke-Tuhanan-nya.  Sebab itu diwajibkan atas seorang yang layak menjadi Sultan mempunyai dua sifat dalam hakikat kesempurnaan ke Sultanannya karena tepat menerima bayang-bayang wajibul wujud yaitu :
1.  Sifat kesempurnaan wajibnya
Diwajibkan atas seorang yang layak diangkat jadi Sultan asal usul bangsa keturunan Sultan, yaitu dari Kamboru-mboru Talupalena. atau Golongan Kaumu ( Lalaki / Anak ).
2.  Sifat kesempurnaan wujudnya
a. Sifat kesempurnaan badan lahirnya :
- seorang laki-laki yang sempurna panca indranya (anggota tubuhnya tak ada cela atau kekurangan)
b. Sifat kesempurnaan badan batinya
    - kecerdasan akal atau hikmat
    - kecerdasan perasaan budi atau akhlaq kesopanan

Sifat kesempurnaan badan batin inilah yang utama karena ialah yang menjadi sendi dasar karena ia menjadi sumber dari sifat kesempurnaan badan lahir.  Atas sifat kecerdasan perasaan budi atau akhlaq kesopanan maka terbayanglah pada perasaan dan pada pemandangan masyarakat pada umumnya  beberapa sifat kelebihan dan sifat kemuliaan atau sifat keutamaan manusia yaitu perangai atau tabiat , budi pekerti yang utama, tingkah laku yang sopan santun, ramah tamah pergaulannya,manis tutur bahasanya cinta kepada orang banyak dan dicintai oleh orang banyak.  Sifat-sifat yang suci atau akhlaq kesopanan yang utama inilah yang menjadi penilaian dan yang ditilik oleh Bonto Siolimbona dalam diri seorang bangsa Kaumu (Lalaki) diantara ketiga kamboru-mboru talupalena (Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha) yang mana bakal dicalonkan menjadi Sultan.

Oleh karena sifat-sifat kemuliaan batin inilah maka Pemimpin di Kesultanan Buthuuni digelari Sultan karena dapat mencapai nama ISMURRAHMANI serta timbullah dari kalbi nuraninya SIFATURRAHMAANI yang meliputi ( melengkupi sekalian  wujudnya ), yaitu cinta sejati yang sempurna berdiri dengan adil rahmatnya.  Sebagaimana Firman Allah : “ Wallahu alaa kulli syai’in muhyt “ artinya : dan Allah meliputi segala wujud keadaan “. dan firman Allah :  artinya : Kemana engkau hadapkan mukamu disanalah wujudnya Tuhan.  Oleh sebab itu apa-apa yang berlaku pada diri seorang Sultan Buthuuni benar-benar beserta Allah SWT.
Sebab itu diwajibkan atas diri Sultan mewujudkan dua kelakuan atas dirinya yang menunjukkan keadilan hukum kekuasaanya yang sesuai dengan nama ISMURRAHMANI, yaitu :

1.  Sifat Rahman ( cinta sejati ) menimbulkan 2 sifat yaitu :  
a. Berjihad dan berkorban di medan alam kebatinan agar supaya hamba/rakyat sama merasahkan nikmat kebahagiaan batin dan jiwanya.
b. Berjuang dan berkorban di dalam lahir untuk kesejahteraan masyarakat yang menerima bayang-bayang wajibul wujud yang mencapai ISMURRAHMANI itu adalah berpedoman kata ulama “ Suhudu kasarat fil wahda, suhudu wahda fil kasarat “ artinya : Menilik yang banyak didalam yang satu dan menilik yang satu didalam yang banyak.

2.  Sifat keadilan sejati menimbulkan 2 sifat perbuatan, yaitu :
a.      Mematutkan amal dan jasa (pahala) atas hamba rakyatnya yang menurut titah dan mengikuti itfak kebajikan adat istiadat negeri sebagaimana  firman Allah : “ Faman ya’mal miskaala zarratin khairan yara (S. Al Zalzalah : 7) artinya : “ Barang siapa berbuat baik walau sebesar zarrah sekalipun akan diperlihatkan ganjaran kebaikannya.
b.   Menuntut hukuman atas hamba rakyatnya yang berbuat jahat yang menyalahi adat atau itfak kebajikan negeri serta diberi ganjaran yang sepadan atasnya. sebagaimana firman Allah dalam surat Al Zalzalah :8 “ Waman ya’mal zarratin syarran yarah” artinya : “ Dan barang siapa beramal jahat walaupun setimbang zarrah sekalipun diperlihatkan juga ganjaran kejahatan yang sepadan atasnya.

Sifat keadilan sejati inilah seorang sultan mengambil dasar atas firman Allah “ Fa’aalun lima yurydu, “ artinya : “Tuhan berbuat sekehendaknya dengan adil” serta firman Allah : “ Innal laaha yadzlimu miskaala zarratin artinya; “ Sesungguhnya Tuhan tiada menyesatkan atau menganiaya walau setimbang zarrah sekalipun.” (surat Annisa ayat : 40).  Cinta sejati dan keadilan suci inilah yang berdasarkan firman Allah pula “ Laa ilaaha kaimun bilkisti “ artinya : Tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah yang sempurna berdiri dengan adilnya.  Dan dengan sifat-sifat yang suci ini Sultan di Kesultanaan Buthuuni bergelar juga “ Ulil Amri “ ( kepala atau penghulu agama Islam ).

Oleh karena khalifatullah menerima bayang-bayang wajibul wujud dan meneladankan segala sifat-sifat kesempurnaanya maka hamba rakyat dengan sendirinya takluk cinta kasih kepada pemimpinnya serta sujud sembah menurut  titahnya karena yakin dan percaya akan firman Allah : “ Atiy ul laaha wa atiy ur rasulli wa ulil amri minkum,” artinya : Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan turutlah perintah penghulu atau pemimpin-pemimpinmu. (An Nisa : 59). dan Firman Allah  Fain Tahaa za’atum fiy sya’in faruddu illahu warasulli inkuntum mu’minina billahi walyaumil akhiri artinya : “ Dan sekiranya kamu berbantahan tentang suatu hukum atau urusan hendaklah kamu kembalikan kepada Tuhan  dan kepada Rasul, jika memang kamu beriman kepada Allah dan percaya akan hari kemudian.  Demikian pula yang bergelar ulil amri setiap tindakan dalam menjalankan pemerintahan harus  pedoman atas firman Allah : “ Wa amrihim syuura basnahun, artinya : segala pekerjaan mereka bermusyawarah.  Tujuannya supaya segala keputusan sesuatu hukum diperoleh sesudah musyawarah.  Dan keputusan musyawarah tetap teguh  tak boleh berubah sebagaimana firman Allah : Inna laaha laa yuhlifu miy aad, artinya : Sesungguhnya Tuhan tiada mengubah janjinya.

