bumi buton indonesia

bumi buton indonesia
PROSESI PINGITAN ALA BUTON

Jumat, 28 Mei 2010

KONSTELASI SEJARAH BUTON MASA LALU DAN MASALAHNYA

OLeh : Rusman Bahar 




 A. Pendahuluan
Awalnya kerajaan Buton bukanlah Kerajaan yang kaya, namun wilayahnya yang strategis sebagai jalur perdagangan menjadi incaran oleh kerajaan-kerajaan tentangganya seperti Ternate dan Gowa termasuk VOC, dan juga Inggris pada akhir abad ke-18. Perebutan pengaruh kekuasaan menjadikan Buton harus memilih “Sahabat” yang mampu melindungi kedaulatan Kerajaan Buton, dan hasilnya pada tanggal 17 desember 1613 tercetus perjanjian “Persekutuan Abadi” dengan VOC, yang menghasilkan berbagai intrik, sosial politik, sepanjang sejarah Kesultanan baik dari dalam maupun luar pemerintahan Kesultanan Buton. Berakhirnya dominasi Belanda di nusantara 1824 (perjanjian London 1824) menjadikan Kesultanan Buton mengalami kemajuan dan justru banyak memberikan bantuan kepada Belanda antara lain ikut mengadakan persetujuan sepihak dengan Belanda (1824), mendamaikan Kerajaan Bone dengan Belanda melalui perjanjian Bongaya (1824) dan ikut serta dalam perang Diponegoro (1825-1830) (mu'jizah 2007). Perubahan yang menonjol terjadi ketika Buton menjadi ibukota Afdeeling Sulawesi Timur pada tahun 1911 dan pada tahun 1915, Afdeling Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan dengan Bungku dan Mori yang dipusatkan di Buton. Selanjutnya Buton menjadi Kota pusat urbanisasi dan perdagangan terbesar di bagian timur. Tahun 1960 Buton menjadi bagian Indonesia, yang menandakan berakhinya pula Kesultanan Buton, juga sempat menjadi Ibu Kota Sulawesi Tenggara sampai tahun 1964. (Rabani La Ode;2004).
B. Perang Buton 
1. Perang Buton dengan Armada kapal La Bolontio (akhir abad ke -15!).
Perang besar pertama yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Buton yaitu perang melawan Armada kapal La Bolontio yang menguasai perairan banda pada akhir abad ke-15!. Tidak banyak literature yang menjelaskan asal dari La bolontio. Beberapa Sumber menyebut bahwa Labolontio adalah seorang Bajak Laut yang menguasai kepulauan Moro di Filipina, perairan banda sampai selayar. Namun dalam manuskrip Buton, tercatat bahwa labolontio adalah seorang kapten laut dari kepulauan Tobelo Kesultanan Ternate. La bolontio memimpin pasukan laut dibawah perintah Sultan Ternate ke-4 Sultan Baabullah Datu Sah (1570-1584), untuk memperluas wilayah kekuasaannya juga dalam rangka menyebarkan pengaruh Islam di kawasan timur Nusantara termasuk Buton, Bima, Selayar dan Makassar yang pada saat itu kebanyakan Kerajaan masih beragamakan Hindu. Penyerangan Armada Labolontio ke Buton terjadi pada saat kerajaan Buton masih dipimpin raja ke-5 Rajamulae ( sampai dengan 1491). Disini terlihat ada perbedaan interval waktu yang sangat jauh antara masa Rajamulae dengan Sultan Baabulah yang terpaut hampir 90 tahun. Namun jika di konversi ketahun Rajamulae maka diperoleh kemungkinan kesamaan waktu antara Raja Buton dengan Sultan Ternate pada masa Pemerintahaan Sultan pertama Ternate Zainal Abidin (1486-1500). Kehebatan Armada Laut Labolontio sangat disegani dan merupakan ancaman yang menakutkan bagi kerajaan-kerajaan lain pada saat itu. Dalam rangka mempertahankan kerajaannya, Raja Mulae meminta kerajaan-kerajaan Baratha [daerah penunjang pertahanan kesultanan Buton yang memiliki raja sendiri (Wuna ( Muna ), Kulisusu, Tiworo dan Kaledupa)] untuk mempertahankan kerajaan Buton. Adalah La kilaponto [anak dari Sugimanuru (Raja wuna ke-3) dan cucu dari Bataraguru (Raja Buton ke-3) yang kebetulan juga adalah kemenakan dari Raja mulae] yang pada saat itu menjadi raja Wuna IV memimpin penyerangan terhadap Armada Labolontio bersama Raja Selayar Opu Manjawari didukung rakyat Muna dan Kulisusu. Peperangan Armada laut Buton–Selayar dengan Pasukan Armada Labolontio dimenangkan oleh pasukan Lakilaponto bersama Opu Manjawari di daerah yang sekarang lebih di kenal dengan nama Labuantobelo (Labuan = Pelabuhan/persinggahan ; Tobelo = Daerah/pulau Tobelo). Berkat Jasa keduanya, maka Kerajaan Buton mengankat Lakilaponto menjadi Raja ke-6 Buton (1491-1527) yang selanjutnya menjadi Sultan ke-1 Buton dengan gelar Sultan Kaimuddin khalifatul khamisi (1528 – 1537) [<tahun kesultanan ini saya pakai merujuk pada penelitian La Niampe tentang sejarah masukanya islam ke tanah Buton>] dan Opu manjawari mejadi Sapati di Kerajaan Buton. Pengangkatan Lakilaponto menjadi Raja Ke-6 Buton dan Opu Manjawari dari selayar menjadi Sapati di Buton dapat menjelaskan bagaimana Kedudukan Kerajaan Buton terhadap kerajaan disekililingnya. Begitupun kerajaan Selayar Namun ada yang khusus bagi Raja Selayar Opu Manjawari. Apakah Raja Selayar mempunyai hubungan darah dengan raja Buton, ataukah Selayar merupakan bagian dari kerajaan Buton atau Sahabat Kerajaan buton, atau sahabat raja Muna? Atau apa yang sebenarnya telah terjadi di Selayar? Namun ini agak sangat sulit dijelaskan dan perlu pengkajian sebab keberhasilan seorang Raja Selayar mengalahkan Pasukan Labolontio menjadikan dirinya Pati kerajaan Buton, walaupun pada akhirnya cucu dari Sapati Manjawari hasil perkawinan dari anak perempuanya dengan Lakilaponto bernama La Sangaji menjadi Sultan Ke-3 Buton (1566-1570). La Sangaji merupakan Sultan yang merintis pembangunan Benteng Keraton Wolio yang merupakan benteng pertahanan terkuat di zamannya serta menjadi saksi perang kesultanan Buton yang masih kokoh hingga sekarang.
2. Perang Buton – Belanda . (1637 – 1638) 
Hubungan diplomatic yang di sepakati antara VOC dengan kesultanan buton sejak Kesultanan ke-4. Sultan La Elangi (Dayanu Iksanuddin ; 1578-1615 M) dengan di ikrarkannya “Persekutuan Abadi” oleh Apollonius Scotte dibawah Gubernur Jendral Pieter Both tahun 1613 lambat laun semakin retak, ini disebabkan karena kebanyakan dari anggota garnisium Belanda selalu menipu dan berbuat sesuatu yang arogan terhadap rakyat Buton. Keadaan ini memicu ketidakpercayaan didalam petinggi Kesultanan untuk melanjutkan perjanjian tersebut, hingga terjadi penyerangan kapal Velzen milik VOC yang didukung Sapati Kesultanan yang menentang perjanjian. Penyerangan kapal dagang VOC yang terdampar di salah satu wilayah kadie (wilayah kecil kesultanan dibawah perintah kesultanan Buton) di pulau Wawoni menimbulakan kesalahpahaman dan perpecahan yang berakhir dengan peperangan. …Walau bagaimanpun, anggota garnisun baru Belanda di Bau-Bau itu ternyata“bermain bak binatang dengan cara yang menjengkelkan” (Ibid.:308), sehingga Sultan dan rakyatnya merasa “amat terganggu” (Idem). Hasilnya, pada pertengahan tahun 1613 gabenor jeneral VOC P. Both singgah di Buton dan menjatuhkan hukuman ke atas “binatang” VOC itu. Schoorl dalam pembahasannya mengenai sejarah Buton memberitakan dengan terperinci kejadian itu, termasuk suatu penipuan antara orang VOC sendiri (1991:27; 2003:22-23). Pada tahun 1624, Sultan Buton meminta bantuan daripada Belanda untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan Makassar. Tetapi, VOC tidak menghiraukannya sehingga pada tahun 1634 laporan bahawa Buton telah menjadi daerah taklukan Kerajaan Gowa-Makassar diterima. Ternyata banyak perselisihan telah berlaku dengan penaklukan Makassar itu dan penggantian takhta kerajaan Buton pada tahun 1635/36 menjadi alasan suatu konflik yang mendalam telah berlaku dalam pemerintahan Buton. [Makassar] di bawah sapati, semacam “perdana menteri” kesultanan, mendukung pembantaian awak sebuah fluyt VOC, Velzen, yang terkandas di Pulau Wowoni, serta pembunuhan, penawanan dan penyiksaan terhadap kakitangan sebuah kapal dagang peribadi Belanda yang singgah di Bau-Bau. Sultan menempatkan isteri nakhoda kapal partikulir Belanda yang ikut ditahan, Elsje Janszoon, itu di rumah isterinya sendiri dengan diberi layanan dengan baik, di mana ia “menginap sebagai tamu [dan] selalu diperlakukan dengan baik” (Schoorl 1991:32-34, 2003:30-31). Akhirnya, pada tahun 1637 dan – dalam skala lebih besar– tahun 1638 VOC menyerang Bau-Bau, “met intentie […] in d’assche te leggen tot revengie ende exempel van de leelycke moort” (“dengan maksud […] dihanguskan habis sebagai balas dendam dan contoh atas pembunuhan yang keji itu”) (Schoorl 1991: 311). Akan tetapi, kedua-dua serangan itu tidak berhasil merebut benteng Wolio yang merupakan pusat Kesultanan Buton. Setelah itu, hanya sesekali terjadi hubungan antara Belanda dan Buton, di mana “dari kedua belah pihak terlihat sikap berhati-hati” (Schoorl 1991:34-38, 2003:31-38 ( Horst h. Liebner;2007) catatan Schoorl sangat jelas menggambarkan hubungan Kesultanan Buton dan VOC yang pasang surut dan berakhir dengan perang yang sangat dasyat. Sultan ke-5 Sultan La Balawo (1617-1632) merasakan ancaman invasi dari kerajaan Makassar yang telah menaklukan Selayar, sehingga Sultan berinisiatif untuk meminta bantuan kepada Belanda yang berada di Batavia jikalau nantinya kerajaan Gowa menyerang Buton, mengingat Makassar adalah salah satu kerajaan yang kuat pada masa itu, namun surat tersebut ternyata tidak dihiraukan. Keadaan ini membuat konflik internal dalam Kesultanan Buton, akibat hilangnya kepercayaan petinggi Kesultanan Buton (Sapati) terhadap Belanda namun sebagian lagi golongan masih mengharapkan bantuan dari Kerajaan Belanda sebagaimana keyakinan mereka terhadap perjanjian persekutuan abadi yang telah di ikrarkan oleh Sultan terdahulu. Schloor juga menjelaskan bagaimana Penyerangan di bawah pimpinan Sapati yang mendukung penyerangan menghancurkan kapal – kapal VOC yang terkandas di pulau Wawonii dan melakukan pembantaian awak sebuah Fluyt VOC, Velzen, serta pembunuhan, penawanan dan penyiksaan terhadap kakitangan sebuah kapal dagang peribadi Belanda yang singgah di Bau-Bau. Meskipun Sultan menempatkan isteri nakhoda kapal partikulir Belanda yang ikut ditahan, Elsje Janszoon, itu di rumah isterinya sendiri dengan diberi layanan dengan baik, di mana ia “menginap sebagai tamu dan selalu diperlakukan dengan baik ‘’ Namun tidak menyurutkan keinginan Belanda untuk membumi hanguskan Kesultanan Buton, untuk memberi pelajaran atas kekejian yang (menurut mereka) dilakukan atas perintah Sultan Buton. Penyerangan pertama Belanda dilakukan pada akhir tahun 1637 di lanjutkan penyerangan kedua tahun 1638 dengan jumlah armada dan persenjataan yang lebih besar. Serangan armada VOC terjadi pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-6 Sultan La Buke (1632-1645). Pertempuran tersebut sangat dasyat dan menimbulkan banyak korban dari kedua belah pihak. Meskipun banyaknya korban yang berjatuhan dari pihak Buton, sampai pertempuran berakhir, armada Belanda tidak berhasil menjatuhkan dan merebut benteng keraton Wolio dimana merupakan pusat Kasultanan Buton.

