bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Rabu, 19 Januari 2011

MAKNA SIMBOLIS PADA ISTANA MALIGE BUTON


Oleh : La Ode Ali Ahmadi


Malige (Rumah Sultan). 
Di Liya Namanya Kamali (Rumah Mo,ori)


Potensi Situs dan Benda Cagar Budaya (BCB) di wilayah Buton sebagai karya nyata peradaban manusia pendukungnya di masa lalu sungguh memukau dan beraneka ragam. Tidak mengherankan jika banyak orang berkeinginan untuk mengenal Buton lebih dekat, baik secara harfiah, ilmu pengetahuan, pemerintahan, politik dan lainnya, hingga pada kebutuhan bathin seseorang dalam rangka menjalani proses kehidupannya. Mereka yang berkunjung ke Negeri Butun (berita di berbagai ekspedisi purba dan kitab Negara Kertagama; Butun = jenis pohon pantai = Baringtonia Asiatica), ingin mendalami dan mempelajari ilmu tauhid dan agama Islam Tarekat di Buton yang terkenal itu. Dan sebaliknya banyak pula orang, kelompok, bangsa dalam sindrom tertentu, sengaja ingin menghancurkan dan memfitnah Buton sekaligus membunuh karakter manusianya.
Daerah seribu pulau, seribu benteng dan istilah seribu lainnya, adalah julukan Pulau Buton, secara geografis terletak pada garis lintang dari utara ke selatan antara 20⁰30’ - 125⁰ Bujur Timur, merupakan kawasan timur jazirah tenggara Celebes Island = Pulau Sulawesi Indonesia. 

Menurut referensi serta pengakuan sejarah dari berbagai sumber, Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan wilayah otonom dan merupakan kawasan mandiri yang memiliki keistimewaan. Karakter budaya dan pola pikir dari masyarakatnya yang cerdas, inovatif serta mampu bertahan adalah dasar mengapa mereka pandai berdiplomasi, berwatak keras, dan cerdik sehingga jangan diherankan apalagi sampai dipolemikkan bahwa; “Di masa lalu, Kerajaan/Kesultanan Buton, tidak pernah tunduk dan dikuasai, apalagi terjajah oleh bangsa manapun di dunia dan kerajaan lain di nusantara”. Jika dikatakan kerjasama/hegemoni dengan bangsa atau kerajaan lain, Buton melakukannya, karena memang tipe kerajaan ini terbuka pada siapapun dan kebersahajaannya yang selalu ingin bersahabat, menolong dan bermitra dalam berbagai bidang adalah keutamaan dan kewajiban kerajaan, demi menciptakan kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya masa itu.

Penamaan Buton telah diperjelas dari beberapa informasi diantaranya:
  1. Nama Buton telah dikenal di Jawa tepatnya pada masa Gajah Mada menjadi Patih Kerajaan Majapahit. Berita ini diketahui dari Kitab Nagarakertagama (1365), pupuh 14 karangan prapanca. Dalam kitab ini berbunyi, “muwah tanah I Bantayan pramuka Bantayan le Luwuk tentang Udamaktrayadhi nikanang sanusaspupul Ikangsakasanusa nusa Makasar Butun (Buton) Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng) Selaya (Selayar) Sumba […..]” (Pigeaud, 1962).
  2. Berita dari Tome Pires yang menceritakan pelayarannya di perairan nusantara pada tahun 1512-1515 Masehi. Ia berangkat dari Tumasik (Singapura) ke Maluku melalui Borneo (Kalimantan), Makassar dan Buton. Informasi ini menunjukan bahwa Buton ketika itu telah dikenal oleh pelaut yang melintasi perairan nusantara termasuk orang asing.
  3. Lembar Naskah Kuna, diantaranya berita tentang, seorang Belanda bernama Apollonius Schot diutus oleh VOC untuk mengadakan perjanjian kerjasama dengan Sultan Buton pada bulan Desember 1612. Perjanjian ini terjadi pada tanggal 5 Januari 1613. Kedua belah pihak menyetujui suatu perjanjian yang berisi antara lain; kebebasan Buton melaksanakan agama dan sistim pemerintahannya (Yunus, 1995:11-14).
  4. Penulisan nama Buton yang dijumpai pada sketsa peta yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Pieter Both tahun 1613, menyebut Straat Van Boeton untuk selat Buton (Nusriat, 1988:70)
Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan oleh orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Pernyataan ini didukung pula oleh A. Ligtvoet yang bertugas di negeri ini. Ia menulis buku yang berjudul, “Bescrijving en Geschiedenis Van Boeton Sigra Venhoge” (1877), yang menyebutkan bahwa; “He rijk Boeton, dat in de Landstaal Bolio (Wolio), in het Malaeisch Boeton, en in het Makassarch en Boeginesch Boetoeng heet” (Abubakar, 1999:25)