Oleh karena  syarat-syaratnya yang cukup dan sempurna sifat kemuliaan diri batin seorang Sultan maka seorang Sultan disembah oleh hamba rakyatnya bukan karena hanya kesempurnaan wujud lahirnya tetapi karena kesucian jiwa dan kesempurnaan diri batinnya yang dengan tepat menerima bayang-bayang wajibul wujud diri batinnya yang mencapai nama ISMURRAHMAANI. sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Waizkala rabbuka lilmalaikati sjuduw li adama. artinya : Dan Allah berkata kepada Malaikat sembahlah Adam.

Atas ketetapan keesaan persatuaan tauhidya maka timbullah 4 sifat kemuliaan diri batin pada diri seorang Sultan, yaitu :
  1. Hikmat kecerdasaan akal menyelidiki keadaan diri batin sendiri yang sejati supaya dapat pula mempertimbangkan dan menyelidiki diri orang lain.
  2. Adil kecerdasan perasaan yang menimbang sama berat dalam ukuran hidup
  3. Cinta kehalusan budi pekerti sehingga pengasihan kepada sesama insani sebagai juga mengasihi diri sendiri yang sejati karena segala wujud insani tiada berdiri sendirinya melainkan qadim dengan wujud Allah.
  4. Kanaa (kekayaan) batin atau jiwa tiada sekali-kali menurut kekayaan lahir yang berlebih-lebihan karena tetap berlindung atas kekayaan jiwa atau batinya. 
Dengan kesempurnaan empat sifat ini akan melahirkan 3 (tiga) pengorbanan, yaitu :
    Pengorbanan harta benda
    Pengorbanan tenaga pikiran
    Pengorbanan jiwa

Ketiga pengorbanan ini selaras dengan firman Allah : Alladzayna aamanu wahaajaru wajaahadu fiy sabiylil laahi bi amwaalihim wa anfusihim a’alamu darajatan indal laaha wa ulaa ika humul faa izuuna.  Artinya : Orang-orang yang beriman bersungguh-sungguh lah dan korbankanlah harta bendamu tenaga dan jiwamu dijalan Allah dan itulah suatu derajat yang besar disisi Allah dan mereka itulah yang mendapat kejayaan atau kemenanga. (Surat At Taubah : 20).
Oleh karena itu  Sultan di Kesultanan Buthuuni setiap Jumat patutlah di sebut/puji oleh khatib di atas mimbar karena Sultan di Kesultanan Buthuuni bergelar juga KHALIFATUL KHAMSI LA QAIMUDDIN ADDIN BIN ISLAM dengan sebesar-besar hakikatnya karena tetap berdiri atas diri Sultan 4 (empat) syarat, yaitu :

1.  Akhyar : pilihan sekalian rakyat hanyalah ia yang patut.
2. Derajat : diangkat atau dilantik dan dinaikkan duduk diatas tahta kerajaannya serta dikenakan mahkota dan dikembangkan payung kemuliaanya.
3.  Maudhu : dihantarkan kesempurnaan kemuliaan belo baruga yang dipilih pada anak negeri.
4.  Makbul diterima Allah pada segala hajat dan maksud karena adalah Sultan tetap ke esaan tauhidnya pada wujud mutlak serta tetap berlindung pada cahaya Nur Muhammad dalam meliputi segala alam.

Sejak pengangkatan raja pertama wa Kaa Kaa, sudah terlihat dasar pemahaman yang seturut atau sejalan dengan agama Islam (faham tasawuf), hal ini di dasarkan pada salah satu versi sejarah Buton yang menyebutkan bahwa pada saat Wa Kaa Kaa di minta kesediaannya untuk menjadi raja oleh para keempat Bonto (Pata Limbona). Sebelum Wa Kaa Kaa dilantik menjadi raja, beliau memberikan suatu pertanyaaan yang bermakna filosofi dan sejalan dengan pemahaman tasawuf. Pernyataan dan sekaligus menjadi pertanyaaan Wa Kha Kha tersebut ditujukan kepada Pata Limbona, pernyataan tersebut seturut dengan salah satu hadis kudsi yaitu:
Wa Kaa Kaa meberikan pernyataan “Kul Rabbi Maa Abdi” yang artinya jika aku Tuhan siapa hambaku. Dimaksudkan oleh Wa Kha Kha bahwa jika seandainya diangkat menjadi raja maka siapa rakyatnya. Kemudian dilanjutkan dengan “Kul Abdi Maa Rabbi” artinya jika aku hamba siapa Tuhanku. Hal ini juga dimaksudkan bahwa seandainya aku hamba atau rakyat siapa Rajaku. Dan Wa Kha Kha, kemudian menjawab sendiri pernyataannya, dengan melanjukan kalimatnya “Kul Rabbi Maa Abdi Wahidun” yang berarti Tuhan dan Hamba itu bersatu. Pemahaman atas kalimat terakhir tersebut pada dimaknai secara filosofis (niali-nilai tasawuf), bahwa Raja adalah satu kesatuan dengan rakyatnya. Sehingga pemahaman tersebut, oleh masyarakat Buton diabadikan dengan sebuah pepatah yang dalam bahasa daerah di katakan “Poromu yindaa saangu, Pogaa yinda koolota” yang artinya berkumpul tidak bersenyawa bercerai tidak berantara. Atau bersatu tetapi tidak berantara, berantara tetapi tidak bersatu.

Adapun prosedur adat dalam  pemilihan calon Sultan Buthuuni dimulai jauh hari sebelum seorang Sultan wafat atau diberhentikan.  Proses ini dimulai dengan pencalonan terhadap mereka yang berasal dari galongan Kaumu (Lalaki). Bonto Siolimbona mencari calon-calon Sultan dari garis keturunan Tiga Kamboru-mboru  yaitu Kaumu ( Lalaki ) Tanailando, Kaumu (Lalaki), Tapi-Tapi dan Kaumu (Lalaki) Kumbewaha . Tiga Bonto, yaitu : Bontona Peropa, Bontona Gundu-Gundu dan Bontona Rakia, bertugas memilih calon dari Kaumu Tanailandu; Bontona Baluwu, Bontona Barangkatopa dan Bontona Wandailolo, bertugas memilih calon dari Kaumu (Lalaki) Tapi-Tapi; dan Bontona Gama, Bontona Siompu dan Bonto Melai bertugas memilih calon dari Kaumu (Lalaki) Kumbewaha.  Calon-calon yang diajukan kemudian dievaluasi sehingga ketika Sultan lama tidak bisa melanjutkan tugasnya baik meninggal dunia atau diberhentikan atau berhenti telah memiliki calon yang paling kapabel dan sesuai dengan kriteria yang ditentukan.