3. Perang Buton - Makassar di Teluk Buton (1666-1667) 
Perang Buton dengan kerajaan Makassar adalah konskuensi atas tindakan Kesultanan Buton yang memberi suaka politik pada Aru palaka yang melarikan diri bersama beberapa pengikutnya atas kejaran kerajaan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin (1631 – 1670). Sebagaimana yang diterangkan dalam kajian horst h. Liebn 2007 Mac Leod dapat menerangkan alasan Speelman membantu Kesultanan Buton pada saat di serang pasukan Makassar awal tahun 1667, yaitu dikarenakan Speelman merasa berhutang atas bantuan Sultan yang telah menyelamatkan 600 armada VOC beserta muatan dan alat persenjataannya termasuk yang telah di ambil oleh nelayan setempat (sagori), ketika 4 dari 5 Armada VOC yang menuju Ternate karam di kepulauan Sagori tahun 1650, meskipun saat itu hubungan VOC dengan Buton masih renggang. …Demikian juga dengan sebahagian besar muatan dan senjata VOC yang telah diselamatkan dengan yang lain diambil orang tempatan. Yang paling penting adalah berkembangnya hubungan persahabatan antara orang Buton dan pendatang dari Eropah: Selain terjalinnya hubungan diplomat yang erat antara VOC dengan Kerajaan Wolio (yang kebetulan pada awal tahun 1667 adalah alasan bagi Laksamana Speelman untuk membantu Sultan Buton ketika diserang armada Makassar!), (Mac Leod 1927:429). Dalam festival Nusantara 10/2009) menceritakan asal usul dinamakannya pulau Makassar yang berada di teluk Bau-bau tersebut tidak lepas dari sejarah peperangan yang terjadi di Buton antara Kerajaan Makassar dengan Buton yang dibantu oleh Belanda pada tahun 1666 Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan mengirim 20.000 pasukan dengan tujuan menggemur Kerajaan Buton. Dalihnya, Kerajaan Buton melindungi Aru Palaka yang memberontak terhadap Kerajaan Gowa. Serangan tersebut dilakukan setelah tersiar kabar bahwa Aru Palaka, yang tidak lain adalah putra seorang bangsawan Bone itu, melarikan diri dan bersembunyi di Buton sejak 1660. Saat melarikan diri, Aru Palaka membawa putri Raja Gowa Daeng Talele. Kabar tersebut tersiar setelah Sultan Buton menerima Aru Palaka dengan tangan terbuka dan bahkan mengikrarkan kerja sama dengan Bone. Buton berhasil memukul mundur serangan Gowa atas bantuan pasukan Belanda yang dikirim dari Batavia. Pasukan Gowa yang dikomandani Karaeng Bonto ditawan dan dikucilkan di sebuah pulau kecil di perairan Teluk Baubau. Saat itu, warga Buton menyebut pulau tersebut Liwuto yang berarti pulau. Ketika pasukan Belanda melanjutkan perjalanan ke Ternate, Sultan Buton melepaskan pasukan Gowa yang ditawan di pulau tersebut. Pelepasan itu dilakukan setelah kerajaan Gowa membayar tebusan. Sejak saat itu, pulau tersebut lebih dikenal sebagai Pulau Makasar. Maknanya, pernah menjadi tempat bagi penawanan pasukan Gowa yang berasal dari Makassar. (jawa Pos 10/2009) Dipimpin Karaeng Bonto Marannu, Armada Kerajaan Gowa didukung kesultanan Bima dan Luwu dengan 700 Armada kapal dan 20.000 prajurit menyerang Kesultanan Buton pada akhir tahun 1666, yang pada saat itu kesultanan Buton berada dibawah pemerintahan Sultan ke-10 La Simbata (Sultan Adilil Rakhiya; 1664-1669 M), Pertempuran hebat diteluk Bau-bau oleh kesultanan Buton di bantu dengan Belanda dibawah pimpinan Cornelis Speelman dan prajurit Bone bertempur melawan Armada kerajaan Gowa. Pertempuran tersebut mengakibatkan kekalahan besar bagi kerajaan Gowa. Dan ribuan prajurit termasuk Karaeng Bonto Marannu di tawan dan di asingkan di Liwuto Makasu (baca; pulau Makasar). Dalam catatan Belanda, Pulau Makkasar dinaman juga “Makassarsch Kerkhof” atau Kuburan Makassar. Adalah mantan Sultan Ke-9 Buton yang kemudian membebaskan dan memulangkan mereka, sedangkan Daeng Mandangi dan Daeng Mandongi, Serta Karaeng Gasalah kawin dengan penduduk setempat. Tentang Aru Palakka (baca; Arung Palakka ) dalam sejarah Bone menceritakan, Meskipun Aru Palakka tumbuh besar dalam didikan kerajaan Makassar, namun Aru Palakka adalah bangsawan yang tidak suka pada pemerintahan Hasanuddin yang menjadikan rakyatnya sebagai perkerja (budak). Kesewenang-wenagan pemerintahan Gowa memberlakukan rakyat Bone memicu rasa siri (harga diri) bagi Aru Palakka. ketidaksenangan Aru Palaka ini di wujudkan dengan pemberontakan terhadap kerajaan Makassar. Namun Aru palaka tidak dapat melawan gempuran kerajaan Makassar sehingga memaksa Aru Palakka bersama Tobala mencari perlindungan meninggalkan Bone dan pergi ke Buton dengan beberapa ratus pengikutnya. Ada kisah yang menarik sehubungan dengan pelarian Bangsawan Bone Aru Palakka ke Negeri Buton. Pada saat pengejaran kerajaan Makassar sampai ke Buton. Utusan Makassar Karaeng ri Gowa menanyakan keberadaan Aru Palaka kepada Sultan Ke-9 La Awu (Sultan Malik Sirullah ;1654-1664 M) namun pertanyaan itu dijawab dengan sumpah yang menyatakan bahwa “Aru palakka tidak ada di atas tanah Buton ini, Jika ucapanku salah, maka air akan menenggelamkan negeri Buton”. Sumpah ini diterima dan dianggap sah yang tentu saja mengecewakan prajurit kerajaan Makassar yang pulang tanpa hasil. Namun sesungguhnya pada saat Sultan Buton mengangkat sumpah, Aru Palakka memang berada di Buton, tetapi bersembunyi di dalam ceruk goa yang berada tepat di bawah benteng Keraton Buton (Baca; Liana La Toondu). Belakangan keberadaan Aru palaka diketahui Kerajaan Gowa yang ternyata berada di Buton sejak tahun 1660. Kejadian ini membuat Sultan sakit hati dan marah karena keberanian Buton melindungi Aru Palakka serta merasa tertipu oleh sumpah Sultan Buton. Rasa marah Sultan membuat kerajaan Gowa mengirim armada perangnya melakukan penyerangan secara besar-besaran ke Buton demi menghancurkan Kesultanan Buton dan menangkap Aru Palakka hidup atau mati. Peristiwa pelarian Aru palaka ke Kesultanan Buton dan upaya penyelamatan dengan menggunakan sumpah, menjadi buah bibir dan selalu di kenang bagi masyarakat Bone – Buton hingga sekarang.