Ibarat prasasti dan goresan profil pada candi-candi di Jawa, yang mengkisahkan berbagai hal dan peristiwa, seperti halnya kisah babad tanah jawi, Buton pun memiliki kisah yang tak kalah menariknya. Eksistensi dari nilai-nilai serta kearifan budaya dan peradaban Buton masa lalu, masih dapat disaksikan pada persebaran lambang/simbol maupun rangkaian ragam hias di berbagai pelosok kadie/kerajaan-kerajaan kecil yang mengakui keberadaan Kerajaan/Kesultanan Buton. Wilayah 72 (tujuhpuluh dua) kadie terletak dan tersebar di seluruh kepulauan dan daratan Buton. Kini kadie menjadi referensi dan oleh parah ahli humaniora khususnya arkeolog; wilayah kadie dikategorikan sebagai situs pemukiman sekaligus sebagai bukti konkrit bahwa Buton masa lalu memang Raya dan Jaya. Pada kesempatan di kolom ilmiah ini, penulisan hanya dibatasi pada kekayaan dan keragaman dari makna simbolis pada Istana Malige di Buton.

Dalam kamus besar Wikipedia, menyebutkan bahwa Istana Sultan Buton disebut Kamali atau Malige. Bangunannya didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Rumah adat Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 (lima) buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 (empatpuluh) buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala dan semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 (empat) buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 (tiga) petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 (enam) buah akan mempunyai 5 (lima) petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 (delapan) buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 (tujuh) ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.

Keterangan yang lebih umum dan luas lagi menjelaskan bahwa Kamali/Istana Malige (Kamali = Istana = rumah raja/sultan/pejabat kesultanan; Malige = Mahligai) sebagai istana Sultan di analogikan dengan tubuh manusia. Hal ini berkaitan dengan perwujudan Sultan sebagai pusat dari segala kekuatan. Kepercayaan yang menyangkut kekuatan yang berpusat pada raja berakar dari konsep dewa yang dikenal sejak jaman pra-Islam (Moertono, 1985, dalam Musadad dkk, 1998:21). Hal senada diungkapkan pula oleh Soejono yang mengatakan bahwa Sultan dianggap sebagai seorang tokoh yang menguasai masyarakat dan dapat menghubungkannya dengan dunia ghaib (Soejono, 1993:217). 