Adapun uraian singkat proses atau tahap-tahapan pemilhan Sultan adalah :
Pembesar-pembesar kesultanan Syara Wolio mengadakan pertemuan untuk mengambil alat-alat kelengkapan atau kemuliaan sultan dari pejabat sultan yang mangkat, di pecat atau mengundurkan diri. Perlengkapan sultan terdahulu tersebut di pindahkan ke rumah Bontona Baluwu dan Peropa untuk diamankan sementara, selama sultan baru belum terpilih, jangka waktu yang diberikan adalah 120 hari.

[1] Tahap Pencalonan, Sio Limbona (sembilan orang Bonto), mencari calon-calon sultan dari Kamboru-mboru Talupalena (tanailandu, tapi-tapu, dan kumbewaha). Tiga Bonto yaitu Bontona Peropa, Gundu-Gundu dan Rakia, bertugas memilih calon dari Tanailandu. Tiga Bonto lainnya, Bontona Baluwu, Barangkatopa, dan Wandailolo, bertugas memilih calon dari Tapi-Tapi. Kemudian tiga Bonto sisanya, Bontona Gama, Siompu, dan Melai, bertugas memilih calon dari Kumbewaha.

[2] Setelah para calon sultan telah ditentukan oleh para Bonto Sio Limbona, maka hasil penentuan calon tersebut disampaikan kepada kedua Bonto Ogena yang di pimpin oleh Bontona Balawu, dalam adat di sebut Buataka Katange artinya membuka rahasia. Setelah mendengarkan para calon kandidat tersebut maka Bonto Ogena meminta kepada Sio Limbona agar berkonsultasi dahulu dengan para pejabat dan mantan pejabat/pembesar kesultanan lainnya.
Sio Limbona kemudian melakukan kunjungan kepada para pembesar kesultanan, yang dalam adat disebut Kambojai. Para pembesar kesultanan yang dikunjungi adalah Sapati dan Kapitalao yang disebut Kayarona. Sio Limbona dalam hal ini meminta penegasan dan pertimbangan, sekaligus penilaian atas calon kandidat yang telah mereka siapkan sebelumnya. Apabila Kayarona sepakat dengan apa yang telah diusulkan oleh Sio Limbona, maka Kayarona memberikan legitimasi untuk mengokohkan para kandidat tersebut sebagai dasar bahwa Kayarona telah sepakat dengan penilaian Sio Limbona.
Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kembali oleh Sio Limbona kepada Bonto Ogena yang disebut Buataka Katange, lalu kemudian dilajutkan kepada musyawarah bersama. Musyawarah ini bertujuan untuk melakukan penjarigan dari enam kandidat/calon sultan tersebut. Penjaringan dilakukan untuk menkerucutkan kandidat yang jumlahnya enam menjadi tiga kandidat saja. Apabila tiga kandidat telah terpilih melalui musyawarah bersama antara Sio Limbona bersama Bonto Ogena, maka keduanya mengambil suatu keputusan penetapan atas tiga kandidat terpilih yang dalam adat disebut dengan Paso (dipaku atau diteguhkan). Ketiga calon/kandidat yang sudah di Paso (diteguhkan) tersebut kemudian meunggu tahap berikutnya yang disebut Afalia. Penentuan waktu afaali ini menggunakan buku Jafaraa.

[3]    Tahap Afaali atau Faali, dilaksanakan di Mesjid Agung Keraton yang di pimpin oleh Bisa Patamiana (Dukun Kerajaan). Malam Faali Biasanya jatuh pada malam Jum`at jam 24.00 Wita. Hal ini diawali dengan sholat bersama, berzikir dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah agar jalannya faali mendapat berkah dengan menghasilkan sultan terpilih yang benar-benar terbaik diantara ketiga calon tersebut. Yang ditetapkan sebagai calon sultan terpilih adalah yang afaaliaya paling banyak jumlah huruf Khair (huruf baik) dalam Al-Qur`an.

[4] Sultan yang terpilih dari afaalia tersebut di sebut Ikokompoakana Balauwu operopa (yang dikandung oleh Baluwu dan Peropa).
 Afalia/Faali tersebut dipimpin oleh Bisa Patamiana melalui mandapat Sio Limbona dan Bonto Ogena. Bisa melakukan prosedur pemilihan sultan, dengan cara yang sangat sakral dan rahasia dalam pengetahuan adat. Proses pemilihan tersebut menggunakan media Al-Qur`an sebagai alat untuk memilih yang terbaik diantara para kandidat. Awal prosesnya adalah Al Qur`an dibuka oleh Bisa Patamiana secara acak atau sembarang dengan sekali buka, sebagai penanda awal untuk memulai pembukaan atas lembaran berikutnya. Setelah lembaran pembuka telah dibuka, maka lembaran berikutnya dibuka lagi sebanyak 7 (tujuh) lembar untuk melakukan perhitunagan. Pada tiap lembarnya akan di hitung jumlah huruf “Kh dan Sy” yang terdapat pada masing-masing halaman. Huruf Kh menunjukan Khair yang berarti baik, sedangkan Sy adalah menunjukan Syar yang berarti jelek. Hal ini dilakukan pada masing-masing calon. Setelah semua calon telah diafaali oleh Bisa Patamiana, maka diteruska dengan perhitungan hasil afalianya, apabila afalia pada salah satu calon tersebut lebih banyak mendapatkan huruf Khair (baik), daripada calon lainnya, maka dialah yang ditetapkan menjadi calon sultan terpilih.
Setelah afalia dilakukan dengan mendapatkan calon sultan terpilih, maka hasil afaalia tersebut disampaikan kepada Kapitalau untuk diumumkan kepada khyalak ramai, pengumuman ini dilakukan dengan upacara khusus yang dalam adat di sebut Sokaiana Pau. Upacara ini di laksanakan di Baruga yang dihadiri oleh aparat Syara Wolio.