4. Perang Makassar (1966 – 1969) 
Kekalahan besar pasukan Armada kerajaan Gowa di Buton melemahkan pertahanan kerajaan Gowa di Makassar. Hal ini dimamfaatkan oleh kerajaan-kerajaan yang sebelumnya berada di bawah tekanan Kerajaan Gowa, kembali balik menyerang. VOC dibawah pasukan Speelman, Ternate dibawah Sultan Mandarsyah (1645-1675), Buton dibawah Kapitalao Jitanggalawu dan Bone di Bawah pasukan Aru palaka melakukan penyerangan besar-besaran ke Makassar baik dari laut maupun darat pada tahun 1667. Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dan Armada Karaeng Galesong mendapat pukulan hebat dan kekalahan besar sehingga memaksa Sultan Hasannudin tunduk dan menandatangani perjanjian Bongaya November 1667. Berjanjian tersebut merupakan kemunduran besar bagi kerajaan Gowa karena harus melepaskan dominasi kekuasaannya terhadap kerajaan-kerajaan lain dan salah satunya pelepasan pemerintahan atas kerajaan Bone. Meskipun perjanjian Bongaya sudah disepakati namun serangan sisa-sisa perlawanan kerajaan Gowa yang menentang perjanjian tersebut masih terus terjadi (1668). Nanti setelah tahun 1669 perlawanan selesai setelah benteng Somba Opu telah rata dengan tanah. ….Pelayaran padah itu adalah sebahagian daripada ikhtiar VOC yang telah menjadi sebuah kekuatan politik dan tentera untuk menguasai sumber rempah ratus itu. Pergelutan untuk penguasaan atas sumber rempah ratus di Maluku itu hanya berakhir dengan penaklukan Makassar oleh bala tentara gabungan Bugis-Ternate-Buton-Belanda dalam Perang Makassar, 1666-69 dengan ditundukkannya Ternate pada tahun 1677/1684 (Chaudhuri 1985; Reid 1988-1993) . (horst h. Liebner;2007) Kutipan Naskah teks surat kapitalao Buton Jitawanggalu yang berada bersama Sultan TERNATE Sultan Mandarsyah (1645-1675) Oktober tahun 1669 yang di tulis di Makassar kepada Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker di Batavia. Naskah surat tersimpan di UB leiden Belanda dengan Kode K.Ak.98 …. “[S]ahabat Kapiten Laut [Buton] mem[b]eri maklum kepada Gurnadur Jen[d]ral tatkala disuruh oleh Sahabat Raja Buton kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada A[d]miral Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita”….. … “Tertulis dalam Benteng Parinringa yang be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (; kata sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh genap”. (Suryadi; 2009) Jelas bahwa K.Ak.98 ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman. Isi surat ini cukup menggambarkan posisi politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton (Suryadi; 2009).