Istana Malige merupakan salah satu dari peninggalan arsitektur tradisional Buton, dapatlah dikatakan sebagai hasil dan kekayaan dari proses budaya (cultural process). Dalam hal ini Kamali/Istana Malige merupakan cagar budaya yang keberadaannya dapat mengungkap berbagai sistem kehidupan masyarakat pendukungnya, baik itu mengenai sistim sosial, teknologi tradisional (profan) maupun kepercayaan (religi) yang masih bertahan hingga sekarang. Seluruh lambang atau simbol yang dimaksud, melekat cantik di berbagai benda/artefak peninggalan Kerajaan/Kesultanan Buton. Salah satu peninggalan arsitektur tradisional Buton yang kaya akan makna simbolis baik konstruktif maupun dekoratif dapat disaksikan di Istana Malige.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, fungsi dan makna simbolis pada bangunan tersebut dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang konsep tasawuf, yang menganggap bahwa pemilik kamali/istana Malige, dalam hal ini Sultan Buton adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang wujudnya dianalogikan dalam bentuk arsitektur rumahnya (istananya) baik yang bersifat konstruktif maupun dekoratif. Bentuk lantai dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan keagungan Sultan. Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai pimpinan agama, pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh beberapa ahli tafsir/hadist yang mengarah pada sabda Nabi Muhammad, SAW, termuat dalam tafsir Kanzil-Umal (Andjo, 199:53). Hadist tersebut mempertegas tentang fungsi dan tanggung jawab Sultan sebagai amiril mu’minin. Pemahaman dasar simbol kosmologis dari Istana Malige, Kamali dan atau rumah masyarakat biasa di Buton pada dasarnya adalah sama sebab berasal dari satu konstruksi yang sama yang disebut banuwa tada (rumah ber-penyangga). Di katakan Istana/Kamali jika bangunan tersebut di huni oleh pejabat kerajaan/kesultanan, dengan menambahkan tiang penyangga di setiap sisi bangunan, berfungsi konstruksi semacam mata kipas, yang disebut kambero, lengkaplah di sebut kamali karena di sebut banua tada kambero, inilah yang membedakannya dengan rumah masyarakat biasa yang cukup disebut dengan satu mata penyangga/banua tada. 

Satu hal yang menarik tentang pemaknaan sama pada rumah pejabat kerajaan/kesultanan dengan masyarakat biasa adalah peninggian lantai/ruangan dalam rumah yang berbeda-beda. Peninggian lantai setiap ruangan ini merupakan pola awal konstruksi yang sudah menjadi aturan pokok jika ingin membangun sebuah rumah di Buton. Ruangan semakin kebelakang semakin tinggi sama dengan badan perahu antara haluan ke buritan atau posisi sujud dalam shalatnya seorang Islam. Sedangkan pembagiannya tergantung luas dan besar bangunan.
Sumintardja (1978), dalam hal ini beranggapan bahwa, secara simbolis ruangan yang terpenting diberi lantai yang lebih tinggi daripada ruangan-ruangan lainnya. Penerapan tata ruang seperti ini terlihat pula pada rumah tradisional di Aceh, Minangkabau, Palembang dan lainnya di daerah yang mayoritas beragama Islam.

Untuk Istana Malige pembagian tata ruangan tersebut mengandung unsur pemaknaan sebagai berikut:

  1. Disebut Sasambiri disimbolkan sebagai penggambaran pribadi Sultan yang selalu terbuka kepada rakyatnya. Hal ini terlihat pada penempatan pintu utama dan pintu belakang yang fungsi umumnya untuk keluar-masuknya orang kedalam istana.
  2. Disebut Bamba dan Tanga disimbolkan sebagai rongga perut, berfungsi sebagai tempat berkumpulnya tamu dan menampung segala pesoalan yang ditujukan kepada Sultan maupun keluarganya. Bamba biasanya digunakan untuk tamu yang bukan kerabat dekat Sultan sedangkan tanga digunakan untuk kerabat dekat Sultan.
  3. Disebut Suo disimbolkan sebagai rongga dada dan kepala. Hal ini dihubungkan dengan penempatan kamar utama yang berfungsi sebagai tempat peraduan Sultan. Selain itu Suo berhubungan dengan tradisi masyarakat setempat yang disebut po’suo. Tradisi ini berbentuk acara ritual yang ditujukan kepada gadis-gadis untuk dipingit karena dianggap sudah dewasa (aqil baligh) dan pantas untuk berkeluarga.
  4. Penghuni istana disimbolkan sebagai nyawa atau ruh pada manusia. Hubungan antara tubuh atau jasad dengan ruh manusia mengandung pemahaman saling menjaga dan saling merawat dan memelihara.
Pembagian ruangan yang telah disebutkan dibatasi oleh tetengkala (papan pisah). Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Buton (Alm. La Ode Saidi-adalah Anak kandung Sultan Buton 37, pewaris Istana Malige), bahwa Tetengkala berfungsi sebagai pembatas dan tanda kejelasan fungsi ruangan dalam istana Malige. Fungsi pemisahan dimaksud dimisalkan tentang tamu laki-laki ditempatkan diruangan bamba sedangkan tamu wanita diruangan tanga.
Untuk fungsi dapur dan kakus (wc), harus terpisah dengan induk bangunan, dan susunan lantainya lebih rendah dari lantai bangunan utama. Pada Kamali/Istana Malige bangunan untuk dapur dan kakus tersebut di bangun terpisah dan hanya di hubungkan oleh satu tangga. Bangunan dapur dan kakus secara simbolis dimaknai sebagai dunia luar yang keberadaannya jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah pembuangan. Tampak bangunan terbagi 3 (tiga) sebagai ciri 3 (tiga) alam kosmologi yakni; alam atas (atap), alam tengah atau badan rumah dan alam bawah atau kaki/kolong. Masing-masing bagian tersebut dapat diselesaikan sendiri-sendiri tetapi satu sama lain dapat membentuk suatu struktur yang kompak dan kuat dimana keseluruhan elemennya saling kait-mengkait dan berdiri diatas tiang-tiang yang menumpu pada pondasi batu alam (Maryono, dkk, 1985:61). Pondasi batu alam ini dalam bahasa Buton di sebut Sandi. 