[5] Dalam Upacara Sokaiana Pau yang di pimpin oleh Bonto Baluwu dan Bontona Peropa yang membisikan hasil seleksi kepada ke dua Kapitalao.  Kedua Kapitalao mengumumkan dengan bahasa adat : “ Tarango, Tarango, Tarango bari-bari kita siy.  Yimondoakana Baluwu, Peropa tee Syara bari-baria kobolosina laki wolio La.. ( nama calon terpilih menjadi sultan ) yincema-yincema mokawala-walana ngangarandana moka singku-singkuna fikirina maimo yitanga-tanga siy bekulae-lae kea hancu siy, Ha…ha…ha. Artinya : “ Dengarkan, dengarkan, dengarkan para hadirin bahwa yang telah disepakati oleh Bontona Baluwu dan Bontona Peropa untuk menjadi calon yang terpilih adalah La.. ( nama calon terpilih menjadi sultan ) di dalam dan di luar di seluruh kerajaan Buthuuni jikalau ada yang tidak setuju atau masih ragu dan tidak puas dengan hasil ini datanglah kehadapan saya ditengah ini biar saya potong-potong dengan pedang ini. Haa..ha..ha….  Setelah Kapitalau mengumumkan hasil sultan terpilih, maka selanjutnya akan di adakan upacara pelantikan.

Setelah prosesi  kegiatan pencalonan selesai maka dilakukan persiapan-persiapan untuk dilakukan pelantikan Sultan pada hari Jumat. Pada sore hari Kamis Batu Wolio ( Batu Igandangi ) diberi kelambu.  Pada malamnya genderang dan gong-gong dibunyikan semalam suntuk.  Pada Batu Wolio diletakkan air yang diisi dalam bambu bersama pucuk kelapa.  Air ini diambil dari daerah Tobe-Tobe untuk dipakai mandi calon sultan. Selain itu dipersiapkan juga secara khusus bedak. Jumat pagi calon sultan  dimandikan oleh Bonto Patalimbona dan dibedaki dengan 120  macam ramuan. Pada waktu dimandikan inilah calon Sultan diperlakukan bagaikan anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa dan kerjanya hanya menangis dan tertawa. Pada saat dimandikan Bontona Peropa berada di sebelah kanan, Bontona Baluwu disebelah kiri, Bontona Gundu-Gundu di depan dan Bontona Barangkatopa di belakang calon sultan.  Ketika dibedaki Bontona Baluwu mengatakan kata-kata : rango laode teduku mumo,  bangule mumo,  malala mumo, welalo mumo tanda komo laode. Boli upoande-andea akea tana siy tedaga moumba te lemangku moumba/mokawa, Boli udawu-dawuakea kampurui ibamu.  Barangkana upoeandeandeakea otana siy te daganga moumba, uadwwu-udawukea kampurui yibamu, maropu, masoka hancuru binasa oanamu tea anana baluwu peropa oyingko te baluwu peropa.  Selesai dimandikan, Mojina Kalau dan Mojina Waberangalu menyerahkan sepersalinan pakaian kepada Patalimbonan untuk dipakaikan kepada calon sultan dan calon sultan diantara dirumah kediamannya.

Menjelang  tengah hari Sultan dengan pengiring-pengiringnya menuju Mesjid Keraton untuk shalat Jumat. Calon Sultan dengan berpakaian serba putih diapit oleh Patalimbona dengan pedang terhunus.  Sesampainya dimesjid calon Sultan dijemput dan ditempatkan sesuai tempatnya.  Bonto Gama segera menyampaikan kepada Bonto Ogena bahwa calon Sultan sudah tiba dimesjid. Imam segera diisaratkan untuk memulai pelaksanaan shalat Jumat. Dalam tradisi di Kesultanan Buthuuni setiap pelantikan Sultan maka judul khutbah  Halakal arwah.  Setelah shalat Jumat prosesi pelantikan Sultan dimulai.  Serimonial ini dimulai dari Mesjid dimana Bisa Patamiana melakukan penulisan kaliman dipunggung Sultan sebagai tanda ke Sultanan. Kemudian seseorang yang memutarkan diatas kepala sultan sebanyak 8 kali kesebelah kanan dan 9 kali disebelah kiri.  “ Bake akakomo maulana, ouluna rahmatimu bea peohi akamo Walaka tee Kaumu. artinya : Kukembangkan payung kepadaTuanku. Awan rahmat Tuanku untuk melindungi Walaka dan Kaumu. Sultan kemudian dibawa ke Batu Popaua untuk memutaran kedua yang dilakukan oleh Bonto Patalimbona.  Pada prosesi ini kaki kiri sultan dimasukkan kedalam lubang Batu Popau sambil menghadap ke Barat.  Diputarkan payung kebesaran sebanyak 8 putaran.  Kemudian sultan meletakkan kaki kanan ke dalam batu yang sama sambil menghadap Timur sebanyak 9 putaran oleh Bontona Peropa dengan ucapan : Ise, Jua, Talu, Yapa, Lima, Ana, Pitu, Walu Yulagi, Sio Manuru, Sapuluaka ingkomo La Ode.  Rango, rango, rango La Ode dangipo miningko imondo-mondoakana, isasanguakana mangamamu, mangaopuamu.  Bontona Wolio bari-baria tee manga Andimu - Mangaakamu Bobato bari-baria tee Mangandimu Mangakamu Pangka bari-baria tee mangaopuamu  tapa ruo tapana.  Tee manga opua Baluwu – Peropa.  Dangiapomini ingko mokantu-ntuakea, mokambena-mbenakea, mokawara-warakea.  Isarana Wolio otanasi La Ode. Inunca – Isambali tee Batu-batuna tee Kau-kauna. Boli pomatakea ruambali, boli upoandea-ndeakea. Boli upebulakea otana sii La Ode.  Boli alakea kanciana biya yitangamu, Boli yulakea kanciana sala yitangamu, boli yualakea kampurui ibamu.  Susubagamu La Ode. Utuntu yulagi yutuwu manuwu-nuwu yudadi  malumba-lumba.  Boli amapipi Bamu, boli amagarigari bulumu.  Onamu-namu tee tana Baluwu-Peropa.  Opuamu- Opuamu tee opuana Baluwu - Peropa oingko tee yaku.
Rango La Ode, Rango La Ode, Rango La Ode yuncuramikimea opulangamu tee pusakamu yisarana Wolio.  Dangiapomini  yumembali yana-yana mangura yimajelisna sarana Wolio.  Yatanduakako kayurae, asipoko kaupokanga-nga.  Atandoakako waa indamo umangau soa mangau motandakako.  Yasipoko racu indamo umalango soa malango mosipoko.  Osipoko buku yindamo yatongkoko sooyatongko mosipoko.  Ingko somo tangi tee potawa yimataumu yitana sii La Ode.
Setelah pemutaran kedua payung selesai di Batu Popau kedua Kapitalau berseru :
 “ Somba ! Somba ! Somba! Malape anana Kaomu, anana Walaka, anana Papara.  Yincema-yincema yinda mosabana, maimo yaroaku beku lae-lae kea hancu siy”.artinya : Sembah!Sembah!Sembah! Anak-anak Kaumu, anak-anak Walaka, anak-anak Papara. Siapa-siapa yang tidak menyembah datanglah didepan saya agar saya potong-potong dan saya tebas dengan pedang ini.
Dengan demikian maka proses pelantikan  Sultan sudah selesai. Selanjutnya Sultan ke Baruga untuk menerima ucapan selamat.