5. Perang Buton Belanda tahun 1752 dan 1755 - 1776 
Perjanjan Bongaya tahun 1667 di Makassar ternyata tidak memberi pengaruh yang luas terhadap Kesultanan Buton, walaupun kenyataannya Kesultanan Buton mepunyai andil yang sama dengan Ternate dalam upaya penaklukan Makassar 1666-1669. pemberian porsi kekuasaan yang besar terhadap kerajaan ternate dan VOC/kompeni sendiri dirasa sebagai upaya pengurangan kekuatan/ wilayah kekuasaan Buton dan sebagai usaha adu domba dengan Kerajaan Ternate. Salah satu pasalnya yaitu dengan memberikan pengakuan wilayah seluruh pantai timur Sulawesi dari Menado ke Pansiano (Wuna) adalah dulunya merupakan milik raja Ternate (pasal 17). Disamping itu perjanjian yang berkaitan dengan monopoli dagang Hindia-belanda dengan dihapuskannya bea dan pajak impor maupun ekspor terhadap kompeni (pasal 8) yang diterapkan diseluruh persekutuan Belanda, dampaknya mulai dirasakan Kesultanan Buton yang saat itu mengakibatkan hilangnya salah satu pemasukan kerajaan sebagai daerah transit kapal-kapal yang menuju ke timur (Ternate-Ambon-Papua) dan ke barat (Makassar-Jawa-Bali). hubungan Buton-Kompeni sangat tegang dalam period pemerintahan Sultan Buton ke-20 dan 23, Himayatuddin, alias Oputa Yikoo alias Lakarambau (1751-1752 & 1760-1763). Seperti Sultan Azim Al-Din, Sultan Himayatuddin tidak mengindahkan isi perjanjian 1667 yang disemak Kompeni untuk kepentingan mereka sendiri. Selain itu, ada sebab lain pemicu ketegangan itu, iaitu peristiwa tenggelamnya kapal Rustenwerk milik VOC di luar pelabuhan Bau-Bau tahun 1752 yang kononnya diserang orang Buton. (Suryadi 2007) Adalah sultan Buton ke- 20 dan 23 La Karambau ( Sultan Himayatuddin ; 1751-1752 dan 1760-1763) yang mencoba melakukan perlawanan terhadap arogansi dari Kompeni. La karambau tidak mengindahkan perjanjian 1667 yang dianggapnya sangat menguntungkan kompeni. Salah satunya aksinya yaiu dengan melakukan penyerangan terhadap kapal Rustenwerk milik kompeni Belanda di bawah pimpinan Kapten Mazius Tetting. Kejadian bermula pada saat Sultan mengirim beberapa orang menuju kekapal Belanda yang sedang berlabu di perairan Buton untuk menegosiasikan pembayaran. Namun kompeni tidak mau mau membayar ongkos berlabu dan akhirnya terjadi pertengkaran dan saling menyerang. Utusan Buton lalu membunuh dan menawan sebagian kelasinya dan menjarah isi kapal pada 28 juni 1752. Peristiwa tersebut membuat marah kompeni dan hubungan Buton-Belanda menjadi renggang. Kemarahan kompeni ditampilkan dengan meminta seribu orang budak sebagai ganti rugi. Bagi La Karambau hal ini tidak dapat kabulkan dan justru menentang permintaan dari pihak Kompeni tersebut. Akibat tindakan Sultan La Karambau, Kompeni Belanda mengirim pasukannya pada akhir 1752 di bawah pimpinan Johan Benelius menyerang Buton. …..Orang ini mewakili pihak yang berkuasa di Buton. Dia dan anak buahnya datang ke kapal itu untuk merundingkan perdagangan dengan Kompeni. Kedatangan mereka disambut awak kapal Rustenwerk bernama Andries Wylander dan Frans Franz dibawa menghadap kapten kapal. Rundingan itu berlangsung selama 5 jam diselingi makan dan minum-minum (juga minum wine). Namun, kemudian terjadi salah paham antara Frans Fransz dan kapten kapal. Frans Fransz dengan anak buahnya mengamuk di atas kapal itu. Akhirnya, kedua-dua belah saling menyerang dan membunuh dengan memakai pistol dan senjata tajam. Dua belas orang terkorban dalam kejadian itu dan para pengikut Frans Fransz menjarah isi kapal itu. Akibat peristiwa itu, hubungan Buton-Kompeni menjadi tegang. Kompeni marah dan minta ganti rugi dengan “[me]mintak seribu kepalah budak” (meminta seribu orang budak) kepada pihak Buton (kode: 23/Jawi/18/4; koleksi Faoka Zahari, Bau-Bau, hlm.3 baris 21-22). Pihak Buton tidak dapat memenuhi permintaan itu dan akhirnya Kompeni menyerang Buton pada awal 1752 di bawah pimpinan Johan Benelius. Pada 24 Februari 1755, Kompeni menyerang Buton lagi di bawah pimpinan Kapten Johan Casper Rijsweber. Mereka menggempur Keraton Wolio, mengakibatkan tewasnya beberapa orang petinggi kesultanan, antara lain kapitalao matanayo La Ode Sungkuabuso, dan beberapa orang sapati (A. Said, email 18-11-2005). ( Suryadi 2007) Demi mempertahankan kedaulatan kesultanan Buton, La Karambau turun memimpin perlawanan melawan Kompeni. Untuk mengisi kekosongan Pemerintahan maka Kesultanan Buton mengankat Sultan ke-21 Hamim (Sultan Sakiyuddin; 1752-1759) yang juga ternyata menetang keberadaan Kompeni. Kompeni tidak menyangka mendapat perlawanan hebat dari La Karambau yang juga di dukung Sultan Hamin, membuat mereka harus mundur. Hasilnya kompeni menambah armada perang kembali menyerang Buton pada februari 1755 di bawah pimpinan Kapten Johan Casper Rijsweber menggempur Keraton Buton. kembali kompeni mendapat perlawanan hebat dari pasukan La Karambau, walaupun tidak sehebat seperti pada awal perlawanan. Pasukan kompeni berhasil memukul mundur pasukan La karambau sehingga memaksa pasukan La Karambau harus melakukan penyerangan secara gerilya dihutan-hutan. Tehnik perang gerilya tersebut ternyata sangat berhasil dan mengusir pasukan Kompeni dari tanah Buton. Keberhasilan La karambau dalam mengusir pasukan Kompeni mejadikan dia dinobatkan kembali menjadi Sultan Buton Ke-23 menggatikan Sultan ke-22 yang menjabat cuma setahun La Seha (Sultan Rafiuddin; 1759-1760) dengan tambahan gelar Sultan Himayatuddin Oputa yi koo dalam makna Sultan Himayatuddin (La Karambau) Raja di hutan (1760-1763). Kembalinya La Karambau menjadi Sultan Buton ke-23 mendapat banyak pertentangan dari kalangan petinggi kesultanan termasuk juga mendapat tekanan dari Kompeni. Hal ini bagi sebagian kalangan, pengangkatan kembali Sultan La Karambau yang terlalu kritis terhadap kompeni dapat merusak perjanjian ”Persahabatan Abadi Buton-Belanda” yang telah di ucapkan oleh Sultan-sultan terdahulu. Karena desakan itu maka terjadi pergantian kepemimpinan dengan diangkatnya La Jampi (Sultan Kaimuddin;1763-1788) sebagai sultan Buton yang ke-24. Dan oleh Belanda, La Karambau menjadi orang yang paling dicari untuk di bunuh sebagai pertanggungjawaban atas tindakannya melawan serta membunuh banyak Kompeni. Meskipun telah turun tahta La Karambau memiliki banyak pengikut setia dan terus melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Perlawanan yang dipimpin La Karambau tersebut kembali mengakibatkan banyaknya korban yang berjatuhan. Satu pejabat tinggi bersama anak dan cucu La Karambau di tawan dan dibawa ke Belanda. Penyanderaan anak dan cucu ini tidak menyurutkan hatinya untuk memerangi Belanda, justru ia melanjutkan perlawanannya dengan strategi perang rakyat semesta bersama rakyat desa-desa dipantai timur Buton dengan taktik gerilya berpusat di puncak gunung Siontapina. Perjuangan Lakarambau melawan kezaliman dan ketidak adilan Belanda tersebut berlangsung selama 24 tahun (1752-1776) sampai ajal menjemputnya di puncak gunung Siontapina. (Mane Oba La Ode; 2009). Perang melawan Kompeni tersebut banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Di Buton, antara lain Sapati (pejabat tinggi Kesultanan),Bonto Ogena, Raja Lawele dan Tondana mantan raja Rakina dan termasuk kapitalao matanayo La Ode Sungkuabuso gugur dalam mempertahankan kedaulatan negrinya. (Labu Rope Labu Wana; zuhdi;1999 : Ligvoet, 1878-78-9) Sultan ke-24 La Jampi mencoba kembali menjalin hubungan Buton-Belanda yang telah retak. demi terciptanya hubungan kedua belah pihak, Sultan mengadakan persetujuan sepihak dengan Kompeni pada tanggal 12 maret 1766 yang hasilnya merugikan Kesultanan Buton. Inti dalam perjanjian adalah bahawa Belanda memasukkan Kerajaan Buton ke dalam Pax Neerlandica. kepada Kompeni, perjanjian ini adalah perluasan dari kontrak perjanjian pertama antara Buton dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Desember 1613 yang mengikat Persekutuan Abadi antara Buton dan Belanda (Schoorl 2003:69, n.4).v. Perjanjian ini mendapat perlawanan yang keras terutama bagi Sultan ke-25 La Masalamu (Sultan Azim Al-Din ; 1788-1791). Sultan Azim Al-Din dengan tegas meminta pihak Kompeni untuk meninjau kembali Perjanjian 1766 yang isinya merugikan pihak Buton. Salah satu pasal dalam perjanjian itu yang tidak disukai Sultan Azim Al-Din adalah ketentuan bahawa setiap penggantian sultan Buton harus dilaporkan kepada wakil Kompeni di Makassar (pasal 28). Pasal itu juga mengatur bahawa pihak Buton wajib berunding terlebih dahulu dengan Kompeni mengenai setiap calon Sultan baru mereka dan juga yang akan diturunkan dari takhtanya. Pasal ini jelas bertentangan dengan semangat perjanjian pertama Buton-Kompeni (Perjanjian 1613) dengan kedua-dua pihak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Jika dalam perjanjian 1766 Buton harus melaporkan setiap penggantian sultannya kepada Kompeni (yang mengisyaratkan pengetatan kontrol politik oleh Kompeni kepada Buton), maka masuk akal apabila Sultan Azim Al-Din yang ingin mempertahankan kebebasan Buton tidak dapat menerimanya. Dengan kata lain, Sultan Azim Al-Din menilai Kompeni sudah terlalu jauh ikut campur tangan dalam urusan politik internal Buton. Baginda cukup kritis dan tidak mahu tunduk kepada kemahuan Kompeni yang memang terkenal doyan kontrak. Kini, hampir 30 tahun kemudian, Sultan Azim Al-Din yang sedang berkuasa ingin agar kontrak perjanjian itu disemak lagi, melanjutkan protes para pendahulunya. Nada warkah balasan Kompeni itu cukup keras, walaupun mereka akhirnya mahu menyemak pasal 28 dalam perjanjian baru itu. Kompeni kesal dengan Sultan Azim Al-Din yang mengatakan bahawa Baginda tidak tahu-menahu isi perjanjian 1766. Itu tidak masuk akal, sebab sudah berkali-kali pihak Kompeni dan pembesar Buton saling berkirim warkah membahas perjanjian itu, baik sesudah ‘dipersumpahkan’ atau sebelumnya. Anihnya, tidak lama selepas itu, Sultan Azim Al-Din turun takhta dan Sultan Muhyiuddin Abdul Gafur naik takhta menggantikannya. (Suryadi 2007).