Sandi tersebut tidak di tanam, hanya di letakkan begitu saja tanpa perekat dan berfungsi meletakkan tiang bangunan. Antara sandi dan tiang bangunan di antarai oleh satu atau dua papan alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi. Fungsinya untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Penggunaan batu alam tersebut bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia dan alam akherat), adalah konsep dualisme, walaupun sebenarnya jika ditinjau dari fungsinya lebih bersifat profan. 

Makna simbolis pada konstruksi lain Kamali/Istana Malige diantaranya adalah:

  • Atap yang disusun sebagai analogi susunan atau letaknya posisi kedua tangan dalam shalat, tangan kanan berada di atas tangan kiri. Pada sisi kanan kiri atap terdapat kotak memanjang berfungsi bilik atau gudang. Bentuk kotak tersebut menunjukkan adanya tanggungjawab Sultan terhadap kemaslahatan rakyat.
  • Balok penghubung yang harus diketam halus adalah penggambaran budi pekertinya orang beriman, sebagai analogi bagi penghuni istana,
  • Tiang Istana di bagi menjadi 3 (tiga) yang pertama disebut Kabelai/Tutumbu (tiang tengah = tumbuh terus), disimbolkan sebagai ke-Esa-an Tuhan yang pencerminannya diwujudkan dalam pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih pada ujung bagian atas tiang. Penempatan kain putih harus melalui upacara adat (ritual) karena berfungsi sakral. Berikutnya adalah Tiang Utama sebagai tempat meletakkan tada (penyangga). Bentuk tada melambangkan stratifikasi sosial atau kedudukan pemilik rumah dalam Kerajaan/Kesultanan. Tiang lainnya adalah tiang pembantu, bermakna pelindung, gotong royong dan keterbukaan kepada rakyatnya. Ketiga tiang ini di analogikan pula sebagai simbol kamboru-mboru talu palena, yang maksudnya ditujukan kepada tiga keturunan (Kaomu/kaum) pewaris jabatan penting yakni Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha.
  • Tangga dan Pintu mempunyai makna saling melengkapi. Tangga depan berkaitan dengan posisi pintu depan, sebagai arah hadap bangunan yang berorientasi timur-barat bermakna posisi manusia yang sedang shalat. Pemaknaan ini berkaitan dengan perwujudan Sultan sebagai pencerminan Tuhan yang harus di hormati, dan secara simbolis mengingatkan pada perjalanan manusia dari lahir, berkembang dan meninggal dunia. Berbeda dengan tangga dan pintu belakang yang menghadap utara disimbolkan sebagai penghargaan kepada arwah leluhur (nenek moyang/asal-usul).
  • Lantai yang terbuat dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan adalah bangsawan dan melambangkan pribadi sultan yang selalu tenang dalam menghadapi persoalan.
  • Dinding sebagai penutup atau batas visual maupun akuistis melambangkan kerahasian ibarat alam kehidupan dan alam kematian. Dinding dipasang rapat sebagai upaya untuk mengokohkan dan prinsip Islam pada diri Sultan sebagai khalifah.
  • Jendela (bhalo-bhalo bamba) berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara. Pada bagian atasnya terdapat bentuk hiasan balok melintang member kesan adanya pengaruh Islam yang mendalam. Begitu pula pada bagian jendela lain yang menyerupai kubah. dll
Makna simbolis pada Dekorasi Kamali/Istana Malige terbagi dua yakni yang berbentuk hiasan flora dan fauna, diantaranya adalah:

  1. Nenas merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat. Secara umum simbol ini menyiratkan bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat seperti nenas, yang walaupun penuh duri dan berkulit tebal tetapi rasanya manis.
  2. Bosu-bosu adalah buah dari pohon Butun (baringtonia asiatica) merupakan simbol keselamatan, keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa pra-Islam. Pada pemaknaan yang lain sesuai arti bahasa daerahnya bosu-bosu adalah tempat air menuju pada perlambangan kesucian mengingat sifat air yang bening dan suci. Upacara ritual tertentu bagi masyarakat Buton tidak dianggap sah apabila tidak diadakan sejenis makanan tradisional yang disebut katupa butu, yang berarti ketupat butun, yakni ketupat sebesar buah butun (Yunus, 1995:11)
  3. Ake merupakan hiasan pinggir atap yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana Malige, Ake dimaksudkan sebagai wujud kesempurnaan dan lambang bersatunya antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan). Konsepsi ini banyak dikenal pada ajaran tasawuf, khususnya Wahdatul Wujud (Saptono, 1996:18)
  4. Kamba/kembang yang berbentuk kelopak teratai melambangkan kesucian. Karena bentuknya yang mirip pula matahari, orang Buton biasa pula menyebutnya lambang Suryanullah (surya=matahari, nullah=Allah). Bentuk ini adalah tempat digambarkannya Kala pada masa klasik, dan merupakan pengembangan Sinar Majapahit pada masa Pra Islam di Buton, mengingatkan hubungan persaudaraan dan persahabatan Kerajaan Buton dan Kerajaan Majapahit masa lalu berdasarkan penyebutan dan keberadaan Kerajaan Butun/Buton di beberapa pupuh/pasal dalam kitab Negara Kertagama. Adapun kedudukan simbol matahari yang biasa digambarkan, sekarang hanya berupa volute (Subarna, 1987:100). Simbol kamba ini terdapat pula pada beberapa Nisan Kuna bangsawan Buton masa lalu. 
  5. Terdapatnya Naga pada bumbungan atap, melambangkan kekuasaan, dan pemerintahan. Pada masa Hindu-Budha hiasan Naga dihubungkan dengan ceriteraSamodramanthana. Cerita ini berisi tentang usaha para dewa mengacau laut untuk mendapatkan air amerta (Soekmono dalam Saptono, 1996:19). Naga adalah Binatang Mitos yang berada di Langit,. Naga juga merupakan lambang alam bawah (bumi) sebagai kesuburan, juga merupakan lambang alam kematianyang menjamin dan dijadikan kendaraan dari dunia ke alam baka. Motif naga menjadi hiasan yang terdapat diseluruh Asia hingga Australia (Bintarti, 1987:292). Keberadaan Naga di khasanah simbolisasi Buton, mengisahkan pula asal-usul bangsa Wolio yang di yakini datang dari daratan Cina.-Mongol.
  6. Terdapatnya Tempayan berlambangkan kesucian. Tempayan ini mutlak harus ada di setiap bangunan kamali, mesjid, tempat atau makam suci, maupun rumah rakyat biasa. dll
Kamali/Istana Malige dalam penataan struktur bangunannya, didasari oleh konsep kosmologis sebagai wujud keseimbangan alam dan manusia kepada tuhannya (Allah SWT). Disisi lain keberadaannya merupakan media penyampaian untuk memahami kehidupan masyarakat pada jamannya (kesultanan) dan sebagai alat komunikasi dalam memahami bentuk struktur masyarakat, status sosial, ideologi dan gambaran struktur pemerintahan yang dapat dipelajari melalui pemaknaan lambang-lambang, simbol maupun ragam hiasnya secara detail.