Penyerahan Tugas-Tugas Kesultanan
Setelah hari keempat selesainya pelantikan Sultan, pada malam hari pukul 24.00 diadakan penyerahan tanggung jawab merupakan hak dan kewajiban sultan oleh Patalimbona  ( Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona Barangkatopa dan Bontona Gundu-Gundu ).  Kedatangan Patalimbona kerumah Sultan disambut oleh Bontona Dete dan Bontona Katapi.  Patalimbona meminta izin ke Bontona Deta dan Bontona Katapi untuk menghadap ke Sultan dengan kata-kata : “ Jou Bontona Dete taemani tantaku “ artinya : Tuanku Bontona Dete, kami minta menghadap.  Sesuai permintaan Patalimbona Bontona Dete segera menyapaikan kepada Sultan : “ Somba kita waopu, eatangku manga opuamiu Baluwu tee Peropa” artinya : “ Hormat Tuanku Yang Mulia Kakek-Kakek Tuanku Baluwu dan Peropa akan menghadap.
Selanjutnya Patalimbona segera menghadap Sultan untuk menyampaikan Tugas dan Tanggung Jawab (hak dan kewajiban) Sultan oleh Bontona Baluwu dengan ucapan :

 “ Sombakita wa opu! Ikawakami irandana yayita, bea butakamo sapulu ruanguna mangaopuamiu tee kuli-kulina tee anto-antona.  Babana yisarongi kuli sapuluruangunayitu.  Babana Sara Jawa.  Sara Jawa patangu kabarina.  Babana Opau Biya, ruanguankana oparamadani, taluanguaka  ogampi isoda.  Patanguaka Osomba.  Kayisarongiyaka Sara Pancana patanguduka okabarina.  Babana Obante,ruanguaka Okabutu, taluanguaka Pomua, patanguaka okalonga.  Kasimpo yisarongi Sara Wolio yitu patanguduka kabarina. Babana Belobaruga umane, ruanguaka belobaruga bawine, taluanguaka osusua wolio tee patanguaka susua papara.Sapuluh ruangumoyitu.  Kawayantona Sarana Jawa patanguduka kabarina.  Babana bangka mapasa, ruanguaka orampe, taluanguaka oambara, patanguaka oyikane ogena.  Kasimpoduka oyantona sara pancana yitu patanguduka kabarina.  Babana opopene, ruanguaka osuruna karo, taluanguaka otali-tali, patanguaka okarambau.  Kasimpo duka antona sara wolioyitu patanguduka kabarina.  Babana yisalaka, ruanguaka ikodosaka, taluanguaka ibatuaka tee patanguaka yimateaka.  Malosi yualakemea randana yaita poteona sarana wolio sapuluh ruangu kabarina. Amapupumo, pada tatula-tula akako siy, te kuli-kulina tee anto-antona, pata-patawalea, pata-pata singkua.  Podomo kapoolimu yinunca yisambali.  Mbakanamo siy yiemanina opuamo Baluwu-Peropa, bholi uose-ose yincamu te loe akea poteo raetaimu.  Barangkana uose-ose yincamu, apasabuko opuamu Baluwu-Peropa, ronamo yinda so yingkoo La Ode”.
Selanjutnya Bontona Baluwu menyampaikan pesan kepada Bontona Dete dan Bontona Katapi : “ Jou, Bontona Dete – Bontona Katapi, alapasiy tuturakana Baluwu-Peropa, atanduakamo yingkita Baluwu-Peropa apa mio-mio matana, padenge-denge talingana.  Dangiapo mini yingkita mokana akea-mosala akea”.

Dengan selesainya acara menyerahan tugas dan tanggungjawab kepada Sultan maka selesailah rangkaian acara dan tata cara pemilihan dan pelantikan Sultan Butuuni. 
Disamping itu berlaku adat pengkatan Sultan disebut dengan putra mahkota atau dalam bahasa adat disebut dengan Ana Bangule. Dalam sistim pengangkatannya tidak melalui pemilihan atau prosedur adat (Faali), melainkan secara otomotis ana bangule tersebut dilantik menjadi sultan oleh Sio Limbona.
Terjadinya pengecualian atas Ana Bangule atau putra mahkota tersebut, dikarenakan adanya kesepakatan adat yang menyatakan bahwa anak laki-laki yang lahir dari permaisuri sultan yang sah ketika sultan tersebut sementara menjabat, maka anak tersebut disebut sebagai Ana Bangule (putra mahkota) dan berhak meneruskan jabatan ayahnya kelak. Hal ini sebenarnya sulit terjadi, bahkan diketahui dalam sejarah pergantian kekuasaan dalam pemilihan sultan, hanya terjadi pada dua periode kepemimpinan sultan yaitu pada masa sultan Dayanu Iksnanuddin (Sultan ke-IV) yang di gantikan oleh anaknya La Baluwo dengan gelar Sultan Qamar ad-Din, dan pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan ke-29) yang digantikan oleh anaknya Sultan Muhammad Isa. Kedua anak tersebut lahir dari permaisuri sultan pada masa kekuasaan berjalan, sehingga mendapat gelar ana bangule atau putra mahkota.
            Kehadiran anak bangule ini sesungguhnya telah diantipasi oleh Bisa Patamiana (Dukun Kerajaan). Sebab pada saat sultan terpilih di lantik oleh majelis syara (Sio Limbona), maka pada saat itu pula ada ritual adat yang dilakukan oleh Bisa Patamiana yang bertujuan agar permaisuri sultan yang menjabat tersebut tidak dikaruniai anak laki-laki, dimana syara atau adat tidak menginginkan permaisuri sultan memiliki keturunan laki-laki. Larangan adat bagi sultan untuk melahirkan anak bangule sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan kondisi atau kestabilan pemerintahan kesultanan. Karena hal itu menghindarkan kesultanan dari konflik perebutan kekuasaan dari putra-putra sultan, sebagaimana yang terjadi pada kerajaan-kerajaan tradisional lainnya dan sekaligus mencegah terjadinya pengangkatan sultan yang berusia di bawah umur.
Ritual adat tersebut dilakukan oleh Bisa Patamiana dengan proses yang sangat rahasia. Bisa  Patamiana tersebut mengambil sebuah sajadah yang dianalogikan sebagai kandungan permaisuri sultan, kemudian sejadah tersebut melalui ritual adat dipurtar dan diperas dengan tujuan agar kandungan permaisuri sultan hanya dapat melahirkan anak perempuan. Dukun kesultanan yang diyakini memilki kesaktian dan konsep kebatinan tersebut akan sulit dikalahkan oleh ilmu kebatianan para pembesar kesultanan bahkan sultan sendiri. Namun, apabila ternyata permaisuri sultan tersebut mampu melahirkan seorang anak laki-laki, maka dapat dikatakan bahwa ilmu kebatinan Sultan telah mencapai tingkat atau setingkat dengan ilmu kebatinan dari bisa patamiana. Olehnya itu putra sultan tidak perlu difaali lagi, melainkan secara otomatis menjadi putra mahkota (ana bangule) dan berhak menggantikan kedudukannya ayahnya.*****