6. Perang Buton – Papua dan Seram 1796-1799!
Sebagai Sultan baru di Buton,Sultan ke-26 La Kopuru (Muhyiuddin Abdul Gafur; 1791-1799) berusaha memperbaiki hubungan Buton-Kompeni yang tegang pada tahun-tahun sebelum baginda naik takhta. Selain itu, ada juga dikesani bahawa secara peribadinya Sultan Muhyiuddin lebih dekat kepada Kompeni berbanding dengan Sultan Azim Al-Din. Langkah untuk mendekatkan diri dengan Kompeni adalah semacam strategi politik Sultan Muhyiuddin kerana Baginda menghadapi persoalan politik dalaman yang serius, selain ancaman dari luar. Ancaman luar yang terus menerus dirasakan Buton adalah perlumbaan pengembangan kuasa dari dua buah kerajaan besar jirannya: Ternate dan Makassar. Oleh itu, Sultan Muhyiuddin tetap bekerjasama dengan Belanda, penaung utama yang sejak dahulu lagi telah melindungi mereka. Sultan Muhyiuddin juga tidak lupa mengingatkan Kompeni agar jangan mengabaikan Buton, baik dalam masa damai atau dalam keadaan terancam. Ancaman luar juga datang dari orang-orang Seram (ditulis “Seran”) dan Papua. (Suryadi 2007) Supaya lebih memahami kondisi kerajaan Buton saat itu , penulis coba menampillkan naskah teks surat (warkah) Sultan Buton kepada Gubernur jenderal di Batavia pada tanggal 31 Oktober 1796, yang penulis kutip dari Warkah Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden CoD. Or. 2240-IA oleh Suryadi Qawluhu al-haqq wa-kalamuhu al-sidq, Bahwa inilah warkat al-mahbat dipesertakan dengan tabi hormat al-ta’zim dan takrim daripada Paduka Anakanda Sri Sultan Muhyiuddin raja Buton dengan segala wazir muazzam orang besar2nya dan menteri2 serta sekalian bobato natiasa mengandung hati terang benderang, barang disampaikan Allah Subhanahu wataala datang kiranya mendapatkan ke bawah qadam kursi Paduka Ayahandah Kompeni Tuan Heer Gurnadur Jenderal di Betawi yang memerintahkan sekalian alam Tanah Jawah dengan segala Tuan2 Raden van India yang ada sertanya di dalam kota Kompeni bernama Intan Betawi bandar yang kamaliyah… ….. Jadilah Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya dengan seboleh2 menyeru dengan sangat permintaannya yang amat kasihan hatinya di bawah kemuliaan dan kemurahannya oleh Paduka Ayahandah Kompeni Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi. Maka, jikalau ada kiranya suka dan rida lagi percaya kepada Negeri Buton, maka kami minta mau beli senapang barang empat ratus pucuk yang baik lagi bagus, dan obat empat puluh pikul, dan timah dua puluh pikul dan batu api barang empat ribu bilangan banyaknya. Maka, akan harganya telah juga di dalam surat utusan itu, tetapi di dalam {h}ati pun permintaan kami jikalau boleh dengan bolehnya, maka seyogianya Paduka Ayahandah Kompeni ditolong kami, jangan kiranya memeri sia-siakan permintaan kami ini, karena di dalam sukar Negeri Buton. Jikalau binasa Negeri Buton siapa lagi yang rugi dan yang bercinta melainkan Paduka Ayahandah kompeni jua adanya. Seperkara lagi, Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya bermaklumkan Paduka Ayahandah Kompeni Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi perihal adapun Negeri Papua dan Negeri Seran sudah berittifaq hendak menyerang Negeri Buton pada masa kehabisan daripada angin timur sekarang ini kehendaknya. Adapun jumlah bilangan banyaknya selaksi dua ribu orang yang menumpang kepada tiga ratus haluan perahunya. Maka, pada masa sekarang ini setengah telah sudah datang. Maka, peri yang diserangnya telah sudahlah empat negeri yang bernama Hawasangka dan Wawoluw dan Lasalimu dan Kaledupa serta dengan perkataannya: “Dimana negeri yang berpegang kepada Paduka Ayahandah Kompeni iaitulah akan hal kami hendak membinasakan dia”. Dan lagi, antara dua bulan ini telah sudah tiga kali yang membawa warta khabar yang sadiq kepada kami. Pertama, orang Bugis dan orang Buton yang telah ditangkapnya, maka ia lari kemari di Buton bersama2, lalu ia membawa warta khabar kepada kami seperti demikian hal perkataannya: “Adapun orang Papua yang tiga ratus perahu dari sana tiada lagi lain perginya hendak menyerang Negeri Buton.” Demikian jua adanya. Dan yang kedua lagi, orang Binongko yang telah lari kemari demikian lagi perkataannya: “Dimana2 negeri ang sekarang ini yang ada berpegang kepada Kompeni Walandah yang tiada ia mengikut Inggris, maka betullah kami membinasakan dia.” Dan yang ketiga, warta khabar yang datang kepada kami akan suruhan kami yang membawa surat kepada Gubernur di Mangkasar suruh bawa kepada Heer di sana dari Ternate. Maka, peri tatkala ia kembali utusan kami ini, maka bersinggah dari Banggai dan serta ia sampai dari Banggai utusan kami, maka raja Banggai telah adalah berkirim surat kepada Paduka Sri Sultan Buton dengan disuruhnya lagi utusan kami itu dengan segeranya kembali ke Buton. Demikianlah perkataannya: “Kembailah kamu lekas berdapat kepada Paduka Sri Sultan di Buton supaya diingatnya perahu yang tiga ratus di sana. Maka, tiadalah lain melainkan ke Negeri Buton jua hendak diserangnya.” Maka, inilah Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya daripada sebab ia membayangkan hal permintaan kami ke bawah daulat kemuliaan Paduka Ayahandah Kompeni yang amat kuasa di Bawah Angin dengan seharap2nya hal permintaan kami ini dengan harap yang sempurna telah habis dinyatakan jua adanya, demikianlah. ……… Sultan Muhyiuddin selalu melaporkan dengan rinci setiap peristiwa politik yang terjadi dalam kerajaannya ataupun memberi kabar tentang kapal-kapal Kompeni atau Inggris yang melintas di perairan Buton juga keamanan yang menyangkut perairan di Buton. ini di lakukan untuk menjaga hubungan diplomatic dengan Belanda di mana Belanda saat itu merupakan bangsa yang besar dan mampu memberi perlidungan dari ancaman oleh kerajaan atau bangsa lain. Sekitar bulan September 1796, sultan Mahyuddin mendapat kabar dari dua orang yang lepas dari tangkapan armada Seram dan Papua dan melaporkan bahwa Prajurit perang dari Seram dan Papua datang ke Buton untuk menyerang dan menghacurkan kerajaan Buton. Kemudian kabar itu di benarkan juga oleh masyarakat Binongko dan juga utusan Buton di Makassar yang sedang menuju Ternate namun diperjalannan dia mendapat khabar dari kerajaan Banggai kalau Buton hendak di serang. Rupanya Kerajaan Seram dan Papua tidak suka dengan Belanda, sehingga mereka akan menghancurkan siapa saja kerajaan yang bersekutu dengan Belanda dan tidak mau berhubungan dengan Inggris. Dapat disimpulkan bahwa aksi penyerangan tersebut mendapat dukungan dari kerajaan Inggris, yang kebetulan pada akhir abad ke-18 dengan Belanda saling berebut pengaruh di wilayah timur Nusantara. Dengan membawa 2000 prajurit dan 300 Armada kapal didukung persenjataan dari Inggris, pada bulan Oktober seperdua dari Armada tersebut telah tiba dan menggempur wilayah Buton bagian barat (Mawasangka), utara (Kulisusu) , timur (Kaledupa) dan Wawolowu. Keadaan ini membuat Sultan Muhyiuddin meminta kepada Belanda untuk segera menjual peralatan perang dengan harga yang terjangkau. Belum ditahu kapan berakhirnya perang tersebut. Namun yang pasti, pada masa pemerintahan Sultan ke-27 La Badaru (Sultan Dayanu Asraruddin; 1799-1823), kesultanan Buton Aman dari serangan luar dan hanya tercatat sekali pemberontakan dari dalam yaitu aksi makar Muna (1816-1824). Ada kemungkinan penyerangan berakhir pada tahun 1799 di bawah pimpinan La Badaru, karena sudah menjadi kebiasaan di Kesultanan Buton, pemimpin perang yang membawa kemenangan menjadi alasan buat “Sarana” (Badan Legislative Kesultanan) untuk dipertimbangkan menjadi Sultan. Ini juga dapat di lihat dari masa jabatannya yang lama (24 tahun), dimungkinnkan karena prestasinya yang gemilang. Sultan La Badaru Dayanu Asraruddin merombak beberapa aturan pemerintahan Kesultanan antara lain dengan membuat aturan Prosedur Militer dan aturan Sabandara (syahbandar). Peristiwa penting yang terjadi di masa kekuasaan Sultan Asraruddin adalah ditutupnya perjanjian dengan Kompeni di Makassar pada 12 Januari 1804 (Ligvoet 1878:87). Sultan Asraruddin tampaknya cukup kritis kepada Kompeni dibanding sultan sebelumnya sultan Muhyiuddin Abdul Gafur.