Secara umum dapat digambarkan bahwa susunan ruangan dalam istana Malige adalah sebagai berikut:

  1. Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebagai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebagai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan dipergunakan sebagai makar anak perempuan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.
  2. Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
  3. Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi.
  4. Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Di samping kamar bangunan Malige terdapat sebuah bangunan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini dipergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. Ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia.
Sangat disayangkan jika keberadaan bangunan maupun pemaknaan simbol tersebut cenderung di abaikan, contoh kasus adalah banyaknya bangunan rumah/gedung permanen (batu dan semen) di lokasi Situs Benteng Keraton Buton dan situs benteng lainnya di daerah ini yang jelas menyalahi konsep pelestarian. Kasus lain adalah keberadaan dari replika rumah adat Malige di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, menyalahi citra/image, karena bangunan tersebut telah di padukan dengan rumah etnis lain selain Buton, yang seharusnya di bangun secara terpisah agar Identitas dan keragaman khasanah rumah adat tradisional Sulawesi Tenggara khususnya dan Indonesia umumnya itu semakin jelas bukan malah samar-samar. Kasus lain yang lebih aneh adalah peng-karakter-an simbol Naga di Pantai Kamali Kota Bau-Bau, yang seharusnya Naga merupakan simbol binatang langit, bukan simbol binatang bumi. 

Mari kita semua membuka jendela hati, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai dan kearifan budaya lokal, terutama dalam pemaknaan simbolis, baik itu lambang maupun ragam hias, sebagai karya monumental para leluhur yang masih tetap mengawasi tindak tanduk anak cucunya di dunia. Satu hal yang perlu kita ingat bersama bahwa “sesungguhnya manusialah satu-satunya mahluk yang dapat dibunuh dengan sebuah lambang (simbol)” (by Leslie White). Jadi, berhati-hatilah dengan sebuah simbol.****



Daftar Pustaka:

  1. Abubakar, Laode, 1999, “Pemahaman Tentang Sejarah Yang Bernama Wolio-Butuni”, Majalah Budaya Buton Edisi I, II, dan III Kendari:Yayasan Wolio Malagi. Ambary, Hasan. M, 1987, 
  2. “Pengamatan beberapa Konsepsi Estetis dan Simbolis Pada Bangunan Sakral dan Sekuler Masa Islam di Indonesia”, Diskusi Ilmiah Arkeologi II (Estetika dalam Arkeologi Indonesia), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  3. Andjo, Nur Ikhsanuddin, 1999, “Rumah Adat Buton”, Majalah Budaya Buton Edisi II dan III, Kendari: Yayasan Wolio Malagi. 
  4. Bintarti, D.D, 1987, “Seni Hias Prasejarah : Suatu Studi Etnografi, Diskusi Ilmiah Arkeologi II (Estetika dalam Arkeologi Indonesia), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  5. Musadad, dkk, 1998, “Struktur dan Organisasi Ruang Kota Kartasura Masa Mataram Islam”, Berita Penelitian Arkeologi, Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta. 
  6. Nusriat, 1988, “Mesjid Keraton Buton”, Skripsi, Ujung Pandang : Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. 
  7. Saptono, M. Nanang, 1996, “Sekilas Mengenai Arsitektur Tradisional Masa Islam di Kotamadya Pontianak”, Prospek Arkeologi, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi. 
  8. Soejono, RP, (ed), 1982, “Penelitian dan Perlindungan sebagai Dua Aspek Pokok dalam Kegiatan Arkeologi”, Analisis Kebudayaan II No. 1, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  9. Sumintardja, Djauhari, 1978, “Kompendium Sejarah Arsitektur” Jilid I, Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. 
  10. Yunus, Abd Rahim, 1995, “Posisi Tasawuf dalam Sistim Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19”, Jakarta: Indonesia-Netherland Cooperation in Islamic Studies (INIS).