Minggu, 29 Mei 2011

ADHATI APOPUU YI PONAMISI (hanya sebuah refleksi)

OLEH : ALFIN RODA

Adhati ‘Apopuu yi ponamisi –
Ponamisi Kawuni-Wunina Aula-Taala Te: Batuana -
(Adat berawal dari rasa..
Rasa adalah rahasia Tuhan pada hamba-Nya)
Dalam perspektif leluhur, adat bukan hanya sekedar adat-istiadat dalam arti sempit tapi merupakan budaya atau keseluruhan pengetahuan manusia. Seluruh pengetahuan ini berasal dari suatu “dunia tanpa bunyi…tanpa suara” yaitu rasa (ponamisi). Sedang rasa, perasaan, insting ataupun asal-muasal pengetahuan itu merupakan rahasia Tuhan pada hamba-Nya. Rahasia bukan diartikan pengetahuan tersebut akan selalu tertutup rapat selamanya tetapi rahasia diartikan bahwa dunia tersebut selalu dilingkupi oleh yang gaib dan untuk mendapatkannya dibutuhkan “usaha menguak” rahasia agar kunci rahasia bisa terbuka.

Usaha menguak rahasia selalu dikaitkan dengan upaya mencari kebenaran sejati. Pencarian terhadap kebenaran sejati memang telah menjadi insting dasar setiap manusia yang sadar akan keberadaanya. Dalam keberadaan pencarian ini leluhur Wolio memberikan nasehat:

Ne’u pe:lo Giu-Banara
Boli pe:loa Mia Mosaganana.
Giu- Banara da:ngia yi nuncana Karona Manusia.
Ne’indamo da:ngia yi nuncana Karota
Maka sia-siamo banaka waktumu pe:lo Giu-Banara.


( Jika hendak mencari jalan kebenaran,
jangan mencarinya pada diri orang lain
Jalan Kebenaran ada dalam diri manusia
Kalau sudah musnah dalam diri kita
Niscaya sia-sia sudah membuang waktu mencari jalan-kebenaran)


Disini terjadi kesadaran akan pemisahan pada Jalan-Kebenaran dan Kebenaran itu sendiri. Jalan Kebenaran bukanlah kebenaran. Kebenaran dipercaya hanya satu, tapi jalannya mungkin bisa berbeda. Para Leluhur mengingatkan bahwa jika engkau menuju kebenaran carilah kebenaran dengan jalanmu sendiri yang ada dalam dirimu.

Jalan-Benar janganlah engkau cari melewati diri orang lain..ataupun daerah lain atau kebudayaan lain. Jalan kebenaran itu sesungguhnya telah mengakar dalam dirimu. Engkau sudah punya peta yang akan membawamu kepada kebenaran hakiki yang menjadi tujuanmu. Orang lain, ataupun kebudayaan lain mungkin juga akan mempunyai jalan kebenaran sendiri yang juga mungkin akan membawa kepada tujuan kebenarannya. Tetapi itu bukan jalanmu, karena engkau juga punya jalan sendiri yang akan kau retas sendiri. Karena Jalan Kebenaran itu telah ada dalam diri setiap manusia.

Adalah menarik disimak bahwa dalam lanjutan petuah ini terdapat kata jika jalan kebenaran itu telah musnah, telah hilang dalam diri kita maka sia-sia lah membuang waktu mencari jalan kebenaran itu. Peringatan bahwa jalan kebenaran dalam diri ini bisa hilang dan musnah juga bisa berarti negasi dari pernyatatan tersebut yakni jalan itu juga bisa diadakan atau diciptakan. Jalan kebenaran yang ada dalam diri manusia bisa timbul atau tenggelam. Kalau hilang maka sia-sia waktu pencarianmu, dan engkau akan tersesat dalam labirin pencarianmu. Dan jika masih ada maka engkau akan tergolong orang-orang yang tepat berjalan diatas jalan benar dan insya allah mendapatkan kebenaran.

Karena sifatnya yang subyektif, maka setiap jalan kebenaran bisa saja berbeda dari satu pribadi ke pribadi lain. Disini diperlukan standardisasi agar setiap jalan kebenaran tidak yang dijalani tidak melenceng dari jalan umum. Sifat subyektif setiap pribadi memungkinkan untuk melenceng memang. Disinilah diperlukan bimbingan agama agar adat/ pengetahuan yang diambil memperoleh arah yang benar. Agama berfungsi sebagai kompas pengarah dan merupakan indkator apakah jalan yang diambil seseorang tersebut telah melenceng atau tidak.