7. Perang Buton melawan Bajak Laut tahun 1824
Pada masa pemerintahan Sultan ke-28 La Dani (Sultan Anharuddin;1823-1824), tercatat bahwa beberapa kapal Bajak laut yang datang dari timur singgah di daerah Pasar Wajo dan menyerang penduduk disana. Tidak di tahu siapa pemimpin Bajak Laut tersebut. Disamping itu Sultan La Dani harus membereskan pemberontakan dari aksi makar Barata Wuna yang juga merepotkan pemerintahannya. Muhammad Idrus yang juga pada saat itu adalah menantu dari Sultan Anharuddin tampil kedepan untuk memimpin pasukan menyerang dan menumpaskan aksi Bajak Laut. Bajak Laut tersebut berhasil dikalahkan dan Muhammad Idrus pulang dengan membawa kemenangan, lalu diangkat menjadi Sultan ke-29 menggantikan mertuanya yang cuma menjabat selama satu tahun. Menurut Zahari (1977: III, 25-7) Sultan Anharuddin diturunkan dari kekuasaannya karena melakukan beberapa kesalahan dalam prosedur militer, antara lain dalam penumpasan Bajak Laut yang menyerang Pasar Wajo. Aksi penumpasan itu dipimpin oleh Muhammad Idrus, menantunya, yang kemudian menggantikannya menjadi Sultan dengan gelar Kaimuddin I. Zahari berspekulasi bahwa alasan pemberhentian Sultan Anharuddin sepertinya tidak kuat, “tetapi agaknya terkandung suatu rahasia pribadi dari Sultan Anharuddin terhadap anak mantunya [itu]” (Ibid.:26).(suryadi;2007).