Itulah alasannya mengapa adat selalu disandingkan dengan agama dalam setiap tingkatan pemahaman dan pencarian. Adat dan agama dalam tingkatan kegiatan leluhur Wolio-Buton pada pencarian kebenaran hakiki tidak dapat dipisahkan seperti dalam tapisaka berikut:

Agama Te:Adhati Abasarapu
Labu Rope Audhani Opuna,
Labu Wana Audhani Karona,
Labu Saripi Audhani Amalana
 
(Agama dan adat bersenyawa
Tampak depan, mengingat Pencipta-Nya
Tampak belakang, mengingat dirinya
Tampak samping mengingat amalan-nya)


Sangat jelas terlihat dikatakan bahwa agama dan adat adalah bersenyawa. Dua sisi yang kelihatan berbeda tetapi sebenarnya satu layaknya dua sisi mata uang. Adat atau tata-nilai yang berasal dari rasa pasti akan sewajah dan sejalan dengan agama. Karena bukankah rasa dan agama mempunyai sumber yang sama yakni dari Dia? Implikasi dari kesemuanya ini akan bermuara pada tiga dimensi yakni: bila dari depan akan mengingatkan pada wajah penciptanya yakni Tuhan, sang Asal rasa, tampak belakang akan mengingatkan pada diri yang merasakan yakni manusia/ diri yang merasakan dan dimensi ketiga tampak samping akan ditampilkan wajah amalan atau aplikasi kehidupan dari adat itu sendiri.

Menarik dilihat bahwa dimensi ketiga yakni amalan atau aplikasi ini merupakan tata-kehidupan menyeluruh pada semua kegiatan kemanusiaan yakni mencakup kegiatan ekonomi, pemuasan diri/ individu, militer dan heroisme, Tata Pemerintahan/ Politik dan humanisme, yang kesemuanya bermuara pada agama. Perhatikan isi seloka berikut yang dipegang teguh dan sudah menjadi pegangan kehidupan leluhur sampai sekarang:

‘Yinda – ‘yindamo Arata:, Somanamo Karo
‘Yinda – ‘yindamo Karo, Somanamo Lipu
‘Yinda – ‘yindamo Lipu, Somanamo Sara
‘Yinda – ‘yindamo Sara, Somanamo Agama.


Boleh saja harta tiada asalkan masih ada eksistensi Diri
Boleh saja diri tiada asal masih ada eksistensi Negeri
Boleh negeri tiada asal masih ada eksistensi Tata-Pemerintahan
Boleh saja tata-pemerintahan tiada asal masih ada eksistensi Agama


‘Yinda – ‘yindamo Arata somanamo karo. Ada juga versi lain yang berbunyi Bolimo Arata somanamo karo. Harta boleh tiada asal eksistensi diri masih ada. Petuah ini bukan menafikkan pencarian harta. Disini dikedepankan hubungan antara harta dan pemenuhan ego/ diri. Harta memang dibutuhkan untuk pemenuhan diri. Pencarian harta merupakan esensi dari kegiatan ekonomi manusia. Harta digunakan untuk kebutuhan diri/ Karo. Yang menjadi fokus adalah jika proses pencarian harta tidak menafikkan harga diri. Saat harta dan harga diri menjadi pilihan maka harta harus ditinggalkan. Harta harus ditanggalkan saat harga diri hilang dalam proses pencarian harta. Dengan kata lain dilarang mencari harta yang tidak halal karena harta yang tidak halal pasti berseberangan dengan harga diri.

‘Yinda – ‘yindamo karo somanamo lipu. Atau bisa jga dikatakan Bolimo Karo Somanamo Lipu. Boleh saja diri ini tiada asal masih ada eksistensi negeri. Diri bisa dikorbankan demi keberadaan negeri. Sepertinya petuah ini senada dengan semangat kemiliteran Jepang yang disebut Harakiri. Keberanian meniadakan eksistnsi diri demi eksistensi negeri. Semangat ini sanggup meluluh-lantahkan keberanian tentara sekutu di Perang Dunia II.

‘Yinda – ‘yindamo lipu somanamo sara. Atau Bolimo lipu somanamo sara. Boleh saja negeri tiada asal masih ada eksistensi Tata-Pemerintahan. Paham ini mungkin agak susah dimengerti karena esensinya menempatkan tata-pemerintahan diatas keberadaan negeri. Negeri bisa dihilangkan asal tata pemerintahan tidak hilang. Negeri adalah fisik, area, batas tanah dan lain-lain. Sedang tata pemerintahan merupakan rakyat dan pemerintahnya serta nilai-nilai politik diatasnya. Tata pemerintahan terdiri dari manusia yang hidup diatas fisik tanah diatasnya. Disini dikatakan bahwa fisik tanah bisa saja ditiadakan asal manusia dan nilai-nilai pemerintahannya tidak punah. Disinilah letak prinsip dasar humanisme dalam petuah ini. Suatu penghargaan yang tiada terkira dari nilai kemanusiaan. Suatu penghormatan terhadap keberadaan eksistnsi manusia dan nilai-nilai politik yang dianut oleh kumpulan manusia yang menyertainya.

‘Yinda – ‘yindamo Sara Somanamo Agama. Atau Bolimo Sara Somanamo Agama. Ini merupakan peniadaan terakhir. Sara boleh saja hilang, Tata-pemerintahan boleh saja punah asal eksistensi agama masih ada. Leluhur menempatkan agama diatas segalanya.

Keseluruhan dari petuah diatas berbunyi bahwa harta, diri, negeri, maupun tata-pemerintahan bisa saja dikorbankan demi keberadaan agama. Dengan kata lain, keseluruhan dari kelima petuah diatas dapat disarikan dengan satu kata yakni JIHAD FI SABILILLAH. Jihad di jalan Allah …

Sabtu, 28 Mei 2011

SEJARAH BUTON, SEJARAH YANG TERKALAHKAN?



OLEH : ALFIN RODA


BAGIAN PERTAMA




Itu kata Soesanto Zuhdi, pakar sejarah tentang sejarah Buton. Telah banyak analisa, telah banyak argumentasi, telah banyak inspirasi. Tapi bagi saya, sepanjang mencoba memahami sejarah sendiri, Boton tidak pernah terkonklusi sebagai "terkalahkan". Terkalahkan oleh siapa? Terkalahkan hanya karena tidak mendapat tempat dalam Sejarah Nasional Indonesia? Dih, itu picik.