8.Pemberontakan Dalam Pemerintahan Kesultanan Buton
Sepanjang pemerintahan Kesultanan Buton, selain mendapat tekanan dari luar, juga mendapat tekanan dari dalam. Aksi pemberontakan dan makar serta kerusuhan menghiasi perjalanan roda pemerintahan diantaranya kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton tahun 1669. Disamping itu juga tercatat beberapa aksi pemberontakan dan makar yaitu sebagai berikut. a. Pemberontakan Kulisusu dan Wawoni tahun 1791 dan 1796 Sepanjang masa pemerintahannya, Sultan ke-26 La Koporu (Muhyiuddin Abdul Gafur; 1791-1799) menghadapi banyak masalah politik, ada yang bersifat dalaman dan luaran. Antara masalah dalaman itu adalah pemberontakan di Kalincusu dan Wowoni yang banyak memakan korban dan menghabiskan senjata Buton, sehingga Sultan memohon kepada “Gurnadur Jenderal” agar dapat menjual peralatan perang agar Buton dapat mempertahankan kedaulatannya ke atas keduadua wilayah itu. (Warkah B dan D; suryadi). Naskah teks surat (warkah) Sultan Buton kepada Gubernur Jenderal di Batavia, yang penulis kutip dari Warkah Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden oleh Suryadi WARKAH B: CoD.Or. 2240-IA tgl 21 September 1791 ……….. Seperkara lagi, Paduka Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya bermaklumkan Paduka Yang Dipertuan Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi akan hal peperangan kami dengan Negeri Kalincusu sekarang ini. Maharaja Sapati dan Kapiten Laut telah sudah dimenangkan Allah, dikalahkannya Negeri Kalincusu jua adanya. Syahdan, adapun Paduka Sri Sultan dan wazir menteri2nya serta ia melihat sudah kalah Negeri Kalincusu, lalu ia penyuruh Raja K-n-d-w-r-h dan Menteri Katapi dan empat orang pangalasan dan seorang juru bahasa serta teman2nya pada empat buah perahu yang pergi di Hujung Pandan pada tahun yang lalu hendak memberi maklum kepada Paduka Ayahandah Kompeni di Mangkasar, dipesertakan dengan lasykar seratus kapal yang dibawanya ke Mangkasar jua adanya…….. WARKAH D : CoD. Or. 2240-IA tgl 31 Oktober 1796 ……. Seperkara lagi, Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya bermaklumkan Paduka Ayahandah kompeni Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi perihal sekarang ini sudah di dalam berperang dengan Negeri Wowoni antara tiga bulan. Segala raja2 dan menteri2 serta segala rakyat tiga ribu bilangan banyaknya yang pergi menyerang Negeri Wowoni telah banyak mati dan luka, dan senjata sudah banyak yang rusak, dan obat dan pelor sudah habis dalam perang kami. …. …… Dari warkah surat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa Sultan Mahyuddin terjadi sekaligus dua pemberontakan yang cukup merepotakan pemerintahaan Kesultanan Buton. pemberontakan pertama terjadi didaerah Barata Kulisusu namun pada bulan September 1791 Sapati dan Kapitalao berhasil menumpas aksi pemberontakan tersebut. Namun di tahun 1796 terjadi lagi pemberontakan yang besar di bagian daerah kadie Buton di pulau Wawoni Barata Wuna. Sebanyak 3000 prajurit raja-raja bersama mentrinya bergi berperang menggempur pemberontak, namun karena kurangnya persenjataan di sana pasukan banyak tewas dan luka-luka. Namun akhirnya aksi tersebut juga berhasil di tuntaskan. b. Makar daratan Wuna 1816-1824 sultan ke-27 La Badaru (Sultan Dayanu Asraruddin; 1799-1823) Pada tahun 1816 seorang bangsawan Bone, Arung Bakung, melakukan aksi makar di Barata Muna atas provokasi seorang ulama bernama Syarif Saleh. Arung Bakung mengawini putri Raja Tiworo, dan oleh karena itu ia cukup berpengaruh di Muna. Ia dan pengikutnya yang berasal Makassar dan Mindanao melakukan aksi separatisme terhadap Bau-bau. Arung Bakung menjadi sempalan bagi Buton selama bertahun-tahun. Dalam aksi pemberontakannya, ia dilindungi oleh Raja Konawe dan Laiwui (Zahari 1977: III, 23). Pemberontak ini baru menyerah pada tahun 1824 dibawah pimpinan Sultan Muhammad (Idrus Kaimuddin I; 1824-1851), dua tahun setelah Sultan Dayyan Asraruddin turun tahta (Suryadi; 2008).

C. Penutup, 
Demikianlah beberapa Intrik sosial politik yang terjadi semasa berdirinya kerajaan Buton sampai masa Kesultanan di awal abad ke-19. Satu “Sumpah” yang selalu dipegang dengan menghadapi segalah konsekwensinya. Keistimewaan Kejayaan dan Keagungan Kesultanan Buton, Sosial Budaya Buton, Kearifan Lokal, Manuskrip Kesultanan Buton, Aksara Wolio, Bendera Wolio, Lambang Kesultanan Buton, Benteng Keraton Buton, Istana Buton, Mata Uang Buton, Falsafah Buton, dan yang paling fenomenal adalah Undang – Undang Dasar Kesultanan Buton ( Tartabah Tujuh ) adalah bukti yang tidak terbantahkan bahwa sesungguhnya pernah Ada sebuah kerajaan kesultanan yang Agung dan mewarnai perjalanan perkembangan Nusantara. Berawal dari negri yang miskin lalu menjadi daerah pusat perdagangan paling aman dan disegani di awal abad ke-20. Begitulah cara Kesultanan Buton membangun negrinya hingga bertahan lebih dari 600 tahun. Namun mengapa sedikit orang yang mengenal dan memahami kesultanan Buton (Butuni)? Sebagai kata penutup saya mengutip kata-kata Kapitalao Jitanggalawu yang juga pernah dikutip Suryadi dalam artikelnya :"Karena Sahabat (Rusman Bahar) orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan artikel ini, maka jikalau ada salah pun melainkan maaf juga kepada pembaca. Tamat.****

Rabu, 05 Mei 2010

SEJARAH ASAL MULA ADANYA BURUNG MALEO DI PULAU BUTON YANG SAAT INI MERUPAKAN SATWA YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH

Oleh : Raden Muhammad Hoesein Hambari


 LATAR BELAKANG
Burung Maleo di Pulau Buton dibawah oleh Muhammad Ali Idrus Putera Raja Aden yang menikah dengan Puteri Raja Pasai yang bernama Sultan Ahmad I atau ayah kandungnya berasal dari Sultan Brunei Pertama yang bernama Sultan Sulaiman Syarif Ali yang dinobatkan pada tahun 1298 Masehi.
Muhammad Ali Idrus ini bersepupu dengan Musarafatul Izzati Al Fakhriy Puteri tunggal Abdullah Badiy Uz Zamani dari Yatsrib-Madinah-Arabia dari keturunan Baginda Sayidina Ali Bin Abithalib. Menjelang dewasa ayah Al Fakhriy atau di Buton dikenal dengan nama Wa Kaa Kaa sebagai Raja Buton Ke-I tahun 1311-1332 Masehi.
Timbul pertanyaan : mengapa Al Fakhriy dari Madinah dan Muhammad Ali Idrus dari Pasai sampai di Pulau Buton ?