Sejarah Nasiional Indonesia adalah sejarah "picik", yang hanya melihat nilai kepahlawanan dari sisi heroisme perlawanan fisik. Padahal siapapun tahu, bahwa perlawanan bukan hanya pada sisi fisik. Pahlawan yang melawan adalah gabungan dari simphoni indah perlawanan fisik, diplomasi, psy-war, intelijen dll. Dan, dalam sejarah panjang Buton, simphoni indah itu terekam indah. Mirip sebuah partitur musik, sejarah Buton adalah jalinan nada indah perlawanan fisik, perlawanan diplomatis dan perlawanan psikologis (psy-war). Sejarah Buton adalah sejarah yang membuktikan bahwa daerah ini telah lama menerapkan prinsip perang modern. Bahwa untuk memenangkan peperangan tidaklah hanya diukur dari kekuatan bersenjata. Prinsip inilah yang membuat Buton bisa bertahan dari berbagai gempuran kekuatan super-power ketika itu.

Buton pada zamannya adalah sebuah negeri "kecil" yang dikepung oleh kekuatan besar. Ternate dan Gowa adalah kekuatan besar. Belanda adalah kekuatan besar. Tapi sejarah membuktikan, justru kekuatan besar yang lebih dulu rontok dibanding Buton yang "imut". Dan ini bukan apa2, Buton hanya "smart" menjalankan taktis peperangan. Ibarat bermain catur atau bola, "sejarah Buton adalah sejarah yang smart!"

Apakah Buton pernah bekerja-sama dengan Belanda? Iya, jika dilihat dari kacamata "sejarah picik" Indonesia. Pertanyaannya, pada situasi dan kondisi saat itu, apa ruginya bekerja-sama dengan Belanda? Dan, bekerja sama dalam hal apa dulu? Apatah lagi, Buton "tidak selamanya" menempuh kebijakan kerja sama. Sesekali juga Buton memberi tekanan. Sesekali melawan dominasi. Ini masalah bagaimana memenangkan peperangan, bukan memenangkan pertempuran.
Sepanjang sejarah panjang negeri Buton, semua pemimpinnya mengambil kebijakan yang sangat tepat pada zamannya. Tidak terkecuali. Semua Raja maupun Sultan Buton, menempuh garis kebijakan yang sangat pas pada zamannya.


BAGIAN KE DUA



Pada bagian sebelumnya kita membicarakan singkat tentang Buton, negeri kecil yang diapit super-power. Tapi walaupun kecil, Buton dapat eksis dan hidup melebihi keberadaan para super-power. Ini pasti ada "kuncinya", dan kunci itu ternyata adalah pola "perlawanan" Buton yang sungguh modernis. Buton sejak lama mempraktekkan teori perang modern yakni (disamping) menggunakan kekuatan militer, namun diramu dan dimainkan dengan kekuatan diplomatis, perang psikologi, intelijen dan terakhir..pastinya kekuatan mental/spiritual. Semua kunci ini dimainkan dengan pola yang sungguh memikat, sama memikatnya dengan shimphoni musikus abad pertengahan.

Kita tentu bertanya, dari mana orang Buton memperoleh kunci yang sedemikian memikat itu? Apakah kunci itu dapat tercipta begitu saja tanpa pengetahuan sebelumnya? Apakah suatu pengetahuan dapat tercipta tanpa dukungan peradaban yang kuat? Peradaaban apa saja yang melatar-belakangi sumber kekuatan "kunci" kekuatan Buton?

Ternyata, kunci yang dipunyai Buton merupakan kunci yang diramu dari beberapa kekuatan peradaban dunia kala itu. Seperti kita ketahui, peradaban2 terbesar dunia seperti China/ Budha, India/ Hindu, Arab/Islam, maupun Majapahit/ lokal. Semua peradaban ini bercampur di kebutonan, sehingga melahirkan peradaban baru yang unik, modern dan "kuat" pada zamannya. Peradaban2 tersebut terpahat dengan kuat pada dada setiap orang Buton yang terangkum dalam falsafah:

 
Yinda-yindamo arataa somanamo karo, merupakan basis/ mesin perang ekonomi.

 
Yinda-yindamo karo karo somanamo Lipu, merupakan basis/ mesin pertahanan militer

 
Yinda-yindamo lipu somanamo Sara, merupakan basis/ mesin pertahanan diplomasi

 
Yinda-yindamo sara somanamo Agama, merupakan basis/ mesin pertahanan spiritual(agama)


Inilah kunci "kekuatan" perdaban Buton sehingga sanggup bertahan dari gempuran para super-power. Termasuk kekuatas super-power Belanda ketika itu.

Falsafah diatas bukan hanya sebagai falsafah hidup, tetapi juga sekaligus sebagai mesin-perang luar biasa. Dalam falsafah diatas terkandung prinsip2 perang modern yang memuat prinsip blokade perang ekonomi, militer, diplomasi dan perang spiritual.

Dapat dilihat dengan sangat jelas, bahwa setiap pemimpin Buton, mulai dari Wa Kaa Kaa, sampai kepada Sultan terakhir, masing2 mereka memegang salah satu atau gabungan dari prinsip2 mesin perang diatas. Setiap pemimpin Buton mengambil satu kebijakan pertahanan atau perlawanan entah kebijakan pertahan dari sisi ekonomi, kebijakan pertahanan dari sisi militer, kebijakan dari sisi diplomatis, kebijakan dari sisi psy-war/ inteligen ataupun kebijakan pertahanan terakhir dari sisi siritual/ agama. Tidak ada seorang sultan pun yang memilih jalan yang salah. Setiap sultan Buton mengambil arah kebijakan terbaik yang sesuai situasi dan kondisi pada zamannya.

Jika menilik kiprah para Raja dan Sultan Buton, ada beberapa pemimpin yang menitik beratkan pada basis pertahanan militer. Sebutlah misalnya Sulta Oputa Yo Koo dan beberapa sultan lain yang mengedepankan garis pertahanan militer. Ada Sultan yang mengedepankan basis pertahanan diplomasi. Ada Sultan yang mengedepankan basis pertahanan ekonomi. Dan ada juga Sultan yang memilih garis pertahanan spiritual/ agama. Bahwa, apa pun boleh diserang dan "dihancurkan" tetapi eksisensi agama haus tetap hidup di Buton. Sultan terakhir, dalam hal ini mengambil kebijakan terakhir. 

Dalam sejarahnya, Buton tidak pernah terkontaminasi atau pun disusupi misi2 tersembuyi penjajah. Sesuatu yang sangat unik dan sangat berbeda dengan Kesultanan/ kerajaan lain di Nusantara.****