 Sejarahnya sebagai berikut :
Muhammad Ali Idrus yang kawin dengan Puteri Raja Pasai itu mendengar berita bahwa pamannya bernama Abdullah Badiy Uz Zamani di Yatsrib Madinah telah meninggal dunia sehingga ia berangkat ke Madinah untuk ziarah kubur sekalian akan membawa sepupunya Al Fakhriy. Sesampainya di Madinah, Muhammad Ali Idrus berziarah dan mendengar cerita bahwa sepupunya yang telah ditinggal ayahnya itu pernah dia dilamar oleh Putera Raja Persia bernama Baidul Hasan tetapi dia tidak mau. Lantas untuk menghindari lamaran berikutnya oleh Putera Raja Persia itu dia setuju untuk ikut ke Pasai bersama Muhammad Ali Idrus. Tetapi rupanya hal ini diketahui oleh Putera Raja Persia bahwa Al Fakhriy itu akan ikut sepupunya ke Pasai, sehingga dia dilamar lagi yang kedua kalinya, namun Al Fakhriy tetap menolak halus lamaran tersebut dengan alas an bahwa dia belum ada niat untuk berkeluarga. Waktu itu Muhammad Ali Idrus sedang ke Johor pergi mengawinkan anak tunggalnya bernama Sulaiman Syarif Ali. Di Johor Muhammad Ali Idrus bertemu dengan Panglima mongol bernama Khun Khan Ching yang ketika itu sedang diperintah oleh Kaisar Mongol yang bernama Khubilai Khan. (baik Kaisar Tiongkok dan Khun khan Ching disebut Cina islam dari Hoe-Hoe daerah tar-tar dengan gelar Dung Kung Sang Hiang dan di Buton dikenal dengan nama Dungku Cangia). Khun Khan Ching atau Dungku Cangia lari berlindung ke Johor karena telah kalah perang waktu dia diperintah oleh kaisarnya meyerang Kerajaan Mojopahit di Jawa Timur).
Dalam buku sejarah Wali Songo, diceritakan pasukan Tar-Tar dari Mongol itu menang waktu menyerang Kerajaan Singosari. Namun sekembalinya dari peperangan pasukan tersebut melewati Sungai Berantas lantas digempur habis-habisan oleh pasukan raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit, sehingga pasukan Tar-tar tersebut lari kocar-kacir dan banyak yang meninggal dan Panglimanya bernama Khun Khan Ching menyelematkan diri lari ke Johor.
Muhammad Ali Idrus disamping bertemu dengan Khun Khan Ching di Johor, juga bertemu dengan seorang relawan bernama Sang Ria Rana, kemudian setelah acara pernikahan Puteranya di Johor selesai, kedua sahabatnya itu diajaknya ke Pasai dan merekapun setuju. Sesampainya di pasai sepupunya Muhammad Ali Idrus bernama Al Fakhriy menyampaikan bahwa ada utusan Raja Persia untuk melamarkan anaknya dengan dia tetapi Al Fakhriy menolaknya dengan halus dan kemudian Raja Persia itupun menjadi marah dan mengancam akan mengambil paksa Al Fakhriy ke Pasai. Akhirnya Al Fakhriy mengajak sepupunya Muhammad Ali idrus untuk keluar dari Pasai dan Muhammad Ali Idrus pun berunding dengan kedua sahabatnya itu dan sepakat akan keluar meninggalkan Pasai dengan mengendarai sebuah kapal yang bernama Magela Hein’s. Perjalananpun tak tentu arah menuju wilayah timur dan akhirnya terdampar di Pulau Buton tepatnya di Sorawolio.
Setelah tiba di Sorawolio, mereka berempat berpisah; Khun Khan Ching dan Sang Ria Rana menuju ke Tobe-Tobe Buton, sedang sepupunya Muhammad Ali idrus menuju ke Maligano Buton untuk membawa Burung Maleo atau dalam bahasa buton dikenal dengan nama Burung Mamua. Burung ini dibawanya dari Palembang ketika saat mengunjungi anaknya bernama Sayid Lillah yang berasal dari anak pada istri keduanya bernama Embo Endang. Ternyata sehabis melepas Burung Maleo di Maligano Buton Utara, Muhammad Ali Idrus kawin disana dengan Puteri Sangia Pure-Pure bernama Wa Birah. Dari hasil perkawinan Muhammad Ali Idrus dengan Wa Birah dikarunia seorang Puteri bernama Wa Nambo Yitonto atau nama gelar Wa Sala Bose. Pada waktu itu di Maligano Muhammad Ali idrus diberi gelar Lakina Maligano yang saat ini berdasarkan sejarah ini telah diabadikan menjadi Desa Maligano, Ronta Kabupaten Muna.
Sedangkan sepupunya bernama Al Fakhriy yang tinggal di Sorawolio dia bertapa selama 13 tahun lamanya didalam rumpun bambu tolang dan setelah 13 tahun ia bertapa lantas diketemukan oleh dua sahabatnya bernama Khun Khan Ching atau Dung Kung Sang Hiang dan Sang Ria Rana, dimana ketika itu tanpa sengaja kedua sahabatnya sedang mencari bambu tolang untuk mau dijadikan perangkat bubu penangkap ikan di laut. Pada saat sebelum diketemukan Al Fakhriy dalam rumpun bambu tolang tersebut, anjing yang dibawah oleh Sang Ria Rana menggonggong karena melihat sesuatu didalam rumpun bambu tolang tersebut namun kedua sahabatnya tersebut tetap dia menebas bambu tersebut dan mengenai rambut Al Fakhriy yang sedang bertapa sampai kedengaran suara Kaa Kaa karena Puteri Al Fakhriy rambutnya sedikit kena sobekan parang. Berdasarkan penemuan inilah dan teriakan inilah kedua sahabatnya memberi nama Al Fakhriy sebagai Wa Kaa Kaa dan diapun ketika itu menjadi perempuan sakti mandraguna setalah melalui pertapaan selama 13 tahun lamanya itu.
Kesaktian perempuan bernama Wa Kaa Kaa inipun gaunya melebar kemana-mana hingga didengar oleh 4 (empat) orang penguasa Buton juga mereka sakti yakni Si Panjonga yang berkuasa di Tobe-Tobe, Si Malui yang berkuasa di Kamaru, Si Jawangkati yang berkuasa di Wasuemba dan Si Tamanajo yang berkuasa di Gunung Lambelu yang dikenal dengan gunung Kamasope.
Si Panjonga dan Si Tamanajo berasal dari Melayu-Pasai, sedangkan Si Malui dan Si Jawangkati berasal dari Pariaman Sumatera Barat. Mereka berempat adalah orang orang sakti mandraguna keturunan para wali allah datang ke Pulau Buton atas petunjuk ghaib dan berombongan kira-kira tahun 1236 Masehi.
Setelah mendengar berita bahwa di Sorawolio ada seorang pertapa perempuan yang ghaib, kermpat penguasa itu menjemputnya dengan membawa Wa kaa Kaa dengan sebuah tandu selanjutnya di bawah ke Istana Sipanjonga di Tobe-Tobe dan sekarang diabadikan Tobe-Tobe itu menjadi Keraton Buton. Dan ditempat injak kaki pertamanya Wa Kaa Kaa berbentuk lubang model mulut kelamin perempuan dan diabadikan menjadi tempat upacara pelantikan Raja-Raja atau Sultan-Sultan di Buton dan lubang itu sampai saat ini masih bias dijumpai letaknya persis dibelakang Mesjid Agung Keraton Buton dan Wa Kaa Kaa pun ketika itu dinobatkan menjadi Raja Pertama Buton.
Dari uraian sejarah di atas, jelas bahwa asal mula adanya Burung Maleo yang saat ini merupalan satwa yang sangat dilindungi oleh Pemerintah dan masuk RDB (Red Data Book) hanya terdapat di Pulau Buton, dan hingga saat ini telah berkembang ke seluruh Sulawesi.
Dalam hasil survey yang dilakukan pada tahun 1979 untuk menentukan habitat Burung Maleo, di Sulawesi Tenggara terdapat tiga tempat, yakni di Bubu Buton utara dimana pantainya berpasir hitam, di pantai maligano dan di Tanjung Kolono Konawe Selatan. Tetapi sayang telur-telurnya banyak diambil oleh orang yang tidak bertanggungjawab dimana juga penjagaannya kurang intensif sehingga perkembangan Burung Maleo itu kurang baik.
Satu lagi kisah antropologis manusia dan margasatwa yang terukir sebagai pelaku sejarah di Pulau Buton pada zamannya dan diperlukan penelitian lebih lanjut secara aksiologis hubungan-hubungan antar atropologis manusia dan ethmologis manusia yang mendiami pulau Buton masa lalu hubungannya dengan silsilah bangsa-bangsa di dunia termasuk konstelasi margasatwanya. Bagi para ahli arkiologis, antropologis kontemporer, ethnologis dan sejarah kini anda semua ditantang untuk dapat menguak bagian-bagian dari kisah ini guna pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan sejarah Indonesia bagi anak cucu kita di kemudian hari.******

R.M. HOESEIN HAMBARI adalah Ketua Pembinah Al Hikmah Sulawesi Tenggara
(Beliau Telah Wafat Tahun 2004 Lalu di Kendari)